• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Pembangunan Lingkungan Sosial Budaya Dan Lingkungan Alam Pada Masyarakat Beradab

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 149-161)

Selamat Bekerja

5. Problematika Pembangunan Lingkungan Sosial Budaya Dan Lingkungan Alam Pada Masyarakat Beradab

Keterbatasan daya dukung alam

Daya dukung lingkungan bersifat relatif dan memiliki keterbatasan. Bila pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan tersebut telah melewati batas kemampuan, akan terjadi berbagai bentuk ketimpangan yang kemudian menjadi masalah bahkan bencana yang menimpa kehidupan makhluk dimuka bumi terutama manusia.

Keseimbangan pemanfaatan dengan pemeliharaan

Penerapan teknologi bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia selain secara jelas berdampak positif juga membawa dampak negative. Penerapannya merupakan tekanan terhadap lingkungan. Eksploitasi hutan, sungai, laut, dan lainnya yang diluar daya kemampuan lingkungan yang bersangkutan,

merupakan tekanan yang megubah keseimbangan sehingga menimbulkan masalah lingkungan.

Demikian juga lingkungan sosial budaya, prestasi yang gemilang manusia dalam IPTEK telah merubah pola piker, pola hidup dan perilaku yang berbudaya menuju budaya baru yang didasari oleh hawa nafsunya sehingga terjadi pergeseran nilai ditengah masyarakat.

Peranan manusia secara ekologis dalam lingkungan :

 Manusia sebagai mahkluk yang dominant secara ekologi  Manusia sebagai maklhuk pembuat alat

 Manusia sebagai makhluk preampok

 Manusia sebagai makhluk penyebab evolusi  Manusia sebagai makhluk pengotor

Lingkungan yang ideal bagi manusia.

Setiap makhluk hidup ingin agar tempat hidupnya memberikan rasa nyaman, aman dan menyenangkan untuk kelangsungan hidup individu dan makhluk sejenisnya. Suatu ekosistem mempunyai stabilitas lingkungan tertentu. Semakin besar keanekaragaman ekosistem, makin besar pula stabilitasnya.

Hutan hujan tropis yang terdiri dari banyak tumbuhan dan binatang walaupun tanpa perawatan tetap akan dapat melangsungkan hidupnya. Sebaliknya lading atau sawah yang hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan saja akan memiliki stabilitas yang kecil.

Pembangunan dan lingkungan

Sebagian belahan bumi yang sangat luas telah berubah menjadi medan peperangan dahsyat. Jutaan spesies sedang dimusnahkan di planet kecil ini. Sementara orang-orang miskin dicerabut dari tempat asalnya dan dipindahkan secara paksa. Lebih dari itu, lebih dari satu setengah juta orang disisihkan demi kelancaran proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh Bank Dunia. Bahkan, di atas kertas telah ada beberapa rencana proyek semacam itu yang mungkin akan menggusur orang-orang miskin, setidak-tidaknya satu setengah juta manusia lagi (gambaran yang mengerikan itu didapat dari catatan kemiskinan Bank Dunia dalam kaitannya dengan masalah pemukiman kembali orang-orang yang terkena proyek pembangunan). Di India, pembangunan yang disponsori Bank Dunia telah menggusur lebih dari 20 juta orang dari tanah dan tempat tinggal mereka. Penggusuran itu sering tanpa disertai kompensasi. Dan jika dirunut sejak masa kemerdekaan pada tahun 1947, orang-orang yang tergusur telah mencapai 2,5 persen dari jumlah penduduk India saat ini (1993). Demikianlah, kaum tergusur yang memainkan tokoh “penentang” semakin banyak bermunculan dalam drama yang berpanggungkan bumi, sementara Bank Dunia tetap menjadi aktor utama yang memainkan tokoh “protagonis” tentunya.

Pada awal tahun 1990-an, perusakan hutan telah menjadikan hutan-hutan itu tinggal separonya saja bila dibandingkan dengan kondisi hutan-hutan pada tahun 1980-an (antara tahun 1978 dan 1988 telah terjadi penggundulan. Setiap tahun, lahan hutan seluas 22.000 meter persegi digunduli. Luas itu sama dengan luas wilayah Massachusetts). Meski demikian, perusakan hutan itu belum merupakan tragedi sosial dan lingkungan dalam dimensi global.cxxxvi

pemerintah Brasil Philip M. Fearnside mengatakan, “Penggundulan itu untuk membayar krisis ekonomi Brasil.”)cxxxvii

Sepanjang tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an penggundulan terjadi sangat intens di dua wilayah hutan utama, yaitu di sebelah barat laut Brasil (Rondonia di utara Mato Grosso) dan wilayah hutan di sebelah tenggara hutan Amazon, yaitu di negara bagian Para. Namun, bukan kebetulan bahwa hampir semua aktivitas perusakan hutan di wilayah-wilayah tersebut berkaitan erat dengan dana proyek raksasa yang didanai Bank Dunia, yaitu proyek pembangunan infrastruktur Polonoroeste dan Carajas. Proyek Polonoroeste berupa pembangunan jalan dan pengembangan permukiman untuk pekerja perkebunan, sedangkan proyek Carajas adalah pembangunan jaringan transportasi kereta api dan pembangunan daerah pertambangan. Kedua proyek itu benar-benar telah menjadi pemicu malapetaka kemanusiaan dan ekologis yang masih saja berlanjut, bahkan setelah pinjaman bertahap Bank Dunia selesai diberikan.cxxxviii Proyek Polonoroeste telah mengubah Rondonia — wilayah yang luasnya kira-kira sama dengan luas Oregon atau Inggris — menjadi wilayah dengan kerusakan hutan terluas di Amazon. Sejak beroperasinya Proyek Polonoroeste, kerusakan hutan terus meningkat, yaitu dari 1,7 persen pada tahun 1978 menjadi 16,1 persen pada tahun 1991.6 Pada pertengahan tahun 1980-an, kebakaran hutan Rondonia menjadi fokus utama riset NASA. Sedemikian luas kebakaran hutan itu, yang disebabkan ulah manusia, sehingga areal yang rusak dapat dilihat dari angkasa luar.

Penyakit mulai mengancam nyawa orang-orang yang tergusur dan penduduk asli. Hampir seratus persen penduduk di beberapa tempat terjangkit malaria, dan lebih dari 250.000 orang telah tertular. Beberapa suku Indian terancam pelbagai penyakit, mulai dari wabah campak sampai influensa. Selain itu, angka kematian bayi mencapai 50 dan 25 persen di dua suku yang sempat dihubungi.cxxxix Pada tahun 1987 Bank Dunia melaporkan (fakta yang sempat dibocorkan pers Brasil), di Rondonia telah terjadi penjarahan tanah Indian secara sistematis, korupsi besar-besaran, penggelapan uang di badan pemerintah yang memberi perlindungan terhadap suku Indian (yaitu FUNAI), wabah TBC, campak, dan malaria yang semakin merajalela di permukiman penduduk asli.cxl

Sampai tahun 1993, banyak permukiman suku Indian yang termasuk dalam wilayah kerja Proyek Polonoroeste tidak menerima perlindungan penuh seperti yang dijanjikan.

Sementara itu, di ujung lain lembah Amazon, tepatnya di sebelah tenggara negara bagian Para, selama tahun 1980-an terjadi perusakan hutan yang lebih luas dibandingkan dengan perusakan hutan di Rondonia. Sampai akhir tahun 1990, hutan seluas sekitar 150.000 kilometer persegi telah dirusak demi kelancaran sebuah proyek raksasa: Greater Carajas Program. Dan lebih dari tiga perempat perusakan hutan itu terjadi di salah satu sisi rel kereta api sepanjang 780 kilometer, yang pembuatannya didanai Bank Dunia pada tahun 1982. Kisah tragis perusakan hutan itu dimulai saat 304 juta dolar AS pinjaman Bank Dunia diberikan kepada Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), sebuah perusahaan pertambangan milik pemerintah Brasil. Kemudian jaringan transportasi kereta api pun dibangun dengan memakai dana pinjaman itu, yang membentang dari pusat cadangan bijih besi sampai pelabuhan laut di negara bagian Sao Luis. Selain

pembangunan jaringan transportasi kereta api, proyek Bank Dunia juga mendukung pembangunan penambangan bijih besi Carajas di salah satu ujungnya, dan konstruksi pangkalan bawah air Sao Luis sebagai ujung lain jaringan transportasi kereta api itu.

Ketika proyek peleburan berlangsung, tanah-tanah hutan orang Indian dan cagar alam yang ada pun terancam, karena proyek tersebut telah menarik perhatian para pengejar laba di bidang arang kayu. Sampai dengan tahun 1987, enam proyek industri telah didirikan, empat di antaranya adalah proyek peleburan pig iron. Jika semua proyek itu berlangsung, maka akan terjadi perusakan hutan seluas 1.500 kilometer persegi per tahun. Dengan demikian, bisa dipastikan dalam waktu 10 tahun areal hutan yang luasnya melebihi luas wilayah Wisconsin akan gundul. Proyek-proyek tersebut merupakan contoh proyek ceroboh dan berpandangan sempit, karena hanya mengandalkan subsidi pajak besar-besaran dan eksploitasi hutan tropis untuk dijadikan bahan arang kayu. Dan, tentu saja, dengan proyek semacam itu sumber arang kayu akan habis dalam kurun waktu belasan tahun.cxli

Transmigrasi

Proyek pemindahan penduduk sebagai bagian dari proyek pertanian yang dibiayai Bank Dunia tidak hanya terjadi di Brasil. Antara tahun 1976 dan 1986, Bank Dunia mengucurkan pinjaman 630 juta dolar AS) untuk menopang proyek pemindahan penduduk yang paling ambisius di dunia: transmigrasi di Indonesia.cxlii Tujuannya sederhana, yaitu memindahkan jutaan orang miskin dari daerah berpenduduk padat — Jawa, Lombok, Bali, dan Madura (yang selanjutnya disebut “daerah asal”) ke pulau-pulau seperti Kalimantan, Irian Jaya, dan Sumatra (selanjutnya dipakai istilah “daerah tujuan”). Di daerah tujuan terdapat 10 persen hutan hujan dunia. Selain itu, di daerah-daerah tersebut juga berdiam berbagai suku asli non-Jawa.

Program transmigrasi di Indonesia mempunyai banyak kesamaan dengan proyek Polonoroeste. Pada mulanya, proyek pemindahan penduduk itu (diharapkan) dilakukan secara sukarela. Mereka yang bersedia pindah — paling tidak dalam proyek berikutnya — menerima bantuan fasilitas pertanian dan pelayanan-pelayanan lain, terutama untuk menanam tanaman perkebunan seperti cokelat, kopi, dan minyak kelapa sawit untuk diekspor. Pinjaman Bank Dunia sebesar 630 juta dolar AS itu ternyata merupakan “pancingan” bagi donor lainnya, baik dari pemerintah negara lain maupun lembaga keuangan internasional. Pemerintah Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Asian Development Bank (ADB), UNDP, dan Food and Agriculture Organization (FAO) pun turut memberikan bantuan. Sepanjang tahun 1983, tambahan bantuan dana itu mencapai 743 juta dolar AS. Dana itu digunakan untuk pengembangan proyek perkebunan inti rakyat (nucleus astate project),c) yang merupakan bagian dari program pemindahan penduduk ke hutan tropis di Indonesia.cxliii Menurut Bank Dunia, transmigrasi di Indonesia bertujuan untuk mengatasi ledakan penduduk dan pengangguran di Jawa dan pulau-pulau padat lainnya. Transmigrasi juga menjadi alasan untuk memacu pembangunan ekonomi di daerah tujuan. Dan memang, Pulau Jawa yang luasnya sama dengan luas wilayah negara bagian New York telah menjadi salah satu tempat terpadat di bumi karena dihuni sekitar 105 juta jiwa (1993).

Namun, para aktivis dan kritisi hak asasi manusia dan lingkungan memandang proyek transmigrasi itu sebagai bentuk siasat politik yang disamarkan dalam wujud pembangunan. Menurut mereka, tujuan utama transmigrasi lebih bersifat geopolitis. Di Indonesia, 90 persen tanahnya telah dihuni oleh penduduk non-Jawa. Kondisi populasi yang demikian, bagi pemerintahan Soeharto dianggap tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu dibuatlah program transmigrasi. Namun program itu mendapat reaksi keras di daerah-daerah tujuan. Di Irian Jaya, banyak suku asli telah bergerilya selama lebih dari 20 tahun, sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kebijakan aneksasi Indonesia sejak tahun 1969 di wilayah mereka. Sebagai bentuk penolakan lainnnya, suku-suku asli tetap menyebut wilayahnya dengan nama Papua Barat, sementara pemerintah Indonesia menggunakan nama Irian Jaya. Transmigrasi di Indonesia, salah satu sistem “pengamanan” negara yang dilakukan pemerintah Indonesia,cxliv telah menjadi proyek perang bintang Jenderal Soeharto.d)

Program transmigrasi di Indonesia telah mewariskan kerusakan lingkungan. Bahkan, dokumen Bank Dunia pun menyatakan, sejak awal keterlibatan mereka pada akhir tahun 1970-an, program tersebut telah mengorbankan 15.000 sampai 20.000 kilometer persegi hutan tropis. Pada kenyataannya, paling tidak 40.000 sampai 50.000 kilometer persegi hutan tropis yang menjadi korban (4 persen dari hutan di Indonesia dan 3 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia).cxlv Riset pemerintah Indonesia pada tahun 1989 menyebutkan, perpindahan penduduk — baik yang didanai maupun tidak – ke daerah hutan bakau dan rawa-rawa di Indonesia (dikenal paling luas di dunia ) telah mengubah 35.000 kilometer persegi tanah basah. Riset Bank Dunia pada akhir 1980-an menyatakan, setiap tahun sekitar 10.000 kilometer persegi hutan di Indonesia telah mengalami perusakan, dan seperempatnya disebabkan oleh proyek pembangunan baik yang dilaksanakan oleh negara maupun swasta. Dan, separo dari hutan-hutan itu telah diubah menjadi tanah pertanian demi kelancaran program transmigrasi.cxlvi Perusakan lainnya disebabkan oleh berbagai proyek penebangan kayu dan kebakaran hutan.

Jika dilihat baik dari segi sosial maupun dari segi keberhasilan pembangunannya, program transmigrasi di Indonesia ternyata sama-sama menunjukkan bayangan yang suram. Pada akhir 1980-an, program transmigrasi itu justru lebih memiskinkan jutaan orang miskin. Tempat-tempat pemukiman transmigran, yang berasal dari hutan bakau dan tanah basah, selalu dibayang-bayangi berbagai bencana lingkungan: tanah yang kandungan asamnya tinggi, bahaya banjir, ladang pertanian yang tidak berguna, wabah serangga, tikus, dan babi liar. Kondisi buruk itu masih ditambah beberapa persoalan yang muncul akibat kelemahan perencanaan proyek seperti jeleknya jalan menuju pasar terdekat. Situasi yang mirip dengan Polonoroeste, Brasil, juga terjadi dalam program transmigrasi di Indonesia: bantuan pertanian tidak kunjung datang. Akan tetapi, karena sudah telanjur, banyak transmigran akhirnya mencoba tetap bertani di tanah-tanah yang tidak subur sekadar untuk bertahan hidup. Ada pula yang memilih pindah ke kota-kota kumuh di sekitar daerah tujuan. Sekitar 40-50 persen transmigran yang mendapat permukiman di daerah bekas tanah basah dan rawa-rawa memilih pindah dari lokasi permukiman ke kota.cxlvii

Menurut laporan Bank Dunia, tahun 1986, 50 persen keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan, pada tahun itu pendapatan mereka 540 dolar AS per tahun, sementara 20 persen transmigran lainnya berada di bawah garis subsisten (sangat miskin).cxlviii Fakta itu jelas mengherankan, karena sebenarnya biaya rata-rata untuk merelokasi sebuah keluarga transmigran dapat menjamin kehidupan keluarga tersebut di atas garis kemiskinan selama paling tidak 13 tahun. Pada akhir tahun 1980-an, survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan bahwa 80 persen dari daerah transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan transmigran.cxlix Kondisi paling buruk terjadi di Irian Jaya. Bantuan yang kelima dari Bank Dunia telah dimanfaatkan untuk memindahkan sekitar 15.000 keluarga atau lebih dari 75.000 orang ke Pulau Cendrawasih. Dalam program transmigrasi itu, pemerintah Indonesia berharap dapat merekrut “transmigran yang mendapat sponsor” yang sama jumlahnya dengan “transmigran swakarsa”. Dan sampai tahun 1990, lebih dari 300.000 orang Jawa telah pindah ke Irian Jaya.cl Irian Jaya sebenarnya merupakan cagar alam terluas di dunia, tempat keanekaragaman hayati berkembang biak dengan bebas. Seluas 417.000 kilometer persegi wilayahnya merupakan tanah basah dan hutan hujan. Irian Jaya berpendukuk 1,2 juta jiwa yang menggunakan 224 bahasa, dan 800.000 penduduknya merupakan suku Melanisia. Banyak kritikus menyatakan, transmigrasi di Irian Jaya tak lebih dari program “jawanisasi” ke daerah-daerah basis para gerilyawan yang menentang pemerintah Indonesia sejak tahun 1969. Banyak permukiman transmigran dibangun di dekat perbatasan Papua Nugini. Pemilihan tempat pemukiman yang demikian agak mencurigakan karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) memusatkan aktivitasnya di daerah-daerah terpencil Papua Nugini sebagai tempat pengungsian yang aman dari kejaran pasukan Indonesia.cli

Kota-kota di Irian Jaya — Merauke dan Jayapura – akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah transmigran yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk di Merauke pun berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari total jumlah penduduk kota tersebut. Sementara itu, kaum pengungsi atau bekas transmigran di Merauke akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa: menjadi pekerja seksual dan pelinting rokok. Jadi, transmigrasi di Indonesia telah mengusir penduduk asli Irian dari tanah mereka dan menimbulkan konflik yang disertai kekerasan. Sebagai contoh, pada tahun 1988 di sebelah utara Arso IV, sebuah permukiman transmigran, terjadi kerusuhan. Pada insiden tersebut penduduk asli Irian membantai 13 transmigran dan melukai banyak orang lainnya. Pada tahun 1989 juga terjadi pembunuhan di dua permukiman transmigran, yaitu Arso I dan Arso II.clii

Revolusi Hijau

Dampak revolusi hijau menurut Vandana shiva “ revolusi hijau telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman genetika, meningkatnya kerawanan terhadap hama, terjadinya erosi tanah, kekurangan sumber air, menurunnya kesuburan tanah, terkontaminasinya lapisan tanah, kurangnya makanan bergizi bagi penduduk setempat, penggusuran secara besar-besaran petani gurem dari lahan pertanian, terjadinya kemiskinan di daerah pedesaan, meningkatkan kecemburuan sosial dan konflik. Yang mendapatkan keuntungan dari revolusi

hijau ini adalah industri agrokimia, perusahaan-perusahaan petrokimia, pembuat mesin-mesin pertanian, pembuat bendungan dan para tuan tanah” (Ecology for beginners, Croall and Williams)

Khususnya di Indonesia kebijakan pangan pada fase produksi meminta perluasan lahan pertanian. Korban pertama adalah hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, bahkan rawa-rawa. Akibatnya jelas kerusakan ekosistem disertai punahnya ribuan spesies endemic di wilayah tersebut.

Selain itu fakta menunjukkan FAO melarang penggunaan 57 jenis pestisida karena membahayakan kesehatan. Namun ternyata sebagian besar pestisida tersebut beredar di Indonesia dan digunakan oleh petani. Beberapa pestisida berbasis klorin atau organoklorin seperti DDT, dioxin, aldrin, dieldrin, endrin, chlordane, heptachlor, mirex, hexachlorobenzen, toxaphene, furans adalah pestisida atau polutan yang dapat menyebabkan penyakit kanker. Zat-zat kimia tersebut juga mempengaruhi sistem metabolisme, kekebalan tubuh, dan mempengaruhi fungsi otak manusia.cliii Menurut laporan UNDP tahun 1998, sebanyak 2,7 juta orang setiap tahun meninggal akibat pencemaran lingkungan lewat polusi udara karena emisi-emisi industri, gas buang kendaraan bermotor dan bahan bakar fosil yang dibakar di rumah-rumah. Karenanya, manusia menderita kerusakan pernafasan, penyakit jantung dan paru-paru serta kanker. Sebanyak 2,2 juta manusia yang meninggal berada di pedesaan terkena polusi udara di ruangan karena pembakaran bahan baker tradisional. Laporan UNDP ini semakin mengerikan lagi manakala ditemukan sebanyak 2 juta anak pertahunmeninggal akibat air kotor.

Aliran-aliran beracun seperti dioksin, pestisida, organoklorin, minyak, asam, alkali, dan logam-logam berat seperti cadmium dan timbale dari pabrik, pertambangan dan pabrik kimia telah mengkontaminasi saluran air utama di seluruh bagian dunia. Di Indonesia sendiri eksploitasi alam dan degradasi sumber daya alam sangat memprihatinkan. Sebagai contoh, kebakaran dan penebangan hutan besar-besaran di Indonesia di tahun-tahun silam telah mengakibatkan degradasi tanah, sehingga menempatkan berjuta-juta rakyat miskin dalam resiko kelaparan.

Beberapa puluh tahun silam, masyarakat agraris di tepi Bengawan Solo mulai Jawa Tengah hingga Jawa Timur mengenal musim Pladu (ikan mabuk akrena air keruh akibat hujan) sebagai andalan menutupi kebutuhan gizi keluarga sekaligus rezeki. Panen alami ikan ramai-ramai itu merupakan kearifan tradisional yang kini tidak dikenal lagi. Berkah pladu tidak lagi mereka nikmati karena sungi berubah fungsi menjadi saluran limbah ribuan industri. Ladang tepi bengawan yang mengharap kesuburan Lumpur kiriman tidak lagi produktif dan ikut menghitam mengeluatkan bau limbah.

Situasi di luar Jawa juga tidak jauh berbeda. Sungi tidak lagi menghasilkan ikan, hutan tidak lagi menjadi penopang hidup karenatelah menjadi padang ilalang. Pohon terus ditebang, baik secara legal maupun illegal.sebagian tanah dikeruk secara sewenang-wenang untuk diambil hasil tambangnya, dan tidak direklamasi, karena itu bencana terjadi dimana-mana.

Data Forest Watch Indonesia (2001)cliv menyatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 60 juta hektar. Pada tahun

Muhtadi (2003)clv menyatakan bahwa di Jawa, tingkat kerusakan kawasan hutan yang dikelola oleh PT Perhutani, sampai tahun 2001 sudah mencapai 350.000 hektar. Diperkirakan tingkat kerusakan hutan di Jawa akan meningkat hingga 500.000 hektar pada tahun 2002. Kerusakan ini tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi, tetapi juga hutan lindung dan hutan alam. Sabarnudin (2001)clvi

menyatakan pula bahwa eksploitasi berlebih (over exploitation), pembalakan tak leggal (illegal logging) dan merebaknya perambahan kawasan melengkapi proses destrukturisasi hutan di Indonesia. Keadaan ini makin diperparah pula oleh adanya tabrakan kebijakan-kebijakan perekonomian, sosial dan politik menyangkut sumberdaya hutan hasil rumusan berbagai pihak berdasarkan kebutuhan masing-masing, yang pada akhirnya memicu adanya persoalan kemiskinan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat desa hutan.

Forest Watch Indonesia juga memprediksikan hutan hujan dataran rendah Kalimantan akan hilang tahun 2010. hutan-hutan lain di Sulawesi dan Sumatera diyakini akan lebih dulu hilang. Sisa-sisa hutan pegunungan dan hutan rawa-rawa di pulau-pulau akan lenyap tidak terlalu lama. Hanya Irian Jaya diperkirakan masih memiliki hutan tersisa.

Setelah sungai menjadi saluran limbah, dan hutan hanya tinggal nama, baru disadari terjadi kesenjangan dan ketidakadilan. Picu konflik horisontal pun tersulut diam-diam di hampir seluruh wilayah Indonesia yang kaya sumber daya alam

TUGAS.

1. Bentuk kelompok maksimal 10 mahasiswa

2. Identifikasi masalah – masalah lingkungan disekitar anda

3. buatlah analisa secara menyeluruh dari permasalahan yang anda anggap paling krusial untuk segera diselesaikan

4. rumuskan solusinya dan terapkan solusi yang telah anda rumuskan untuk permasalahan tersebut dan upayakan untuk mengikutsertakan dan bekerjasama dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait.

i Kroeber A.L. dan Kluckhon, C (1963), Culture : A Critical Review of Concepts and Definitions, New York.

ii D’Andrade, R. (1984) ‘Culture Meaning System’, dalam R.A. Shweder dan R.A LeVine

(eds) Culture Theory : Essays of Mind, Self, and Emotion, Cambridge, UK

iii Taylor, E.B (1958/1871) Primitive Culture : Researches in the Development of

Mythologi, Religion, art and Custom, Gloucester, MA.

iv Spiro, M.E (1987) Culture and Human Nature, Chocago

v Schneider, D. (1968) American Kinship : A Cultural Account, Englewood Cliffs, NJ.

vi Geertz, C. (1973) The Interpretation of Culture, New York.

vii Malinowski, B (1922) Argonouts of The western Pasific, London.

viii Benedict. R (1934) Pattern of Culture, Boston, MA.

ix D’Andrade, R, Culture dalam Jessica Kuper, & Adam Kuper,, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, 2000

x Swartz, M. (1991) The Way The World is : Cultural Processes and Social Relations

among the Mombassa Swahili, Berkeley, CA.

xi D’Andrade, R, Ibid

Dalam dokumen Buku Isbd Baru (Halaman 149-161)