• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Nilai, Moral dan Hukum. Nilai

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 96-103)

Selamat Bekerja

1. Pengertian Nilai, Moral dan Hukum. Nilai

Nilai dianggap penting dalam kehidupan manusia, hal ini disebabkan seseorang di dalam hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai. Oleh karena itu, nilai-nilai ini implementasinya sangat luas, dapat ditemukan pada berbagai perilaku yang terpilih dalam berbagai kehidupan yang luas di alam semesta ini. Jadi, pemahaman akan konsep nilai dianggap penting dalam upaya untuk mengerti dan memahami pentingnya nilai bagi kehidupan manusia.

Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusialxxiii. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau

kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Contohnya adalah baju itu indah, maka arti indah adalah sifat atau kualitas yang melekat pada baju. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan yang lainnya.

Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan. Jika berbicara tentang nilai berarti masuk pada bidang makna normatif, bukan kognitif, masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian diantara keduanya, antara yang makna normatif dan kognitif, antara dunia ideal dan real, itu saling berhubungan atau saling berkait erat. Artinya yang ideal harus menjadi real dan yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.

Sebagai bahan perbandingan dan untuk menambah wawasan pengertian tentang nilai, ada beberapa pendapat sebagai berikutlxxiv :

1. Peper (1958) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk.

2. Perry (1954) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subyek.

3. Kohler (1938) mengatakan bahwa manusia tidak berbeda di dunia ini, semua tidak dapat berhenti hanya dengan sebuah pandangan (maksud) faktual dari pengalaman yang berlaku. 4. Kluckhon (1951) mengatakan bahwa definisi nilai yang

diterima sebagia konsep yang diiinginkan dalam literatur ilmu sosial adalah hasil pengaruh seleksi perilaku. Batasan nilai yang sempit adalah adanya suatu perbedaan penyusunan antara apa yang seharusnya dibutuhkan dan apa yang diinginkan dengan apa yang seharusnya dibutuhkan; nilai-nilai tersusun secara hierarkis dan mengatur rangsangan kepuasan hati dalam mencapai tujuan kepribadiannya. Kepribadian dari sistem sosio-budaya merupakan syarat dalam susunan kebutuhan rasa hormat terhadap keinginan yang lain atau kelompok sebagai suatu kehidupan sosial yang besar.

Terdapat batasan nilai (tentatif) dari beberapa pendapat mengenai konsep nilai yaitu nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau segala sesuatu yang buruk sebagai

abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.

Dalam memahami lebih jauh mengenai konsep nilai, maka Notonagoro membagi nilai menjadi 3 (tiga) macamlxxv, yaitu : 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi

kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.

2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

3. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam :

a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.

b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.

c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, would, karsa) manusia.

d. Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Dari macam-macam nilai diatas, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material lebih relatif mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/ spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerokhanian/ spiritual yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.

Jika nilai ingin dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara, maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas, sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi ; Pertama, Norma Moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik dan buruk serta benar dan salah, sopan atau tidak sopan, dan susila atau asusila. Sehingga etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegera dapat berjalan dengan baik. Kedua, Norma Hukum yaitu yang berkaitan dengan sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.

Nilai memiliki kaitannya yang erat dengan etika, karena etika pada pokoknya merupakan kajian mengenai nilai baik dan buruk serta benar dan salah. Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu eqos-ethos dan eqiqos-ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Sedangkan ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika sendiri dapat dibagi menjadi dua bagianlxxvi yaitu :

1. Etika Deskriptif.

Etika desriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

2. Etika Normatif.

Etika normatif dapat juga disebut filsafat moral (moral philoshopy). Etika normatif sendiri dibagi dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai (theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of obligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku.

Nilai Barat dan Timur.

Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil pola pemikirannya membuahkan sains dan tekhnologi. Dalam cara berfikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak cocok dengan cara berfikir untuk meninjau mkana dunia dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistematik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas hidup dan pikiran orang makin berkurang karena Barat mengunggulkan cara berfikir analitis rasional, maka mereka menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak bermutu. Nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat adalah martabat manusia, kebebasan dan tekhnologilxxvii.

Dalam hal manusia, Barat beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Maksudnya, manusia mempunyai

kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek dan pengalaman. Manusia oleh Barat dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional, kreatif dan estetik, sehingga kebudayaan Barat menghasilkan nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi, yang kesemuanya berpangkal demi penghargaan mutlak bagi manusia. Dari sini dapat dilihat bahwa manusia itu dianggap memiliki nilai diukur dari kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan hatinya.

Nilai Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berfikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi dari pada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan instuisi serta intelegensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.

Dalam hal menegakkan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama saja, tetapi juga bersumber dari ide-ide abstrak atau simbolik yang dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran kongkret, simbolik dan kebijaksanaan.

Moralitas.

Berbicara soal moral berarti berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Karena norma moral merupakan standar prilaku yang disepakati, maka moral bisa dipakai untuk mengukur prilaku orang lain. Oleh karena itu, norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma moral kita betul-betul dinilai, apakah kita ini baik atau buruk, yang menjadi permasalahan bidang morallxxviii.

Bahkan K. Bertens mengatakan Moralitas merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas

dilakukanlxxix. Keharusan dapat dibedakan antara keharusan alamiah dan keharusan moral. Keharusan alamiah adalah keharusan yang didasarkan atas hukum alam, alam telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga berjalan secara otomatis, tidak perlu ada instansi yang mengawasi agar hal itu terjadi, hal itu akan terjadi dengan sendirinya dan tidak mengandaikan adanya kebebasan (keharusan alamiah inilah yang terjadi pada binatang). Sedangkan keharusan moral dijalankan berdasarkan hukum moral. Hukum moral tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi merupakan himbauan pada kemauan manusia dengan menyuruh untuk melakukan sesuatu. Jadi hukum moral merupakan kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma itu. Manusia harus menerima dan menjalankannya (keharusan moral semacam ini hanya ada pada manusia). Keharusan moral mengandaikan adanya kebebasan.

Lawrence Kohlberg mengatakan bahwa orientasi moral seseorang yang dijadikan dasar pertimbangan nuraninya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada 4 orientasi moral yang Kohlberg kemukakanlxxx, yaitu :

1. Orientasi normatif yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan taat pada aturan yang telah baku.

2. Orientasi kejujuran yaitu menekankan pada keadilan dengan fokus pada :

a) Kebebasan.

b) Kesamaan.

c) Pertukaran hak. d) Kesepakatan.

3. Orientasi utilitarisme menekankan konsekuensi kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain.

4. Orientasi perfeksionisme menekankan pencapaian : a) Martabat dan otonomi.

b) Kesadaran dan motif yang baik. c) Keharmonisan dengan orang lain.

Orientasi moral ini dipandang penting karena akan menentukan arah keputusan dan tindakan seseorang. Sehingga dapat dikatakan salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi; tujuannya agar kita tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap perbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus begini atau begitulxxxi.

Oleh karena itu orientasi moral akan sangat berpengaruh terhadap moralitas dan pertimbangan moral seseorang, karena pertimbangan moral merupakan hasil proses penalaran yang

dalam proses penalaran tersebut ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan orientasi moral serta pertimbangan konsekuensinya.

Karena banyaknya istilah moral, moralitas, immoral dan amoral dalam makalah ini, akan lebih baik bila dipertegas lebih dahulu pengertian istilah tersebut. Kata dan istilah moral sering juga dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik lewat percakapan, tulisan maupun berita. Istilah moral ini bisa digunakan untuk maksud yang berbeda, tentu saja sesuai dengan konteks dan makna pembicaraan yang dimaksud. Akan tetapi bila ditelusuri asal-usul katanya, istilah moral berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores) yang berarti adat, kebiasaan. Moral secara istilah adalah nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas/ pilar dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Sedangkan istilah amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis atau non moral, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik atau secara moral buruk atau tidak etis. Dalam kamus yang berkembang di Indonesia amoral berarti immoral dalam pengertian di atas dan pengertian immoral sendiri kurang dikenal.

Hukum

Pemahaman mengenai hubungan manusia dengan hukum yaitu bahwa setiap saat manusia dikuasai oleh hukum. Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan masih mencampurinya sesudah manusia meninggal. Hukum melindungi benih di kandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang yang sudah mati. Hukum berlaku pada seorang individu ketika baru dilahirkan, memberikan hak-hak terhadap orang tua dan meletakkan kewajiban atas orang tua terhadap anak-anaknya. Pergaulan hidup manusia yang terjadi karena hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya, baik hubungan yang langsung (asal-usul/ keturunan), perkawinan, perdagangan, tempat tinggal, kebangsaan, dan lain-lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa semua hubungan itu diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum, bahkan jika dipikirkan lebih lanjut maka terasalah bahwa hukum itu tidak terbatas melainkan terdapat dimana-mana.

Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut, bahkan antar kaidah hukum dengan kaidah lain tersebut saling

berhubungan yang satu memperkuat lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah tersebut. Hukum itu sungguh-sungguh merupakan hukum apabila benar-benar dikehendaki diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat; apaila kita juga betul-betul berfikir demikian seperti yang dalam undang-undang, dan terutama juga betul-betul menjadi realitas hidup dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakatlxxxii. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya Mochtar Kususmaatmadja mengatakan “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut”lxxxiii. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.

Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi penyelenggara hukum untuk mengerahkan cara berfikir dan bertindak dalam rangka kebijakan (policy) tujuan nasional. Dalam kediriannya, secara inheren, tidak ada sangkut pautnya dengan “keadilan” dan “kebenaran” dalam makna yang hakiki. Dalam rangka konseptualisasi, hukum selalu berpihak, selalu berwarna dan memang dirancang ,dalam kamus hukum, hanya dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif berakar dari sosial, budaya, struktural dan bahkan agama.

2. Fungsi Nilai, Moral dan Hukum dalam Kehidupan

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 96-103)