• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi dalam Persekutuan

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 40-43)

D. Ekspresi Pengalaman Keagamaan

3. Ekspresi dalam Persekutuan

ditentukan secara ketat dan eksplisit dalam ajaran atau doktrin agamanya yang berkenaan dengan waktu, bentuk, tempat dan tata caranya.

3. Ekspresi dalam Persekutuan

Penelitian terhadap agama-agama primitif memperlihatkan bahwa agama pada umumnya merupakan suatu usaha kolektif, meski bertolak dari pengalaman perorangan. Hal ini diperkuat oleh Marett dengan menyatakan, subyek yang empunya pengalaman keagamaan

adalah masyarakat beragama.59 Oleh karenanya, masyarakat semestinya

diperlakukan sebagai penanggungjawab utama dari perasaan, pemikiran

dan perbuatan-perbuatan yang membentuk agama.60 Gagasan ini sepaham

dengan pendapat Durkheim yang menganggap agama adalah bentukan dari anggota masyarakat yang mempunyai kesamaan kecenderungan. Atau boleh jadi, melalui perbuatan keagamaan, terbentuklah kelompok keagamaan, karena hampir tidak ada agama yang tidak mengembangkan bentuk persekutuan keagamaan (ummah). Oleh karenanya, beberapa antropolog seperti Malinowski salalu menekankan pentingnya untuk mengkaji pengaruh agama terhadap masyarakat, atau sebaliknya.

Sepanjang kegiatan keagamaan senantiasa akan terdapat kelompok-kelompok umatnya. Tidak ada agama yang tidak mengembangkan persaudaraan keagamaan. Kehadiran kelompok agama merupakan kelanjutan dari bukti-bukti perkembangan suatu agama, baik berhubungan dengan kebenaran agama tersebut, maupun mengenai tatacara yang harus dilaksanakan pemeluknya. Ada hubungan ganda yang menyifati kelompok keagamaan. Hubungan kolektif dan individu di dalam kelompok keagamaan meliputi dua keterikatan, yaitu hubungan dan keterikatan karena sesuatu yang dianggap Maha Kuasa dan keterikatan karena keanggotaan dari kelompoknya. Kelompok keagamaan itu lebih kuat daripada perkumpulan-perkumpulan yang lain, sebab kehadirannya disadari oleh keyakinan yang orisinil mengenai benarnya aturan, pandangan hidup, sikap dan suasana kehidupan agama yang dianutnya.

59 Robert Ranulph Marett, The Treshold of Religion (London: Methuen, 1914), 137.

Dilihat dari faktor penyebabnya, Joachim Wach menyebutkan 4 hal

yang menumbuhkan perbedaan dalam satu kelompok agama, yaitu:61

1) Perbedaan karena fungsi; Perbedaan fungsi ini paling tidak bertolak dari perbedaan umur. Perbedaan fungsi ini menjadi dasar pertimbangan untuk mengetahui pemenuhan persyaratan spesialisasi serta fanatisme agama yang menyakinkan. Derajat perbedaan dilihat dari fungsi seseorang dalam suatu kelompok keagamaan tidak perlu ketergantungan terhadap tingkat kultur pada umumnya. Salah-satu dasar perbedaan diantara macam-macam fungsi dalam kelompok keagamaan adalah mengenai permanent/temporer, pribadi/turunan dan secara actual/ hanya berfungsi sebagai penghormatan semata-mata. 2) Perbedaan berdasarkan atas karisma; Anugrah karismatik mungkin berbeda bentuk dan macamnya, tetapi yang jelas menunjukan tingginya derajat kekuatan spiritualnya. Bentuk-bentuk kekuatan spiritual itu dapat dilihat dari: a) Berhubungan dengan pengaturan alam. b) Kemampuan memperbaiki/ menyembuhkan kerusakan fisik/mental seseorang. c) Mengembangkan kemampuan teknologis dengan cara mengajarinya, mengarahkannya, dan menunjukannya. d) Kekuatan fisik, kemampuan intelektual, kebaikan moral dan keterampilan yang luar biasa. 3) Perbedaan karena umur, jenis kelamin, dan keturunan; Perbedaan usia akan berakibat berbedanya jamaah dalam memainkan fungsi dan peranannya (individual/ kolektif) dalam kehidupan kelompok keagamaan. Sementara itu laki-laki dan perempuan juga senantiasa berpisah dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Perbedaan keturunan juga dapat berakibat berbeda status dalam kelompok agamanya, sehingga upacara-upacara keagamaan sering mempertimbangkan ras-ras tertentu yang boleh berpartisipasi baik secara keseluruhan maupun sebagian. 4) Perbedaan karena status; Perbedaan karena status ini merupakan kombinasi dari 3 perbedaan sebelumnya di atas. Seringkali kekayaan dihubungkan dengan hak-hak yang istimewa. Majikan, ketua, atau pemimpin politik mempunyai pengaruh yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bangsawan laki-laki maupun perempuan, atau dalam hal yang lain seseorang yang ditempatkan demikian tinggi, akan dihormati secara khusus meskipun tidak ada suatu dukungan keagamaan bagi pembedaan semacam itu. Tetapi dalam berbagai masyarakat agama

yang membenarkan adanya perbedaan-perbedaan status, terdapat penjelasan-penjelasan mitologis dan teologis, terutama dalam lingkungan masyarakat-masyarakat primitif yang tertentu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat (gesellschaft) dalam kaitannya saling menentukan, diperlukan deskripsi empirik maupun fenomenologis. Metode-metode ini dipergunakan untuk menghindari dari klaim-klaim normatif-teologis (apologis), dan lebih mengedepankan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya di lapangan. Kerja intelektual yang demikian ini adalah tugas sosiologi agama. Sosiologi agama bukanlah menstudi agama dalam konteks teologinya, namun hanya pada ekspresi empirisnya. Terkait dengan signifikansi masyarakat beragama, kelompok keagamaan sangat berbeda dari kelompok-kelompok lain, terutama yang berkaitan dengan kecenderungan dan motivasi. Kelompok keagamaan lebih dari pada bentuk-bentuk persekutuan yang lain, memperlihatkan diri sebagai sebuah mikrokosmos yang mempunyai hukum tersendiri, pandangan hidup, sikap dan suasana tersendiri pula.

Terdapat perbedaan pemahaman terhadap Tuhan atau ungkapan-ungkapan teoretis pengalaman keagamaan dalam masyarakat-masyarakat agama. Lebih dari itu juga, mereka berbeda dalam derajat semangat atau kedalaman semangat keagamaannya. Perbedaan ini baik dalam tingkat peradaban dan agama yang lebih rendah (primitif), ataupun yang lebih tinggi (modern) – ditemukan adanya sikap-sikap keagamaan yang mendalam, kuat dan militan, di samping sikap-sikap yang acuh tak acuh, lemah dan permisif. Terlepas dari perbedaan kedalaman pengalamaan keagamaan mereka, yang jelas tidak ada hubungan yang lebih kuat di antara manusia, dibandingkan dengan hubungan mereka satu sama lain atas nama Tuhan. Hubungan jenis ini lebih pada ikatan emosional dari pada rasional. Salah satu contoh, ketika umat Islam di negara lain teraniaya (Afganistan, Irak dan Palestina), sebagian umat Islam di tempat lain merasa ikut teraniaya pula dengan mengatasnamakan solidaritas keagamaan. Apalagi dikaitkan dengan respon dari kelompok Islam “garis keras” al-Qaidah (Osama bin Laden), dalam setiap melakukan kegiatan serangan balik ke negara-negara Barat, selalu mengatasnamakan solidaritas kaum muslimin dunia. Terlepas setuju atau tidak atas aksi yang mereka lakukan mengatasnamakan agama. Yang jelas, hal ini dapat menguatkan

kesahihan teori Wach tentang ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan yang dibuktikan dengan peristiwa “terorisme” yang ada di Indonesia dengan simbol solidaritas agama.

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 40-43)