• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sawit Watch adalah sebuah perkumpulan individu yang peduli dengan masalah sosial dan lingkungan terkait dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkumpulan ini bekerja secara langsung dengan berbagai elemen masyarakat dari petani kecil kelapa sawit, masyarakat adat, pekerja, perempuan, badan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan elemen lainnya untuk mempromosikan keadilan sosial dan penegakan HAM dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sawit Watch pertama kali didirikan pada Juni tahun 1998 sebagai konsorsium LSM dan individu yang bergerak dalam isu-isu sosial dan lingkungan dalam menghadapi dampak buruk kebakaran hutan tahun 1997/1998 sebagai hasil dari konversi hutan yang tidak terkontrol dan penggundulan lahan oleh perkebunan kelapa sawit. Sejak saat itu, para anggota Sawit Watch secara aktif bekerja dalam isu-isu terkait dengan perkebunan kelapa sawit di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua Barat.

Pada tahun 2004, Sawit Watch merubah keanggotaan organisasinya dari konsorsium LSM dan individu menjadi perkumpulan individu. Pada saat yang sama, Sawit Watch juga mengembangkan usaha-usaha fasilitasi dan mediasi untuk memberdayakan masyarakat lokal, masyarakat adat dan kelompok yang terkena dampak lainnya dalam menghadapi ekspansi perkebunan kelapa sawit. Dalam rangka memperkuat efektifi tas advokasi internasional, Sawit Watch memutuskan, berdasarkan keputusan dari forum anggota nasional, untuk terlibat dalam proses Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Keterlibatan ini telah mendorong adopsi standar RSPO untuk kelapa sawit yang berkelanjutan’ termasuk 8 prinsip dan 39 kriteria yang telah mencakup semua sisi keberlanjutan, dan memastikan produksi kelapa sawit dapat memberi keuntungan secara ekonomi dan sosial serta sesuai dengan prinsip kelestarian lingkungan. Tantangan kedepannya adalah memastikan bahwa prinsip dan kriteria tersebut dipenuhi oleh anggota RSPO dan bertambahnya jumlah keanggotaan RSPO dengan melibatkan berbagai pemain yang terlibat dalam perdagangan kelapa sawit, termasuk pemilik retail dan petani sawit.

Beberapa kunci reformasi mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: Penghormatan terhadap hukum internasional;

Tidak adanya konversi hutan primer ataupun ekosistem yang lain;

Ketaatan pada prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent) dalam menghadapi masyarakat adat dan komunitas lokal;9

Penghormatan atas hak adat;

Pengukuhan mekanisme yang terbuka dan disepakati secara bersama untuk resolusi konfl ik atas tanah yang disengketakan;

Tidak menggunakan api (pembakaran) dalam pembukaan maupun pemeliharaan perkebunan;

Tidak ada kekerasan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit

6.4 Implikasi terhadap Penetapan Standar

Para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam lokakarya masyarakat dan beberapa wawancara, seperti pegawai pemerintah, perusahaan, anggota legislatif dan LSM lokal memiliki pandangan yang beragam tentang pengembangan kelapa sawit dan standard RSPO. Namun, dari perbedaan pandangan tersebut, terdapat bebeberapa titik temu:

Sejumlah anggota dan pemimpin masyarakat menyetujui prinsip dan kriteria RSPO. Mereka menyuarakan persepsi mereka sendiri tentang apa yang mereka perlukan dan bagaimana mereka dapat membantu memastikan hasil dari pembangunan yang lebih baik;

Prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC) mendapat dukungan yang luas dalam beberapa lokakarya komunitas dan dipandang sesuai dengan sistem pengambilan keputusan adat;

Beberapa juru bicara perusahaan menyatakan bahwa standar RSPO akan sangat mahal untuk dipenuhi dan beberapa orang juga menolak prinsip-prinsip RSPO;

Beberapa juru bicara perusahaan yang lain mendukung prinsip-prinsip RSPO mengingat prinisip tersebut merefl eksikan praktek bisnis yang sehat dan mereka juga menyatakan dapat memenuhinya;

Wawancara dengan pemerintah lokal dan DPRD juga memperlihatkan dukungan mereka pada standar RSPO, mengingat standar tersebut dapat memastikan hasil pembangunan yang lebih baik untuk komunitas, memperbaiki praktek bisnis, meningkatkan pendapatan daerah dan juga mengurangi korupsi dan mal praktek perkebunan.

Codes of Conduct’, standar ‘Best Practice’ dan sertifi kasi, seperti yang telah diadopsi oleh RSPO, biasanya merupakan standar ‘sukarela’ dan berbeda dengan standar yang dipilih

oleh para operator sektor swasta meningkatkan performa dan reputasi mereka, serta akses ke pasar. Verifi kasi dari pemenuhan hal tersebut adalah dengan meninjau operasi dan praktek perusahaan, makalah kerja (paper work), namun tidak mengkaji praktek pemerintahan. Tetapi, operasi perusahaan-perusahaan tersebut ditentukan oleh kebijakan Negara, hukum, peraturan dan praktek, termasuk penyimpangan.

Namun demikian, salah satu dari persyaratan mendasar dalam semua standar produksi berkelanjutan adalah sektor swasta harus beroperasi sesuai dengan hukum dan peraturan. Kepatuhan terhadap hukum nasional dan internasional yang telah diratifi kasi juga merupakan persyaratan standar dari RSPO (Prinsip 2).

Namun, penelitian ini memperlihatkan penerapan standar tersebut dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menghadapi beberapa kendala yang cukup kontradiktif:

Relatif sedikit perkebunan kelapa sawit yang secara legal menghormati penuh tenurial tanah, pembebasan tanah dan ijin operasi;

Banyak kegagalan dalam memenuhi standar tersebut, sebagian disebabkan oleh badan- badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk sertifi kasi tanah, mengawasi proses pengambilalihan lahan dan perijinan;

Karena hukum di Indonesia yang kontradiktif, memenuhi beberapa peraturan hukum, seperti yang mengatur pembebasan tanah, dapat menyebabkan perusahaan melanggar peraturan lain, seperti Undang-Undang Dasar dan hukum internasional yang sudah diratifi kasi yang mengakui hak masyarakat adat;

Demikian juga, kepatuhan perusahaan terhadap hukum mengenai pembebasan lahan yang berlaku di Indonesia dapat membuat perusahaan tersebut melanggar kriteria RSPO yang mensyaratkan penghormatan pada hak-hak adat dan mensyaratkan pembebasan tanah berdasarkan prinsip FPIC dari para pemilik tanah

Isu-isu tersebut dapat diselesaikan dengan, pertama, perubahan kebijakan pemerintah dan peraturan hukum. Peraturan-peraturan tersebut juga dibuat lebih konsisten dengan Undang-Undang Dasar dan kewajiban pemerintah Indonesia dibawah hukum internasional. Kedua, badan pemerintah melaksanakan tugas mereka dengan baik. Hal ini merupakan pendapat yang kami ungkapkan pada bagian 6.1 dan 6.2. Tetapi, seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, proses ini akan memakan waktu yang lama. Pada saat yang sama, hampir semua produsen minyak sawit di Indonesia tidak dapat dengan mudah mendapat sertifi kat RSPO.

Berbagai perusahaan dan sektor swasta bahu-membahu untuk menolak situasi tersebut meskipun ada beberapa dari mereka yang telah memiliki kriteria tersebut. Mereka bertanya, mengapa produser harus dihukum disaat nyata-nyata peraturan hukum mengenai hal itu sangat rumit dan badan pemerintah sangat tidak kompeten dan korup?

Untuk sementara, produser dan pembeli bisa jadi merasa bahwa permintaan standar RSPO tidak seharusnya terapkan terlalu literal dalam kasus Indonesia; Bahwa standar, seharusnya diturunkan sesuai dengan kenyataan nasional. Hal ini membawa konfl ik lebih lanjut:

Pada titik awal, siapa yang akan menentukan cara yang pas untuk modifi kasi standar sehingga akan sesuai dengan realitas nasional? Bagaimana kepentingan dari kelompok marjinal, seperti masyarakat adat, dapat dipastikan selama proses revisi?

Lebih luas lagi, apakah bisa diterima operasi minyak kelapa sawit disatu Negara yang memiliki tingkat kepatuhan terhadap standar RSPO yang lebih rendah dibanding dengan di Negara lain?

Dapatkah RSPO merekomendasikan peraturan hukum tertentu yang harus dipenuhi? Jika RSPO yang diadopsi di Indonesia memiliki standar yang lebih rendah, apakah ini akan memberikan suatu diinsentif untuk reformasi hukum maupun administratif seperti yang dituntut oleh organisasi masyarakat sipil dan akan sesuai dengan standar RSPO yang disyaratkan?

Ada beberapa isu dimana RSPO tidak dapat ditangguhkan lagi.10 Sangat jelas apabila

reformasi dan operasi dari sebuah sektor penting secara nasional diselesaikan melalui dengan sukarela dan di inisiasi oleh sektor swasta. Isu sentral untuk efektifi tas implementasi dari standar RSPO – seperti menghormati hak, sertifi kasi tanah, perencanaan tata ruang, pembebasan tanah dan operasi perijinan– tidak dapat dicapai tanpa peranan Negara dengan menunjukkan sikapnya yang adil.

Endnotes:

1 TAP MPR IX/2001 ‘Mengenai Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam’. 2 TAP MPR VI/2003.

3 PROLEGNAS 2005-2009.

4 In addition, forest areas previously used as logging areas (HPH) or forest industry plantations (HTI)

are also classifi ed as State Land therby making it easier for the State to control and manage these areas.There are ongoing debates about the defi nition of Forest Areas and State Forest Area. These controversies have created diffi culties for logging companies which have obtain logging concessions (HPH) or industrial forestry plantation concessions (HTI) on undesignated forest areas to obtain eco- label certifi cation. In many cases, these companies are accused of engaging in illegal logging.

5 Kelompok Kerja Keadilan Transisional 2000. 6 Dietz 1998.

7 Sebagai bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara. 8 Fauzi dan Kasim 2000.

9 Colchester dan McKay 2004.

10 Isu-isu yang sama juga diungkapkan oleh SawitWatch dan the Forest Peoples Programme pada awal

2005 (SW dan FPP 2005a) tetapi belum ditekankan lebih jauh.