• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Mitos

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 124-129)

TINDAKAN AGAMA DAN MITOS PEMBENTUK UPACARA RITUAL

B. Makna Mitos

B. Makna Mitos

Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang, dalam pengertian yang lebih luas bisa berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama. Kata mythologi dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos atau isi mitos, maupun bagian

tertentu dari sebuah mitos.29 Dalam pengertian yang lebih luas, mitos

dapat mengacu kisah-kisah atau cerita tradisional30 Menurut Harun

Hadiwijono, mitos diartikan sebagai suatu kejadian-kejadian pada zaman bahari yang mengungkapkan atau memberi arti kepada hidup dan yang menentukan nasib di hari depan. Mitos juga berarti cerita suatu bangsa tentang dewa-dewa dan pahlawan-pahlawan pada zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul alam semesta, manusia dan bangsa itu sendiri dan mengandung arti yang mendalam

yang diungkapkan dengan cara gaib.31 Mitos memiliki hubungan yang

erat dengan yang gaib, karena menurut Frazer, pada mulanya manusia itu hanya mempergunakan ilmu gaib (magi) dalam memecahkan persoalan-persoalan hidup yang berada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Semakin majunya kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit. Persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, maka dipecahkan dengan menggunakan mitos. Mitos juga bisa merupakan uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu menyangkut kejadian-kejadian luar biasa yang berada di luar pengalaman manusia sehari-hari. Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam

cerita-cerita tentang dunia yang supranatural.32 Ernest Cassirer, seorang ahli

29 Mariasussai Dhavamony, Fenomenologi Agama, terj. A. Sudiarja dkk. (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 147.

30 Kirk, G.S., "On Defining Myths", in Alan Dundes, Sacred Narrative: Readings

in the Theory of Myth (Berkeley: University of California Press, 1984), 57. Lihat

juga G.S. Kirk, Myth: Its Meaning and Functions in Ancient and Other Cultures (Berkeley: Cambridge University Press, 1973), 74. Serta Michael Simpson, "Introduction Apollodorus", Gods and Heroes of the Greeks, (Amherst: University of Massachusetts Press, 1976), 3.

31 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1985), 20.

32 Wisnu Minsarwati, Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa Mitos

filsafat mitos, beranggapan bahwa seseorang dapat mencapai “wawasan semantik” dan “bentuk dasar” mitologi, bukan melalui penjelasan asal mula mitos, tetapi melalui penentuan sumber ekspresi dan tipe kesadarannya. Ada dua aliran utama dalam konsep Cassirer mengenai mitos ini. Pertama, penekanannya pada bentuk struktural yang mendasari fantasi dan pemikiran mitos; kedua, penekanannya pada simbolisme. Cassrrer menjelaskan, mitos diciptakan tidak lebih dari prosedur puisi

atau mistik abad pertengahan.33

Eliade, mitos merupakan penampilan penciptaan, bagaimana segala sesuatu dijadikan dan mulai ada. Mitos mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai realitas, yakni apa yang sesungguhnya terjadi. Eliade mengartikan “realitas mitos” sebagai “kenyataan yang suci”. Kesucian sebagai satu-satunya kenyataan tertinggi. Bagi masyarakat primitif, mitos merupakan suatu sejarah suci yang terjadi pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga kini. Manusia beragama yakin dengan adanya Yang Suci yang menampakkan diri kepada manusia lewat peristiwa apa yang disebut dengan hierofani. Secara etimologis, hierofani berasal dari kata hieros (Yunani), yang berarti suci, sakral) dan fani, dari kata phainomai yang berarti menampakkan diri. Penampakan Yang Suci ini bisa terjadi pada diri manusia kapan saja dan di mana saja dan lewat apa saja, bisa lewat manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, sungai gunung dan seterusnya. Dengan penampakan ini, Yang Suci kemudian menjadi tidak absolut lagi, melainkan terbatas pada benda

atau makhluk yang menjadi alat hierofani itu.34

Pada umumnya mitos menceritakan terjadinya asal usul dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk topografi kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya. Mitos dapat timbul sebagai cerita atau catatan peristiwa sejarah yang berlebihan atau diberi pemanis sebagai personifikasi bagi fenomena alam, atau sebagai suatu penjelasan tentang ritual Mereka disebarkan untuk menyampaikan pengalaman keagamaan atau ideal, untuk membentuk model sifat-sifat tertentu, dan sebagai

2002), 23.

33 Ibid., 26.

bahan pembelajaran dalam suatu komunitas. Bronislaw Malinowski membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Menurutnya, legenda lebih sebagai cerita yang diyakini seolah-olah merupakan ke-nyataan sejarah, meskipun sang pencerita menggunakannya untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dari komunitasnya. Sedangkan dongeng, mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus. Dongeng juga tidak diyakini sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Dongeng lebih menjadi bagian dari dunia hiburan. Sedangkan mitos merupakan pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan

fondasi dari kehidupan primitif.35

Secara umum kata mitos digunakan secara berbeda. Pertama, secara akademik, seringkali mitos diartikan sebagai cerita yang bersifat suci yang memperlihatkan simbol-simbol dengan banyak makna. Cerita yang bersifat suci tersebut mengandung makna religius atau spiritual. Penggunaan kedua adalah penggunaan kata mitos dalam arti umum. Di sini, mitos dimaknakan sebagai sekolompok kepercayaan (beliefs) yang dianut oleh orang yang menuturkan cerita tersebut. Hal ini bersifat subjektif dan terkadang menimbulkan rasa tersinggung jika suatu cerita yang dianggap benar oleh seseorang, dianggap sebagai ’mitos’ oleh orang lain. Pelaku utama yang diceritakan dalam mitos biasanya adalah para dewa, manusia, dan pahlawan supranatural. Sebagai kisah suci, umumnya mitos didukung oleh penguasa atau imam/pendeta yang sangat erat

dengan suatu agama atau ajaran kerohanian.36 Dalam suatu masyarakat

dimana mitos itu disebarkan, biasanya suatu mitos dianggap sebagai kisah

yang benar-benar terjadi pada zaman purba.37 Pada kenyataannya, banyak

35 Bronislaw Malinowski, Sex, Culture and Myth (New York: Harcourt, Brace and World, 1967), 305

36 William Bascom, "The Forms of Folklore: Prose Narratives", in Alan Dundes,

Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth (Berkeley: University of

California Press, 1984), 9.

masyarakat yang memiliki dua kategori kisah tradisional: “kisah nyata”

atau mitos, dan “kisah dongeng” atau fabel.38

Suatu teori menyatakan bahwa mitos adalah catatan peristiwa bersejarah yang dilebih-lebihkan. Menurut teori ini, penutur cerita melebih-lebihkan peristiwa sejarah secara terus-menerus sampai akhirnya

figur dalam sejarah tersebut memperoleh status setara dewa.39 Misalnya,

mungkin seseorang boleh berpendapat bahwa mitos dewa angin Aeollos berasal dari sejarah mengenai raja yang mengajarkan cara menggunakan

layar dan menafsirkan arah angin kepada rakyatnya.40 Herodotus ( abad

ke-5 sebelum masehi) dan Prodikos mengklaim hal semacam ini. Teori ini disebut “euhemerisme” menurut nama ahli mitologi terkenal, Euhemeros (sekitar 320 sebelum masehi), yang berpendapat bahwa dewa dan dewi

Yunani berkembang dari legenda tentang manusia.41

Mircea Aliade berpendapat bahwa salah satu fungsi penting mitos

adalah untuk membangun suatu model perilaku,42 dan bahwa mitos

dapat memberikan pengalaman religius. Dengan menceritakan atau memeragakan mitos, anggota suatu masyarakat tradisional dapat merasa lepas dari masa kini dan kembali lagi ke zaman mistis sehingga,

membawa mereka dekat dengan Ilahi.43 Lauri Honko menegaskan bahwa

dalam beberapa kasus, suatu masyarakat akan menghidupkan kembali suatu mitos untuk menciptakan kembali suasana zaman mistis. Sebagai contoh, akan diperagakan kembali penyembuhan yang dilakukan dewa

pada zaman purba dalam upaya penyembuhan seseorang di masa kini.44

Tak jauh berbeda, Roland Barthers berpendapat bahwa budaya modern

38 Raffaele Pettazzoni, "The Truth of Myth", in Alan Dundes, Sacred Narrative:

Readings in the Theory of Myth (Berkeley: University of California Press, 1984),

99-101.

39 Lauri Honko, "The Problem of Defining Myth", in Alan Dundes, Sacred Narrative:

Readings in the Theory of Myth, (Berkeley: University of California Press: 1984),

45.

40 Thomas Bulfinch, Bulfinch's Mythology, (Whitefish: Kessinger, 2004), 194.

41 T. N. “Euhemerism” dalam http://www.oxfordreference.com/ (25 April 2017).

42 Eliade, Myth and Reality..., 8.

43 Ibid., 19.

mengeksplorasi pengalaman religius. Karena tugas sains bukanlah menegakkan moral manusia, suatu pengalaman religius adalah upaya untuk terhubung dengan perasaan moral di masa lalu, yang kontras dengan

dunia teknologi di zaman sekarang.45 Joseph Campbell menyatakan mitos

memiliki empat fungsi/tujuan utama, yaitu:46

a. Fungsi mistis, yaitu menafsirkan kekaguman atas alam semesta. b. Fungsi kosmologis, yaitu menjelaskan bentuk alam semesta.

c. Fungsi sosiologis, yaitu mendukung dan mengesahkan tata tertib sosial tertentu.

d. Fungsi pedagogis, yaitu bagaimana menjalani hidup sebagai manusia dalam keadaan apa pun.

Mitos dalam kaitannya dengan agama, menjadi penting bukan semata-mata karena memuat kejadian-kejadian ajaib atau peristiwa-peristiwa mengenai makhluk adikodrati, melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia. Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk menetapkan kepercayaan tertentu, berperan sebagai peistiwa pemula dalam suatu upacara atau ritus, atau sebagai model tetap dari perilaku moral maupun religius. Oleh karena itu, mitologi atau tradisi suci dari suatu masyarakat adalah kumpulan cerita yang terjalin dalam kebudayaan mereka, yang menyuarakan keyakinan mereka, menentukan ritus mereka, yang berlaku sebagai peta peraturan sosial maupun sebagai

model tetap dari tingkah laku moral mereka.47Mitos dipahami sebagai

yang mempunyai kekuatan penyelamatan tertentu, yang tanpanya orang akan kalah atau tidak akan mampu melakukan tugas dalam status sosial yang baru.

Cara terpenting yang ditempuh manusia untuk menyatakan religiusitasnya ialah dengan hidup menurut mitos maupun ritus religius. Sering tata cara ritus dan mitos dalam memahami dan mewujudkan kebenaran tertinggi itu pun disamakan dengan agama sendiri. Mitos dimengerti sebagai suatu cerita yang mengisahkan kebenaran yang mengesampingkan metode ilmiah dan memang tidak dapat dibahasakan

45 Roland Barthes, Mythologies. (New York: Hill & Wang, 1957), t.h.

46 Joseph Campbell, The Power of Myth (New York: Doubleday, 1988), 22-23.

secara ilmiah, juga dalam arti sebagai semacam bahasa yang digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa adikodrati, sehingga yang adikodrati dianggap hanya relevan bagi segelintir irang yang memang tidak memiliki penalaran ilmiah. Penggunaan istilah mitos dengan pengertian seperti itu menghilangkan ciri yang paling pokok mitos religius, yakni dayanya yang

mengukuhkan kenyataan suci.48 Dalam konteks religius, mitos dan ritus

merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar ungkapan mengenai sesuatu yang lain, keduanya merupakan “daya untuk keselamatan”. Keduanya merupakan kekuatan dinamis yang pengejawantahannya melahirkan kenyataan suci dan membuat manusia religius menghayati kenyataan tersebut dalam dirinya setiap hari. Mitos tidak bisa dipahami secara sempit, seolah-olah memberikan informasi mengenai sesuatu, meski mengenai makhluk-makhluk adikodrati ataupun peristiwa-peristiwa primordial sekalipun. Mitos menyingkapkan bagaimana Yang Suci memperlihatkan kekuatannya. Dengan mengisahkan mitos, orang tidak hanya mempelajari sesuatu, melainkan menjadi sesuatu. Dengan kata lain, dengan dikisahkannya kembali, mitos menyatakan kekuatan yang suci. Karenanya, dapat dimengerti mengapa mitos diperlakukan dengan sedemikian hormat, dijaga sedemikian ketat, dikisahkan dengan khusyuk, hanya dalam upacara ritual dan hanya oleh para anggota (kepercayaan)

atau calon anggota.49

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 124-129)