• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOKOH KITATOKOH KITA

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 61-64)

Dengan beberapa pertimbangan tersebut, akhirnya Amran Suadi memutuskan kuliah di fakultas syariah IAIN Sunan Kalijaga. Tentunya atas bantuan Sudirman Malaya yang kebetulan dekat dengan kepala tata usaha rektorat.

Pada tahun pertama nilainya anjlok, hal itu disebabkan sebagian mata ujian menggunakan bahasa Arab. Kesulitan pada tingkat pertama dirasakan olehnya. Bulan berganti bulan hingga akhir semester awal tampak kurang berkenan di hatinya. Akhirnya, tak mau terus menerus merasa 'kekurangan', Amran Suadi belajar bahasa Arab dan membaca kitab kuning di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta pada sore harinya. Kemudian setelah sholat shubuh pergi ke rumah salah seorang dosen pengampu hukum agraria Prof. Dr KH. Tolhah Mansur untuk mengaji kitab kuning. “Beliau adalah dosen UGM yang juga mengajar di IAIN mata kuliah hukum agraria tapi paham bahasa Arab,” jelasnya.

*****

Rupanya bakat berwirausaha tak pernah surut. Menjalani status mahasiswanya, Amran Suadi selalu mencari peluang bisnis. Ia termasuk salah satu mahasiswa terkecil dari segi finansial ketimbang kawan- kawan seasrama. Setiap bulan kiriman uang dari orang tua pada tahun pertama sebesar Rp2.500,-, lebih kecil dari beberapa kawan-kawannya yang mendapatkan uang kiriman perbulan sebesar Rp10.000,- sampai Rp15.000,- . Dengan uang tersebut sebahagian dijadikan modal wirausaha. Dari hasil usahanya itu Amran Suadi dapat membeli mesin ketik untuk menulis tugas kuliah, membeli sepeda tromol yang lagi ngetren pada masa itu, dan membeli tape recorder.

“Saya selalu mencari peluang bisnis antara lain dengan cara meminta dosen untuk membuat buku (diktat) yang distensilkan. Saya kerjakan, saya jual, saya dapat buku gratis sekaligus uang dari hasil penjualan tersebut dan dosen pun senang karena bukunya laku terjual, “

kata pria yang hobi menulis puisi dan melukis itu.

Pria yang pernah menulis puisi untuk Hakim Agung Ahmad Kamil dan Hakim Agung Imam Soebechi dan Wakil Ketua MA bidang yudisial Prof M u h a m m a d S a l e h , i n i p u n menuturkan, saat masih menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga, ia selalu mendulang prestasi, baik dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan maupun seni. Sebut saja misalnya, ia terlibat langsung dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Himpunan Mahasiswa Sumatera Barat.

P r i a b e rd a ra h A c e h d a n Minangkabau ini memang gemar berorganisasi dan berkesenian. Beliau pernah membaca puisi bersama Ebiet G Ade dan WS Rendra ketika kuliah di Jogyakarta dan bermain Drama Minang yang pentas di UGM. Di berbagai event kesenian ia pernah sekali tampil di TV jogya. Selain itu, ia juga tercatat sebagai penulis beberapa naskah sandiwara radio di Belawan yang banyak disukai para pendengar radio pada waktu itu.

Pada pekan seni mahasiswa IAIN se-Jawa, Amran Suadi pernah sekaligus menyabet tiga piala secara bersamaan. Menjadi juara 1 lomba baca puisi utusan IAIN Snan Kalijaga, juara 1 lomba lawak, juara 1 lomba peragaan busana daerah yang pada

saat itu ia mengenakan busana daerah Aceh. Pernah ikut lomba baca Puisi sampai menjadi finalis di tingkat Nasional. Yang menjadi juri pada waktu itu antara lain Putu Wijaya dan Umbu Landu Paranggi. Sedangkan juara pembaca puisi pada waktu itu Reny Jayusman dan Torro Margens.

Amran Suadi selalu mengatakan, adrenalin akan muncul ketika ada tantangan. Ungkapan tersebut selalu menjadi motivasi dalam menjalani kehidupan ini. “Saya kira ibu saya yang memunculkan karena dia mendidik dengan keras, kalau saya minta uang selalu diomeli dulu, walaupun pada akhirnya dikasih juga,” terangnya tersenyum.

Tantangan demi tantangan membuat jiwanya kuat. Hidup yang keras ini membuatnya tak pantang mundur menghadapi masalah, t e r m a s u k b a g a i m a n a c a r a menyelesaikannya. Selama di asrama mahasiswa Tanjung Raya Jogyakarta dulu, ia juga pernah mengkoordinir pengadaan beras bagi para mahasiswa yang tinggal di asrama. Tugas itu dilakukan bukan karena mencari untung atau diskon dari distributor beras, tetapi lebih pada rasa tanggung jawab dan mental kepemimpinan yang ingin ia pelajari.

Ia lebih banyak diandalkan oleh k a w a n - k a w a n a s r a m a u n t u k mengurusi logistik pengadaan beras yang hasil diskon itu ia belikan TV plus salon lengkap untuk asrama yang pada waktu itu belum memiliki TV. Dan akhir tahun kami bisa jalan-jalan gratis. “Saya hitung dan transparan dalam mengelola hasil pengadaan beras. Saya tidak mau korupsi dan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk korupsi beras. Tapi semua hasil untuk kesejahteraan mahasiswa,” ungkapnya.

YOGYAKARTA, TAHUN 1978 – Amran Suadi menyelesaikan strata sarjana (S1) pada fakultas syariah IAIN Sunan Kalijaga. Ia termasuk yang tercepat dari 200 mahasiswa seangkatannya. Lulus pada tahap pertama sebanyak 5 orang, termasuk salah satunya ialah Purwosusilo, mantan Dirjen Badilag yang menjadi hakim agung bersamaan dengannya.

S e t e l a h t a m a t d a r i I A I N Yogyakarta, Amran Suadi pulang ke Sumatera Utara, tanah kelahirannya. Tahun pertama ia bekerja sebagai guru SMP Muhammadiyah Belawan dan SMA. Lalu masuk tahun kedua mengikuti tes di tiga tempat, yaitu tes tenaga pendidikan dan pelatihan (Diklat) BKKBN Sumut, kemudian tes menjadi dosen di IAIN Sultan Thoha Jambi, dan terakhir mengikuti tes CPNS PTA Medan.

Untuk tes penerimaan tenaga Diklat BKKBN, Amran mendapatkan peringkat pertama dengan nilai 37, tetapi yang diprioritaskan yang akan menjadi kepala Diklat tersebut justru peringkat kedua dengan nilai 30. Hal itu membuatnya kecewa dan murung. “Saya tidak protes tapi bertanya-tanya dalam hati apa karena dia (peringkat kedua) lulusan dari fakultas kedokteran, sementara saya lulusan IAIN?,” tanya Amran.

Tak lama dari kemurungan itu, Amran dinyatakan lulus tes dosen di IAIN Jambi dan lulus CPNS dari PTA Medan dengan waktu hampir bersamaan. Dirinya berkecamuk, bimbang, dan galau. Mana yang harus dipilih?

Orang tua ternyata tidak mengizinkan ia menjadi dosen di IAIN Jambi. Kemudian atas saran orang tua, penempatan dosen ditinggalkan. Tinggal dua pilihan saja, menjadi tenaga Diklat BKKBN atau menjadi CPNS di PTA Medan?

“Kepala Kanwil BKKBN dua kali

datang kerumah dan ke sekolah tempat saya mengajar untuk membujuk saya. Tahun 1979 baru akan dibentuk diklat BKKBN untuk mengajar di sana dengan iming-iming sekolah di Jakarta dan diberikan fasilitas mobil dan macam-macam. Saya istikharah selama 7 hari untuk minta petunjuk memilih BKKBN atau PTA?” ungkap Amran Suadi.

Sembari memohon petunjuk Allah SWT lewat shalat istikharah, ia mengadukan masalah ini kepada kepala sekolah tempat ia mengajar. Alhasil, kepala sekolah menyarankan Amran Suadi memilih PTA Medan untuk melanjutkan karirnya.

“ A k h i r n y a , s a y a s e p e r t i mendengarkan ada suara untuk memilih PTA. Mungkin itulah petunjuk Allah atas hasil shalat istikharah saya,” sambungnya.

M U L A I B E R K A R I R D I PENGADILAN AGAMA - Pertama kali ditempatkan pada PA Tebing Tinggi wilayah PTA Medan. Ketua PA saat itu golongan IId dan paniteranya golongan II b, sedangkan Amran Suadi golongan IIIa. Terjadi kecemburuan sosial hingga berdampak pada kegiatan kantor sehari-hari. Hampir 6 bulan pertama ia tak diberikan pekerjaan dan hanya duduk dan diam. “Saya disuruh membersihkan WC. Paniteranya alm. Arifin Purba sangat keras. Saya disuruh membuat amplop, sempat membuat saya menyesal memilih PTA,” terang Amran Suadi.

Tekad yang kuat dan pantang menyerah membuat Amran Suadi tetap bekerja di kantor PA Tebing Tinggi. Walaupun tugasnya hanya membuat amplop dan membersihkan WC, ia terus berkarya dan bekerja. Salah satunya menulis kolom, artikel, rubrik agama, rubrik hukum dan rubrik umum di koran harian Waspada yang menjadi koran favorit di kota Medan kala itu. Penghasilannya menulis sebesar Rp100.000,- jauh lebih besar daripada gaji yang diterimanya perbulan sebesar Rp28.700,- untuk CPNS golongan IIIa . Masa terus berganti dan terjadi mutasi kepemimpinan, akhirnya yang menjadi ketua PA Tebing Tinggi saat itu ialah Chatib Rasyid dan Amran

Suadi menjadi paniteranya. Pada masa kepemimpinan PTA Saleh Rasyid, sosok Amran Suadi banyak dikenal. Di samping karena ia seringkali menulis artikel di koran, prestasi kerjanya pun semakin baik. Pada saat menjadi Panitera Kepala di PA Tebing Tinggi, kantor tempatnya bekerja meraih penghargaan sebagai kantor terbersih ke II se-Indonesia pada peringatan Seabad Peradilan Agama tahun1982.

Karir Amran Suadi semakin naik saat dirinya diangkat menjadi Panitera Kepala pada PA Medan dan ketua PA Medan saat itu almarhum Rifat Yusuf (terakhir sebagai ketua PA Jakarta Selatan).

MEDAN, TAHUN 1984 – Inilah masa di mana pintu terbuka dan cahaya bersinar bagi seorang Amran Suadi. Pada saat itulah ia mengikuti ujian penerimaan calon hakim dari wilayah PTA Medan. Dari sekian banyak yang mengikuti ujian, hanya 3 orang yang dinyatakan lulus termasuk Amran Suadi.

Ternyata, terhadap 3 orang yang lulus tersebut, akan dilakukan ujian lisan dan membaca kitab pada tingkat nasional di Jakarta. Awalnya mendapat penolakan dari beberapa seniornya, ketua PTA Medan Saleh Rasyid salah seorang yang menyarankan Amran tidak ikut.

“Masa kerja saya kurang dari 4 tahun, saya lulus walau belum 4 tahun. Beliau (Saleh Rasyid) memberikan saran bahwa saya kurang syarat. Katanya untuk apa menjadi hakim, tunjangannya kecil,” tegasnya. A k h i r n y a , A m r a n m e m i n t a pertimbangan mantan ketuanya dulu, Chatib Rasyid dan ia diberikan restu untuk mengikuti ujian penerimaan c a l o n h a k i m d i J a k a r t a .

Karena waktu ujian semakin mendesak, sementara angkutan umum sudah penuh, termasuk pesawat. Maka pilihan akhirnya jatuh pada bus ALS milik seorang teman kenalan Amran Suadi. Namun selama menempuh perjalanan dari Medan menuju jakarta didalam bus tersebut berdiri sampai Bandar Lampung, karena tak ada tempat duduk dan terus berdiri di pintu depan sebelah sopir.

TOKOH KITA

TOKOH KITA

Sesampai di Jakarta, Amran sempat bertemu beberapa teman- temannya yang juga mengikuti ujian penerimaan calon hakim. Walaupun sempat terjadi kebingungan karena namanya tidak tertulis di papan pengumuman kelulusan calon hakim asal PTA Medan, tetapi akhirnya ia menemukan namanya tertulis asal PTA Solo.

Singkat cerita, Amran Suadi lulus menjadi hakim. Ia diangkat menjadi hakim pada PA Medan. Kemudian dibentuklah PA Kisaran dan Amran Suadi diangkat menjadi ketua selama 5 tahun (ketua pertama 1987-1992). Selama menjadi ketua PA Kisaran semangat belajar tak pantang surut. Ia mengambil kuliah strata satu (S1) jurusan ilmu hukum pada fakultas

hukum Universitas Al Washliyah Medan, lulus tahun 1990. Kemudian ia menyelesaikan studi ilmu hukum pidana pada fakultas hukum Universitas Amir Hamzah Medan lulus tahun 1992.

Pada tahun 1989 dan 1990 kantor PA Kisaran memperoleh p r e d i k a t k a n t o r t e r b e r s i h sekabupaten Asahan dari Bupati Asahan dan Sebagai Kantor yang memiliki perpustakaan terbaik dari KPTA Medan, Saleh Rasyid. Pengelola perpustakaannya pada waktu itu Syaifuddin ketika masin menjadi CPNS di PA Kisaran.

Setelah lulus sarjana hukum, ia menjadi ketua PA Medan. Ketika menjadi ketua PA Medan ada cerita lagi. Ketika ia masuk PA Medan, hanya ada dua mesin ketik, satu untuk operasional pegawai dan satu untuk bendahara keuangan menyusun daftar gaji. Akibatnya pelayanan publik tersendat.

Melihat kondisi seperti itu, Amran Suadi ngotot ingin menjadikan pelayanan publik terdepan sampai sekarang. Ia pernah berinisiatif selesai putusan dibaca langsung diserahkan putusannya kepada para pihak. Namun karena pada waktu itu mesin ketik hanya ada satu, jadi agak merepotkan.

Meskipun demikian, ternyata

b a k a t w i r a u s a h a n y a m a s i h bersemayam di dada. “Sebagai ketua saya putar otak. Saya ke distributor mesin ketik, membeli 12 mesin ketik baru tetapi dibayarkan setiap bulannya untuk satu mesin ketik saja. Selebihnya dibayarkan pada bulan- bulan berikutnya sampai lunas. Distributornya sepakat karena percaya saya ketua PA waktu itu,” papar Amran Suadi.

12 mesin ketik itu diserahkan kepada panitera pengganti agar memudahkan mereka mengetik berita acara dan putusan. Dengan adanya mesih ketik, mereka lebih meningkat

TOKOH KITA

Biarlah palu itu kini tak ketak lagi karena waktu telah menghentikannya pada hal semangat tetap membahana Tegakkan keadilan walau bumi kan

hancur,

Tegakkan kebenaran walau langit kan runtuh

Wujudkan kesejahteraan walau diri kan luluh.

Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Tapi hasil torehan kebenaran dan

keadilan

yang bapak tegakkan tetap jadi panutan kami

banyak adil dan benar sudah didirikan cita kemandirian lewat IKAHI lah

diperjuangkan

semangat sportivitas PTWP tetap terus digelorakan. Biarlah palu itu kini tak ketak lagi

Hidup tetap bermakna, Karena pengabdian tak pernah

berhenti

walau perahu telah berbeda, walau nyawa tak dibadan lagi. Perjuangan kemandirian peradilan

terus digelorakan dari gunung Kota Malang hingga

pantai Indah Kapuk Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Nilai-nilai kejuangan bapak tetap

menjadi dian dikala dingin, Dian dikala gelap,Dian dikala malam,

Karena Dian itu dari sumber yang penuh makna

Semoga jadi mata air pahala tuk di akherat kelak.

Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Selamat jalan tapi bukan berpisah,

Hanya sampan yang berpindah, Namun tetap dilautan keadilan yang

sama,

yang tak pernah luput dari ombak, badai dan guncangan munafik.

Biarlah palu itu kini sudah tak berketak lagi.

Lapangan Tenis Rawamangun Jakarta, 12 Februari 2016.

Torehan :

Amran Suadi untuk YM Bpk. Imam Soebechi

Biarlah palu itu

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 61-64)