• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ritual Konstitutif

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 120-124)

TINDAKAN AGAMA DAN MITOS PEMBENTUK UPACARA RITUAL

3. Ritual Konstitutif

Tindakan religius merupakan upaya yang sungguh-sungguh berupaya untuk mencari jalan keselamatan jiwa melalui pola peribadatan dengan tujuan utama menjalin komunikasi antara manusia dengan alam transenden. Tindakan religius memusatkan perhatian pada penyembahan/ pemujaan, pelaksanaan puasa, serta tindakan-tindakan lain yang sifatnya keagamaan dan ditujukan kepada Tuhan semata.

Masing-masing pemeluk agama melakukan tindakan religius yang berbeda-beda bergantung pada ajaran agamanya masing-masing. Namun ada yang perlu digaris bawahi bahwa meskipun cara mempraktikkan tindakan religius itu berbeda-beda, namun tujuannya adalah sama, yakni selalu berdasarkan nilai-nilai religiositas dan dipersembahkan untuk Tuhan. Inilah yang membedakan tindakan religius dengan tindakan-tindakan yang lain.

3. Ritual Konstitutif

Ritual yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini

upacara-upacara kehidupan menjadi khas.26 Dalam ritual konstitutif tersebut,

ritual sangat dibutuhkan ketika perubahan-perubahan sosial terjadi pada masyarakat, terutama masyarakat kesukuan di mana pada masyarakat tersebut terbentuk paguyuban mistik. Tentunya perubahan sosial yang dianggap perlu untuk dilakukan adanya ritual adalah perubahan yang sifatnya destruktif ataupun perpindahan menuju status baru bagi mereka dengan tujuan melakukan penyatuan dan mengembalikan atau menstabilkan kondisi menjadi lebih baik dan bersifat konstruktif.

Ritual konstitutif selalu tidak lepas dengan ritual yang memanfaatkan daya-daya mistis untuk mencapai tujuannya. Ada beberapa hal terhadap suatu keadaan yang menyebabkan perlu adanya ritual konstitutif tersebut. Misalnya, dalam sebuah masyarakat tertentu apabila terjadi sebuah perpecahan, penyelewengan, dan pelanggaran ringan maupun yang lebih keji dari itu, dipercaya akan mendatangkan malapetaka bagi orang-orang yang ada dalam komunitas masyarakat tersebut. Dalam keadaan seperti inilah, maka ritual konstitutif yang berkenaan dengan daya dan makhluk-makhluk mistis perlu dilakukan. Tujuannya adalah untuk menstabilkan

atau memulihkan hubungan-hubungan sosial yang berubah tersebut. Oleh Van Gennep, upaya pemulihan dengan ritual konstitutif tersebut bertujuan untuk memperoleh penyatuan kembali untuk menetapkan keseimbangan baru terhadap hubugan-hubungan yang berubah. Ritual dipandang sebagai muncul dari situasi-situasi di mana kelompok yang bekerja sama harus menangani pertentangan-pertentangan yang radikal

dalam konstitusi mereka sendiri.27

Adanya aturan-aturan dasar dan nilai-nilai sosial yang dibangun oleh berbagai hubungan, menggerakkan antar individu maupun antar subkelompok untuk berdebat dengan rekan-rekan mereka yang berada pada kelompok yang memiliki kesepakatan besar. Terhadap hal ini, ritual konstitutif berusaha menutupi pertentangan dasariah terhadap aturan-aturan dasar dan nilai-nilai sosial yang sudah ditetapkan tersebut.

Merujuk kepada pemikiran van Gennep, bahwa ritual konstitutif bertujuan untuk memperoleh penyatuan kembali. Dalam hal ini, ritual konstitutif tidak selamanya digunakan untuk mengatasi cheos antar individu & kelompok dalam masyarakat, tetapi juga dapat digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan perpindahan individu-individu dan kelompok-kelompok dalam wilayah, serta perpindahan menuju status baru. Sebagai contoh pada masa kehamilan dan kelahiran, masa inisiasi, pertunangan dan perkawinan, upacara pemakaman, juga yang berkaitan dengan ritual peralihan musim dan fase-fase bulan (masa tanam dan panen), masa pentahbisan dan pelantikan, dan lain-lain.

Dalam kondisi-kondisi seperti yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat adanya suatu pemisahan dari status sosial yang lama menuju status sosial yang baru, yang dalam hal ini terjadi proses penyatuan kepada kondisi baru. Proses semacam ini membutuhkan adanya sebuah ritual konstitutif. Dalam tiap ritual selalu memperlihatkan simbol-simbol, begitu pula ritual konstitutif. Simbol konstitutif bentuk konkritnya adalah berupa kepercayaan dan dasar inti perilaku keagamaan. Simbol tersebut sebagai sub sistem dari sistem kebudayaan yang menjamin atau memenuhi

27 Max Gluckman, Rituals of Rebbelion in South-East Africa (Manchester: Manchester University Press, 1954), t.h.

kesinambungan atau mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem sesuai dengan aturan atau norma-norma.

4. Ritual Faktitif

Ritual yang terkait dengan cara meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Tujuan dari ritual ini lebih dari sekedar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial, tidak saja mewujudkan kurban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota-anggota

jemaah dalam konteks peranan sekuler mereka.28

Ada poin penting yang bisa dilihat dari ritual faktitif, yaitu tujuan dari ritual itu sendiri. Tujuan tersebut membedakan antara ritual faktitif dengan ritual-ritual lainnya. Fokus utamanya adalah upaya peningkatan produktivitas dan perlindungan dari seorang individu maupun kelompok yang melakukan ritual tersebut. Namun, ritual faktitif tetaplah sebuah ritual, di mana selalu berkaitan dengan hal-hal yang terkadang diluar nalar dan tidak masuk akal bagi kaum rasionalis. Umumnya, ritual ini dilakukan oleh kelompok masyarakat tradisional terutama dalam hal untuk peningkatan produktivitas. Namun, jika terkait fungsi perlindungan, maka ritual ini tidak hanya terbatas pada masyarakat tradisional saja, melainkan masyarakat modern (dalam gaya hidup, tetapi belum tentu pemikirannya) juga terkadang sebagian melakukan ritual ini untuk tujuan perlindungan diri.

Ritual faktitif ini pada intinya adalah cara-cara untuk berdamai dengan Tuhan ataupun dewa-dewa melalui serangkaian ritual yang disertai dengan pemberian kurban agar Tuhan ataupun dewa-dewa tersebut menjamin keselamatan, memberikan perlindungan, dan memberikan kesejahteraan kepada mereka.

Untuk lebih memahami tentang ritual faktitif ini, perlu adanya sebuah contoh pelaksanaan ritual tersebut. Pertama, ritual faktitif sebagai upaya peningkatan produktivitas. Masyarakat pedesaan tradisional pada umumnya adalah bermata pencaharian sebagai petani, di mana mata

28 Max Gluckman (ed.), Essays on the Ritual of social Relations (Manchester: Manchester University Press, 1966), 23-24.

pencaharian tersebut sangat bergantung dengan kondisi alam, cuaca, iklim, dan lain sebagainya. Terkadang kondisi alam sangat tidak menentu dan tidak bersahabat. Menghadapi alam yang tidak bersahabat itu, mereka terkondisikan untuk mengembangkan strategi dan siasat tertentu agar mereka tetap survive. Mengingat mereka masih mempraktikkan kebudayaan yang bersifat tradisional, cara-cara untuk berdamai dengan kondisi alam yang tidak ramah tersebut cenderung ditempuh dengan jalan mistis. Untuk menjamin kesuburan tanah, mendatangkan hujan, menjauhkan hama, dan menghasilkan panen berlimpah, misalnya, mereka melaksanakan berbagai macam ritual dan seremoni adat yang pada intinya untuk meminta berkah dan pertolongan dari sang Ilahi. Mereka juga menganggap bahwa setiap bencana yang menimpa mereka merupakan buah dari hubungan yang kurang harmonis dengan Tuhannya. Misalnya kekeringan yang berkepanjangan. Bagi mereka kekeringan di musim kemarau merupakan akibat dari kemurkaan Tuhan lantaran manusia kurang mampu menjaga hubungan harmonis dengannya. Begitu juga pada kasus gagal panen, yang mereka yakini sebagai petanda bahwa Tuhan tidak lagi memberikan berkah kesuburan tanah sehingga setiap tanaman yang ditancapkan di bumi tidak akan berbuah hasil. Oleh karena itu, mereka mengadakan ritual dan memberikan kurban (baik berupa hasil pertanian ataupun hewan) pada waktu sebelum menanam maupun ketika panen. Contoh tersebut tidak hanya berlaku untuk masyarakat agraris saja, masyarakat nelayan pun juga melakukannya dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak.

Selain meningkatkan produktivitas, ritual faktitif juga bertujuan untuk menjamin keselamatan dan perlindungan. Sebagai contoh, orang-orang yang memegang jabatan politis dan strategis melakukan ritual ini dengan harapan akan mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari Tuhan atas orang-orang yang akan berusaha meruntuhkan jabatannya dan mengancam keselamatan jiwanya. Contoh lain misalnya, masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Merapi juga melakukan ritual ini dengan tujuan diberikan keselamatan dan terhindar dari ancaman gunung meletus, dan masih banyak contoh-contoh yang lainnya.

Dalam dokumen Keragaman perilaku beragama (Halaman 120-124)