• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Keragaman dan Solusinya dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 82-96)

Selamat Bekerja

3. Problematika Keragaman dan Solusinya dalam Kehidupan Masyarakat

dan Negara.

Struktur dunia internasional yang majemuk ditandai oleh adanya keragaman suku bangsa, agama dan budaya (bahkan peradaban). Namun, keragaman tersebut mengandung potensi-potensi masalah bahkan konflik, baik pada tingkat regional maupun tingkat internasional, jika masyarakat tidak mau atau tidak bisa menerima adanya keragaman.

Adalah Samuel P. Hutington yang “ meramalkan “ konflik antar peradaban dimasa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor– faktor keragaman ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah–masalah keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antar-golongan ( SARA ). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya negara–negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peistiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu yang terjadi perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Michael Joseph Bros Tito. Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadhership yang mengikatnya lengserlvi.

Huntington melihat keragaman dan kekhasan peradaban terjadi karena keragaman dan kekhasan budaya-budayanya. Peradaban adalah bentuk budaya, tidak ada peradaban universal, namun yang terjadi adalah dunia dari peradaban-peradaban yang berbeda. Dia melihat ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia saat ini yaitu Peradaban Barat, Peradaban Cina Konfusius, Peradaban Jepang, Peradaban Islam, Peradaban India, Peradaban Ortodox Slavik, Peradaban Amerika Latin dan barangkali Peradaban Afrikalvii. Peradaban-peradaban tersebut masing-masing berbeda satu sama lainnya karena faktor bahasa, sejarah, budaya dan tradisi. Dan yang paling penting diantaranya adalah agama. Anggota-anggota peradaban yang berbeda-beda itu mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda-beda pula atas pandangan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan lingkungannya seperti keluarga, masyarakat, negara bahkan alam sekitarnya. Juga terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang takaran hak-hak dan tangung jawab-kewajiban, kebebasan, kekuasaan dan persamaan.

Huntington memfokuskan pandangannya pada “faktor-faktor benturan” antara peradaban-peradaban ini, tidak hanya pada masa lalu saja, namun juga pada masa yang akan datang. Sehingga, dia mensinyalir bahwa “benturan” adalah suatu keniscayaan dalam hubungan antar-beragam peradaban. Terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam (pada

awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban Cina. Huntington tidak berkata tentang “determinisme filosofi” benturan-benturan peradaban tersebut. Sebaliknya, Huntington berkata tentang “determinisme realitas” benturan tersebut. Bahkan, benturan antara dua peradaban yaitu peradaban Barat dan peradaban Islam terjadi sepanjang 1300 tahun, dan kedua belah pihak melihat hubungan antara Barat dan Islam sebagai benturan peradabanlviii.

Karena benturan ini merupakan suatu “keniscayaan realitas” dan “determinisme realitas” dalam pandangan strategis Huntington, maka dia merancang bagi barat, strategi kemenangan terhadap Islam (kaum Muslimin) dalam benturan ini. Huntington menyarankan untuk membagi fase benturan pada masa depan tersebut menjadi 2 (dua) fase, yakni fase jangka pendek dan fase jangka panjanglix.

Pertama, fase jangka pendek. Pada fase ini Huntington merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi, politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta memfokuskan diri pada perseteruan melawan peradaban Islam dan Cina.

Yang dituntut oleh Barat dalam jangka pendek perseteruan ini adalah sebagai berikut :

1. Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Baratnya dan seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat budaya dan yang dekat dengan budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte yang beragam.

2. Kerjasama, memperkecil danmenekan perseteruan dalam seluruh lingkup peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan dalam masyarakat Barat untuk menjadi perseteruan bagi masyarakat non-Barat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk melawan Islam dan Cina.

3. Mengurangi kemampuan militer Islam (kaum Muslim) dan Cina, serta menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan Islam (kaum Muslimin).

4. Memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berperan memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan justifikasi kepadanya, dan mengikutsertakan negara-negara non-Barat untuk bergabung dalam lembaga-lembaga ini.

Kedua, adalah fase jangka panjang. Fase ini oleh Huntington dianggap sebagai fase penguasaan Barat atas

peradaban-peradaban non-Barat. Dia mengungkapkan, peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern sekaligus. Peradaban-peradaban non-Barat telah berusaha menjadi modern tanpa menjadi Barat (selain Jepang, tentunya). Peradaban-peradaban non-Barat akan terus berusaha mencapai kekayaan, tekhnologi, keahlian, permesinan dan persenjataan, yang merupakan cermin dari elemen bangunan peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus berusaha menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai tradisionalnya. Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan Barat. Oleh karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai peradaban-peradaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir mendekati kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam jarak yang sangat besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat harus menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan untuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu.

Huntington mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat sebagai peradaban yang memonopoli “singgasana peradaban” dunia, dan melihat perseteruan antar peradaban-peradaban yang beragam, sebagai jalan untuk menghapus keragaman peradaban ini. Setelah barat menyatukan kesatuannya, mempersiapkan seluruh kemampuannya, serta menekan peradaban-peradaban non-Barat, maka ia harus menjalankan strategi fase jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi perseteruan ini yaitu mematahkan kekuatan peradaban Islam dan peradaban Cina sambil mengikat seluruh peradaban lainnya dalam lembaga-lembaga internasional yang memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Barat, dan memberikan justifikasi kepadanya. Sedangkan dalam jangka panjang, objek Barat selanjutnya adalah menguasai peradaban-peradaban non-Barat lainnya, yaitu peradaban-peradaban yang telah berhasil memodernisasi masyarakatnya secara militer maupun ekonomi. Dengan demikian maka Barat dapat memonopoli kekuatan, modernisme dan hegemoni atas dunia.

Di Indonesia sendiri permasalahan mengenai keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan, mengarah kepada kondisi konflik sejak era Reformasi. Parsudi Suparlanlx melihat konflik-konflik yang terjadi di Indonesia merupakan konflik suku bangsa yang kemudian bisa bergeser pada koflik-konflik bernuansa agama. Lebih lanjut Suparlan mengatakan, corak kesukubangsaan individual yang merupakan milik perorangan berubah menjadi kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masing-masing anggota suku bangsa yang

mengalami konflik bukan lagi orang perorangan dan bukan pula kelompok, melainkan kategori suku bangsa. Suku bangsa itu menjadi musuh sesuai dengan ciri-ciri atau atribut- atribut yang menjadi acuan dari kesukubangsaannya. Apapun dan siapapun yang mempunyai atau ditempeli atribut-atribut kesukubangsaan yang menjadi musuh dalam konflik antar suku bangsa akan dihancurkan. Karena itu penghancuran terhadap kategori berdasarkan ciri-ciri kesukubangsaan tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin, posisi sosial atau keyakinan keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai uang dari barang dan harta benda yang di hancurkan.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sebuah masyarakat multiethnis atau bersuku bangsa banyak. Tetapi masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara mempersatukan suku bangsa-suku bangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya. Pada masa kini yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multietnis, melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau komuniti, sehingga jati diri suku bangsa atau rasial dari individu menjadi tidak relevan. Seseorang atau kelompok orang kulit putih yang tergolong keturunan WASP bisa saja mempunyai kebudayaan India, Cina, Jepang, atau yang lainnya.

Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jati diri rasial atau suku bangsa, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekargaman kebudayaan yang memang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat.

Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman kebudayaan ini yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan perlu kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beraneka ragam kebudayaan sebagai sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, dan akan memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan

mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat multikultural tersebut demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang multi kultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling menghargai perbedaan konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.

Permasalahan konflik-konflik bernuansa keragaman suku bangsa, agama, ras dan antar-golongan yang terjadi, baik konflik dalam skala regional maupun konflik berskala internasional, lebih terletak pada pemahaman akan “budaya lain” diluar “budaya sendiri”. Disini pamahaman ragam budaya yang ada yang diikuti dengan komunikasi antar budaya menjadi unsur yang sangat signifikan dalam menjembatani perbedaan-perbedaan.

Adapun yang harus diperhatikan dari komunikasi antar budaya ini yaitu komunikasi antar budaya terjadi, bila pemberi pesan dan penerima pesan berasal dari komunitas budaya yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang keragaman budaya yang harus disikapi dengan unsur persatuan dan kesatuan. Komunikasi antar budaya ini perlu dikembangkan sebagai upaya untuklxi :

1. Mencapai pertukaran dialektis antar budaya.

2. Mengembangkan kesederajatan dan menghapus diskriminasi.

3. Memupuk rasa solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam kehidupan bersama.

4. Mendorong terjadinya pembauran secara alamiah sehingga mampu mengatasi perbedaan budaya.

Komunikasi antar budaya mempunyai cakupan, antara lainlxii : 1. Komunikasi antar ras yang bertujuan untuk menghilangkan

prasangka rasial.

2. Komunikasi antar etnik bertujuan untuk mensosialisasikan dan membudayakan pertukaran informasi kebudayaan antar suku bangsa.

3. Komunikasi antar agama mempunyai tujuan yaitu memupuk perilaku keagamaan dan sosial yang akomodatif.

4. Komunikasi antar kelas mempunyai tujuan untuk menghindari ketidakseimbangan dan diskriminasi.

5. Komunikasi antar gender yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat antara kaum laki-laki dan perempuan

Disini dapat dilihat bahwa komunikasi antar budaya mensosialisasikan ide pluralitas dan keberagaman dengan bahasa budaya.

4. Kesetaraan.

Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang ada dalam unsur demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan keanakaragaman. Pada hakikatnya masyarakat majemuk yang secara suku bangsa beranekaragam mempunyai potensi sebuah masyarakat otoriter-militiristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang primordial. Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk memecah belah bangsa disebabkan oleh hakikat keberadaan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan oleh upaya sistem nasional untuk mempersatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok suku bangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk itu, masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, seperti yang diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang harus ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dari keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan yang lokal. Secara hipotesis, dalam wadah masyarakat “Bhinneka Tunggal Ika” Indonesia yang seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan.

Pemahaman tentang hubungan keragaman dengan kesetaraan di dalam masyarakat dengan tujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul dari masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang penting. Pemahaman tentang hubungan antara keragaman dan kesetaraan itu harus seiring dan sejalan dengan praktek-praktek hubungan sosial-budaya masayarakat. Untuk itu Suparlan mengatakan :

1. Perlu kebijakan secara nasional dan sosial untuk meredam atau menyimpan jati diri suku bangsa atau ras, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikultural

2. Menempatkan individu dengan keragaman kebudayaannya yang setara derajatnya dalam mewujudkan kehidupan demokrasi

3. Menjamin hak komuniti sebagai satuan kehidupan berskala kecil yang menempati suatu wilayah

4. Manusia sebagai individu, hidup dalam komuniti, dibesarkan, dan “dijadikan” manusia sehingga dapat berperan sebagai warga masyarakat dan negara yang berguna.

Gender.

Selanjutnya, dalam usaha memahami kesetaraan juga dapat dilihat dari perspektif gender. Kesetaraan gender adalah suatu frase “suci” yang diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tatanan praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidak-setaraan” yang diterima dan dialami oleh kaum perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, sub-ordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan.

Banyak pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan gender, karena gender dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis kelamin. Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks merupakan suatu hal yang merupakan kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan yang mengalami haid, hamil dan melahirkan yang ini tidak mungkin bisa dilakukan laki-laki. Dan sebaliknya laki-laki memiliki jakun, sperma dan alat vital berupa penis. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal batas ruang dan waktu, bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi apapunlxiii.

Sedangkan gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya dibentuk oleh budaya, tidak bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Gender tergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat, hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan ideologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu yang langsung membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Saat ini di dalam kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu feminim dan maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan sebagai berikutlxiv :

Sifat maskulin Sifat feminim

1. Aktif / agresif 2. Indepe nden 1. Pasif / nonagresif 2. Dependen 3. Emosional 4. Subyektif

3. Rasion al 4. Obyek tif 5. Tegas 6. Keras 7. Jarang menan gis 8. Tidak muda h tersin ggung 9. Lebih kompe titif 10. L ebih suka berpet ualang 11. L ebih mend unia 12. A mbisiu s 13. P ercaya diri 14. P emimp in, pelind ung 15. D sb 5. Kurang tegas 6. Lemah lembut 7. Sering menangis 8. Mudah tersinggung 9. Kurang kompetitif

10.Tidak suka berpetualang 11.Berorientasi ke rumah 12.Kurang ambisius

13.Kurang percaya diri 14.Pengasuh, pemelihara 15.Dsb

Sifat feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin seringkali dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap tidak sesuai dari sifat-sifat yang sudah dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal pada riilnya, potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif. Tidak semua laki-laki mampu bersikap

tegas. Demikian pula tidak semua perempuan bersikap cengeng, dan seterusnya.

Persoalannya kemudian, dari pelabelan yang ada di masyarakat ini memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Setidaknya ada lima isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan genderlxv yaitu :

1. Kekerasan terhadap perempuan. 2. Beban ganda perempuan

3. Marginalisasi perempuan 4. Subordinasi perempuan

5. Stereotype terhadap perempuan

Sedangkan manifestasi ketidakadilan gender bagi perempuan dapat dirumuskan sebagai berikutlxvi :

1. Pada sektor budaya, perempuan terkungkung dengan stereotype yang dilekatkan pada dirinya untuk tidak keluar dari peran domestiknya.

2. Dalam sektor publik maupun domestik perempuan seringkali menjadi korban tindak kekerasan

3. Dalam bidang ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan harus menanggung beban ganda jika ingin berkiprah di ruang publik.

4. Dalam bidang politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan, baik di struktur pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat. Sebagai warga negara. Perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek dalam setiap kebijakan pemerintah yang memang seringkali menjadi monopoli laki-laki.

Feminisme secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan yang tidak dipengaruhi oleh bias gender. Sesungguhnya feminisme sedang mencoba membawa perubahan pada kultur ptriarki yang monolitik dan, dengan demikian, secara tidak langsung merupakan komponen dari agenda-agenda multilkultural.

Pada awalnya feminisme dikritik keras karean ideologi pukul ratanya yang menggeneralisasi bagitu saja persoalan-persoalan perempuan secara semesta tanpa melihat bahwa goegrafi, demografi, tingkat pengetahuan, serta perkembangan tekhnologi dan informasi telah membuat perempuan sendiri tidak monopolitik, dalam perkembangannya, menjadi semakin hirau atau peduli dengan adanya sejumlah kesenjangan antara persoalan perempuan di Barat dan di “Dunia Ketiga”. Ini juga nerupakan isyarat penting bahwa gerakan feminisme semakin menampakkan semangat multikulturallxvii.

Adapun beberapa aliran feminisme yang ada di dunia saat ini adalah :

Feminisme Liberallxviii.

Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 bersamaan dengan semakin populernya arus pemikiran baru ‘Zaman Pencerahan’. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang Natural Right (HAM), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan. Menurut feminis liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin pelaksanaannya, maka perlu ditunjang dengan dasar hukum yang kuat. Oleh karen aitu feminis liberal kebih memfokuskan perjuangan mereka pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriakhat.

Usaha pertama yang cukup dramatis untuk mengaplikasikan doktrin HAM pada perempuan , tertuang dalam satu deklarasi yang terkenal, yaitu declaration of Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton yang dikeluarkan di Seneca Falls, New York yang dihadiri sekitr 100 orang. Dalam deklarasi tersebut dituliskan sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan , mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan laki-laki sebagai akepala keluarga, masalah hak wanita terhadap kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial seperti partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum.

Feminisme Sosialislxix.

Ketika Karl Marx dan Friederich Engels memformulasikan teori dan ideologinya, mereka melihat kaum perempuan yang kedudukannya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis barat. Mereka dalam teorinya mempermaslahakan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasi pria memiliki istri secara pribadi. Menurut mereka, karena istri dimiliki oleh suami, maka ini merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan hanya dapat dibebaskan dari penindasan ini, kalau sistem ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas-kelas.ini harus dimulai dari keluarga, dimana para istri dibebaskan dahulu agar dia dapat menjadi diri sendiri, dan kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat tercipta maka ini akan tercermin pula dalam kehidupan masyarakat.praktek feminisme sosialis memang berbaur dengan berbagai jenis aliran feminisme. Tetapi secara teori, bermacam bentuk penyadaran pada kaum perempuan merupakan orientasi praksisnya. Feminisme sosialis adalah gerakan untuk membebaskan para perempuan melalui perubahan struktur

patriarkat.feminisme sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi, agar para perempuan bangkit untuk mengubah keadaan.Dengan demikian diharapkan perempuan yang telah bangkit kesadaran dan emosinya, secara berkelompok mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik , diharapkan akan mampu meruntuhkan sistem patriarkat yang ada.

Teologi Feminislxx.

Teologi feminis bersumber dari mazhab teologi pembebasan yang dikembangkan James Cone pada akhir 1960-an.paham teologi pembebasan tetap ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan untuk melegitimasi penguasa melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan yang dianggap tertindas. Teologi feminis berkembang dalam berbagai

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 82-96)