• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Padangan mengenai Kepemilikan Tanah dan Hak Mengalokasikan Tanah Kehadiran investor di Kabupaten Pasaman Barat, membawa perubahan sosial dan

Dr Piet Herman Abiek, Anggota DPD dari Kalimantan Barat

AMPEK DIDALAM/HAKIM ADAT (Mamak Suku)

4.6.10 Perbedaan Padangan mengenai Kepemilikan Tanah dan Hak Mengalokasikan Tanah Kehadiran investor di Kabupaten Pasaman Barat, membawa perubahan sosial dan

ekonomi yang sangat siknifi kan dalam kehidupan masyarakat lokal. Berdirinya perkebunan- perkebunan besar pada dekade 1980-an yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur pendukung bagi kelancaran investasi, harus diakui merupakan langkah yang membawa daerah Pasaman Barat keluar dari keterisolasian. Namun demikian, masuknya investor juga menimbulkan berbagai masalah baru bagi rakyat.

Seperti yang telah diuraikan pada bab 3, terdapat konfl ik antar peraturan-peraturan di Indonesia mengenai tanah. Disatu sisi, terdapat peraturan yang menghormati hak-hak adat, namun disisi lain, terdapat peraturan yang menegaskan perintah untuk mengutamakan kepentingan Negara dan menempatkan seluruh tanah menjadi subjek penguasaan terpusat. Meskipun demikian, pada wilayah yang dialokasikan untuk perusahaan-perusaan swasta, ‘Hak Guna Usaha’ (HGU) dianggap sebagai sewa atas tanah Negara selama 25-25 tahun. HGU tersebut tidak boleh dialokasikan di lahan kehutanan kecuali Menteri Kehutanan telah mengeluarkan tanah tersebut dari kewenangannya. Ketika terjadi penghentian HGU, tanah tersebut harus bersih dari properti dan bangunan serta menjadi tanah Negara kembali.

Sebaliknya, di Minangkabau, semua tanah dibebani oleh hak ulayat. Seperti yang disebutkan oleh salah seorang akademisi:

”Sejengkal tanah terkecilpun di Minangkabau adalah milik salah satu nagari, atau sebagai harta pusako sebuah paruik, atau sebagai harta pencarian oleh salah satu keluarga pribadi, atau sebagai tanah yang tidak dikerjakan tapi kepunyaan nagari. Bagaimanapun juga, semua tanah di Minangkabau senantiasa kepunyaan manusia, tidak penah dimiliki oleh sesuatu yang abstrak” .169

Ide mengenai keharusan Negara menjadi pemilik tanah kemudian bertentangan dengan adat Minangkabau dan meminggirkan cara berpikir masyarakat Minangkabau. Bahkan raja-raja di Minangkabau sekalipun tidak pernah memiliki tanah.170

Selama masa penjajahan Belanda, ketiadaan tanah ‘bebas’ di Minangkabau menimbulkan kesulitan pihak luar yang ingin mendirikan perkebunan berdasarkan prinsip domeinverklaring.171 Untuk mempermudah proses investasi, perusahaan perkebunan

menandatangani kesepakatan dengan masyarakat adat Minangkabau dimana tanah masyarakat tersebut dipinjam tidak dibeli, karena tanah adat tidak boleh diperjualbelikan. Kebanyakan kesepakatan tersebut tidak tertulis. Validasi formal untuk pengaturan penyewaan tersebut dilakukan dengan survei visual mengenai Batas Sempadan yang ditindaklanjuti dengan serangkaian upacara adat.

Meskipun pemerintah kolonial menganggap kesepakatan tersebut syah, karena mengakui hukum adat dari masyarakat adat sejajar dengan hukum barat yang diterapkan pada pemerintah kolonial, pengakuan dua sistem hukum tersebut bisa menjadi cukup problematis. Ketika masyarakat lokal memiliki bukti untuk mereklaim tanah adat mereka di pengadilan, hakim cenderung meminta bukti tertulis kepemilikan tanah dan kontrak. Kadang-kadang juga sangat sulit bagi masyarakat lokal untuk mencari saksi kesepakatan sewa tanah yang telah terjadi bertahun-tahun yang lalu.172

Bagaimana negara modern Indonesia memberi HGU atas tanah ulayat? Pemerintah Indonesia memiliki cara tersendiri untuk mengalokasikan tanah untuk HGU. Peraturan negara menyatakan bahwa proses pembebasan tanah dapat dilakukan dengan cara: mulanya pemilik lokal harus melimpahkan atau membebaskan hak atas tanah mereka kepada pemerintah, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Negara dengan memberikan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Minangkabau di Pasaman, juga memiliki cara untuk melimpahkan hak atas tanah ulayat kepada pihak ketiga melalui sebuah prosedur yang disebut adat diisi limbago dituang atau pembayaran Siliah Jariah. Dalam Pasal 4 Keputusan Bupati KDH. Tk II Pasaman No. 6 Tahun 1998 dinyatakan bahwa:

Pengadaan kebun plasma berasal dari penyerahan tanah oleh Ninik mamak/ Pemilik/Penguasa, tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara melalui Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperuntukkan bagi kelompok tani peserta plasma dengan pola Bapak Angkat Anak Angkat.

Bupati Kepala Daerah setelah menerima penyerahan tanah dan berikutnya calon petani peserta plasma sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, memerintahkan kepada kepala BPN untuk mencatat (Registrasi) sebagai tanah negara bekas tanah ulayat adat, memasang tanda-tanda batas, melaksanakan pengukuran keliling dan penghitungan luas areal secara kadesteral.

Berdasarkan dua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tanah-tanah ulayat tersebut harus dilepaskan kepada pemerintah daerah sebelum pemerintah dapat memberi HGU diatas tanah tersebut. Proses pelepasan hak atas tanah ulayat disertai dengan pelaksanaan upacara adat, seperti adat diisi limbago dituang, dan pembayaran Siliah Jariah.

1.

Proses Pelepasan Lahan Ulayat Rakyat Pasaman

HGU (TANAH NEGARA)

Ganti Rugi Tanah

INVESTOR PEMDA

Siliah Jariah

MASYARAKAT ADAT

Plasma HAK ATAS TANAH ULAYAT

Gambar 9. Proses Pembebasan Tanah di Pasaman

Seperti yang diuraikan diatas, proses “Siliah Jariah” telah dicederai dan menjadi modus yang dipakai untuk mendapatkan tanah ulayat dari komunitas-komunitas masyarakat adat Minangkabau di wilayah-wilayah perkebunan besar. Secara adat, pembayaran Siliah Jariah hanya memberi pengakuan terhadap pelimpahan hak guna, namun bukan pelimpahan hak milik. Kurangnya transparansi juga membuat transaksi-transaksi tersebut dapat dimanipulasi, bahkan dengan bekerjasama dengan pemimpin adat dengan memperluas kewenangan mereka untuk memfi nalisasi kesepakatan tanpa konsesus dari anak kemenakan terlebih dahulu.

Menurut pandangan adat, belum terjadi pelimpahan hak kepemilikan. Sehingga, penghentian operasi perkebunan harus ditindaklanjuti dengan pengembalian tanah kepada masyarakat lokal. Seharusnya, tanah dimiliki oleh masyarakat adat tidak boleh diberi Hak Guna Usaha (HGU) karena HGU hanya diberikan di atas tanah Negara.

Namun, menurut pandangan pemerintah, ketika masyarakat melimpahkan hak atas tanah mereka kepada pemerintah, tanah tersebut kemudian menjadi tanah Negara dan dapat dialokasikan kepada perusahaan sebagai HGU. Ketika HGU ini kadaluwarsa, tanah

tersebut dikembalikan kepada Negara, tidak pada masyarakat. Akibatnya, kesepakatan penyerahan tanah kepada perusahaan perkebunan membuat terjadinya perpindahan hak atas tanah secara permanen, meskipun hal ini sangat tidak mungkin menurut hukum adat. Perbedaan pandangan tentang makna transaksi Siliah Jariah membuat harapan masyarakat untuk mereklaim tanah mereka menjadi semakin sulit.

Kepala Cabang Kantor BPN Pasaman Barat menyebutkan bahwa sesuai dengan peraturan agraria, maka hak ulayat telah hapus ketika tanah-tanah telah di HGU-kan. Apabila HGU tidak diperpanjang atau dicabut, maka tanahnya akan berada dalam penguasaan negara. Kalaupun negara (pemerintah) bermaksud untuk mengembalikan tanah tersebut kepada masyarakat, maka status tanah tersebut tidak lagi menjadi tanah ulayat. Dalam hukum agraria nasional tidak terdapat ketentuan yang mengatur pemberian hak oleh pemerintah dalam bentuk hak ulayat, tapi dalam bentuk hak milik dan hak-hak lain yang ditentukan dalam UUPA. Pendapat senada juga disampaikan oleh pihak perusahaan (Wilmar Group), bahwa perpanjangan HGU adalah hak perusahaan. Perusahaan memandang konfl ik atas tanah yang muncul bukanlah masalah mereka, tetapi masalah pemerintah dan hukum agraria. Perusahaan hanya mengikuti hukum yang berlaku.

Dalam konteks ini, pernyataan Ketua DPRD Pasaman Barat menjadi semakin relevan. Beliau menyampaikan bahwa sesungguhnya investor perkebunan di Pasaman telah merasa memiliki tanah-tanah perkebunan yang diperuntukkan untuk lahan inti karena untuk memperoleh areal lahan inti tersebut, investor telah mengeluarkan uang banyak. Diawal tahun 1980-an tersebut, investor membayar ± Rp. 500.000,00 untuk setiap hektar lahan inti. Tetapi yang sampai ke tangan masyarakat hanyalah Rp. 40.000,00 sampai dengan Rp. 50.000,00 saja untuk setiap hektar lahan ulayat sebagai uang ”Siliah Jariah”.

Penipuan hukum ini didukung dengan pendekatan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Apabila kemudian timbul gejolak di tengah-tengah masyarakat guna menuntut hak tanah ulayat atas perkebunan besar ini, maka Pemda akan menggunakan pendekatan represif seperti yang terjadi dalam kasus Kapar. Pada tingkat yang lebih tinggi, pemerintah memberikan pengakuan-pengakuan politis terhadap pangulu-pangulu yang kompromis dan mendorong penyingkiran pangulu-pangulu/pemimpin adat yang konsisten terhadap keberadaan tanah ulayatnya.