• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh-Contoh Cara Beragama

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 57-61)

CARA-CARA BERAGAMA

B. Contoh-Contoh Cara Beragama

untuk menyatu dengan realitas mutlak sebagai mediator atau penghubung intervensi supernaturalnya dalam urusan dunia dengan masuk kedalam kesadaran yang telah diubah.

Dalam cara mediasi samanik, orang memperoleh akses ke dunia spirit melalui imajinasi mendalam, melalui kesadaran yang telah berubah yang umumnya tidak disadari oleh sebagian orang. Pada tahap awal, seseorang masuk ke dalam suatu keadaan ketidaksadaran, orang akan mengalami ketidaksdaran akan hal-hal duniawi dan mencapai kesadaran tentang dunia spirit. Hal ini dilakukan untuk maksud memperoleh petunjuk ilahi, kematangan spiritual, atau memecahkan berbagai masalah yang terdapat dalam lingkungan duniawi.

Mediasi samanik berkembang menjadi lahan eksploitasi dan klenik yang salah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini karena manusia memilih jalan pintas untuk mengatasi masalah-masalah duniawinya dengan jalan ini dan dengan cara yang salah. Pada akhirnya, mediasi samanik berubah menjadi magi yang tersembunyi. Namun, jika mediasi digunakan dengan cara yang benar, maka akan memunculkan potensi kebaikan yakni menghubungkan diri kepada realitas mutlak untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan masyarakat.

B. Contoh-Contoh Cara Beragama

Secara spesifik, tradisi-tradisi keagamaan memberikan prioritas atau mementingkan cara-cara tertentu dalam hubungannya dengan tradisi yang lain dan dalam beberapa kasus mungkin menekan munculnya satu

cara atau lebih.11 Dari waktu ke waktu agama berkembang, tidak lagi

hanya sebatas pada kelompok-kelompok suku yang relatif kecil, melainkan terjadi persebaran geografis dan demografis ke wilayah yang lebih luas. Seiring dengan itu, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya sinkretisme karena agama akan masuk pada wilayah-wilayah tertentu yang memiliki kebudayaan yang berbeda.

Pada sub bab pertama di atas, telah dibahas tentang perbedaan cara beragama, namun seperti apakah contoh-contoh cara beragama tersebut, di bawah ini akan dibahas contoh beragama dalam Islam Jawa.

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.

Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek keagamaan. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang.

Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung

pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif

dan kurang mengutamakan materi.12

Sebagai masyarakat religius, telah terjadi penghayatan dan pengamalan agama dalam masyarakat Jawa melalui berbagai cara yang satu sama lain memperlihatkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud ada yang hanya bersifat budaya, dan adapula yang sudah menyangkut keyakinan atau akidah. Cara-cara yang dimaksud yaitu ada cara ritus suci, cara perbuatan benar (amal shalih), cara ketaatan, cara penelitian akal (penalaran), cara pencarian mistik, dan juga mediasi samanik.

Menyinggung ritus suci dalam hubungannya dengan agama Islam Jawa, terdapat beberapa ritus suci diantaranya adalah seperti slametan dengan berbagai bentuknya, baik slametan dalam rangkaian acara mantenan, khitanan, bersih desa maupun ekspresi keberagamaan lainnya.

Ritual slametan juga menjadi salah satu media kelompok abangan dalam mengekspresikan wajah komitmen dan keagamaannya. Varian abangan juga merupakan representasi keagamaan dengan afiliasinya pada animisme. Hal ini bisa dilihat dari ekspresi kelompok ini dalam berbagai ritual slametan, magis, ”perdukunan” dan lain-lain. Varian abangan pada umumnya berpusat di desa, di mana slametan merupakan inti ritual agama Jawa yang paling popular dan bertahan hingga sekarang. Slametan yang berwujud tingkeban, yakni ritual yang dilasanakan bagi perempuan yang mencapai usia hamil tujuh bulan ke atas, kelahiran, kematian, bersih desa, sunatan dan lain-lain, masih terlihat dominan pada kehidupan masyarakat Jawa, baik yang beragama Islam murni maupun Islam Jawa (sinkretis). Bagi kelompok/varian Jawa, terdapat keyakinan bahwa kehidupan, pen-deritaan, kematian dan keberkahan, merupakan pemberian roh-roh halus yang harus dipuja melalui berbagai ritual tersebut.

Slametan dengan berbagai atribut, bentuk, dimensi dan maknanya, selalu diupayakan bagi kesinambungan dan harmonisasi kosmik. Slametan merupakan fenomena umum yang menginternalisasi dalam sistem kehidupan masyarakat Jawa, betapapun dapat dinilai merupakan upaya harmonisasi sosial terutama dari Islam dan berbagai tradisi lokal yang seringkali dikemas dalam multivokalitas simbol-simbol ritual yang

tidak pernah menghasikan kesepakatan, sarat ambiguitas namun juga penuh keteraturan.

Islam Jawa juga memberikan penekanan yang kuat pada cara perbuatan benar. Cara perbuatan benar ini terkait dengan akhlak. Pendidikan akhlak selalu dikedepankan semenjak masa wali songo menyebarkan Islam di tanah Jawa. Hampir seluruh nilai pendidikan “budi pekerti” Jawa tersirat dalam pendidikan akhlak. Antara tradisi Jawa dan Islam keduanya me-miliki misi yang sama, yakni terbentuknya kepribadian manusia yang baik, menumbuhkan rasa cinta atau mencintai keutamaan atau kebaikan dan membenci terhadap hal yang buruk dan bagaimana cara untuk bisa menjauhinya.

Di kalangan orang Islam Jawa, cara ketaatan sangat ditekankan sekali dalam kehidupan religiusnya. Orang jawa dikenal dengan kuatnya memegang teguh nilai-nilai agama dan tradisi. Tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang aqidah dan syariah. Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Selain itu, ketaatan juga terlihat dalam simbol-simbol, seperti kopiah merupakan ikon yang menyimbolkan ketaatan terhadap doktrin agama. Sedangkan sedangkan blangkon merupakan ikon yang menyimbolkan ketaatan untuk melestarikan tradisi.

Dalam mendekati realitas mutlak, Islam Jawa juga tidak lepas dengan melakukan penalaran/pemikiran. Meskipun cara pemikirannya tidak lepas dengan konsepsi-konsepsi tasawuf dan mistik, namun bisa dikatakan akal juga memeiliki peranan dan kedudukan untuk mendekati realitas mutlak bagi orang Islam Jawa. Pemikiran utama yang menonjol adalah filsafat ketuhanan khas ala Islam Jawa. Pemikiran-pemikirannya tidak lepas dari pengaruh Islam Timur Tengah, Hindu, dan pemikiran lokal. Salah satu tokoh yang mengajarkan filsafat ketuhanan adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), ia pernah mengajarkan mengenai apa yang dinamakan Allah. Ia berkata: “Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang

diperlukan ada-Nya.”13 Selain Sunan Gresik, masih banyak lagi

pemikir-pemikir Islam Jawa yang memberikan sumbangan pemikir-pemikirannya tentang konsep ketuhanan dalam Islam Jawa. Hasil-hasil pemikiran tersebut berwujud beberapa buku/karya sastra Jawa Islam seperti: Layang Ambyok atau Serat Anbiya’, Serat Wedhatama, Suluk Sunan Bonang,dan lain-lain.

Pencarian mistik menduduki tempat utama dalam mendekati realitas mutlak pada orang Islam Jawa. Pencarian mistik dalam masyarakat Jawa terkenal dengan istilah sufisme Jawa. Pada masyarakat Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan yang digambarkan sebagai relasi mikrokosmos-makrokosmos misalnya dapat dilihat dan dipahami dari prototype pria-wanita, Adam dan Hawa. Adam berarti kekosongan, hampa dan Hawa berarti hawa, iklim, elemen, hasrat dan nafsu seksual. Penyatuan seksual Adam dan Hawa karenanya analog dengan pertemuan

elemen-elemen di dalam kehampaan purba, awal dari wujud manusia.14 Konsepsi

kelompok ini tentang hubungannya dengan Tuhan, dapat dicapai melalui empat tahap, yakni syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat sebagai bentuk hubungan tertinggi dalam manunggaling kawula gusti, konsepsi mistisisme yang di Jawa populer diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.

Terkait mediasi samanik, banyak sekali pemeluk agama Islam Jawa melakukan ritual ke suatu tempat guna untuk mencari solusi duniawi dengan suatu hal yang dianggap mempunyai kekuatan metafisik dan diyakini dapat menyelesaikan berbagai masalah, seperti pergi ke dukun, kyai, orang pintar dan sebagainya.

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 57-61)