• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Mitos dan Ritual

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 132-141)

TINDAKAN AGAMA DAN MITOS PEMBENTUK UPACARA RITUAL

D. Hubungan antara Mitos dan Ritual

terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, mahkluk halus, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya. Ritual atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Jadi dapat disimpulkan ritual adalah perilaku dan sikap yang bisa berwujud upacara, pemujaan, ziarah, doktrin, larangan, pantangan, bersujud, berkorban, dan sebagainya dengan tujuan untuk memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diharapkan dan menghindari sesuatu yang tidak diinginkan dengan berdasarkan pada kepercayaan atau keyakinan yang ada. Ritus memiliki sifat turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Ritual atau upacara religi bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya di dasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang anehnya tampak kongkret di sekitarnya dalam kaitan dengan alam. Mircea Eliade sudah menunjuk makna yang lebih dalam dari ritual. Menurutnya ritual mengakibatkan suatu perubahan ontologisme pada manusia dan mentransformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru, misalnya; penempatan kedalam lingkup yang kudus. Pada dasarnya dalam makna religiusnya ritual merupkan gambaran prototype yang suci, model-model teladan, arketipe primodial; sebagaimana dikatakan ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk Ilahi atau leluhur mistis. Ritual mengingatkan peristiwa-peristiwa primodial dan juga memelihara serta menyalurkan dasar masyarakat. Para pelaku menjadi setara dengan masa lampau yang suci dan melanggengkan tradisi suci secara memperhabarui fungsi-fungsi

dan hidup anggota kelompok tersebut.51

D. Hubungan antara Mitos dan Ritual

Mitos sejarah dalam suatu kebudayaan selalu terkait hal-hal sakral dan diikat dalam konsep ruang dan waktu “masa lalu,” yaitu suatu masa ketika sebuah peristiwa supernatural dipercaya terjadi di alam lain. Peristiwa sakral yang melibatkan para dewa dan kekuatan supernatural itu dipercaya membentuk realitas kehidupan kekinian yang dihadapi

masyarakat kebudayaan bersangkutan di dalam kehidupan nyata. Sejarah mitis memberi justifikasi kepada tatanan adat istiadat yang berasal dari konsep waktu mitis ini. Oleh sebab itu jangan heran kalau––dalam menjelaskan sebuah tradisi––para tetua/pemang-ku adat berbagai kebudayaan mungkin akan berkata, “… kami kerjakan hal itu seperti biasa kami lakukan sejak jaman dahulu kala.”

Kesakralan masa lalu direpresentasikan dalam mitos dan ritual. Apa yang dikerjakan para dewa atau mahluk lain di masa lampau (waktu mistis) dibangkitkan dan dihidupkan kembali dalam ritual yang dilakukan sekarang. Hal ini dilakukan melalui penampilan dalam upacara yang penuh variasi atau sederhana. Mitos-mitos dan ritual tertentu sangat membantu menertibkan/menentramkan masyarakat dengan cara mengulangi cerita tentang perilaku para dewa, serta cita-cita dan keinginan ideal masyarakat. Mitos yang dinarasikan dalam ritual publik pada saat terjadi bencana kelaparan, perang, atau upacara penggantian pemimpin baru bisa memberi dampak menenangkan. Model kosmik dan sosial yang terpelihara dalam mitos dapat membantu menciptakan perdamaian di masa perang atau melegitimasi suksesi politik, karenanya mitos bisa memulihkan rasa persatuan sosial.

Menurut teori mitos-ritual, keberadaan mitos sangat erat dengan

ritual.52 Teori ini mengklaim bahwa mitos muncul untuk menjelaskan

ritual.53 Klaim ini pertama kali dicetuskan oleh sarjana biblikal William

Robertson Smith. 54 Menurut Smith, orang-orang mulai melaksanakan

suatu ritual untuk alasan tertentu yang tidak ada hubungannya dengan mitos. Kemudian, setelah mereka melupakan alasan sebenarnya mengenai pelaksanaan ritual tersebut, mereka mencoba melestarikan ritual tersebut dengan menciptakan suatu mitos dan mengklaim bahwa ritual tersebut

dilaksanakan untuk mengenang kejadian yang diceritakan dalam mitos.55

Antropolog James Frazer memiliki teori yang sama. Frazer percaya bahwa manusia primitif mulai percaya pada hukum-hukum gaib. Kemudian,

52 Robert Segal, Myth: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford UP, 2004), 61.

53 Fritz Graf, Greek Mythology, (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 40.

54 Elea Meletinsky, The Poetics of Myth, (New York: Routledge, 2000), 19-20.

ketika manusia mulai kehilangan keyakinannya mengenai sihir, mitos tentang dewa diciptakan dan mengklaim bahwa ritual magis kuno adalah

ritual keagamaan yang dilakukan untuk menyenangkan hati para dewa.56

Ritus, ritual, upacara adalah agama dalam tindakan untuk mencari jalan keselamatan (salvation). Keselamatan adalah tujuan dari kehidupan beragama dan juga dari serangkain ritual yang dilakukan oleh agama-agama. Agama praksis yang terdapat dalam ritual menjadi cermin dari serangkaian aktivitas pendukung ritus tersebut. Ritual, upacara, dan ritus-ritus yang dilakukan pemeluk agama pasti mempunyai mitos tertentu. Selain itu, dalam ritual terdapat hubungan erat antara mitos, suatu dongeng suci dari suatu bangsa dengan aktivitas ritual, tingkah laku moral, organisasi sosial, bahkan aktivitas politik suatu masyarakat. Kategori ritual yang sering digunakan adalah ritual sekuler, semi-religius, dan ritual agama. Ritual sekuler, profan dianggap berfungsi sosial politik seperti parade, karnaval, pelantikan pejabat, peringatan hari besar dan lainnya. Jenis ritual ini bertujuan secara implisit untuk mempertebal sentimen masyarakat dan kesadaran politik. Ritual semi-religius adalah ritual lingkaran hidup manusia seperti pawiwahan (perkawinan), metatah (potong gigi), menek

kelih (ritual beranjak dewasa dalam tradisi Hindu Bali). Ritual jenis ini

mempunyai tujuan sekuler, tetapi juga secara jelas dan pada hakekatnya didasarkan pada sesuatu yang disakralkan. Sementara ritus agama adalah upaya yang sungguh-sungguh berupaya untuk mencari jalan keselamatan jiwa melalui pola peribadatan dengan tujuan utama menjalin komunikasi antara manusia dengan alam transenden. Ketiga kategori ritus itu pada hakekatnya menempatkan manusia dan lingkungannya sebagai agency terpenting yang menggerakkan ritus tersebut. Dalam ritual yang sering dilakukan, transformasi dan beragam kepentingan yang menjalankan ritus menjadi poin yang sangat penting. Oleh karena itu ritus dengan berbagai

mitos, aturan serta pelaksanaannya bisa berubah.57

Dalam masyarakat tradisional, perilaku-perilaku ritual umumnya dapat dijelaskan dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan

56 James Frazer, The Golden Bough, (New York: Macmillan, 1922), 711.

57 I Ngurah Suryawan, “Agama, Ritual, dan Kuasa”, dalam http://antropologiudayana. blogspot.com/2012/07/agama-ritual-dan-kuasa.html (26 April 2017).

pembenaran untuk berbagai upacara. Sekalipun ada kemungkinan bahwa banyak ritual pada masa silam berlaku tanpa mitos-mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat diamati dua fenomena: ritus dan mitos, berjalan seiring. H. Gaster dalam “Myth and Story” mengungkapkan,

bahwa pada dasarnya mitos bersifat kon-substansial dengan ritus.58

Kloos, Mauss, dan Eliade59 mencatat bahwa mitos memang bersifat sakral

dan senantiasa memiliki kepentingan yang khusus dalam masyarakat. Sekalipun samar-samar, mitos memiliki petunjuk-petunjuk yang tinggi dan mengandung kecocokan emotif dengan adat suku-suku bangsa, dan dengan demikian secara gradual terumuskan dalam tradisi suku-suku itu. Karakteristik mitos terletak pada kenyataan bahwa mitos mengacu kepada “kejadian-kejadian di mana manusia menyadari dan menjelaskan esensi mutlak dari keberadaannya dan sekaligus memberikan kesatuan makna bagi masa kini, masa lampau, dan masa yang akan datang itulah sebabnya mitos dianggap merupakan histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), sehingga mitos memerlukan ritus/ritual.

Cambridge School atau Aliran Cambridge dengan tokoh-tokoh seperti James G. Frazer, Jane Harrison, dan F.M. Concord memfokuskan studi mereka pada mitologi Yunani. Pusat perhatian aliran Cambridge adalah sifat-sifat ritual dari mitos. Menurutmereka, ritus merupakan pancaran emosi-emosi yang kompleks dari manusia primitif melalui tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, dan tarian-tarian. Mitos hanya merupakan salah satu ekspresi dari emosi manusia yang demikian kompleks itu, melalui katakata atau bahasa. Mitos muncul pada saat emosi -emosi yang diekspresikan dalam ritus sudah tidak lagi mencukupi. Pemahaman terhadap aspek ritual itu menjadi penting untuk memahami mitos, yang menjelaskan asal-usul dan eksistensi ritus.

J. van Baal, mitos dikatakan sebagai cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang di masa lalu atau kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan. Ilmu pengetahuan tentang mitos atau mitologi adalah suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan Yang Suci

58 Dhavamony, Fenomenologi..., 181-186.

59 P.E.De Josselin De Jong, Ruler and Realm: Political Myth in Western Indonesia (Amsterdam: North-Holland Publishing Co., 1980), 126.

melalui konsep serta bahasa simbolik melalui mitologi diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada bermacam-macam kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia memiliki orientasi dalam kehidupan ini. Dengan demikian, mitos adalah sebuah

cerita pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang.60

Dengan ungkapan Dhavamony, maka mitos sesungguhnya merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi

dari kehidupan primitif.61

Terkait hubungan mitos dan ritual, Biasanya sesuatu yang sakral adakalanya tidak berbentuk pada benda-benda yang kongkrit seperti: dewa-dewa, malaikat, roh-roh dan lain-lain. Yang sakral pada umumnya dijadikan sebagai objek atau sarana penyembahan dari upacara-upacara keagamaan dan diabadikan dalam ajaran kepercayaan. Dalam ajaran kepercayaan inilah kemudian muncul adanya ritual-ritual yang diatur oleh aturan tertentu sesuai kepercayaan dan keyakinan agama manusia, atau adat tertentu suatu masyarakat. Aturan-aturan inilah yang kemudian mengikat mereka, sehingga sesuai keyakinan suatu masyarakat jika ingin selamat dari bencana dan malapetaka, maka harus melakukan

aturan-aturan tersebut.62 Dengan demikian, menurut penulis, mitos ini kemudian

berubah menjadi ritus dan ritus menjadi simbol dan simbol menjadi norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kalau sudah menjadi norma, maka harus ditepati, jika tidak sanksinya adalah malapetaka dan dijauhi oleh masyarakat setempat di mana ia tinggal. Contoh-contoh sepert ini berlaku dalam masyarakat yang berbentuk berbagai macam selametan, dengan berbagai macam pula simbolnya, misalnya nasi tumpeng, sego golong,

buceng, apem, bubur abang, jenang procot dan lain-lain. Dhavamony

mengatakan bahwa mitos tidak hanya menghubungkan ritual masa kini dengan masa lampau, namun juga secara aktual mengidentifikasikan masa kini, dalam aspek ritualnya, dengan masa lampau yang dikonsepsikan hanya

60 Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Antropologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 44.

61 Dhavamony, Fenomenologi..., 147.

dengan istilah-istilah ritual masa lampau ketika figur-figur adi-manusia membaktika diri mereka dalam mewujudkan tindakan yang merupakan

prototipe ritual.63 Dengan demikian, mitos-mitos menampilkan fungsi

ganda, menyucikan dan memapankan ritual.64 Terkait hubungan antara

mitos dan ritual ini, Clyde Kluckholn mengatakan bahwa:65 “Oleh karena

itu, meskipun kepentingan relatif dari mitos dan ritual sungguh berbeda, namun keduanya cenderung secara universal disatukan karena mitos dan ritual memiliki dasar psikologi umum. Ritual merupakan suatu aktifitas obsesif yang diulang-ulang sering merupakan suatu dramatisasi simbolis ‘kebutuhan-kebutuhan’ masyarakat, entah ‘ekonomi’, ‘biologi’, ‘sosial’, ataupun ‘seksual’. Mitologi merupakan rasionalisasi atau kebutuhan-kebutuhan yang sama tersebut, apakah semuanya diungkapkan dalam upacara terbuka atau tidak. Beberapa orang mengatakan ‘setiap budaya mempunyai tipe konflik dan pemecahannya’. Upacara-upacara condong memotret suatu pemecahan simbolis atas konflik-konflik. Lingkungan eksternal, pengalaman historis dan sumbangan tipe-tipe kepribadian yang selektif menyebabkan konflik-konflik tersebut menjadi karakter dalam masyarakat.”

Ritual menghidupkan dan mengukuhkan kembali keyakinan-keyakinan yang ada di dalam mitos. Ritual memberikan sutau kedalaman arti dan kekuatan vital bagi hidup religius. Sedangkan mitos-mitos sendiri memerlukan ritual demi pemahaman yang lebih penuh dari maknanya. Mitos sendiri merupakan tindakan ritual, sesuatu yang diutarakan, suatu peristiwa lisan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang hidup. Kerap kali aktifitas kultus tak lebih dari gambaran-gambaran dramatis atas mitos-mitos yang sama. Bahkan penceritaan suatu mitos bisa jadi pada kesempatan-kesempatan tertentu berlaku secara wajar sebagai suatu

tindakan kultis yang mendalam.66

63 Dhavamony, Fenomenologi..., 184.

64 Lord Raglan, The Hero: A Study in Tradition, Myth and Drama (New York: Paper Back, 1956, 127-128).

65 Clyde Kluckholn, “Myth and Rituals: A General Theory”, dalam Harvard

Theological Review, Volume 35, Nomor 4 (Oktober, 1942), 78-79.

E. Referensi

Barthes, Roland. Mythologies. New York: Hill & Wang, 1957.

Bascom, William. “The Forms of Folklore: Prose Narratives”, in Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth. Berkeley: University of California Press, 1984.

Beth’s, Karl. Religion und Magie. Berlin: Leipzig, 1927.

Bulfinch Thomas. Bulfinch’s Mythology. Whitefish: Kessinger, 2004. Campbell, Joseph. The Power of Myth. New York: Doubleday, 1988. Daeng, Hans J. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan

Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

De Jong, P. E. De Joselin. Ruler and Realm: Political Myth in Western

Indonesia. Amsterdam: North-Holland Publishing Co., 1980.

Dhavamony, Mariasussai. Fenomenologi Agama, terj. A. Sudiarja dkk. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Dhavamony, Mariasussai. Fenomenologi Agama, terj. A. Sudiarja dkk. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Diehl, Carl Gustav. Instrument and Purpose, Studies on Rites and Rituals

in South India. Lund: C. W. K. Gleerup, 1956.

Durkheim, Emile. Les Formes Elémentaires de la Vie Religieuse. Paris: Les Presses universitaires de France, 1912.

Eliade, Mircea. Myth and Reality. New York: Harper & Row, 1963.

Evans-Pritchard, E. Oracles and Magic. Oxford: Oxford University Press, 1937.

Frazer, James. The Golden Bough. New York: Macmillan, 1922.

Firth, Raymond. Human Types: An Introduction to Social Anthropology. New York: Lightning Source Incorporated, 1958.

G.S., Kirk. “On Defining Myths”, in Alan Dundes, Sacred Narrative:

Readings in the Theory of Myth. Berkeley: University of California

Press, 1984.

Graf, Fritz. Greek Mythology. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993.

Goldenweiser, Alexander A. Anthropology: An Introduction to Primitive

Culture. New York: Crofts, 1937.

Goody, J. “Religion and Ritual: The Defenitional Problem”, dalam The

British Journal of Sociology, Volume XII, Nomor 2 (Juni 1961).

Gluckman, Max (ed.). Essays on the Ritual of social Relations. Manchester: Manchester University Press, 1966.

_____________. Rituals of Rebbelion in South-East Africa. Manchester:

Manchester University Press, 1954.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1985.

Honko, Lauri. “The Problem of Defining Myth”, in Alan Dundes, Sacred

Narrative: Readings in the Theory of Myth. Berkeley: University of

California Press: 1984.

Hasting, James & John A. Selbie, Encyclopedia of Religion and Ethics, Part 8. Edinburgh: Kessinger Publishing, 1908.

Honig (Jr), A. G. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

Hubert, Avec Henri & Marcel Mauss. Esquisse d’une théorie générale de la magie. Paris: L’Annee Sociologique, 1902-1903.

Kirk, G.S. Myth: Its Meaning and Functions in Ancient and Other Cultures. Berkeley: Cambridge University Press, 1973.

Kluckholn, Clyde. “Myth and Rituals: A General Theory”, dalam Harvard

Theological Review, Volume 35, Nomor 4 (Oktober, 1942).

Langer, Susanne K. Philosophy in a New Key: A Study in the Symbolism of

Reason, Rite and Art. Cambridge, Mass.: Harvard University Press,

1942.

Malinowski, Bronislaw. Sex, Culture and Myth. New York: Harcourt, Brace and World, 1967.

Meletinsky, Elea. The Poetics of Myth. New York: Routledge, 2000.

Minsarwati, Wisnu. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa

Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2002.

Malinowski, Bronislaw. Magic, Science, and Religion, and Other Essays. New York: Button, 1954.

O’Dea, Thomas. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, terj. Yasogama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Rivers, W.H.R. Medicine, Magic

and Religion. London: Routledge, 1927.

Pettazzoni, Raffaele. “The Truth of Myth”, in Alan Dundes, Sacred

Narrative: Readings in the Theory of Myth. Berkeley: University of

California Press, 1984.

Raglan, Lord. The Hero: A Study in Tradition, Myth and Drama. New York: Paper Back, 1956.

Segal, Robert. Myth: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford UP, 2004. Simpson, Serta Michael. “Introduction Apollodorus”, Gods and Heroes of

the Greeks. Amherst: University of Massachusetts Press, 1976.

Soderblom, Nathan. The Living God. London: Oxford University Press, 1932.

Suhardi, “Ritual: Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif Antropologi,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 18 Maret 2009.

BAB V

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 132-141)