• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Produksi Minyak Sawit yang Bertanggung Jawab

2.1 Memahami Konsep dan Standar RSPO

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah sebuah inisiatif dari beberapa industri minyak sawit besar dan organisasi konservasi, yang menggunakan mekanisme pasar untuk menyusun ulang metode produksi, proses dan panggunaan kelapa. Organisasi RSPO ini dibentuk untuk menetralkan kampanye organisasi lingkungan yang menggambarkan kelapa sawit sebagai ancaman terbesar bagi hutan tropis dan berbagai mahluk hidup yang hidup dan sangat bergantung pada hutan tropis tersebut.

RSPO merupakan hasil kolaborasi beberapa perusahaan yang memegang peranan kunci dalam sektor kelapa sawit dan bertanggung jawab atas sepertiga produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di dunia1 dengan organisasi konservasi (khususnya WWF

yang memiliki program ‘Inisiatif Konversi Hutan’2). Sektor bisnis sangat yakin bahwa

RSPO dapat melawan tuduhan bahwa perkebunan kelapa sawit dapat membawa dampak kerusakan lingkungan dan sosial, dengan cara mempromosikan citra sektor kelapa sawit sebagai bisnis yang bertanggung jawab serta menetapkan standar industri untuk meminimalkan dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh industri tersebut. RSPO bertujuan untuk mendorong perluasan sektor kelapa sawit yang lebih ‘bertanggung jawab’ untuk memenuhi permintaan minyak dan lemak kelapa sawit global yang akan berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Menurut RSPO, untuk memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit dimasa mendatang tersebut, diperluhan tambahan sekitar 4-5 juta hektar perkebunan kelapa sawit.

Secara formal, organisasi RSPO didirikan dalam bentuk LSM pada bulan April 2004 berdasarkan Pasal 60 Hukum Sipil Swiss. Keanggotaan dari RSPO terbuka untuk setiap penanam, pengolah, pedagang, pabrik, pengecer, kalangan perbankan, investor kelapa sawit, LSM lingkungan dan konservasi serta organisasi pembangunan/sosial lainnya. RSPO dikelola oleh sebuah Dewan Eksekutif yang terdiri dari:

4 kursi untuk penanam kelapa sawit: 1 kursi untuk Malaysia (MPOA), 1 kursi untuk Indonesia (GAPKI), 1 kursi untuk petani kecil (FELDA), 1 kursi untuk negara-negara lain di dunia (FEDEPALMA)

2 kursi untuk pengolah minyak kelapa sawit: (Unilever / PT Musim Mas) 2 kursi untuk pabrik barang-barang konsumsi (Aarhus / Cadbury Schweppes) 2 kursi untuk pengecer: (Migros / Body Shop)

2 kursi untuk kalangan perbankan/investor: ( HSBC Malaysia / 1 kursi masih kosong)

2 kursi untuk LSM Lingkungan: (WWF-CH / WWF-Indonesia) 2 kursi untuk LSM Sosial/Pembangunan: (Oxfam / Sawit Watch).3

RSPO bertujuan untuk menetapkan standard baku produksi dan pemanfaatan ‘minyak sawit berkelanjutan’ (Sustainable Palm Oil/SPO) serta mendukung perdagangan minyak sawit yang menolak produksi minyak sawit yang merusak lingkungan. Hal ini dilakukan dengan cara:

Pembuatan standar SPO;

Mendorong pengadopsian standar tersebut oleh seluruh anggota RSPO;

Mendorong anggota RSPO untuk mereformasi praktek produksi dan pemanfaatan minyak sawit berdasarkan standar-standar tersebut;

Harapan Badan Eksekutif RSPO agar setiap anggotanya mematuhi standar-standar tersebut secara sukarela;

Pelibatan pihak ketiga yang merupakan penilai terakreditasi terhadap setiap klaim terhadap produksi dan penggunaan SPO.

Aktivitas utama RSPO saat ini adalah mengelaborasi sejumlah standar yang terkait dengan prinsip dan kriteria ’minyak sawit berkelanjutan’ (SPO). Diawali oleh pertemuan pertama RSPO yang diadakan di Kuala Lumpur pada Agustus 2003, draf awal standar tersebut mulai disusun oleh Dewan Sementara RSPO dengan dukungan konsultan kehutanan yang berbasis di Inggris, Proforest, yang secara khusus dikontrak oleh RSPO. Salah satu rekomendasi Proforest kepada Dewan Sementara RSPO adalah pentingnya pembentukan badan konsultatif yang lebih besar untuk menyusun standar tersebut. Dewan tersebut kemudian mencari beberapa calon untuk dinominasikan sebagai anggota Kelompok Kerja Kritera (Criteria Working Group/CWG), yang selanjutnya dibentuk pada September 2004. CWG merupakan sebuah kelompok kerja yang secara resmi dibentuk oleh RSPO dan diatur dalam statuta khusus. Tugas utama CWG adalah untuk membentuk prinsip-prinsip, kriteria dan acuan standar RSPO serta merekomendasikan perangkat-perangkat yang dapat digunakan untuk melakukan verifi kasi standar SPO. CWG terdiri dari 25 orang (dan wakil mereka) yang terdiri dari:

10 orang produsen minyak sawit (Pacifi c Rim Palm Oil Limited, IJM - Malaysia), IPOC (Indonesia), Unilever (UK), Unilever (Ghana), New Britain Palm Oil Ltd. (PNG), Agropalma (Brazil), CIRAD (France/Sumatra), FELDA (Malaysia), Dr Kee Khan Kiang (Malaysia).

5 orang pemasok dan investor (Aarhus Ltd (UK), UniMill (Belanda), Poram (Malaysia), PT Musim Mas (Indonesia), Daabon Organics (Colombia).

5 orang yang mewakili kepentingan lingkungan (WWF-Indonesia, WWF-Malaysia, Conservation International, WWF-US, Dr Gan Lian Tiong (Malaysia))

5 orang yang mewakili kepentingan sosial (Sawit Watch, Tenaganita, Oxfam, bekerja sama dengan Melanesia, Zalfan Hohn Rashid (Malaysia)..

Melalui perhitungan skor pemilihan yang dilakukan oleh anggota Dewan RSPO, akhirnya 25 orang terpilih dari 70 orang yang dinominasikan. Dari sisi jumlah, keanggotan CWG didominasi oleh kepentingan industri dan meminggirkan perwakilan langsung dari masyarakat adat, petani kecil, persatuan pedagang dan organisasi lain yang merepresentasikan perkumpulan pekerja dalam sektor kelapa sawit. CWG mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan. Pada kasus-kasus tertentu, keputusan dapat diambil melalui prosedur voting, dimana keputusan yang diambil harus disetujui oleh 3 dari 4 anggota dewan. Namun, sampai saat ini prosedur voting belum pernah dilakukan.

Setelah dilakukan dua pertemuan CWG dan konsultasi publik yang ekstensif, akses publik terhadap draf kedua standar RSPO dibuka selama kurun waktu juni dan juli 2005 guna mendapat komentar dan masukan yang lebih luas. Komentar dan masukan draf standar RSPO yang diterima pada intinya menyarankan pentingnya pertimbangan tiga hal mendasar (triple bottom line) yaitu sosial, keuangan dan lingkungan.

Setelah melalui konsultasi publik, versi standar yang telah dimodifi kasi kemudian dielaborasi oleh Kelompok Kerja Kriteria (CWG) pada Bulan September 2005 naskah tersebut diberikan kepada para anggota untuk di kaji ulang dan didiskusikan dalam pertemuan RSPO III yang diadakan di Singapura pada November 2005. Standar tersebut kemudian diadopsi dalam Rapat Majelis Anggota (Members Assembly) melalui prosedur voting, dimana 55 suara menyatakan setuju dengan draf tersebut dan satu suara abstein. Teks lengkap dari standar tersebut dapat dilihat di lampiran 1.

Pada pertemuan tersebut, para anggota menyepakati sebuah standar baru yang harus diujicobakan selama dua tahun kedepan. Setelah itu, RSPO dapat membuat dan menyepakati klaim tertentu terhadap produksi minyak sawit.

Kriteria sosial dari standar tersebut termasuk beberapa ketentuan yang mensyaratkan: Komitmen pada transparansi;

Kepatuhan terhadap hukum, termasuk hukum internasional yang sudah diratifi kasi serta penghormatan terhadap hukum adat;

Penunjukkan hak untuk menggunakan tanah serta pembuktian bawa tidak ada konfl ik di atas tanah tersebut ;

Tidak mengurangi atau menghilangkan hak adat tanpa adanya persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC);

Sistem untuk resolusi konfl ik diterima dan didokumentasi serta kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai;

Kewajiban melakukan penilaian sosial terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perkebunan yang telah beroperasi;

Penerapan persyaratan kesehatan dan keamanan; Komunikasi yang terbuka dan transparan; Jaminan pembayaran kompensasi yang layak;

Harga yang adil dan pelatihan yang memadai untuk petani sawit;

Pengakuan atas hak masyarakat dalam memberikan penawaran harga secara kolektif dan tanpa paksaan;

Perlindungan terhadap tenaga kerja anak, perempuan, pekerja migran dan petani kecil;

Tidak adanya kerja paksa atau diskriminasi;

Pemberian kontribusi untuk pembangunan daerah yang diperlukan;

Kewajiban melakukan penilaian terhadap dampak sosial dan lingkungan yang dilakukan secara partisipatif terhadap setiap usulan penanaman baru;

Tidak boleh ada penanaman baru pada lahan masyarakat adat kecuali telah mendapatkan FPIC;

Adanya kompensasi yang adil untuk masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap setiap pengambilalihan lahan dan pengambilan hak sesuai dengan FPIC dan kesepakatan.

Prinsip dan kriteria RSPO dirancang untuk memastikan pengembangan kelapa sawit akan dilakukan dengan benar. Penelitian ini melakukan investigasi terhadap beberapa kriteria dari beberapa perlindungan sosial yang utama dalam draf standar, yaitu:

Kriteria 2.1 Adanya kepatuhan terhadap semua peraturan daerah, nasional dan hukum internasional yang telah diratifi kasi..

Penelitian ini kemudian mencoba mengidentifi kasi apa sajakah peraturan daerah, nasional dan internasional yang sudah diratifi kasi oleh Indonesia, yang relevan untuk masyarakat lokal maupun proses pembebasan tanah.

Kriteria 2.2 Hak guna tanah dapat ditunjukkan dan tidak tentang oleh komunitas lokal dengan menunjukkan hak mereka.

Dengan menginvestigasi beberapa studi kasus dan melakukan berbagai wawancara, penelitian ini mencoba merekomendasikan sarana dimana masyarakat lokal dapat mempertanyakan kembali proses pembebasan tanah dan mengekspresikan hak-hak atas mereka.

Kriteria 2.3 Penggunaan tanah untuk kelapa sawit tidak menghilangkan hak legal maupun hak adat para pengguna lain tanpa adanya persetujuan tanpa paksa dari mereka.

Kriteria 7.5 Tidak ada penanaman baru dilakukan di tanah masyarakat lokal tanpa persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC) dari mereka, dilakukan melalui suatu system yang terdokumentasi sehingga memungkinkan masyarakat adat dan komunitas lokal serta para pihak lainnya bisa mengeluarkan padangan melalui institusi perwakilan mereka sendiri.

Dalam kasus-kasus studi tersebut juga diinvestigasi: sejauh mana hak hukum dan adat atas tanah, proses-proses apa yang telah diambil dalam proses negosiasi dengan masyarakan guna membebaskan tanah mereka untuk perkebunan dan apakah pembebasan tanah tersebut telah mendapatkan persetujuan tanpa paksaan dari masyarakat.

Kriteria 7.6 Masyarakat lokal harus diberi kompensasi yang sesuai atas pembebasan tanah dan pelepasan hak mereka atas tanah tersebut berdasarkan persetujuan tanpa paksaan dan kesepakatan dari hasil negosiasi dengan masyarakat.

Investigasi juga dilakukan terhadap rincian mengenai kesepakatan dari hasil proses negosiasi untuk mengetahui tawaran apa yang pernah diberikan pada masyarakat lokal dan apakah tawaran tersebut telah dipenuhi oleh perusahaan.

Singkatnya, penelitian ini dirancang untuk menilai apakah standar yang telah dibuat oleh RSPO dapat melindungi masyarakat lokal dan memberikan kontribusi untuk memahami lebih dalam mengenai penerapan standar tersebut di Indonesia.

2.2 Berbagai Pengalaman Indonesia termasuk HAM dalam Sertifi kasi dan