• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Normatif Pembebasan Tanah untuk Perkebunan Baru

3.4 Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Hak Atas Tanah

Ketentuan peraturan perundang-undangan tertinggi yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan agraria adalah Pasal 28H UUD 1945 yang melindungi hak atas properti. Paragraf 4 menyatakan bahwa:

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Ditambah lagi, Pasal 28I UUD 1945 secara khusus melindungi hak-hak masyarakat adat. Paragraf 3 menyatakan:

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Dua pasal tersebut, bila dipahami secara eksplisit, bertujuan untuk melindungi hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya. Namun, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang melegitimasi Negara untuk mengatur dan mengelola pemanfaatan sumberdaya alam. Pasal 33 menyatakan bahwa:

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efi siensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang- Undang.26

Undang-Undang Pembaharuan Agraria (UUPA) tahun 1960,27 menyatakan hal yang sama

seperti ketentuan dalam UUD tersebut. Oleh karena itu, pada satu sisi, UUD ini mencoba untuk mengakui hak-hak atas sumberdaya alam dibawah hukum adat, yang biasanya disebut sebagai hak ulayat. Hal ini mewarisi konsep hukum pemerintah kolonial atas tanah. Pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa:

… hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa 1.

2. 3. 4.

serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Hal yang sama juga yang disebutkan dalam UUPA Pasal 5:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama.28

Berdasarkan ketentuan diatas, negara menjustifi kasi keberadaannnya sebagai sumber tunggal legitimasi yang menentukan kepemilikan sumber daya alam dan agraria, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan apakah masyarakat adat masih eksis atau tidak serta mengambilalih sumberdaya alam dari masyarakat adat dengan mematikan hak ulayat.

Penjelasan Pasal 5 UUPA menyatakan:

Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan- peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan, sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan

pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari pasal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.29

Sejak saat itu, produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah banyak menuai kritikan karena kegagalannya memberi perlindungan hak-hak komunitas adat. Ditambah lagi, hanya sedikit peraturan yang diterbitkan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya Negara mengakui hak milik masyarakat adat. Sebaliknya, peraturan-peraturan setelahnya hanya memperkuat hak pemerintah untuk menguasai dan mengelola tanah serta sumberdaya alam.30

Setelah jatuhnya Sukarno (1966),31 pemerintah Orde Baru mengabaikan hak ulayat

masyarakat adat secara sadar. UUPA dibekukan secara tidak langsung karena undang- undang ini sama sekali tidak digunakan sebagai bahan pertimbangan ketika membuat Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK) dan Undang¬-Undang Pokok Pertambangan (UUPP) serta peraturan pelaksanaannya.32 Dua peraturan tersebut sama-sama tidak

mengakui hak milik masyarakat adat. UUPK secara efektif memperlakukan hutan sebagai ruang kosong, meskipun hutan tersebut telah dihuni oleh masyarakat lokal ribuan tahun. UUPK juga mensubordinasi semua bentuk hak-hak pemanfaatan dan akses untuk eksploitasi hutan.33 Untuk menghadapi resistensi masyarakat lokal terhadap operasi

penebangan, sebuah peraturan diterbitkan pada tahun 1970 yang menyatakan bahwa: Hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota masyarakat tersebut untuk memanen hasil hutan berdasarkan hukum adat dapat dilakukan, sejauh hak-hak tersebut masih ada, namun hak tersebut harus diatur sehingga penerapan hak tersebut tidak mengganggu konsesi kehutanan.34

Undang Undang Pokok Pertambangan juga menyatakan hal serupa, jika ada konfl ik tanah antara masyarakat dan pemegang konsesi, masyarakat harus mengalah, bahkan apabila masyarakat memiliki pertambangan kecil, mereka juga harus mengalah.

Pada tahun 1999, setelah jatuhnya rejim Orde Baru, pemerintah menyadari kesalahannya dan merespon tuntutan masyarakat adat untuk mengakui hak-hak mereka dengan menerbitkan sebuah peraturan yang ditujukan untuk menjelaskan bagaimana hak ulayat harus diakui.35 Peraturan ini menyebutkan tiga kriteria tanah yang dapat diklasi kasikan sebagai tanah ulayat, yaitu adanya komunitas yang didefi nisikan secara hukum, yang masih menerapkan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari, dan memiliki lembaga adat yang efektif yang mengatur, mengontrol dan memanfaatkan tanah ulayat. Peraturan ini banyak dikritik karena terlalu membatasi kondisi tertentu dimana hak-hak ulayat dapat diakui dan memperbolehkan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan ‘umum’, melalui penerbitan hak pakai yang diberikan pada individu dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada perusahaan.36 Pada tahun yang sama, UUPK direvisi. Meskipun UU yang

baru mengakui sebuah kategori baru, ‘hutan adat’ yang didefi nisikan sebagai wilayah dalam Area Hutan Negara, UU tersebut secara eksplisit memaknai hutan adat sebagai wilayah ‘tanpa dibebani hak tertentu’.37

Pengakuan yang efektif ‘hak-hak masyarakat adat atas tanah’ di Indonesia sangat kurang. Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam merupakan sumber utama yang memicu kontroversi. Selama kurun waktu 2000-2001, tekanan dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan organisasi-organisasi masyarakat sipil membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)38 mengeluarkan Ketetapan MPR yang menyatakan

pentingnya revisi Undang-Undang Pembaharuan Agraria (UUPA) guna memberi keamanan pada masyarakat atas tanah mereka dan mengurangi konfl ik tanah. TAP MPR tersebut secara eksplisit mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam.39 Sayangnya, peraturan-peraturan yang diterbitkan setelah

penerbitan TAP MPR tersebut tidak menjadikan TAP MPR sebagai bahan pertimbangan. Peraturan baru di bidang Kehutanan, Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam tetap menjadi bagian dari program pemerintah, yaitu program legislasi nasional (PROLEGNAS) dan, secara teknis, harus sesuai dengan Ketetapan MPR.

3.5 Pembebasan Tanah pada Wilayah Non-Hutan