• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadilan, Ketertiban, dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Wujud Masyarakat yang Bermoral dan Mentaati

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 110-117)

Selamat Bekerja

5. Keadilan, Ketertiban, dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Wujud Masyarakat yang Bermoral dan Mentaati

Hukum.

Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu mahluk yang selalu berintraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehinga setiap individu dapat berhubungan secara harmonis dengan individu lain disekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tampa atau diluar masyarakat. Maka, manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo “ Ubi Societas Ibi Ius “ (dimana ada masyarakat disana ada hukum adalah tepat.

Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum, dll. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan “Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”xcv.

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.

Imanuel Kant, seorang filsuf moral, menggambarkan secara jelas hubungan antara masyarakat bermoral yang harus mentaati hukum. Kant mengatakan “ Jika seseorang, yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai, akhirnya menerima cambukan secukupnya, hal ini menyakitkan, tetapi tiap orang menyetujui dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, ... “xcvi. Dia mengatakan hal tersebut karena Kant melihat adanya realita-realita baru di dunia, dimana hukum saat ini tidak lagi mengikuti asas kesetimpalan. Bahkan, acapkali hukum melahirkan ironi. Ironi merupakan kecenderungan yang dicirikan dengan berbagai cakupan sifat : kontradiktif, inkonsistensi, anomali, janggal, abnormalitas, berlebihan dan ada di luar garis.

Hukum tidak dianggap ironi jika diberlakukan apa yang oleh para filsuf moral disebut “ Pay Back “ (Pembayaran Kembali). Maksud dari pay back ini adalah bagi mereka yang terbukti melakukan kejahatan layak dikenai “pembayaran kembali” atas tindakannya yang mengabaikan kepantasan moralxcvii. Seperti pepatah kuno yang mengatakan “mata dibalas mata, darah dibalas darah“. Hal ini bisa membenarkan permasalahan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan. Meskipun disadari bahwa, menghukum orang bisa menambah jumlah kemalangan di dunia, tetapi hal itu seharusnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar karena seorang terhukum (yang terbukti melakukan kejahatan) layak menanggung penderitaan tambahan.

Banyak orang dalam masyarakat dewasa ini yang setuju terhadap pendapat Imanuel Kant tersebut, bahwa orang harus dihukum karena melakukan kejahatan, bukan karena alasan lain.

Dalam kapasitas ini, sanksi hukum tetap menganut proportionately (setimpal), sesuai dengan kadar beratnya kejatahan. Jika hal ini tidak diberlakukan (hukuman tidak setimpal dengan perbuatan kerjahatan) maka masyarakat akan mengalami degradasi moral, atau lebih tepatnya hilangnya kesadaran moral akibat dari “rasa ketidak adilan“ hukum. Orang yang hilang kesadaran moralnya adalah mereka yang tidak mempunyai suara hati, begitu juga sebaliknya, jika orang memiliki kesadaran moral dapat dikatakan mereka adalah orang-orang yang masih memiliki hati dan mau mendengarkan suara hatinya serta mempertimbangkan segala sesuatunya dengan hati.

Dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat, kita wajib melakukan yang baik dan benar serta berani menolak yang tidak baik dan yang tidak benar (menurut ukuran masyarakat). Jika kita mampu melaksanakannya, maka dapat dikatakan bahwa kita memiliki hati. Dan jika kita mengikutinya, akan membuat kita merasa bernilai di dalam masyarakat dan merasa aman. Bagi orang yang bersuara hati, ia akan malu jika melakukan perbuatan tidak bermoral atau yang bertentangan dengan hatinya. Disini norma hukum menjadi suatu hal yang penting dan jika norma hukum tidak dijalankan dengan tidak semestinya, maka dampaknya adalah hukum menjadi tidak berwibawa.

Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma mengatakan “ Quid leges sine moribus? ”. Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas?. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Meskipun tidak semua harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya membatasi diri dengan mengatur hubungan antar manusia yang relevanxcviii.

Meskipun hubungan hukum, dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataan “mungkin” ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dengan moral. Namun demikian perbedaan hukum dengan moral tetap jelas, setidaknya seperti diungkapkan oleh K. Bertensxcix yang menyatakan bahwa selain itu ada empat perbedaan antara hukum dan moral. Pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya

dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibandingkan denghan norma moral, sedangkan norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak “diganggu” oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis. Kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tetapi norma etis tidak dapat dipaksakan, sebab paksaan hanya akan menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas berdasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat merubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.

Prof. Dr. Achmad Ali memberikan gambaran menarik tentang fenomena hubungan antara hukum dan moralitas dengan membedakan penegakan hukum pada masyarakat barat dengan penegakan hukum di Jepangc. Yang menarik adalah fenomena hukum di Jepang, dimana kalau tersangka mengakui kejahatan yang didakwakan terhadap dirinya, biasanya tersangka itu tidak ditahan, karena dianggap telah menunjukkan “rasa penyesalannya”, tetapi meskipun sudah mengaku, jika nilai kejahatannya melebihi 300 juta Yen, biasanya tersangka tetap ditahan.

Alasan hukum untuk menahan seorang tersangka di Jepang hampir sama di Indonesia, yaitu (1). Tersangka dianggap dapat merusak atau menghilangkan alat bukti. (2). Tersangka dikhawatirkan melarikan diri. (3). Tersangka mempersulit pemeriksaan. Umumnya seorang tersangka juga ditahan jika tidak mengaku atau jumlah nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih. Tetapi meski secara yuridis alasan penahanan yang diatur oleh undang-undang Jepang dan Indonesia sama, tetapi pelaksanaannya berbeda karena di Jepang, secara moral siapapun tersangka yang tidak mengaku, dianggap “mempersulit pemeriksaan” sehingga harus ditahan. Dan jika sudah mengaku

dan mengembalikan hasil kejahatannya, umumnya tersangka di Jepang tidak lagi ditahan.

Bahkan Hukum Positif Jepang memungkinkan seorang tersangka dalam kasus pidana tidak diteruskan perkaranya ke pengadilan, dengan banyak didasari pertimbangan non-hukum serta moral. Seorang tersangka tidak sampai dituntut di muka pengadilan :

1. Dengan alasan menunjukkan sikap yang baik.

2. Lingkungan kehidupannya menunjukkan kemungkinan si tersangka dapat merubah cara hidupnya menjadi baik.

3. Masih di bawah umur atau anak-anak.

4. Mengembalikan hasil kejahatannya atau meletakkan jabatan (tetapi khusus jika kasusnya bukan kasus yang nilai kejahatannya sangat besar).

Lebih lanjut yang menarik menurut Achmad Ali adalah mengenai simbol atau lambang hukum yaitu “Dewi Keadilan” di Jepang. Simbol “Dewi Keadilan” di Jepang tidak sama dengan simbol “Dewi Keadilan“ dimanapun juga, bahkan di Barat ataupun di Indonesia sendiri, yang mana mata “dewi keadilan” tertutup dengan kain hitam. Di Jepang, mata “dewi keadilan” tidak tertutup dengan kain hitam, melainkan terbuka, dan hanya memegang pedang dengan tangan kanan dan timbangan dengan tangan kiri. Menurut masyarakat Jepang (terutama aparat penegak hukumnya), hukum dan penegak hukum di Jepang “membuka mata” terhadap faktor-faktor moral dalam setiap kasus hukumnya, tidak seperti hukum di barat (bahkan hukum di Indonesia) yang “menutup mata” dari faktor-faktor non-hukum termasuk moral. Lalu bagaimana di Indonesia sehubungan dengan “Patung Dewi Keadilan” itu, untung saja “Dewi Keadilan” Indonesia tertutup matanya, yang secara jelas mengesampingkan faktor moralitas, karena meskipun sudah tertutup matanya tetap masih bisa membedakan mana “rupiah dan dollar”, bayangkan seandainya “Dewi Keadilan” Indonesia sama dengan di Jepang yang matanya terbuka, tentu akan lebih serakah lagi.

Ringkasan

Telah menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial yaitu mekhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lainnya atau sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesamanya seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat behubungan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita yaitu hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak

mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo “Ubi Societas Ibi Ius” (dimana ada masyarakat di sana ada hukum) adalah tepat.

Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order), dengan kata lain, ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.

Nilai, moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Terdapat tiga fungsi eksplisit dalam kehidupan manusia. Pertama, mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “pembiasaan emosional“.

Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi serta menjamin kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin, mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi

lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif.

Perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain kesadaran hukum merupakan persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan.

15. Jelaskan hubungan antara nilai, moralitas dan hukum ?.

16. Jelaskan perbedaan antara nilai-nilai yang dianut oleh barat dengan nilai-nilai yang dianut oleh timur ?.

17. Hukum pada dasarnya dibuat untuk di patuhi oleh masyarakat. Sebutkan dan jelaskan faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum ?.

18. Jelaskan dengan ringkas tiga fungsi eksplisit dari hukum ?.

19. Diskusikan dengan teman anda 3 - 5 orang tentang permasalahan penerapan hukum (produk dan perangkat hukum) di Indonesia ?.

20. Apa yang dimaksud dengan :

a. Hukum Moral c. Pay Back (pembayaran

kembali)

b. Kesadaran Hukum d. Hukum Positif

BAB VII

MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI

Oleh : Linda Dwi Eriyanti, S.Sos

1. Pengertian sains, teknologi dan seni

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 110-117)