• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Praktis (Perbuatan)

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 36-40)

D. Ekspresi Pengalaman Keagamaan

2. Ekspresi Praktis (Perbuatan)

Ekspresi pengalaman keagamaan teoritik berikutnya disebut dengan dogma. Menurut penulis buku “Dogmatika masa kini”, dari G.C. Van

Niftrik dan rekannya Bj. Boland,54 Istilah dokmatika berasal dari bahasa

Yunani yang jamaknya dogmata. Mereka mengatakan bahwa kata itu mula-mula berarti pandapat atau pandangan, kemudian berarti khusus, yaitu pandangan atau ajaran pada lapangan filsafat. Selanjutnya kata dogma itu berarti juga keputusan atau yang telah ditetapkan baik oleh seseorang tokoh maupun oleh suatu persidangan. Oleh karena keputusan seperti itu biasanya diumumkan, maka arti kata dogma berubah menjadi peraturan, perintah, pengumuman atau yang semisalnya. Orientasi dogma itu mengarah pada prinsip-prinsip ajaran atau sesuatu sistem doktrin, terutama yang dihasilkan oleh kekuasaan gereja atau pandapat tokoh tertentu yang dipandang memiliki akar dan pengaruh terhadap masyarakat yang mengikutinya.

Posisi dogma mewakili norma tertentu.55 Jika doktrin merupakan

norma yang berdasarkan elaborasi (interpretatif) dari mite, maka dogma adalah sebuah kepastian tertentu yang lebih luas terhadap keyakinan-keyakinan agama. Sifat dari dogma cenderung memaksa berdasarkan kewenangan tertentu agar dapat diyakini dengan sungguh-sungguh dan serius. Contohnya, Undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu yang dibuat oleh “penguasa” dapat dikategorikan dogma karena ada unsur pemaksaan, meski berbeda dengan kadar pemaksaan yang ada dalam agama. Kalau meminjam istilah Wach yang seperti ini disebut “pseudo-agama” atau agama palsu.

2. Ekspresi Praktis (Perbuatan)

Seperti yang telah dijelaskan di atas, pengalaman keagamaan sebagai sesuatu pertautan antara manusia dengan Realitas Mutlak yang diwujudkan ke dalam pemikiran. Sedangkan untuk memperkokohnya diperlukan manifestasi tingkah laku atau perbuatan. Dalam konteks ini, perbuatan agama bisa berwujud pemujaan, upacara-upacara ritual sebagai responsif penghayatan terhadap Realitas Mutlak (Tuhan). Gerardus van der Leeuw

54 G.C. Van Niftrik & B. J. Bolland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 9.

memberikan komentarnya bahwa, “Tuhan akan hadir kepada manusia,

ketika manusia mendekati-Nya”.56 Ini dapat dimaknai eksistensi Tuhan

harus terus-menerus diperkokoh oleh manusia melalui praktek-praktek keagamaan agar terjaga keterpautan dengan-Nya. Pengalaman keagamaan dalam bentuk nyata (kultus), adalah bentuk tanggapan total, mendalam dan integrasi atas Realitas Mutlak. Bentuk perbuatan nyata yang dimaksudkan adalah peribadatan dan pelayanan — ini menjelaskan keseimbangan antara lahir dan batin. Artinya, dalam pengalaman keagamaan jenis ini mengungkapkan tentang pengalaman manusia yang utuh dimana akal, jiwa dan badan mengintegrasi. Dengan demikian, wujud ibadah adalah perbuatan yang tertinggi dalam kehidupan seseorang manusia untuk menghadap Realitas Mutlak dengan cara memuja (sembayang atau ibadah ritual).

Ibadah dijalankan dengan cara memusatkan fikiran dan merenungkan kehadiran Tuhan atau dengan berterimakasih kepadaNya — menandakan kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada kekuasaan yang sarat dengan pemujaan. Refleksi pemujaan itu bagian dari rasa hormat yang mendalam untuk menuju “titik tertinggi” dalam suasana fikiran terstruktur dari rasa kagum, takut, segan dan mungkin cinta. Biasanya, pengalaman tersebut dapat dilihat dalam tradisi sufi tatkala mereka sedang “ekstase” baik ketika sholat atau kontemplasi. Van der Leeuw yang dikutip Wach mengemukakan bahwa dalam ibadah, manusia seakan-akan menjadi dirinya yang utuh tatkala menghadap Realitas Mutlak. Ketika dia memohon kepada Tuhan, dia menghubungkan dirinya dengan sesuatu pusat kekuatan tempat dia mencari kekuatan, perlindungan, dan inspirasi. Tujuan utama dari pengalaman ibadah ini adalah konsekrasi, yaitu adanya perubahan dari semua wujud baik konkrit maupun abstrak agar serasi dengan tatanan alam dan kehendak Tuhan.

Ada 4 masalah pokok yang harus dipertimbangkan untuk mengetahui orang yang matang beragama berkenaan dengan pelaksanaan. Ke 4 masalah tersebut berkaitan erat dengan pertanyaan: 1) Dimanakah ibadah itu dilakukan? Pada dasarnya di tempat manapun, baik secara teratur

56 Gerardus van der Leeuw, Religion in Essence and Manifestation (London: Allen & Unwin, 1938), 376.

atau temporer, dapat dijadikan untuk tempat ibadah. Pertimbangan yang terpenting dalam pelaksanaan ibadah adalah bersihnya tempat yang akan digunakan. Semakin tinggi orang melaksanakan kebutuhan dan peribadatan di tempat ibadah yang paling penting legal ditentukan oleh agama, dapat dipandang semakin matanglah keagamaannya, dan sebaliknya. 2) Kapankah orang melakukan ibadah? Pemahaman dan pelaksanaan ibadah tepat pada waktunya merupakan satu gambaran bahwa si pelaku telah matang dalam beragama sebab pada setiap upacara peribadatan ada keterikatan pada waktu tertentu sebagai saat suci yang dianggap orang akan lebih baik melakukan amal perbuatannya pada waktu tersebut. Ada peristiwa diesfasti yang menetapkan kekhususan waktu, sehingga orang dipandang baik untuk melakukan kegiatan transaksi. Sebaliknya, adapula nefasti, yaitu saat dimana orang tidak melakukan kegiatan itu. Bahkan ada yang lebih umum ruang lingkup pemaknaannya, yaitu Dies religiosi/vitiesi dimana secara resmi orang tabu melakukan perbuatan. 3) Bagaimanakah orang melaksanakan ibadah? Setiap agama mempunyai aturan khusus tentang cara-cara melaksanakannya pada pekerjan ibadah yang hanya menuntut ketetapan hati, ucapan lidah, atau gerakan badan secara terpisah, tetapi pada kesempatan lain dituntut terlibat ketiga-tiganya. Dalam melaksanakan ibadahnya, ada cara yang melibatkan konsentrasi diri dan meditasi secara diam-diam dihadapan bayangan hadirnya Yang Maha Kuasa. Ada pula ibadah dalam bentuk puju-pujian yang disuarakan. 4) Siapakah orang yang beribadah? Semua orang yang mengaku berafiliasi kepada agama tertentu, mereka berkewajiban melaksanakan syariat agamanya, khususnya tindakan peribadatan. Itu berarti hak untuk memperoleh kualifikasi tertinggi dalam kematangan beragamanya adalah sama bagi semua orang yang menganut agama tertentu. Namun dalam tiap agama selalu ada batasan-batasan khusus yang pelaksanaannya dapat mengangkat kualitas ibadah ke tingkat yang lebih memungkinkan untuk memperoleh pahala yang setinggi-tingginya. Ditengah-tengah persamaan kewajiban melaksanakan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, diakui pula adanya perbedaan posisi insaniah individu seseorang yang dapat membedakan kadar kematangan beragama.

Aspek-aspek yang dapat membawa akibat berbedanya kualitas kematangan beragama seseorang, adalah posisi jenis kelamin, kadar

kesehatan, status sosial sampai pada keajegan melakukan perintah agama. Jika diamati, agama-agama primitif lebih mengedepankan pengalaman keagamaan bentuk perbuatan dari pada pemikiran. Bagi agama primitif, pemikiran teoritis kurang berperan penting karena, realitas mereka lebih pada dunia tingkah laku, dimana upacara-upacara keagamaan adalah yang paling tinggi derajatnya. Dunia mereka bukan dunia pengetahuan, tetapi sebagai dunia perbuatan, tidak statis tapi dinamis, tidak teoritis

tapi pragmatis.57 Hampir-hampir tidak ada kegiatan yang tidak dipandang

sebagai perbuatan kultus (sesuatu yang suci). Bagi mereka, makan, tidur, kawin, berburu/mencari rizki sebagai perbuatan yang menghubungkan

dia dengan Tuhan.58 Kegiatan keagamaan tidak lain adalah kegiatan

penting yang dikembangkan melalui kedalaman spriritual menuju suatu kekuasaan yang lebih tinggi. Akan tetapi dalam tingkat yang paling sederhana sekalipun, kita dapat menemukan adanya perbuatan-perbuatan tertentu yang secara khusus dapat disebut perbuatan agama. Pengalaman keagamaan lebih pada melihat tujuan (motivasi) dari pada perbuatan itu sendiri. Dalam agama Yahudi disebut Kawannah, sedangkan Islam disebut dengan Niyah. Persembahan akan dapat meningkatkan suatu perbuatan menjadi suci di hadapan tuhan. Masing-masing perbuatan menciptakan suatu bentuk ibadah penuh atau mempertegas kesediaan menerima anugerah dari hubungan pribadi dengan Tuhan.

Pada intinya, ekspresi praktis dari suatu pengalaman keagamaan adalah mengenai segala bentuk peribadatan yang didasarkan maupun dilaksanakan oleh pemeluk agama. Peribadatan itu sendiri mempunyai dua macam bentuk. Pertama, ibadah khusus, dan kedua, ibadah dalam arti umum atau yang menyangkut dengan pelayanan sosial. Bentuk ibadah yang pertama adalah ibadah tertentu dan telah ditentukan secara ketat dalam ajaran agama. Baik bentuk, waktu, maupun tempatnya, sedangkan bentuk ibadah yang kedua, merupakan bentuk kegiatan umum yang bernuansa keagamaan, mengandung nilai keagamaan, tetapi tidak

57 Heinz Werner, Comparative Psychology of Mental Development (Chicago: Follet, 1948). 402.

58 Roberth Ranulph Marett, Sacraments of Simple Folks (Oxford: Clarendon, 1933), 35.

ditentukan secara ketat dan eksplisit dalam ajaran atau doktrin agamanya yang berkenaan dengan waktu, bentuk, tempat dan tata caranya.

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 36-40)