• Tidak ada hasil yang ditemukan

KISAH NYATA

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 90-94)

tidak tentu. Kadang sedang enak-enak santai dengan keluarga ditelpon bos untuk mengejar berita penting agar tidak ketinggalan dengan koran lain. Tentu masih banyak lagi suka duka balada seorang kuli tinta.

Maka, akupun mencoba menulis buku, sebuah dunia yang waktu itu menjanjikan karena manusia masih 'cukup baik', tidak mudah melakukan pembajakan. Di samping itu, jagad buku belum masuk ke dunia digital.

Berkarir di Pengadilan Agama Sambil Menulis

Kegemaran menulis tetap kupertahankan berbarengan dengan tugasku sebagai hakim menulis putusan. Bagiku, menulis adalah jejak kehidupan. Aku selalu teringat nasihat Imam Ghazali: “Kalau kamu bukan anak raja atau anak hartawan maka menulislah, karena hanya dengan menulis kamu akan mempunyai jejak- jejak kehidupan yang panjang”. Benar juga kalimat bijak itu. Bahkan bagiku

karya tulis akan menjadi saksi hidup bahwa aku pernah ada di dunia ini. Aku tidak boleh hanya mengandalkan keturunan untuk menunjukkan bukti kehidupanku, karena hewan dan tumbuh-tumbuhan juga bisa punya anak. Lalu apa bedanya? Orang yang tidak memiliki prestasi apapun, begitu meninggal dunia tidak lama setelah itu akan dilupakan orang. Nah, karya tulis akan membedakannya dengan mahluk lain.

M o t i v a s i i n i l a h y a n g mengantarku masuk ke dunia tulis menulis buku. Karena jika aku terus bertahan dalam penulisan di koran atau majalah, kurasakan tidak bisa menjadi jejak-jejak kehidupan. Jujur, awalnya tidak mudah bermigrasi dari penulisan pers ke penulisan buku, karena bahasa pers bersifat popular, sedang bahasa buku bersifat baku. Maka, untuk menuju ke dunia buku, aku mencoba membangun “jembatan mimikri” dengan mengambil segmen politik. Kebetulan ada momentum menjelang Pemilu 1987. Dengan bekal pengalaman sebagai wartawan, aku kumpulkan tulisan-tulisan dari berbagai surat kabar dan majalah untuk diolah menjadi depth reporting dalam bentuk buku. Dan sungguh di luar dugaan, buku tipis (karena kurang dari 100 halaman) yang kuberi judul “NU DAN PEMILU” itu laris-manis bak kacang goreng. Dalam tempo kurang dari 5 bulan, buku yang juga dikenal dengan nama “buku kuning” itu mengalami 4 kali cetak ulang. Sekali naik cetak, tidak kurang dari 20.000 eksemplar. Dari buku yang mengalami booming inilah majalah se kaliber TEMPO perlu mewawancaraiku untuk bertanya lebih jauh tentang buku yang ikut mewarnai iklim politik menjelang Pemilu 1987 itu. Sayangnya TEMPO menyebut buku itu dengan bahasa bersayap : “Sebuah buku yang ditulis oleh penulis yang tidak tersohor ….”. Duh !

Dengan royalty yang cukup “wah” untuk ukuranku waktu itu, aku telah merasakan lezatnya hasil jerih payah menulis buku. Akupun segera menulis buku-buku lain, meskipun tidak pernah menjadi best seller seperti “buku kuning”. Buku-buku itu di antaranya: “Mengapa PPP Gembos?”, “Hukum Perkawinan, Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Umum”, dan lain-lain. Tapi lama-lama aku pingin menulis di luar politik. Karena itu ketika K.H. Atabik Ali (putera K.H. Ali Maksum) mengajakku menyusun kamus Arab- Indonesia yang berbeda dengan kamus-kamus Arab-Indonesia yang sudah ada. Tawaran itu segera aku terima, karena ini aku anggap sebagai ujian apakah aku dan pak Kiai Atabik dapat mempersembahkan buku yang laris manis di pasaran secara 'normal', yakni tanpa memanfaatkan jalur politik ?

Adalah suatu kebetulan yang luar biasa, kamus yang di belakang hari dinamakan Kamus Kontemporer atau Kamus Al-Ashri itu selesai ketika aku menempuh pendidikan hakim di Wisma Tugu, Puncak, Bogor. Naskah kamus yang sudah dikoreksi 2-3 kali itu, kubawa ke pendidikan hakim atau dikirim via pos oleh K.H. Atabik Ali untuk koreksi akhir. Akupun dituntut membagi waktu secara ketat, mengikuti dan menyelesaikan tugas- tugas pendidikan hakim, dan koreksi kamus. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semua dapat kuselesaikan dengan baik. Dengan selesainya pendidikan hakim selama 4 bulan, selesai pula koreksi kamus untuk segera naik cetak.

Yang membanggakan bagiku dan tentu bagi K.H. Atabik Ali yang menyediakan segala fasilitas penulisan, Kamus Kontemporer “Al- Ashri” dengan jumlah halaman 2.050 yang dilengkapi dengan gambar- gambar seperlunya merupakan kamus Arab-Indonesia terbesar di Indonesia,

bahkan di Asia Tenggara. Keunikan dari kamus ini terletak pada pola yang digunakan. Kamus-kamus lain pada umumnya menggunakan “Pola Fi'li”, tetapi kamus Al-Ashri menggunakan “Pola Abjadi” atau “Pola Alfabeti”, sehingga terasa lebih mudah penggunaannya khususnya bagi para pemula.

Meskipun tidak se-gegap gempita 'buku kuning', kamus Al-Ashri juga mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia, bahkan sampai di kalangan bangsa rumpun melayu di Asia Tenggara. Beberapa tahun yang lalu, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Mesir mohon keihlasanku dan pak Kiai Atabik untuk meng-copy kamus Al- Ashri dalam jumlah ratusan untuk mahasiswa yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapore, Philipina Selatan dan Thailand Selatan. Bahkan mereka mohon izin untuk mencetak di sana. Aku dan pak kiai Atabik pun mempersilahkan, siapa tahu ini menjadi jariyah bagi kami.

Pengadilan Agama dan Suasana Kompetitif Studi

Ketika aku masuk Pengadilan Agama di tahun 1994 – sebelum itu aku di Seksi Urusan Agama Islam Kandepag Bantul – aku benar-benar memulainya dari bawah. Pertama sebagai staf Kaur Kepegawaian merangkap Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama Bantul selama 2 tahun. Kemudian menjadi Wakil Sekretaris, dan selanjutnya mengikuti seleksi ujian Hakim. Di Bantul itulah aku mendapat SK Hakim dan bertugas selama lebih dari 5 tahun sebelum kemudian dimutasi ke PA Yogyakarta. Waktu itu Ketua PA Bantul (sekarang Hakim Agung) adalah Bapak Dr. H. A Mukti Arto, S.H., M.Hum.

Meskipun aku orang baru di Pengadilan Agama, tetapi aku segera merasakan suasana kompetitif di

bidang ilmu. Banyak pegawai PA, terutama para hakim yang rata-rata bergelar Drs. menempuh kulaih lagi di Fakultas Hukum. Dorongan studi lanjut semakin kuat ketika aku bertugas di PA Yogyakarta. Bukan saja karena kantor PA sangat dekat dengan kampus-kampus besar (rumahku juga di Yogya), tetapi lingkungan sosial Yogya juga sangat mendorong seseorang untuk belajar setinggi- tingginya. Maka akupun ikut-ikutan mengambil studi ilmu hukum, karena aku merasa tidak memiliki legitimasi untuk berbicara atau menulis tentang hukum tanpa memiliki gelar Sarjana Hukum. Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) merupakan pilihanku, karena di sini ada kelas sore dan malam bagi mahasiswa “non fresh”. Tidak puas dengan gelar S.H., setelah selesai di UCY aku masuk ke Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Aku benar-benar merasa at home di PA Yogya. Meskipun hanya “banyak p e n d a p a t d a n t i d a k b a n y a k pendapatan”, Yogya dengan segudang krakteristiknya selalu ngangeni. Untaian lirik lagu tentang Yogyakarta yang diaransir Katon Bagaskara, hanya mewakili sebagian kecil saja dari kekhasan Yogya. Di sini akupun bisa mengembangkan ilmu lewat berbagai seminar, workshop, semiloka dan lain- lain, baik sebagai nara sumber maupun sebagai peserta. Di sini pula aku sering diberi tugas pimpinan PA untuk menghadapi berbagai riset, baik dari mahasiswa dalam maupun luar negeri. Dan di sini pula aku dan dua temanku (Drs. H. Husaini Idris, S.H., M.S.I dan Drs. H. Ahmad Adib, S.H., M.H.) memperoleh amanat dari Diklat Kumdil Mahkamah Agung untuk menjadi mentor bagi Calon Hakim Magang selama dua tahun. Dan Alhamdulillah, dari 10 Cakim yang kami bimbing, 6 orang dari mereka masuk dalam 10 besar Cakim terbaik dari seluruh Indonesia.

Sebagai seorang hakim, aku sadar suatu saat pasti akan mengalami tour of duty atau mutasi tugas. Seorang pimpinan Mahkamah Agung pernah mengatakan, mutasi bagi hakim mirip dengan kematian yang pasti akan terjadi tapi tidak diketahui kapan dan kemana. Karena itu mumpung aku masih bertugas di PA Yogya, kucoba mengambil studi program doktoral. Akupun mendaftar di 3 Tiga Perguruan Tinggi besar di Yogyakarta' UIN Sunan Kalijaga, UII dan UGM . Jujur, untuk masuk studi jenjang S-3 di tiga Perguruaan Tinggi itu aku minder. Aku ingat diriku hanyalah anak desa yang cedhak watu adoh ratu. Ternyata setelah mengikuti ujain proposal dan sebagainya, alhamdulillah ketiga perguruan tinggi itu berkenan menerimaku. Kini, giliranku yang bingung, mau pilih yang mana.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pilihan kujatuhkan pada Program Pascasarjana (PPs) Fakultas Hukum UGM. Promotorku Prof. Dr. H. Abdul Ghofur Anshori, SH, Co Promotor Prof. Dr. Sugeng F Istanto, SH dan Denny Indrayana, SH, LLM, Ph.D. Setelah tugas-tugas kuliah selesai kuserahkan, Prof. Sugeng jatuh sakit hingga meninggal dunia. Posisinya kemudian digantikan Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH. Sedangkan Pak Denny kemudian menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang kerena kesibukannya kemudian posisinya d i g a n t i k a n P r o f . D r. E n n y Nurbaningsih, SH, M.Hum.

Bagiku bukan soal siapa yang m e n j a d i P r o m o t o r a t a u C o P r o m o t o r k u , t e t a p i p r o s e s penggantian Co Promotor yang baru itu memakan waktu lama. Bahkan aku harus membuat paper-paper baru yang harus didiskusikan ulang. Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih, perjalanan studiku di UGM penuh liku-liku. Akupun jatuh sakit cukup serius, sehingga harus istirahat kuliah. Sekitar satu tahun aku istirahat. Untung penelitianku di Bank

Indonesia, Kementerian Keuangan dan di DSN-MUI sudah aku lakukan. Sempat drop juga semangatku untuk melanjutkan studi. Tapi atas dorongan semua pihak, terutama anak-anak dan isteri aku bangkit lagi. Akupun sadar, studiku atas biayai sendiri (bea siswa dari Allah SWT), kalau sampai gagal uang juga tidak kembali. Di samping aku akan dicatat oleh anak cucu tidak bisa menjadi contoh yang baik.

Akupun berhasil membangun semangat lagi, tetapi –lagi-lagi muncul masalah – sebagian penelitianku terutama data-data kuantitatif menjadi out of date. Dalam uji kelayakan draft disertasi (menjelang ujian tertutup), para penguji merekomendasikan update data hingga akhirnya aku dapat mengikuti ujian tertutup. Di sinilah aku mendapati, bahwa disertasiku memiliki kekurangan yang memang layak disempurnakan. Dikroscek dengan logika “dedukto, hipotetiko, empiriko dan verifikasi”, asumsi yang kubangun masih kekurangan verifikasi. Maka, akupun menambah penelitian dengan menemui beberapa anggota DPR eks Komisi XI yang dulu membahas dan mengesahkan RUU SBSN dan RUU Perbankan Syariah. Alhamdulillah aku juga mendapatkan copy naskah akademik kedua RUU tersebut.

Perjalanan yang berliku tersebut akhirnya mengantarkan mimpi anak desa menjadi kenyataan –the dream comes true- dengan meraih gelar akademik tertinggi dalam bidang ilmu hukum sebagai Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam ujian terbuka tepat pada Hari Sumpah Pemuda 28 Juni 2015. Alhamdulillah puji syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya. Aku cukup bangga karena studiku berjalan linear –Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Fa ku l t a s H u ku m U n ive r s i t a s Cokroaminoto, Magister Hukum UII dan PPs Fakultas Hukum UGM. Ketika

aku bertugas di PA Yogyakarta, semua almamaterku meminta aku ikut mengajar. Di luar jam kantor, aku mengajar di UIN, UII dan UCY. Tetapi setelah aku dimutasi ke PA Purwodadi, semuanya berakhir kecuali di Fakultas Hukum UGM (dalam dua smester ini) tiap hari Sabtu, dan di PKPA (Pendidikan Advokat) kerja sama Fakultas Hukum UGM dengan DPP Peradi.

Pada akhir bulan Februari 2016 yang lalu, aku termasuk yang dipanggil BADILAG MARI untuk mengikuti Bimtek Ekonomi Syariah dan Seminar tentang Peradilan Agama sekaligus pengantar purna tugas Bapak DR. H. Ahmad Kamil, SH, MH. Suatu hal yang m e m b e s a r k a n h a t i ku a d a l a h pengakuan tulus Bapak Dirjen Badilag bahwa para hakim yang telah bergelar Doktor yang telah bersusah payah menempuh studi atas biaya sendiri a d a l a h “ a s s e t y a n g s a n g a t membanggakan bagi Lembaga Peradilan Agama”. Saat ini aku sedang menunggu panggilan ke Riyadh mengikuti pelatihan ekonomi syariah angkatan IV yang sempat ditunda. Aku tahu, meskipun BADILAG MARI terus memperjuangkan kepastian waktu pelatihan, tetapi yang menentukan adalah pihak Riyadh. Sambil b e r h a ra p - h a ra p c e m a s , d a r i Pengadilan Agama Purwodadi, mungkin seperti teman-teman Hakim Doktor di PA lain – aku hanya bisa bertanya “What Next?” Allahu Akbar.

|M. Isna Wahyudi, Ade Firman Fathony|

KISAH NYATA

erkembangan ekonomi

P

syariah sangat pesat di I n d o n e s i a . Po te n s i sengketa dalam industri syariah pun berpotensi semakin banyak dan menyebar. Mahkamah Agung, yang membawahi peradilan agama—satu- satunya lingkungan peradilan yang m e m i l i k i k o m p e t e n s i u n t u k menyelesaikan sengketa ekonomi syariah—ditutuntut untuk sigap merespons perkembangan itu.

Baru-baru ini Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Melalui Perma tersebut, Ketua MA menegaskan bahwa perkara ekonomi syariah harus ditangani secara khusus oleh hakim peradilan agama yang telah lulus sertifikasi ekonomi syariah. Dengan demikian, ke depan, tidak sembarang hakim peradilan agama yang boleh memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah.

Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum, Ketua Kamar Agama MA, mengatakan bahwa sertifikasi hakim ekonomi syariah ini menjadi prioritas. “Dengan terbitnya Perma ini, kita ingin nantinya banyak hakim agama yang telah memiliki sertifikat ekonomi syariah,” ungkapnya.

Pada dasarnya, sertifikasi hakim ekonomi syariah sama halnya dengan sertifikasi bagi hakim untuk mengadili perkara-perkara khusus lainnya, seperti perkara korupsi, niaga, perikanan, anak, hubungan industrial dan lingkungan hidup.

Berdasarkan Perma 5/2016, untuk dapat diangkat menjadi hakim ekonomi syariah, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan, yaitu persyaratan administrasi,

persyartaan kompetensi, dan persyaratan integritas. Di samping itu, harus mengikuti pelatihan dan dinyatakan lulus oleh Tim Seleksi.

Syarat administrasi meliputi sehat jasmani dan telah menjabat sebagai hakim selama 8 tahun. Untuk dapat memenuhi syarat kompetensi seorang hakim harus memahami norma-norma hukum ekonomi syariah, mampu menerapkan hukum, mampu melakukan penemuan hukum, mampu menerapkan pedoman beracara dalam mengadili perkara ekonomi syariah.

Sebelum dilakukan seleksi hakim ekonomi syariah, MA terlebih dahulu menentukan kebutuhan jumlah hakim untuk menangani sengketa ekonomi syariah. Setelah itu, dilakukan pendaftaran berdasarkan usulan dari Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar'iyah Aceh.

Hakim yang telah mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah, b i m b i n g a n t e k n i s , a t a u pelatihan—baik di dalam maupun di luar negeri—mendapatkan prioritas untuk didaftarkan oleh PTA/MS Aceh.

Tim seleksi lalu melakukan seleksi administrasi, kompetensi, dan integritas. Seleksi administrasi terdiri dari verifikasi, klarifikasi, dan validasi syarat-syarat administrasi. Seleksi kompeteni meliputi tertulis dan wawancara. Adapun seleksi integritas terdiri dari profile assessment dan penilaian kemampuan verval serta pengamatan sikap dan perilaku para calon hakim ekonomi syariah.

Seleksi integritas ini dilakukan dengan wawancara dan rekomendasi dari Badan Pengawas MA.

Dr. H. Fauzan, S.H.,M.H, Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan

Agama Ditjen Badilag, mengatakan b a h w a p r o s e s s e l e k s i a k a n menggunakan metode e-test. “Kita akan gunakan e-test agar proses penjaringan dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.

Bahan Ajar dan Pelatihan

Sejak awal tahun 2015, Pusdiklat MA telah mengembangkan kurikulum dan bahan ajar ekonomi syar'ah. Hanya saja, belum mengacu pada standar sertifikasi yang telah ditentukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN).

“Standar untuk sertifikasi adalah pelatihan 96 jam pelajaran,” kata Dr. H. Yasardin, S.H., M.H., hakim tinggi pada Balitbangdiklat MA.

Karenanya, saat ini Pusdiklat bekerjasama dengan Pokja Ekonomi Syariah yang diketuai oleh Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H tengah menyeleseikan kurikulum dan bahan ajar sertifikasi ekonomi syariah tersebut. Menurut Yasardin, selaku Sekretaris Pokja, kurikulum dan bahan ajar diharapkan selesai akhir Juni 2016.

Awalnya Pusdiklat MA telah menganggarkan pelatihan bagi calon hakim sebanyak 750 orang. Oleh karena rekrutmen calon hakim belum bisa dilaksanakan pada tahun 2016, Pusdiklat lalu mengajukan revisi anggaran tersebut untuk berbagai sertifikasi, salah satunya sertifikasi

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 90-94)