• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penyalahgunaan Ipteks Bagi Kehidupan

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 135-143)

Selamat Bekerja

5. Dampak Penyalahgunaan Ipteks Bagi Kehidupan

Konsekwensi negative yang tidak diharapkan dari pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan reaksi romantis yang mengajak kembali kea lam yang berbeda. Sebuah restorasi atas kemurnian alam yang tidak terkontaminasi dan teralienasi oleh intervensi manusia. Semua sikap terhadap ala mini mewakili pola dominasi hirarkis dan penaklukan, dominasi melalui

pemilikan dan control, ataupun melalui pencemaran nama baik, eksploitasi serta identitas dengan memelihara alam sebagai surga untuk banyak orang.cxix

Kemajuan teknologi serta dampaknya pada pembangunan dan ekspansi ekonomi telah mengubah kehidupan dan pikiran manusia, pergerakan sosial telah menggeser tata hierarkhi organis, rahim bumi, dan sumber daya yang dimiliki bersama menjadi dasar untuk ekonomi pasar yang intensif.

Reduksionisme

Ilmu pengetahuan yang modern memiliki dasar pijakan pada reduksionisme.cxx Reduksionisme merupakan suatu keyakinan dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia yang menolak kemungkinan adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. Paham ini dasar ontologinya adalah homogenitas, bertentangan dengan paham pluralitas atau dialektika.

Ilmu pengetahuan modern yang dimitoskan sebagai universal, bebas nilai, dan obyektif pada dasarnya sangat berakar pada budaya barat dan sangat patriarkhis. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan kesenjangan natara yang tahu (spesialis) dengan yang awam(bukan spesialis). Reduksionis menghendaki adanya keseragaman dalam hal pendekatan, yaitu hanya ada satu cara dan tidak mentolerir yang lain. Reduksionis mencabut kemampuan alam dan potensi manusia serta menggantinya dengan teknologi. Rekayasa Teknologi

Penerapan IPTEK dalam rekayasa pertanian berupa revolusi hijau, rekayasa kelautan berupa revolusi biru, industrialisasi, merupakan bukti kemampuan manusia dalam mengembangkan daya dukung lingkungan alam. Tetapi disisi lain hal ini juga menimbulkan dampak negative berupa kerusakan ekosistem, ketidakseimbangan lingkungan bahkan pencemaran yang akhirnya menjadi bencana bagi umat manusia.

Disamping itu imbas dibidang sosial berupa semakin melebarnya kesenjangan sosial. Orang kaya yang menguasai IPTEK akan semakin kaya dan si miskin yang tidak mampu menguasai IPTEK akan semakin terpuruk dan menjadi korban penindasan kelompok yang kaya. Ini terjadi bukan hanya dalam konteks suatu Negara, tapi di percaturan dunia, Negara yang tidak menguasai IPTEK akan terus dieksploitasi oleh Negara-negara maju, diambil SDA-nya, juga tenaga kerjanya yang murah, selanjutnya dijadikan pasar hasil industri oleh mereka.

Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah manusia.

Dilema determinisme.

Bagi para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan lagi. Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia.

Dia berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi dibentuk oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa teknologi modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.

Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.

Determinisme teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan Merritt Roe Smith, paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal revolusi industri. Gagasan ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin tumbuh subur di budaya masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan melekat dengan kuat. Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas teknologi. Paham ini begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk dalam lingkungan akademik.

Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana teknologi itu berada.

Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.

Fenomenologi teknologi

Bagaimanakah relasi antara manusia dan teknologi terjadi? Fenomenologi adalah kendaraan untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi teknologi mengeksplorasi pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan bagaimana struktur pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun. Setidaknya itu yang dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia dan teknologi secara komprehensif.

Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan “ontologi relativistis” untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.

Melalui fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep multistabilitas untuk menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya teknologi. Konsep multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan teknologi tidak tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun dengan artefak teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak dalam satu posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia. Karena itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.

Bentukan sosial teknologi

Prinsip-prinsip dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang eksklusif dalam studi filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi menjadi dasar metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi dalam memahami relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog teknologi, teknologi merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks yang terjadi di masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi bukanlah hal yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah kompromi. Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari cara kita hidup dan mengatur masyarakat.

Kekuasaan dalam konfigurasi

Relasi kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi sosial teknologi. Setidaknya tiga kasus menarik bisa kita amati dalam domain ini untuk melihat bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama lain.

Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan

jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan-jembatan tersebut tidaklah “normal”. Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya.

Menurut Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasan-alasan teknis, misalnya efisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi. Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam pembangunan kota New York di awal abad ke-20.

Dari investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan diskriminatif di balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut dibangun sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi masuknya bis ke wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke Jones Beach, sebuah pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.

Secara materialistis, jembatan Long Island, adalah artefak yang terdiri dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan.

Budaya dan teknologi

Kekuasaan tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu konsteks budaya tertentu sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal. Karena itu, seperti yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik kekuasaan dalam teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang sistem budaya diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari suatu teknologi baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos dan ritual dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna.

Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit.

Mendekati kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan kita ke konsep konstruksi budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses interpretasi-reinterpretasi dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di

dalam masyarakat. Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam artefak teknologi.

Dalam kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi menyerupai apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage. Bricolage adalah aktivitas penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu tuntutan lingkungan. Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan prinsip bricolage di mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di masyarakat. Dalam pola ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur. Dia menghasilkan suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang sudah ada untuk dibentuk menjadi suatu teknologi “baru” dalam konteks budaya di mana dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep makna yang digunakan.

Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan “tool” untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai “cultural fix” di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya.

Kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap “taken for granted” dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang dapat menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.

Namun demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Alasan untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada aspek materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia mengantarkan manusia kepada bentuk “kebenaran” tentang potensi-potensi yang tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alamcxxi.

TUGAS

- bentuk kelompok yang terdiri dari lima orang mahasiswa.

- Buatlah portofolio berkaitan dengan fenomena teknologi dalam kehidupan manusia yang meliputi

1. permasalahan seputar teknologi dan kehidupan manusia 2. dampak negatif dan positif teknologi

BAB VIII

MANUSIA DAN LINGKUNGAN

Oleh : Linda Dwi Eriyanti, S.Sos 1. Hakekat Lingkungan Sosial Dan Alam Bagi Manusia

Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain bukan sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka manusia tidak dapat hidup. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dengan mengandaikan jika di bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan. Dari manakah kita mendapatkan oksigen dan makanan? Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, tumbuhan, hewan, dan jasad renik akan tetap dapat melangsungkan kehidupannya, seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia.

Einsteins konon pernah mengartikan lingkungan sebagai ‘segala sesuatu kecuali saya’. Aforisme ini menyiratkan salah satu dilemma dalam konsepsai lingkungan. Tidak seperti makhluk hidup lainnya, manusia dapat melihat dunia sekelilingnya sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya. Toynbeecxxii

mengaitkannya dengan daya pikir rasional dan kekuatan emosi manusia. Manusia adalah penakluk alam, sekaligus pihak yang paling merasa terancam olehnya.

Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya diseebut lingkungan hidup makhluk tersebut.

Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam factor. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Dengan mudah dapat kita lihat, suatu lingkungan hidup dengan 10 orang manusia, seekor anjing, tiga ekor burung perkutut, sebatang pohon kelapa dan sebuah bukit batu akan berbeda sifatnya dari lingkungan yang sama besarnya tetapi hanya ada seorang mnausia, 10 ekor anjing, tertutup rimbun oleh pohon bamboo dan tidak berbukit batu. Dalam golongan jenis unsure lingkungan hidup termasuk pula zat kimia.

Kedua, hubungan atau interaksi antara unsure dalam lingkungan hidup itu. Misalnya dalam ruangan terdapat delapan kursi, empat meja, dan empat pot tanaman bunga. Dalam ruangan itu delapan kursi diletakkan sepanjang satu dinding dengan sebuah meja didepan setiap dua kursi dan sebuah pot bunga diatas masing-masing meja. Sifat ruangan berbeda jika dua kursi dengan sebuah meja diletakkan ditengah masing-masing dinding dan sebuah pot di masing-masing sudut.

Ketiga, kelakuan atau kondisi unsure lingkungan hidup, misalnya suatu kota yang penduduknya ktif dan bekerja keras merupakan lingkungan hidup yang berbeda dari kota yang serupa tetapi penduduknya santai dan malas. Keempat, factor non materiil suhu, cahaya, dan kebisingan. Kita dapat dengan mudah merasakan ini. Lingkungan yang panas, silau dan bisingsangatlah berbeda dengan lingkungan yang sejuk, cahaya yang cukup, tapi tidak silau dan tenang. Manusia dan alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan manusia telah mampu mengungkap sebagian kecil rahasia alam semesta ini.

Lingkungan alam adalah kondisi alamiah baik biotik ( tumbuhan, hewan ), maupun lingkungan abiotik (tanah, air, mineral, udara) yang belum banyak dipengaruhi oleh tangan manusia, yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Lingkungan sosial yaitu suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.

Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik yang berupa materi maupun non materi, yang dihasilkan oleh manusia melalui aktivitas, kreatifitas, dan penciptaan yang berpengaruh terhadap lingkungan alam. Lingkungan budaya yang berupa materi meliputi bangunan, peralatan, senjata, pakaian, dll. Sedangkan yang non materi berupa tata nilai, norma, pranata, peraturan, hokum, system politik, system ekonomi, system pemerintahan, dll.

Lingkungan alam dan lingkungan sosial saling berpengaruh dan berinteraksi secara aktif. Lingkungan alam dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan sebaliknya. Manusia yang tingkat budaya dan peradabannya sudah maju, mampu mempertahankan lingkungan alamnya, dan sebaliknya. Oleh karena itu kita semua wajib memiliki wawasan yang luas tentang lingkungan, serta memiliki kemampuan untuk melihat dan menganalisis perspektif ruang muka bumi yang meliputi perubahan serta perkembangan hari ini untuk menatap amsa depan. Sebagai akibat tuntutan kebutuhan manusia yang multi aspek, perubahan ruang dan tata ruang sudah menjadi tuntutan alamiah. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah agar masalah dengan lingkungan tadi tidak menimbulkan ketimpangan ruang, ketimpangan lingkungan, atau ketimpangan ekologi.

Manusia sebagai makhluk dinamis, dinamika kehidupannya dipengaruhi factor dominant yang berupa lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alamnya.

Ekologi dan manusia

Kata ‘eko’ dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti rumah tempat tinggal : tempat tinggal semua manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari.cxxiii Ekologi mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup; mengkaitkan ilmu kemanusiaan dan ilmu alam-bersifat interdisipliner. Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral holistic, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman.cxxiv Ia sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan terhadap dunia yang dualistis, dikotomis. Usaha pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia mengakui keterbatasannya, bahwa ia tidak pernah dapat memahami sepenuhnya kerja dunia dan semua unsurnya. Maka ia mau bekerjasama dengan alam lingkungan untuk mengarahkan hidup ini secara

bersama-sama kepada kesejahteraan seluruh anggota komunitas dunia ini.itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap makhluk sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang kongret integral.cxxv

Alam merupakan guru terbaik, ia menstimulasi kapasitas untuk menangani lingkungan tak terduga dan kejadian yang tidak diperkirakan dengan maksud dan kemurahan hati dari roh, memercikkan momen transenden dan menginspirasikan tindakan yang kreatif. Hukum alam membangkitkan pola hidup yang kaya dengan kesederhanaan dan kerendahan hati, kemurnian, kebenaran, kemurahan hati, dan cinta kasih.cxxvi

Menurut Hanne Strong, kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan pada hukum alam yang dipahami masyarakat asli dan tradisional. Masyarakat ini berbicaraberbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh sang pencipta. Mereka mengetahui dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan 4 elemen pemberi kehidupan yaitu tanah, air, udara, dan api (energi), serta mengajarkan penghormatan pada kesatuan dan kesalingketergantungan dari seluruh kehidupan. Hanya jika kita memahami Hukum Kesalingtergantungan, kita dapat memperbaiki kerusakan keempat elemen pemberi kehidupan kita. dan hanya jika kita mengalami kesalingterkaitan satu sama lain, kita dapat memulai mengubah sumbernya : hati dan pikiran manusia.

Ini disepakati Fukuoka, yang mengatakan : “tidak ada jalan lain untuk perdamaian kecuali semua orang harus meninggalkan gerbang istana persepsi yang relative, turun ke padang rumput, dan kembali ke jantung alam yang non

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 135-143)