• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dalam Kriteria Ramah Petani Sawit (smallholder friendly criteria)

Menuju Produksi Minyak Sawit yang Bertanggung Jawab

2.3 Permasalahan dalam Kriteria Ramah Petani Sawit (smallholder friendly criteria)

Dari 5.3 juta hektar tanah yang menjadi perkebunan kelapa sawit produktif di Indonesia, sekitar sepertiganya dikelola oleh petani kecil (smallholders), atau di Indonesia didefi nisikan sebagai orang yang memiliki perkebunan yang luasnya kurang dari lima hektar.13

sawit ditanah mereka sendiri, anggota masyarakat yang dikontrak oleh perusahaan untuk menanam kelapa sawit ditanah mereka sendiri dan menyalurkan produknya ke perusahaan yang sama, atau pun masyarakat lokal yang direlokasi ke wilayah perkebunan kelapa sawit dan kemudian diberi tanah untuk mengembangkan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Petani dalam kategori pertama dapat memilih menjual produk kelapa sawit kepada siapapun. Petani pada dua kategori terakhir terjerat pada relasi monopolistik14 dengan perusahaan

kelapa sawit tertentu. Banyak laporan yang menyatakan bahwa para petani tersebut mendapat renumerasi yang minimal atas produk mereka, terjebak utang pada perusahaan tersebut, serta seringkali ditipu soal tanah merea serta mendapat perlakuan yang melanggar HAM saat mereka memprotes situasi yang mereka hadapi.15

Para petani mendapat berbagai kesulitan teknis yang membuat otonomi mereka sebagai produsen independen menjadi semakin terbatas. Penyiapan lahan sangat rumit dan seringkali memerlukan instalasi saluran perairan, terasering dan jalan, dilakukan dengan baik jika menggunakan mesin. Pembibitan kelapa sawit juga memakan biaya tinggi dan biaya tersebut biasanya hanya mampu didanai oleh perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit besar. Hanya sedikit petani yang mampu membeli mesin tersebut sendiri dan berinvestasi tanpa mendapatkan pinjaman, biasanya dari atau melalui perusahaan kelapa sawit. Sedikit pula petani yang memiliki kendaraan untuk membawa tandan buah segar kelapa sawit ke tempat pengolahan. Kualitas dari tandan buah segar akan menurun dengan cepat apabila buah tersebut tidak secepatnya dipanen. Pembangunan pabrik pemrosesan membutuhkan investasi yang besar. Tandan Buah Segar (TBS) harus diangkut dan diproses dalam pabrik pengolahan dalam jangka waktu 48 jam setelah pemanenan, apabila mereka ingin jumlah produksi dan kualitas minyak kelapa sawit tidak menurun. Pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit memerlukan investasi yang besar. Pabrik pengolahan hanya akan menghasilkan keuntungan selama lahan perkebunan tersedia (minimal 4000 hektar perkebunan kelapa sawit produktif). Kebanyakan pabrik pengolahan membutuhkan lahan perkebunan hingga 10,000 dan 40,000 hektar.16 Harga kelapa sawit mentah (Crude Palm

Oil/CPO) di pasar internasional cukup bervariasi. Namun pada umumnya harga CPO tersebut menurun dua pertiga dari harga awal sejak tahun 1960.17 Dengan alasan tersebut,

para petani kecil kerapkali terjerat pada hutang dan terjebak keterbatasan teknis untuk memperluas perkebunan kelapa sawit. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk menegosiasikan harga yang adil atau mengelola tanah mereka sesuai dengan keinginan mereka.

Para petani juga memiliki sedikit waktu, keterbatasan ketrampilan dan sumberdaya untuk mengembangkan dan mendokumentasi rencana pengelolaan yang disyaratkan oleh penilai independen sebagai bukti bahwa para petani tersebut telah memelihara tanaman dan lahan mereka sesuai dengan standar yang ada. Jarang sekali petani yang mampu membayar biaya sertifi kasi independen, pada saat yang sama skala ekonomi yang kecil membuat investasi ini tidak serumit apabila berinvestasi pada perkebunan skala besar.

Situasi tersebut semakin menyulitkan upaya pencarian metode penerapan standar RSPO bagi petani kecil. Haruskah perkebunan besar dan juga pabrik pengolahan yang membeli produk dari petani sawit menanggung biaya dan bertanggung jawab atas pemenuhan standar RSPO dan audit sehingga akan mempertegas relasi patron-klien antara petani sawit dan para operator besar? Atau haruskah para petani sawit menanggung beban tersebut dipundak mereka sendiri?

Walaupun FSC telah melakukan upaya berkelanjutan untuk memudahkan penaatan dan pengurangan biaya audit melalui teknik tertentu seperti pembentukan ’sertifi kasi kelompok’, namun pada kenyataannya produsen kelapa sawit skala kecil tetap menghadapi hambatan besar dalam memenuhi persyaratan sertifi kasi18. Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini

mekanisme sertifi kasi hanya dapat dilakukan oleh penanaman kelapa sawit skala besar. Oleh karena itu, negosiasi standar perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan kondisi petani tidak akan berjalan mudah. Situasi ini diperkuat dengan fakta bahwa RSPO baru mengeluarkan drafnya ke dalam bahasa Indonesia pada Juli 2005 sehingga terlalu terlambat bagi organisasi petani di Indonesia untuk berpartisipasi dalam konsultasi publik.19

Ditambah lagi, hanya sedikit petani kecil di Indonesia yang mendirikan organisasi petani untuk mewakili mereka dalam proses negosiasi. Hal ini semakin mempersulit pelibatan petani kecil dalam proses penyusunan standar.

Dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan tersebut diatas, pada pertemuan anggota Dewan RSPO tahun 2005, diambil kesepakatan untuk membentuk Kelompok Kerja Petani guna menilai situasi petani kecil dan memastikan partisipasi efektif mereka dalam diskusi RSPO serta menyarankan revisi standar dan kerangka RSPO guna memastikan bahwa standar tersebut sesuai dengan petani kecil.

Beberapa studi kasus dalam Bab 4 akan memberi penjelasan lebih dalam mengenai berbagai masalah yang dihadapi oleh petani kecil di Indonesia. Namun, masih banyak yang harus dilakukan jika perkebunan kelapa sawit ingin berkontribusi dalam pembangunan masyarakat dan tidak menjerat mereka dalam kemiskinan.

Endnotes:

1 Menteri Pertanian, Nature and Food Quality, 2006, Laporan Workshop Perkebunan Kelapa Sawit yang

berkelanjutan, pada tanggal 1st Maret 2006, The Hague: 2.

2 WWF dan anggota industri juga mempromosikan inisiatif paralel yang bernama Roundtable for

Sustainable Soy Production. Forest Conversion Initiative bekerja sama dengan berbagai stakeholder

pembelian produk dari sumber yang dikelola dengan baik dan tidak menyebabkan hilangnya hutan tropis serta menghormati hak-hak masyarakat adapt dan komunitas yang tinggal di sekitar hutan (Diemer dan Roscher 2004).

3 http://www.sustainable-palmoil.org/governance.htm#RSPO_Executive_Board 4 www.fscoax.org

5 Colchester, Sirait dan Wijardjo 2003:18. 6 Conteras-Hermosilla dan Fay 2005. 7 De Foresta 1999.

8 Tacconi, Obidzinzki dan Agung 2004. 9 SGS/TNC 2004.

10 Colchester 2004. Seperti yang telah dikonfi rmasikan oleh audit Smartwood, bahkan pemegang

konsesi yang telah diterima sebagai anggota Nusa Hijau tidak sepenuhnya legal (Smartwood 2005; Colchester 2006)

11 WWF, GFTN, Nusa Hijau 2005.

12 Pada tahun 2004, LEI mengembangkan sebuah standar yang lebih longgar untuk menilai legalitas

kayu yang ditebang, di mana penilaian tersebut tidak memasukkan syarat yang sama mengenai penebangan kayu, tata batas dan konsern masyarakat. Namun tidak jelas apakah LEI akan mengaplikasikan standard ini secara luas (LEI 2005).

13 DTE 2004. DTE menyatakan bahwa petani kecil mengelola sekitar 1.8 juta hektar tanah di Indonesia

dan memproduksi sekitar 30% dari total produksi Tandan Buah Segar.

14 Sebuah keadaan pasar dimana hanya ada satu pembeli tunggal dan tidak ada peluang/kemungkinan

menjual kepada pembeli lain untuk mendapatkan harga yang baik.

15 Ecologist 1986; ELSAM report; DTE No 66; Anon. 1998; Kusnadi 1998; Anon. 1999a, 1999b;

Kusmiranty 2000; Sution 2000; Wibisono 2001; Bider 2001; Titus 2004; Albertus 2004; Dominikus 2005; Paraka 2005.

16 Clay 2004:208 menyatakan bahwa pada tahun 1960, harga pokok CPO perton US$1,120. Harga ini

kemudian turun sampai US$307 pada tahun 2000.

17 Clay 2004:215. 18 Molnar 2003.

19 Terjemahan bahasa Indonesia pada draf standar tersebut diisukan pada Juli akhir setelah periode

Bab 3

Kerangka Normatif - Pembebasan Tanah