• Tidak ada hasil yang ditemukan

Testimoni Pak Ajan

4.1.3 Perijinan dan Negosias

Berdasarkan hasil penelusuran dokumen yang dilakukan oleh tim, dapat diketahui kronologis dan usaha-usaha perijinan serta modus-modus yang dilakukan oleh perusahaan KCMU serta pemerintah untuk mendapatkan tanah dari masyarakat tanpa melalui prosedur persetujuan tanpa paksaan (FPIC).

Menindaklanjuti survei yang dilakukan PT KCMU pada tanggal 20 Oktober 1993 di lokasi calon perkebunan kelapa sawit, Kecamatan Pesisir Selatan (pada saat itu), Bupati Kepala Wilayah Daerah TK II Lampung Barat menerbitkan surat yang mengalokasikan 25.000 hektar tanah. Tanah tersebut terdiri dari 10.000 hektar di wilayah Kecamatan Perwakilan Bengkunat diantara Way Ngaras dan Way Curung Bengkunat, 7500 hektar di wilayah Transmigrasi Lokal dan 5000 hektar di kawasan hutan.10

Pada tanggal 22 November 1993, beberapa tokoh masyarakat dan Kepala Desa (sekarang Pekon) dari 7 Pekon yaitu; Pardasuka, Pagar Bukit, Tanjung Kemala, Suka Marga Penyandingan, Kota Jawa dan Raja Basa dan diketahui oleh Bupati Lampung Barat (HS. Umpu Singa), Camat Pesisir Selatan serta Camat Perwakilan Bengkunat membuat surat pernyataan bersama Pernyataan Penyerahan Tanah Milik/tanah Marga untuk keperluan pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan pola “Bapak Angkat-Anak Angkat” kepada PT KCMU. Penyerahan ini dilakukan oleh tokoh masyarakat (sebanyak 18 orang) yang bertindak atas nama masyarakat11 kepada pemerintah Kabupaten Lampung Barat

diwakili oleh Bupati Lampung Barat seluas 25000 hektar (tanpa peta) dengan persyaratan khusus (point 3). Apabila tanah tersebut tidak diolah melalui KUD selama 1 tahun, maka status tanah dengan sendirinya kembali menjadi tanah Marga sesuai dengan ketentuan semula. Surat penyataan inilah yang menjadi dasar surat perijinan selanjutnya khususnya untuk wilayah ke-7 desa tersebut. Apakah 18 tokoh masyarakat tersebut telah diberikan hak oleh para pemilik tanah untuk menyerahkan tanah warganya? Apakah 18 tokoh masyarakat ini memiliki hak untuk menyerahkan tanah-tanah tersebut kepada pihak lain dan menandatangani berita acara penyerahan seperti ini, apalagi dengan mencantumkan seluruh sanak famili masyarakat di 5 desa setuju (point 1c)?

Pada tanggal 10 Desember 1993, kantor BPN Kabupaten Lampung Barat menerbitkan ijin lokasi kepada PT. KCMU dengan perincian 10.000 hektar untuk inti dan 15.000 hektar sebagai plasma. Ijin lokasi diberikan dengan syarat: perolehan tanah diselesaikan dalam waktu 12 bulan, dan dapat diperpanjang selama 12 bulan (point 7) dengan melakukan musyawarah dengan pemilik tanah langsung yaitu jual-beli atau cara pelepasan hak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (point 1); pembayaran ganti rugi tanam tumbuh dan hak milik pemegang hak lainnya (point 2); meng-enclave rumah/kebun lahan milik penduduk yang tidak bersedia dibebaskan (point 3); peta juga dilampirkan dengan perincian bagian selatan merupakan wilayah inti dan di utara sebagai plasma.12

Penandatanganan perjanjian tertulis tersebut diikuti dengan penerbitan surat oleh Kepala BPN Kabupaten,13 yang memberikan kerangka acuan bagaimana masyarakat desa harus

diberi tahu tentang mekanisme kompensasi untuk tanah yang dibebaskan. Menurut surat- surat tersebut, kompensasi dapat diberikan untuk mengganti tanah milik komunitas yang memiliki Sertifi kat Hak Milik (SHM). Tanah bekas ulayat/marga/negeri yang tidak ada bukti kepemilikannya adalah tanah negara.

Untuk tanah negara ini investor membayar biaya rekognisi (pengakuan) kepada Pemda Kabupaten yang digunakan untuk pembangunan sarana/prasarana umum. Besarnya ganti rugi kepada pemilik/penggarap di tanah dimusyawarahkan antara pemilik dan investor.14

Surat ini ditindak lanjuti oleh Bupati dengan membuat pengumuman yang isinya bahwa dalam 2 bulan ini akan ada pengukuran dari kantor BPN guna kegiatan perkebunan kelapa sawit PT KCMU. Para pemilik/penggarap tanah juga diminta untuk menunjukkan batas batas wilayahnya (point 3), menandatangani berita acara, formulir hasil kegiatan inventarisasi (point 4), menyerahkan bukti-bukti kepemilikan tanah kepada petugas pada saat dilakukan inventarisasi atas tanah yang dimaksud (poin5) dan meminta kepada camat untuk memprakarsai langkah-langkah penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah.15

Tampaknya dari hasil pengukuran ini tidak diperoleh lahan yang mencukupi. Ini terlihat dengan diterbitkannya Persetujuan Ijin Prinsip oleh Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian hanya seluas 8500 hektar kepada PT KCMU.16 Sehingga, pada Bulan Juli

1994, Bupati Lampung Barat menulis surat kepada Gubernur Lampung dan memberikan pendapat tentang penambahan lokasi PT KCMU dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya, Bupati tidak keberatan atas rencana pembukaan kebun sawit.17 Akan tetapi

Bupati meminta Gubernur mempertimbangkan topografi yang berat serta banyaknya tanaman damar masyarakat yang akan tetap dipertahankan sebagai kawasan penyangga.18

Bupati merekomendasikan penggunaan lahan seluas 6000 hektar bekas hutan produksi yang telah diperoleh sesuai dengan hasil pengukuran (Sub Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan Lampung (SIBHPL) yang telah disepakati dengan Panitia Tata Batas (PTB) Kabupaten Lampung Barat.19 Pemerintah daerah juga mencadangkan 2100 hektar

Gambar 4.1. Tumpang tindih alokasi HPK untuk PT KCMU (warna biru)

Saat ini, proyek tersebut menimbulkan gelombang penolakan di masyarakat. Salah satu penolakan tersebut dari masyarakat Pekon Bengkunat yang mengadukan pembukaan perkebunan PT KCMU ke DPRD21. Pengaduan tersebut ditindaklanjuti oleh DPRD

Propinsi Lampung khususnya komisi A dengan mengadakan kunjungan lapangan ke daerah tersebut pada tanggal 26 Juli 1994. Mereka mengadakan dialog antara PT KCMU, masyarakat adat dan pejabat pemerintah daerah di Pekon Bengkunat.

DPRD Propinsi Lampung menilai keraguan masyarakat ikut perkebunan kelapa sawit dikarenakan besarnya nilai ganti rugi tidak sebanding dengan hasil coklat, kopi damar yang dihasilkan oleh masyarakat. Untuk menjawab keraguan tersebut, maka segala tanam tumbuh dan tanah masyarakat yang masuk dalam kebun inti akan diganti pihak KCMU sesuai dengan peraturan yang berlaku (point 4) dan menyerahkan penyelesain masalah pertanahan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Barat.

Laporan tersebut menyatakan bahwa masyarakat memiliki 4 pilihan;

Diikutsertakan sebagai Plasma, dengan mengalokasikan tanah yang dikavling per 2 hektar dan disertifi katkan. Para petani kemudian menjadi anggota PIR koperasi perkebunan dengan luasan 2 hektar/orang. Tahun ke-4 akan diberikan akad kredit untuk mengembangkan plasma mereka;

Menerima Pola Plasma 40:60 skema inti:plasma; Ganti tanah di luar areal inti/ditempat lain;

Membuat tanah mereka di-enclave (dikecualikan) dari areal perkebunan.

Diakhir laporan tersebut disimpulkan bahwa dengan kunjungan lapang ini maka masyarakat menarik pengaduannya (tim sebelas diwakili oleh Saudara Khoiri),22 dan setuju

dengan pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. KCMU serta meminta Pemerintah Kabupaten menangani langsung masalah penyelesaian tanah dan mewaspadai pihak- pihak tertentu yang mengambil keuntungan melalui pengalihan hak dan penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) baru di Bengkunat.23

Dengan surat rekomendasi Bupati Lampung mengenai pencadangan kawasan hutan, Gubernur Lampung menyurati PT. KCMU untuk menindaklanjuti proses pelepasan kawasan hutan ke Departemen Kehutanan dengan merujuk pada telaah Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung yang merekomendasikan pengembangan kelapa sawit di wilayah tersebut yang diusahakan dari wilayah ex Hutan Produksi (seluas 6000 hektar) dan dari Hutan Produksi Konversi (seluas 2100 hektar).24 Namun, Kanwil Kehutanan mensyaratkan PT

KCMU untuk menampung 500-1000 KK perambah hutan untuk menjadi tenaga kerja dan apabila masih tersedia lahan yang memungkinkan mereka dijadikan petani plasma. Total wilayah perkebunan menjadi 8100 hektar yang bersebelahan dengan PT EAK yang berencana membuka usaha kebun rami (seluas 3500 hektar).25

Namun, sebelum membuka lahan, perusahaan disyaratkan untuk berkoordinasi dengan badan pemerintah yang lain dan mendiskusikan rencana tersebut dengan masyarakat lokal.26 Kemudian, Kepala Desa Suka Marga mengirimkan surat persetujuan untuk

menerima proyek perkebunan tersebut dengan membebaskan 40% dari tanah mereka untuk perkebunan inti dan 60% untuk perkebunan plasma.27 Sekitar 17 desa lainnya

mengirimkan surat persetujuan yang sama, yang disyahkan oleh camat Abdul (Jalil, BA), sebagai bentuk dukungan atas program pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh PT KCMU. Mereka menuntut agar program perkebunan tersebut segera diimplementasikan.28

■ ■ ■

Akibatnya, terdapat beberapa perubahan dalam proses pembebasan tanah karena perkebunan awalnya diperdebatkan. Wilayah yang diperoleh untuk perkebunan tersebut termasuk: tanah komunal dan individu, lahan yang termasuk dalam Hutan Produksi Konversi (HPK) dan wilayah Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang menjadi area penebangan kayu. Meskipun terdapat berbagai perubahan, pemerintah terus mempertahankan targetnya untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit seluas 25,000 hektar yang terdiri dari 15,000 hektar untuk perkebunan plasma dan 10,000 hektar untuk perkebunan inti.