• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Normatif Pembebasan Tanah untuk Perkebunan Baru

3.3 Kebijakan Pemerintah terhadap Lembaga Masyarakat Adat

Di Indonesia, terdapat perdebatan yang tidak pernah usai mengenai terminologi yang harus digunakan untuk menyebut ”komunitas adat yang memiliki pemerintah otonom” dalam pembuatan peraturan-peraturan pemerintah yang dapat secara langsung maupun tidak langsung mengatur masyarakat adat.14 Berbagai istilah dalam Bahasa Indonesia

digunakan untuk menyebut masyarakat tersebut, seperti masyarakat suku terasing, masyarakat tertinggal, masyarakat terpencil, masyarakat hukum adat, atau yang lebih sederhana masyarakat adat (komunitas yang diatur secara adat).15 Istilah ‘indigenous peoples

merupakan istilah yang paling sesuai dan umum digunakan dalam hukum Internasional dan proses pembuatan kebijakan berkaitan dengan kelompok masyarakat ini.

Idealnya, interaksi antara masyarakat adat dan negara harus selalu mempertimbangkan keseimbangan antara hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak. Masyarakat adat memberi wewenang pada negara untuk mengatur masyarakat adat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Hal ini selanjutnya memberikan dasar pembenar kepada negara untuk mengontrol masyarakat adat melalui berbagai peraturan.16

Pembentukan peraturan-peraturan dasar mengenai masyarakat adat di Indonesia dalam hukum ‘positif’ merupakan hasil kompromi dari proses negosiasi antara para Bapak Pendiri Bangsa dalam pembuatan draf Undang-Undang Dasar. Setelah perdebatan panjang, pengakuan terhadap masyarakat adat akhirnya dideklarasikan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia harus dibentuk dari kelompok-kelompok masyarakat besar maupun kecil yang telah ada sebelumnya, termasuk daerah yang secara administratif istimewa beserta hak adat mereka yang telah diakui oleh Belanda.17 Penjelasan mengenai

pasal ini menyatakan bahwa

Dalam kawasan Negara Indonesia terdapat ± 254 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Pada UUD yang diamandemen pada tahun 2002, pasal 18b menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pada tahun 1979, terjadi restrukturisasi yang mendasar terhadap relasi negara dengan komunitas-komunitas otonom yang ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa.18 Undang-Undang tersebut memaksakan seluruh masyarakat di

Indonesia untuk menerapkan model administrasi desa yang diadopsi dari tradisi masyarakat Jawa. Peraturan ini dikeluarkan oleh rejim Orde Baru untuk menyatukan Negara dan secara efektif menegaskan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan lembaga-lembaga adat kehilangan otoritas mereka dan melemahkan ikatan sosial yang telah merekatkan komunitas adat sampai saat itu. Akibat lainnya adalah sistem hukum pemerintahan otonom masyarakat adat di luar Jawa, yang diterapkan pada saat itu, seperti Nagari di Minangkabau, Kampung di Kalimantan Barat, Negeri di Maluku, Lembang di Toraja dan Marga di Sumatra Selatan, tidak diakui lagi.

Salah satu implikasi dari Undang-Undang Pemerintahan Desa adalah subordinasi desa- desa menjadi struktur birokrasi yang tunggal dan dipaksakan di seluruh Indonesia. Desa- desa yang sudah ada juga seringkali dikelompokkan lagi dan dinamai dengan nama desa di Jawa. Setiap desa dipimpin oleh kepala desa yang diposisikan dibawah kontrol camat yang

1) 2)

memimpin pemerintahan di tingkat kecamatan. Perubahan tersebut menuai berbagai protes dan tuntutan dari berbagai pihak yang mendesak pencabutan dari peraturan tersebut.19

Seiring jatuhnya rejim Orde Baru yang militeristik pada tahun 1998, muncul tuntutan kuat dari masyarakat untuk perubahan sistem administrasi pemerintahan. Pemerintah baru meresponnya dengan mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah pada tahun 1999,20 yang menjadi awal proses radikal desentralisasi di Indonesia. Undang-undang

tersebut secara khusus menyebutkan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Desa tahun 1979 adalah inkonstitusional dan telah gagal menghormati hak-hak masyarakat untuk mengatur diri mereka sendiri secara otonom. Oleh karena itu, Undang-undang tersebut harus diganti dan membuka kembali kemungkinan masyarakat adat untuk memerintah diri mereka sendiri sesuai dengan hukum dan lembaga adat.

Seperti yang ditulis Rikardo Simarmata,21 beberapa anggota DPRD merespon UU Otonomi

Daerah dengan menerbitkan peraturan daerah (perda) yang mengakui keberadaan desa, marga, huta, pekon, lembang, kampung, dan struktur lokal lainnya. Sebagai contoh, DPRD Kabupaten Toraja di Sulawesi Selatan mengeluarkan sebuah Perda pada tahun 2001, yang merevitalisasi institusi tradisional seperti lembang, sebagai pemerintah yang memiliki kewenangan otonom.22 Beberapa DPRD di Provinsi Kalimantan Tengah juga telah

mengambil inisiatif serupa yang mengakui kewenangan adat kademangan.

Meskipun UU tersebut menekankan otonomi di tingkat kabupaten, DPRD Sumatra Barat mengeluarkan sebuah peraturan untuk revitalisasi Nagari sebagai entitas yang memiliki sistem pemerintahan sendiri.23 Beberapa peraturan baru tersebut secara eksplisit mengakui

wewenang masyarakat adat atas sumberdaya alam mereka. Sebagai contoh, peraturan daerah yang baru di Sumatra Barat mengakui kewenangan Nagari untuk mengkontrol wilayahnya, pemerintahan Nagari dan ‘harta’ Nagari.24

Setelah diimplementasikan selama lebih dari lima tahun, UU No. 22 tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah. UU baru tersebut diterbitkan secara tergesa-gesa tanpa melalui perdebatan yang berarti atau evaluasi terlebih dahulu tentang apa yang telah dicapai oleh Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Undang-undang baru tersebut membatasi kewenangan kepemerintahan masyarakat yang otonom dan ditafsirkan sebagai upaya untuk meresentralisasi kewenangan pemerintah ditingkat desa dengan mensubordinasi Badan Perwakilan Desa dibawah Kepala Desa. Hal ini mempertegas posisi pemerintahan desa dibawah kontrol kabupaten.25 Berdasarkan Undang-undang yang

telah direvisi, kepala desa dan sekretaris desa menjadi pegawai pemerintah lagi. Namun, tidak jelas apakah undang-undang tersebut juga diterapkan pada wilayah yang struktur desanya sekarang telah diganti dengan lembaga adat. Meskipun undang-undang tersebut mensubordinasi lembaga adat tersebut dengan memposisikan mereka dibawah lembaga pemerintah. Singkatnya, undang-undang tidak mempertanyakan lagi keberadaan lembaga adat.