• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dispensasi Kawin

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 39-42)

FENOMENAL

Dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama, ada beberapa perkara yang sangat berkaitan erat dengan hak-hak Anak, diantaranya adalah perkara permohonan Dispensasi Kawin.

Permohonan Dispensasi Kawin adalah sebuah perkara permohonan yang diajukan oleh pemohon perkara agar pengadilan memberikan izin kepada yang dimohonkan dispensasi untuk bisa melangsungkan pernikahan, karena terdapat syarat yang tidak terpenuhi oleh calon pengantin tersebut, yaitu pemenuhan batas usia perkawinan (19 tahun untuk laki-laki, dan 16 tahun untuk perempuan).

Dalam memeriksa dan mengadili perkara dispensasi kawin, Hakim harus benar-benar menilik dan mempertimbangkan perkara dari berbagai segi, baik itu maslahat dan manfaat untuk anak jauh ke masa depan, perlindungan terhadap hak- hak anak, perlindungan terhadap hak a z a s i m a n u s i a , t e r m a s u k pertimbangan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara dan melindungi hak anak tersebut.

Hal ini dapat kita lihat dalam p u t u s a n p e r k a ra

permoho

nan Dispensasi Kawin Pengadilan A g a m a S i t u b o n d o N o m o r : 0058/Pdt.P/2015/PA.Sit. yang amarnya menolak permohonan pemohon dispensasi kawin.

Duduk Perkara

Pemohon perkara aquo berkehendak untuk menikahkan anak kandung Pemohon (perempuan) yang baru berumur 14 tahun 4 bulan dengan seorang laki-laki berumur 24 tahun yang berprofesi sebagai petani. Menurut pemohon, syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut, baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perUUan yang berlaku telah terpenuhi, kecuali syarat usia bagi anak Pemohon yang belum mencapai umur 16 tahun.

Pemohon juga mendalilkan bahwa pernikahan antara anak pemohon dengan calon suaminya tersebut sangat mendesak untuk tetap dilangsungkan karena keduanya telah bertunangan sejak setahun yang lalu dan hubungan keduanya sudah s e d e m i k i a n

eratnya, sehingga Pemohon sangat kuatir akan terjadi perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak segera dilaksanakan;

Sebagai tambahan data penguat p e r m o h o n a n n y a , p e m o h o n memberikan keterangan tambahan tentang ketiadaan larangan untuk melakukan pernikahan antara anak pemohon dengan calon suaminya, juga anak Pemohon berstatus perawan dan telah akil baligh serta sudah siap untuk menjadi seorang istri dan/atau ibu rumah tangga, begitupun calon suaminya sudah siap pula menjadi seorang suami dan/ atau kepala rumah tangga serta telah bekerja sebagai petani dengan penghasilan tetap setiap harinya Rp. 40.000,- (empat puluh ribu rupiah). Keluarga besar pemohon dan orang tua calon suami anak pemohon pun telah merestui rencana pernikahan tersebut dan tidak ada pihak keluarga lainnya yang keberatan atas berlangsungnya pernikahan tersebut.

FENOMENAL

Pertimbangan Hukum

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Agama Situbondo mengambil batu uji Pasal 1 ayat (5) Undang Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia junto Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang P e r l i n d u n g a n A n a k s e b a g a i p e r t i m b a n g a n a w a l t e n t a n g pengkategorian usia anak pemohon, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa anak pemohon masih tergolong “anak” dan belum dewasa.

Majelis Hakim juga mengambil ketentuan Pasal 1 ayat (12) Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan menyebutkan bahwa anak Pemohon mempunyai hak asasi yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.

M a j e l i s H a k i m l a g i - l a g i mengambil UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 26 a y a t ( 1 ) a n g k a ( 3 ) ) d a l a m menjabarkan kedudukan pemohon sebagai orang tua yang berkewajiban dan bertanggung- jawab untuk mengurus, memelihara, mendidik dan melindungi anak dan menumbuh- kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya serta mencegah perkawinan di usia anak-anak. Pertimbangan ini diteruskan dengan menyatakan bahwa setiap orang tua atau walinya wajib memenuhi hak atas anaknya perlindungan dan dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan serta dibimbing kehidupannya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan Pasal 52 dan Pasal 57 Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Dengan beberapa pertimbangan awal diatas, mendasarkan kepada UU Perlindungan Anak dan UU Hak Azasi Manusia, Majelis Hakim membuat kesimpulan awal bahwa kekuatiran Pemohon anaknya melanggar norma- norma agama dan norma hukum

tersebut seharusnya diselesaikan dengan memberikan pemahaman yang benar kepada anaknya atas pergaulannya tersebut bukan dengan menikahkan anaknya tersebut yang masih berumur 14 (empat belas) tahun 8 (delapan) bulan.

Selanjutnya, Majelis Hakim mempertimbangkan aspek kesehatan dan kematangan jiwa raga calon suami dan istri dengan mengutip prinsip- prinsip yang terdapat dalam UU Perkawinan, juga penjelasan umum UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan nomor 4 huruf (d) yang menyatakan bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran dan resiko kelahiran yang tinggi.

Pertimbangan tentang aspek kesehatan dan kematangan jiwa raga ini semakin dikuatkan oleh Majelis dengan mengutip surat An nisa' ayat 9 dan menyatakan bahwa ayat tersebut bersifat umum tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda, dibawah ketentuan UU Perkawinan akan menghasilkan ke t u r u n a n ya n g d i ku a t i r k a n kesejahteraannya.

Majelis Hakim menyelipkan beberapa pertimbangan tersendiri t e n t a n g s u l i t n y a t e r w u j u d ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya, karena kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam mengahadapi lika- liku dan badai rumah tangga, dan Majelis sampai pada kesimpulan selanjutnya bahwa anak Pemohon terlalu muda untuk melangsungkan pernikahan yang bilamana diizinkan menikah dikuatirkan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dan akan menimbulkan banyak mafsadat.

Akhirnya, Majelis Hakim sampai pada kesimpulan akhir bahwa

permohonan Pemohon yang ingin menikahkan anaknya yang belum cukup umur karena takut anaknya melanggar norma agama dan hukum ternyata tidak beralasan dan melanggar ketentuan undang- undang yang berlaku maka permohonan Pemohon harus ditolak;

Kesimpulan

Putusan Pengadilan Agama

S i t u b o n d o N o m o r :

0058/Pdt.P/2015/PA.Sit. dalam perkara Dispensasi Kawin ini sangat kuat dalam konstruksi pertimbangan hukum, dan kaya dengan dasar hukum yang dipakai, tapi tidak alpa dengan pertimbangan aspek filosofis sebuah perkawinan.

Amar sebuah putusan hanyalah kesimpulan dari sekian panjang dan tebalnya putusan, akan tetapi pertimbangan hukum yang metodis dan analitik merupakan mahkota dalam putusan tersebut.

Disaat mayoritas pertimbangan hukum putusan perkara Dispensasi Kawin yang terdapat dilingkungan Peradilan Agama luput menjadikan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai salah satu batu uji perkara, putusan ini seakan memberikan warna baru dalam ranah perkara Dispensasi Kawin di lingkungan Peradilan Agama.

Terakhir, anggapan banyak pihak b a h wa p e r k a ra p e r m o h o n a n Dispensasi Kawin yang diajukan ke Pengadilan Agama pasti dikabulkan, juga asumsi bahwa dalam perkara voluntair hakim hanya berfungsi sebagai pengetok palu administrasi, mulai saat ini harus direvisi dan difikirkan ulang.

|Ade Firman Fathony|

(Putusan dapat didownload di https://goo.gl/EHY6ji )

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 39-42)