• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi dan Rekomendas

6.1 Reformasi Hukum

Pada dasarnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai badan legislatif tertinggi, telah mengakui pentingnya perbaikan peraturan-peraturan hukum di Indonesia tentang tanah dan sumberdaya alam, khususnya terkait dengan kepemilikan adat. Ketetapan MPR No. 9 tahun 2001,1 memerintahkan DPR untuk merombak peraturan sumberdaya alam

guna memperkuat hak-hak masyarakat serta menyelesaikan berbagai konfl ik sumberdaya alam. Pada awal penetapan peraturan tersebut, TAP MPR digembar-gemborkan sebagai sebuah pencapaian besar. Namun, implementasi peraturan tersebut ditolak oleh berbagai kementrian yang bertanggung jawab untuk pengelolaan sumberdaya alam. Meski demikian, pada tahun 2003, MPR menyatakan kembali pentingnya perubahan undang-undang pengelolaan sumberdaya alam2 dan mereformasi beberapa peraturan yang sekarang

terdaftar dalam program reformasi hukum nasional (Prolegnas) di DPR.3

Penelitian ini juga menyarankan bahwa reformasi tersebut harus memperhatikan beberapa hal berikut:

6.1.1 Reformasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dan Sumber Daya Alam lainnya

Sebagaimana telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, permasalahan dan konfl ik atas perkebunan kelapa sawit adalah bersumber pada ketidakjelasan dan pertentangan peraturan dan kebijakan pemerintah yang mengatur kepemilikan, menguasai dan pengelolaan tanah

dan sumber daya lainnya. Dasar hukum yang paling utama untuk Hak Menguasai Negara adalah UUD 1945. Hak ini selanjutnya diturunkan dalam beberapa undang-undang sektoral lainnya dan diterapkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaan seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, keputusan menteri dan peraturan lainnya. Temuan penelitian kami menunjukan bahwa pemerintah Indonesia telah menggunakan kekuatan ini sebagai alat untuk memaksakan otoritas pemerintah untuk menguasai tanah dan sumber daya alam lainnya, dan dalam hal pembangunan perkebunan kelapa sawit, memperlancar langkah bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar.

Pemerintah telah sengaja menafsirkan kembali ‘Hak Menguasai Negara’ menjadi ‘Hak Menguasai Pemerintah’ yang kemudian membiarkan pemerintah wewenang untuk membuatkan keputusan sebebas-bebasnya dalam mengalokasikan sumber daya yang vital bagi sumber penghidupan rakyat Indonesia, termasuk masyarakat adat. Untuk menjalankannya, pemerintah membuat hukum dan peraturan yang represif (khususnya dalam sektor sumber daya alam) dibuat untuk melegitimasi pelanggaran pemerintah dalam membebaskan tanah ulayat/adat dari masyarakat adat dan masyarakat lokal. Akibatnya, masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup dekat atas tanah dan sumber daya, menjadi sasaran pemaksaan dan penipuan dalam pengambil-alihan tanah-tanah ulayat dan berkembang menjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit juga mencoba memanfaatkan keadaan dengan melakukan tindakan pemaksaan dan penipuan dalam pembebasan tanah-tanah adat dari masyarakat adat dan komunitas lokal lainnya.

Keadaan yang tidak berpihak bagi masyarakat adat dan komunitas adat, sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Negara tidak memiliki standar atau sistem untuk mengontrol dan memantau penerapan Hak Menguasai Negara oleh pemerintah. Dari perspektif hukum konstitusional internasional, sesungguhnya setiap tindakan pemerintah harus dikendalikan melalui sebuah mekanisme ‘check and balance’, dimana tindakan monitoring yang dilakukan oleh tiga pilar utama negara eksekutif, legislatif dan yudikatif serta oleh publik untuk mengontrol dan mengingatkan pemerintah ketika pemerintah melakukan salah penafsiran atau penerapan hukum dan peraturan. Walaupun demikian, di Indonesia, kontrol publik terhadap pemerintah masih lemah atau tidak berjalan karena kurang dasar hukum untuk kebebasan berpendapat, khususnya berkaitan dengan konfl ik atas tanah dan sumber daya alam lainnya.

Penderitaan yang dialami masyarakat adat dan komunitas lokal karena kesalahan penafsiran oleh pemerintah tentang bagaimana menerapkan Hak Menguasai Negara harus diakhiri. Salah satu jalan keluarnya adalah mendidik kembali warga negara Indonesia untuk memahami Hak Menguasai Negara, khususnya para pengambil keputusan dan mereka yang menyusun peraturan dan hukum Indonesia. Selain itu memperbaiki pikiran tentang

pemerintah memiliki hak menguasai, mereformasi Hak Menguasai Negara harus secara hati-hati mempertimbangkan keadaan nyata masyarakat adat dan komunitas lokal serta mempertimbangkan kapasitas tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

6.1.2 Hapus Pengakuan Bersyarat oleh Negara terhadap Masyarakat Adat

Ada tiga undang-undang yang berkaitan dengan proses pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Perkebunan yang perlu direformasi apabila hak-hak masyarakat adat diakui sebagaimana mestinya.

UU Pokok Agraria menempatkan batasan kasar tentang hak adat melalui Pasal 2 paragrap 4 dan Pasal 3. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa pemberlakuan Hak Menguasai Negara dapat dikuasakan kepada masyarakat hukum adat melalui penerapan hak ulayat atau hak-hak serupa, ‘sepanjang hak-hak tersebut masih ada’, yang lebih lanjut diatur dalam peraturan daerah, dan yang paling penting, adalah diterapkan sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara serta hukum dan peraturan yang lebih tinggi.

UU Kehutanan hampir sama menempatkan batasan pada hak adat melalui Pasal 4 ayat 3, Pasal 5 ayat 3 dan Pasal 67 ayat 1 dan 2. Pasal-pasal tersebut menyatakan masyarakat hukum adat memiliki hak untuk memanfaatkan dan mengelola hukan ‘jika masih ada dan keberadaan mereka dapat dibuktikan sesuai dengan sejumlah peraturan daerah tertentu’. Terakhir, UU Perkebunan membatasi hak adat dalam proses pembebasan tanah untuk tujuan perkebunan dalam Pasal 9 ayat 2. Berdasarkan penjabaran pasal ini ada 5 (lima) persyaratan dimana komunitas tertentu dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat; (1) masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschaft); (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; (4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan (5) ada pengukuhan dengan peraturan daerah terhadap keberadaan masyarakat adat tertentu sesuai dengan peraturan daerah tentang pengakuan serupa.

Undang-Undang tersebut diatas, dalam pelaksanaannya, memberikan berbagai kewenangan kepada lembaga pemerintah untuk mengakui (atau tidak) keberadaan masyarakat adat dan hak mereka, dan karena itu sesungguhnya membatasi kemampuan masyarakat adat untuk menjalankan hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam. Pengakuan semacam ini memperlemah posisi masyarakat adat, khususnya ketika mereka berusaha mempertahankan tanah-tanah adat mereka melawan pengambil-alihan oleh pemerintah atau perusahaan. Oleh karena itu, peraturan tentang pembebasan tanah harus direformasi untuk memastikan pengakuan utuh terhadap masyarakat adat dan memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak adat yang mereka miliki.

6.1.3 Melindungi dan Menghargai Hukum Adat dan Hak Masyarakat Adat melalui Pembuatan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat

Hingga saat ini tidak ada Undang-Undang yang secara khusus dibuat untuk melindungi masyarakat adat dan hak-hak mereka walaupun Konstitusi Negara, terutama pasal 18B memberikan ruang yang luas untuk memiliki Undang-Undang semacam ini. Walaupun dibeberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan daerah tentang masyarakat adat, isi dari peraturan –peraturan tersebut cenderung memformulasi kelembagaan adat dan tidak secara gamblang membahas hak-hak adat atas tanah dan sumber daya alam. Oleh karena itu, sebuah Undang-Undang khusus tentang masyarakat adat diusulkan oleh organisasi-organisasi masyarakat adat dan para pengacara pendukung untuk memperjelas dan menegaskan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak adat mereka. Melalui Undang- Undang tersebut masyarakat adat akan mendapatkan perlindungan hukum dan hak-hak adat mereka diakui dengan layak. Ini akan menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat ketika pemerintah atau perusahaan merencanakan pembangunan proyek- proyek di tanah-tanah rakyat.

6.1.4 Cabut Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Pemertintah Indonesia telah mengeluarkan tiga peraturan tentang pembebasan lahan untuk kepentingan pelaksanaan pembangunan termasuk peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 yang digantikan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Perubahan terbaru dibuat awal tahun 2006 dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2006 untuk menggantikan peraturan terdahulu. Peraturan ini telah menunai kontroversi dan kritik dari banyak pihak. Sejumlah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) Indonesia telah mengajukan Judicial Review terhadap Peraturan Presiden No. 36 tahun 2006, dengan tegas mengatakan bahwa peraturan perubahan tersebut tidak sesuai dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, memfasilitasi kerugian fi sik ( nansial dan kerusakan sumber daya alam) dan gangguan psikologis (hidup terancam dan tidak aman, serta intimidasi), kehilangan harta-benda dan bahkan nyawa.

Peraturan dan keputusan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa kepentingan nasional dapat diperkenankan untuk mengambil kepentingan perorangan atau kalompok. Anggapan ini dapat membahayakan proses penegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 28I UUD 1945, hak untuk hidup dan hak atas perlindungan merupakan hak-hak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun bahkan harus dilindungi.

Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang mungkin membahayakan hak-hak perorangan dan masyarakat harus dicabut. Sebaliknya, Negara wajib menyusun peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus didasarkan pada penghargaan hak asasi manusia dan prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (penerimaan sosial) serta memberikan bayaran dan kompensasi atas kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pemanfaatan atas tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan pembangunan. Hanya dengan cara ini proyek pembangunan atas nama kepentingan nasional dapat sejalan dengan upaya mencapai kesejahteraan komunitas lokal.