• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Hukum

5.1. Analisis Hukum atas Temuan Penelitian

5.1.4 Penerapan Sanks

Perbedaan prinsipil antara hukum Negara dan hukum adat juga terjadi pada penerapan sanksi. Karakter sanksi hukum negara mengikuti logika hukum perdata dan pidana. Tujuan utamanya adalah semata-mata menghukum seseorang yang melanggar hukum perdata atau pidana tertentu, bukan untuk tujuan ideal lainnya seperti menjaga ketertiban sosial maupun keseimbangan alam. Akibatnya, negara tidak akan memberi sanksi bagi siapapun yang merusak ketertiban sosial ataupun mengganggu keseimbangan alam jika perbuatan tersebut tidak melanggar atau diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, tujuan utama dari pemberian sanksi hukum adat adalah menjaga ketertiban sosial dan keseimbangan alam.

Kita dapat menangkap beberapa hal yang kerap mewarnai berbagai konfl ik yang terjadi dalam proses pembangunan perkebunan kelapa sawit, mulai dari fase awal perencanaan tata ruang, proses investasi, proses perijinan, proses pembebasan tanah, hingga proses penanaman dan produksi. Buku ini menggarisbawahi beberapa hal penting sebagai berikut;

1. Masyarakat adat tidak memiliki pilihan untuk menerima atau menolak pembangunan perkebunan yang diusulkan.

Ketika perusahaan kelapa sawit dan pemerintah daerah melakukan perencanaan wilayah, pemerintah daerah (bupati dan DPRD) mengumumkan keputusan mereka mengenai wilayah perkebunan kelapa sawit yang didirikan sesuai dengan perencanaan wilayah, tanpa melibatkan partisipasi hakiki dari masyarakat lokal, terutama yang masyarakat adat yang terkena dampak.

Dalam semua studi kasus yang dilakukan oleh penelitian ini, tidak ada satupun anggota komunitas yang merasa dilibatkan dalam perencanaan wilayah diatas tanah ulayat mereka yang telah dialokasikan sebagai wilayah pengembangan perkebunan sawit. Masyarakat adat tersebut baru mengetahui tentang perencanaan tersebut pada saat aparat pemerintah daerah menginformasikan mereka tentang perencanaan pengembangan perkebunan kelapa sawit dan bagaimana rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit memerlukan tanah ulayat mereka. Dengan kata lain, masyarakat adat dipaksa untuk menerima pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut. Pemaksaan ini sangat jelas terlihat dalam kasus-kasus yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang didukung oleh pemerintah lokal dan aparat militer. Mereka tidak segan-segan untuk memaksa masyarakat yang menolak perkebunan kelapa sawit.

Pemaksaan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan dalam pembebasan tanah ulayat (kasus masyarakat adat Kapar), dan intimidasi secara verbal maupun fi sik yang dialami oleh anggota masyarakat Dayak Pandu Ribun (penangkapan beberapa anggota masyarakat atas tuduhan menjadi anggota partai komunis (terlarang) dalam studi kasus PTPN XIII. 2. Manipulasi informasi dan pemberian informasi yang menyesatkan

Perusahaan-perusahaan kelapa sawit memiliki perangkat komunikasi yang sangat ‘berguna’ dalam mengkomunikasikan perencanaan pembangunan perkebunan ke masyarakat, yang biasa disebut sebagai ‘sosialisasi’. Istilah ini sengaja dipilih, karena dipahami oleh banyak pihak sebagai suatu proses penyebaran informasi suatu keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat termasuk komunitas lokal dan masyarakat adat, dalam konteks ini adalah persetujuan pemerintah atas perencanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah tertentu. Salah satu konsekuensi logis dari proses ‘sosialisasi’ ini adalah komunitas lokal, termasuk masyarakat adat yang terkena dampak, tidak memiliki pilihan kecuali menerima dan turut melaksanakan rencana tersebut. ‘Sosialisasi’ biasanya dilakukan oleh pejabat tingkat desa hingga kabupaten yang memiliki pengaruh dan disegani oleh komunitas lokal dan masyarakat adat yang tinggal di daerah perencanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Muatan sosialisasi adalah informasi umum mengenai lokasi pembangunan perkebunan dan keuntungan serta manfaat ‘yang terlalu indah untuk dapat diwujudkan’ yang akan diperoleh oleh masyarakat adat.

Berdasarkan temuan penelitian lapangan, sosialisasi ini seringkali berhasil membuat para anggota masyarakat adat mau mendaftarkan tanah ulayat mereka untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Keberhasilan ini mungkin tak terlepas dari keterlibatan para pemimpin adat yang dijadikan agen pemberi informasi (informan) oleh perusahaan perkebunan dan bertugas memberikan informasi dan menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh anggota-anggota masyarakat adat seputar perencanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit di tempat tinggal mereka. Dalam kenyataannya, informan- informan tersebut tidak mengetahui secara pasti tentang rincian rencana pembangunan kelapa sawit tersebut. Akibatnya, anggota-anggota komunitas lokal dan masyarakat adat mendapatkan berbagai informasi yang tidak akurat mengenai implikasi dari perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka. Kebingungan anggota masyarakat adat hanya ditanggapi secara singkat oleh pimpinannya: ‘Jangan bingung, tandatangani saja kertasnya!’2

3. Tidak adanya konsensus

Dalam sejumlah wawancara, anggota masyarakat adat mengakui bahwa tidak ada musyawarah yang dilakukan sebelum wilayah mereka diputuskan menjadi perkebunan kelapa sawit. Mereka berpendapat bahwa keberadaan perusahaan kelapa sawit di wilayah mereka adalah bentuk pelaksanaan keputusan pemerintah daerah untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Sebagai anggota masyarakat adat, kewajiban mereka hanyalah mendukung pembangunan tersebut. Studi kasus PT SIA dan PT PHP memperlihatkan bagaimana beberapa pertemuan yang dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan (yang didukung oleh pemerintah daerah) hanya mencakup ‘sosialisasi’ rencana pengembangan kelapa sawit. Bahkan, dengan nada memerintah, perusahaan perkebunan menginformasikan kewajiban masyarakat adat untuk menyerahkan tanah ulayat mereka kepada perusahaan perkebunan karena proyek pembangunan kelapa sawit tersebut telah disetujui oleh pemerintah daerah. Perusahaan-perusahaan tidak pernah meminta pendapat, bahkan tidak ingin mendengarkan tanggapan dari masyarakat adat mengenai proyek tersebut. Dalam kasus-kasus yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru, penolakan masyarakat terhadap proyek tertentu hanya akan mengakibatkan pengambilan tanah ulayat secara paksa oleh perusahaan yang melaksanakan proyek tersebut.

Pola pengambilan keputusan secara sepihak juga ditemukan dalam proses pengalokasian lahan wilayah plasma dan inti. Perusahaan kerap kali berdalih bahwa proses pengalokasian ini telah disetujui oleh pemerintah daerah, sehingga tidak diperlukan lagi adanya kesepakatan dari komunitas lokal dan masyarakat adat. Oleh karena itu, ketika ada anggota masyarakat adat yang menanam kelapa sawit ataupun bekerja di perkebunan mempertanyakan mekanisme pengalokasi lahan tertentu (sebagai contoh, skema ‘7:5’), perusahaan hanya menanggapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa mekanisme pengalokasian lahan tersebut telah sesuai dengan peraturan-peraturan daerah dan kebijakan pemerintah daerah yang berlaku.

4. Berbagai Kesepakatan dan Pelanggaran

Setiap pengembangan kelapa sawit, biasanya membutuhkan berbagai jenis perjanjian, mulai dari perjanjian yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) seperti perjanjian antara komunitas adat dengan perusahaan atau antara perusahaan dengan pemerintah daerah, ataupun perjanjian yang melibatkan banyak pihak (multilateral) seperti perjanjian antara masyarakat adat, perusahaan dan pemerintah daerah.

Berikut dua model perjanjian yang diterapkan oleh perusahaan perkebunan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit:

1. Model pertama adalah perjanjian yang dituliskan di atas kertas segel yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Model ini biasanya digunakan apabila isi perjanjian berdampak positif dan memberikan keuntungan untuk perusahaan. Biasanya, pesta besar akan diadakan usai penandatanganan perjanjian;

2. Model kedua adalah perjanjian yang dilakukan secara lisan, tanpa melibatkan persetujuan ataupun konfi rmasi dari pejabat lebih tinggi perusahaan dan tidak disaksikan oleh pejabat pemerintah senior.

Menurut hukum (positif) di Indonesia, dua model tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Tipe perjanjian pertama dapat memberikan posisi hukum yang kuat kepada perusahaan ketika masyarakat adat melanggar perjanjian tersebut. Perjanjian tertulis tersebut, secara hukum, merupakan bukti yang sah atas adanya pelanggaran masyarakat adat atas kesepakatan yang telah dibuat bersama oleh mereka dan pihak perusahaan. Sebaliknya, komunitas lokal dan masyarakat adat sangat sulit mengharapkan perlindungan hukum dari perjanjian jenis kedua, karena hukum formal lebih mengakui bukti tertulis daripada kesaksian atas suatu ucapan. Dua model perjanjian tersebut ditemukan dalam berbagai studi kasus dalam penelitian ini. Sederhananya, apapun model perjanjian yang digunakan, perusahaan kelapa sawit selalu memiliki posisi yang lebih kuat dibandingkan komunitas lokal dan masyarakat adat.

Catatan Kaki;

1 Harga terakhir sekitar Rp. 6.000,00 per lembar.

2 Surat perjanjian dimana masyarakat adat menyetujui penyerahan lahan mereka kepada perusahaan

Bab 6