• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menakar Kesepa katan Perdamaian Tentang Hak Asuh Bersama

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 33-39)

ak pengasuhan anak

H

(hadhânah/child custody)

pasca perceraian merupakan salah satu aspek penting yang diatur oleh hukum. Dalam perspektif hukum perkawinan di Indonesia, pada prinsipnya kedua orangtua secara bersama-sama bertanggung jawab m e n g a s u h a n a k , m e s k i p u n

perkawinan putus. Namun bila terjadi perselisihan di antara orangtua tentang hak asuh tersebut, maka pengadilan menetapkan salah satu orangtua sebagai pemegang hak asuh d e n g a n m e m p e r t i m b a n g k a n kepentingan terbaik bagi anak (for the best interest of the child) [Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974].

Hak pengasuhan bersama

pasca perceraian yang tidak

berorientasi pada

kemaslahatan terbaik bagi

anak, harus dibatalkan

Menakar Kesepakatan Perdamaian

Tentang Hak Asuh Bersama

FENOMENAL

Klausula 'kepentingan terbaik bagi anak' dalam norma tersebut masih bersifat abstrak. Para penyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum telah memberikan patokan konkrit berdasarkan usia tertentu, dimana anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) lebih berhak diasuh ibunya, sementara bagi anak yang sudah mumayyiz dapat memilih antara bapak atau ibunya.

Patokan hak asuh berdasarkan usia tersebut hanyalah norma umum, karena pada dasarnya anak dalam usia tersebut lebih membutuhkan peran ibu ketimbang bapaknya. Adapun norma eksepsionalnya, dalam Kompilasi Hukum Islam juga

ditetapkan bahwa hak hadhânah

dapat dipindahkan kepada pihak lain bila pemegang hak hadhânah tersebut tidak mampu menjamin kemaslahatan lahir batin anak. Patokan tersebut semestinya tidak dibaca secara tekstual namun kontekstual. Disinilah kecermatan dan ketelitian hakim s a n g a t d i p e r l u k a n u n t u k mempertimbangkan berbagai aspek (filosofis, sosiologis, yuridis, psikologis, intelektual anak, dan sebagainya) ketika menentukan pihak yang lebih tepat memegang hak

hadhânah agar kepentingan terbaik bagi anak tersebut terealisir.

Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi bapak untuk ditetapkan sebagai pemegang hak

hadhânah bagi anak yang belum

mumayyiz bila ternyata bapak lebih mampu mewujudkan kemaslahatan yang terbaik bagi anak. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagian kritikan yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam cendrung memihak pada gender tertentu dalam hal hak asuh anak, adalah kurang tepat.

Apabila ditelusuri ketentuan hukum tentang hak pengasuhan anak pasca perceraian di beberapa negara, terdapat dua tipe. Pertama, legal custody yaitu hak asuh terkait kewenangan salah satu atau kedua orangtua membuat keputusan- keputusan penting mengenai

kebutuhan anak, seperti pendidikan, paham keagamaan, kesehatan, dan lain-lain. Tipe ini terbagi dua, yaitu (a)

sole legal custody (satu orangtua memegang kewenangan penuh untuk menentukan kebutuhan terpenting bagi anak); dan (b) joint legal custody

(kedua orangtua memiliki kewenangan yang sama untuk menentukan kebutuhan terpenting bagi anak).

Kedua, physical custody yaitu hak pengasuhan secara fisik yang berkaitan dengan tempat tinggal anak pasca perceraian orang tuanya. Tipe ini terbagi tiga: (a) sole physical custody, yaitu anak bertempat tinggal bersama salah satu orangtua saja; (b)

j o i n t p h y s i c a l c u s t o d y / d u a l custody/shared custody, anak tinggal berpidah-pindah dari ibu dan bapak secara bergantian dalam periode tertentu; dan (c) bird's nest custody,

anak tetap tinggal di suatu tempat, kemudian ibu dan bapak dalam periode tertentu mendampingi secara bergantian (Yudi Hardoes: 2011: 3-7).

Mayoritas putusan pengadilan agama tentang hak asuh anak menetapkan hak asuh tunggal (sole custody) dengan hak akses. Ketika terjadi sengketa di antara orangtua tentang hak asuh, maka pengadilan menetapkan salah satu orangtua sebagai pemegang hak asuh dengan tidak membatasi hak orangtua yang l a i n u n t u k b e r t e m u g u n a mencurahkan kasih sayangnya demi kepentingan anak. Banyak sekali ditemukan putusan pengadilan tentang hal ini, baik pada tingkat judex facti maupun judex juris sehingga 'dapat' dikatakan telah menjadi yurisprudensi tetap. Meskipun demikian, terdapat pula beberapa pola lain yang ditentukan oleh kedua orangtua dengan kesepakatan.

Perceraian, terutama bagi pasangan yang memiliki anak, bagaimanapun juga akan berimplikasi negatif pada kejiwaan anak. Perpisahan orangtua baik secara hukum maupun fisik tersebut dapat menimbulkan kegoncangan pada jiwa

anak. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir dampak negatif dari perceraian tersebut bagi anak, pada saat proses atau pasca perceraian, kedua orangtua di antaranya dapat membuat kesepakatan tentang hak pengasuhan anak agar anak memiliki kepastian hukum pasca perceraian orangtuanya terkait dengan tempat t i n g g a l , b i aya p e n g h i d u p a n , pendidikan, kesehatan dan lain-lain, dengan tanpa memutuskan hubungan anak dengan ibu dan atau bapaknya.

A p a b i l a k e d u a o r a n g t u a membuat kesepakatan perdamaian tentang hak asuh anak, baik yang dibuat dalam bentuk otentik maupun akta dibawah tangan, baik di depan atau di luar pengadilan, maka kesepakatan perdamaian tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma hukum, kesopanan dan kesusilaan (Pasal 1320 jo. 1337 KUHPerdata). Kesepakatan tersebut j u g a t i d a k b o l e h m e r u g i k a n

kepentingan anak yang notabene

sebagai objek kesepakatan, karena anak bukanlah 'barang' yang dapat di-

setting sedemikian rigit-nya dengan mengabaikan perasaan, pikiran, dan kebahagiaannya.

Sesuai dengan tema utama, rubrik judex juris kali ini mengangkat p u t u s a n k a s a s i N o m o r 6 3 8 K/AG/2015, tanggal 30 September 2015, yang membatalkan kesepakatan perdamaian yang di dalamnya termuat hak pengasuhan bersama, dengan alasan bahwa di antara butir kesepakatan dinilai tidak berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak, bertentangan dengan hukum, dan tidak dapat dilaksanakan (eksekusi).

Selain untuk membuka ruang diskusi lebih mendalam bagi para pembaca, rubrik ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan, terutama bagi para hakim ketika memutus perkara hadhânah, juga tak kalah pentingnya bagi para mediator yang sangat berperan dalam menfasilitasi para pihak membuat kesepakatan perdamaian.

FENOMENAL

Deskripsi Kasus

Pemohon Kasasi (“DV”) adalah mantan istri dari Termohon Kasasi (“AD”) yang menikah sesuai ketentuan hukum Islam pada tanggal 24 Juni 2010. Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi memiliki dua orang anak berinisial “Sy” (lahir 20 Juli 2006; umur 8 tahun) dan “Nh” (lahir 16 Mei 2009; umur 5 tahun). Meskipun keduanya lahir sebelum pernikahan, namun oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah diajukan

perkara voluntair permohonan

pengesahan anak biologis ke pengadilan negeri, sehingga keluarlah produk pengadilan negeri berupa penetapan anak sah berdasarkan p e n g a k u a n a n a k . Pe n e t a p a n pengadilan negeri tersebut untuk anak pertama ditetapkan tahun 2006 dan untuk anak kedua tahun 2011 (dalam masa perkawinan sah secara Islam antara “DV” dengan “AD”).

Perkara ini berawal dari permohonan cerai talak yang diajukan oleh Pemohon (Termohon Kasasi) ke Pengadilan Agama Depok yang

d i k u mula

sikan dengan akibat perceraian yang telah ada kesepakatan di antara para pihak di hadapan mediator di luar pengadilan, terkait dengan masalah

hadhânah, nafkah anak, nafkah istri, dan mut'ah. Salah satu petitum permohonan tersebut menuntut agar pengadilan menghukum Termohon (Pemohon Kasasi) mematuhi k e s e p a k a t a n y a n g t e l a h ditandatangani oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tanggal 5 Mei 2 0 1 4 t e r k a i t d e n g a n a k i b a t perceraian. Namun dalam gugatan baliknya, Termohon (Penggugat R e k o n v e n s i ) m e n u n t u t a g a r ditetapkan sebagai pemegang hak hadhânah dan menghukum Termohon Kasasi membayar biaya pengasuhan kedua anaknya.

Termohon Kasasi (Pemohon) dalam tanggapannya menyatakan bahwa masalah pengasuhan anak telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak di depan mediator, oleh sebab itu harus dipatuhi dan tidak dapat dituntut lagi. M e n u r u t P e m o h o n K a s a s i (Termohon), kesepakatan tersebut tidak sah karena Termohon Kasasi lebih dulu tidak mematuhi isi perdamaian tersebut karena tidak pernah memberikan nafkah untuk kedua anaknya sesuai dengan isi kesepakatan. Oleh sebab itu Pemohon Kasasi (Termohon) m e n y a t a k a n m e n c a b u t kesepakatan tersebut.

Terhadap tuntutan balik mengenai hak hadhânah tersebut, majelis hakim Pengadilan Agama Depok dengan

P u t u s a n N o m o r

0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., tanggal 24 Juni 2014, setelah memutus pokok

p e r k a r a k e m u d i a n

mempertimbangkan (meski ada

disenting opinion dari salah satu anggota majelis) bahwa point 4 kesepakatan bertanggal 5 Mei 2014 antara Tergugat Rekonpensi dan Penggugat Rekonpensi yang berbunyi:

”Para pihak setuju bahwa mereka akan memegang hak asuh hukum dan pengendalian bersama secara permanen terhadap anak-anak“

a d a l a h b e r te n t a n ga n d e n ga n ketentuan Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 29 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 105 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam serta bertentangan pula dengan fakta hukum bahwa antara Tergugat Rekonpensi dan Penggugat Re ko n p e n s i a ka n m e l a ku ka n perceraian dengan cerai talak, hal mana dengan peristiwa tersebut akan mengharus

k a n Tergug

FENOMENAL

R e k o n p e n s i d a n P e n g g u g a t Rekonpensi melakukan perpisahan baik secara hukum maupun secara fisik. Oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan point 4 Kesepakatan bertanggal 5 Mei 2014 tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata, sehingga harus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan (periksa: Putusan PA, hal. 25-26).

Dengan demikian, majelis hakim tingkat pertama berpendapat bahwa kesepakatan perdamaian yang telah dibuat para pihak, khususnya point 4 yang menyatakan hak pengasuhan bersama secara permanen bagi kedua orangtua yang telah bercerai adalah batal karena bertentangan dengan hukum. Adapun isi kesepakatan perdamaian yang lain, terkait dengan nafkah iddah, mut'ah, dan lain-lain tetap sah sehingga berlaku dan mengikat bagi kedua belah pihak.

Pendapat majelis hakim tingkat pertama tersebut ternyata dibatalkan oleh majelis hakim tingkat banding d e n g a n P u t u s a n N o m o r 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg., tanggal 20 Januari 2015. Majelis tingkat banding berpendapat bahwa kesepakatan perdamaian tentang hak pengasuhan bersama pada dasarnya tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 105 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam (periksa: Putusan PTA: hal. 7, alinea 2). Pendapat majelis hakim tingkat banding tersebut persis sama dengan pertimbangan anggota

majelis yang membuat disenting

opinion dalam perkara tersebut pada tingkat pertama. Dengan demikian, majelis hakim tingkat banding m e nya t a k a n s a h s e l u r u h i s i kesepakatan perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan dalam amar putusan menghukum para pihak untuk mentaatinya.

Menarik sekali, di samping kedua putusan judex facti tersebut berbeda d a l a m m e n i l a i k e s e p a k a t a n perdamaian, juga sama-sama tidak m e m u a t s e c a r a l e n g k a p i s i kesepakatan perdamaian bertanggal 5 Mei 2014 di dalam putusan, baik dalam bagian duduk perkara maupun pertimbangan hukum dan amar. Kesepakatan itu hanya ditemukan dalam berita acara sidang sebagai salah satu alat bukti.

Pada tingkat kasasi, Mahkamah A g u n g m e n y a t a k a n b a h w a kesepakatan perdamaian bertanggal 5 Mei 2014 tersebut adalah tidak sah dengan alasan: (a) butir kesepakatan tentang hak pengasuhan bersama yang secara “rigit” mengatur tentang tempat tinggal anak secara berpindah- pindah dari bapak dan ibunya dinilai tidak berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak; (b) terdapat kesepakatan yang tidak dapat dieksekusi; (c) terdapat butir kesepakatan yang bertentangan dengan norma agama seperti memutuskan hubungan silaturrahim dengan orang tertentu yang sifatnya mengharamkan sesuatu hal yang halal.

P a d a p e r k a r a t e r s e b u t , Mahkamah Agung menyatakan seluruh kesepakatan perdamaian itu batal karena di antara butir-butir kesepakatannya tidak memenuhi syarat-syarat sebuah kesepakatan (perjanjian) yang diatur dalam Pasal 1320 jo. 1337 KHUPerdata, yakni bertentangan dengan norma hukum, kesopanan dan kesusilaan. Menurut Mahkamah Agung, penetapan hak asuh secara permanen bersama-sama antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tersebut bertentangan dengan undang-undang karena berakibat pada tidak adanya kepastian hukum bagi kedua anak tersebut dimana akan menetap dan bertempat tinggal. Padahal maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang dalam memberikan hak kepada pengadilan

untuk menetapkan hak hadhânah

pada ibu atau bapak setelah bercerai

adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi anak-anak bertempat tinggal setelah perceraian kedua orangtuanya. Ketidakpastian tentang tempat tinggal anak tersebut justru akan mengganggu psikologi anak- anak dan kemashlahatan masa depan mereka. Lagi pula putusan tentang

hadhânah ditetapkan secara bersama- sama tersebut tidak akan bermanfaat karena tidak dapat dilaksanakan secara konkrit dan sulit untuk dieksekusi bila salah satu pihak m e l a l a i k a n d a n a t a u t i d a k melaksanakan amar putusan (lihat: Putusan Kasasi, hal. 15-16).

N a m u n d e m i k i a n , u n t u k memberikan rasa keadilan bagi Pemohon Kasasi selaku istri yang diceraikan, majelis kasasi dengan

mengadili sendiri (ex officio)

menetapkan beberapa hak istri pasca perceraian yang secara substansi mengambil butir-butir kesepakatan yang dinilai tidak bertentangan dengan hukum serta memasukkannya ke dalam amar putusan.

Analisis

Berdasarkan deskripsi kasus tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dianalisa baik secara formil maupun materil, antara lain:

Kewenangan hakim menilai isi kesepakatan

Dalam konteks kesepakatan perdamaian, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (sebelumnya Perma No. 1 Tahun 2008) telah memberikan pengaturan inovatif di dalam sistem hukum acara perdata, di mana para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh “akta perdamaian” dengan cara mengajukan gugatan.

FENOMENAL

Lalu, apakah setiap perjanjian perdamaian yang diajukan melalui gugatan akan disahkan oleh majelis hakim? Perma tersebut mengatur bahwa perjanjian perdamaian hanya akan dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian jika memenuhi syarat- syarat: (a) sesuai kehendak para pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum; (c) tidak merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; (e) dengan iktikad baik. Kemudian ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu yang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang- u n d a n g b a g i m e r e k a y a n g membuatnya. Salah satu syarat perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah kausa yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan norma hukum, kesopanan dan kesusilaan.

Kemudian untuk sahnya suatu kesepakatan, maka objek yang diatur dalam kesepakatan tersebut harus jelas, agar dapat dilaksanakan. Jadi, tidak boleh objek yang samar-samar. Hal ini sangat penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kesepakatan yang fiktif. Dengan demikian, tidak semua kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat disahkan. Hakim berwenang menilai setiap butir kesepakatan tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum dan dapat dilaksanakan.

Apabila dalam suatu kesepakatan perdamaian terdapat sebagiannya yang bertentangan dengan hukum, nilai kesopanan dan kesusilaaan dan atau tidak dapat dilaksanakan, apakah hal itu membatalkan kesepakatan secara keseluruhan atau sebagian saja?

Mencermati putusan kasasi tersebut, menurut penulis, pada dasarnya kesepakatan perdamaian merupakan representasi secara utuh dari keinginan kedua belah pihak

untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Oleh sebab itu, kesepakatan tersebut lahir karena para pihak merasa setiap butir dari kesepakatan telah dapat mewakili kepentingan masing-masing secara seimbang. Apabila salah satu dihilangkan, justru akan mengganggu s t a b i l i t a s p e r j a n j i a n s e c a r a keseluruhan, sehingga kesepakatan perdamaian harus dilihat secara utuh sebagai representasi dari kehendak ('hasil negosiasi') kedua belah pihak yang memotivasi mereka untuk mau menandatangani secara sukarela. A p a b i l a s a l a h s a t u b u t i r nya dibatalkan, maka akan merusak keseimbangan yang lain.

Menempatkan isi kesepakatan perdamaian dalam putusan

Putusan judex facti (PA Depok dan PTA Bandung) sama sekali tidak memuat isi kesepakatan bertanggal 5 Mei 2014 tersebut secara lengkap, baik dalam bagian duduk perkara, pertimbangan hukum, maupun dalam amar putusan. Kesepakatan tersebut hanya ditemukan dalam berita acara sidang.

Pertanyaannya adalah apabila para pihak tidak melaksanakan isi kesepakatan perdamaian tersebut, lalu bagaimana melaksanakan eksekusi atas putusan tersebut? Bukankah yang akan dieksekusi oleh pengadilan adalah amar putusan? Sebagai contoh, bila dalam amar putusan tidak ditemukan amar

condemnatoir, meskipun dalam pertimbangan hukum secara jelas telah ada pernyataan “menghukum”, e k s e k u s i t e t a p t i d a k d a p a t dilaksanakan, karena yang dimohon untuk dieksekusi adalah amar putusan bukan pertimbangan hukumnya.

Memang ada yang berpendapat bahwa isi kesepakatan perdamaian tidak perlu dimuat secara rinci dalam amar putusan. Namun Mahkamah Agung dalam salah satu putusan kasasinya (Putusan Nomor 798

K/Ag/2015, tanggal 23 Desember 2015) ternyata telah memperbaiki amar putusan judex facti yang tidak merinci isi kesepakatan perdamaian dalam amar putusan, dengan pertimbangan untuk memudahkan pelaksanaan putusan.

Kewenangan Absolut

Meskipun dalam perkara t e r s e b u t p a r a p i h a k t i d a k mempersoalkan tentang status kedua anak yang menjadi objek kesepakatan karena dianggap telah sah secara hukum dengan penetapan pengadilan negeri, namun bila dicermati, masih menimbulkan beberapa persoalan, karena secara substansial kedua anak tersebut lahir di luar perkawinan dan m i n i m a l k e t i k a m e n g a j u k a n permohonan penetapan asal usul anaknya yang kedua, Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah beragama Islam.

L a l u , k e n a p a d a l a m h a l permohonan pengesahan anak, mereka lebih memilih pengadilan negeri daripada pengadilan agama? Apakah ini gejala bahwa masyarakat tidak percaya kepada pengadilan a ga m a d a l a m h a l p e n e t a p a n pengesahan anak? Selain itu, sebelum keluarnya Putusan Makamah Konstitusi Nomor 18/PP.XI/2013, l e g i s l a t o r m e m u t u s k a n p u l a pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri, sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam prakteknya, secara substansial sama dengan penetapan asal usul anak. Padahal sejak semula nyata sekali merupakan kewenangan pengadilan agama, sebagaimana maksud Pasal 55 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Penjelasan Pasal 49 butir ke-20 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis. Pasal 103 ayat (2) KHI.

FENOMENAL

Untuk itu, menurut penulis, dalam mengadili perkara penetapan asal usul anak tersebut, perlu sekali berorientasi kepada keadilan dan kemaslahatan anak, bukan kemaslahatan ayah atau ibu biologisnya. Kelihatannya, para ulama terdahulu sudah melakukan perlindungan terhadap anak tersebut dengan cukup baik.

Ketika dalam pernikahan fâsid

mereka sepakat menyatakan harus diulang, namun anak yang lahir akibat nikah fâsid dan watha` syubhat mereka sepakati sebagai anak sah (dinasabkan) dari ayah dan ibu biologisnya tersebut. Watha` syubhat itu pun cukup luas pula cakupannya. Jika persoalan itu terjadi perbedaan pendapat atau ada unsur syubhât yang mengakibatkan pelaku tidak dikenai hadd zina, maka berkategori watha`

syubhât (al-Sayyid Sâbiq: 1983: 371. Al-Nawawi:1991: 99). Termasuk menetapkan asal usul anak temuan

(laqîth). Bahkan sekelompok ulama, di antaranya 'Urwah bin al-Zubayr, Sulaymân bin Yasâr, 'Athâ` bin Abî Rabâh, 'Amr bin Dînâr, al-Hasan al- Bashrîy, Ibn Sirîn, Ishâq bin Rahawayh, al-Nakh'iy, Ibn Taimiyyah, dan Ibn al- Qayyim, berpendapat anak zina dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya dengan syarat ibu bilogisnya tidak sedang terikat firâsy; nikah atau perbudakan, dengan laki-laki lain (Yasin Nashir Mahmud al-Khathib: 1987: 340. Abdullah bin Muhammad al-Thayyar: 2012: 154). Perlu pengembangan kajian dengan perspektif kultur keindonesiaan dalam bidang ini.

Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 597 K/Ag/2015, tanggal 30 September 2015, dapat dijadikan salah satu rujukan untuk mengabsahkan anak dari pernikahan fâsid atau watha` syubhât.

Kenapa pengadilan negeri mengabulkan permohonan penetapan asal usul anak yang bukan merupakan kewenangannya tersebut? Apabila

dilihat dari materi perkara, pengadilan negeri seharusnya menyatakan tidak menerima permohonan tersebut karena merupakan kewenangan absolut peradilan agama. Di sisi lain, bila para pihak tidak lagi mempersoalkan status anak tersebut, apakah majelis hakim berwenang menilai dan mempertimbangkan status anak tersebut yang senyatanya lahir di luar perkawinan yang sah tersebut.

Menurut hemat penulis, sebelum menetapkan siapa yang berhak mengasuh anak, majelis hakim perlu mempertimbangkan terlebih dahulu status hukum anak tersebut, apakah anak sah atau bukan, dengan mengaitkannya pada penetapan pengadilan negeri tentang asal usul anak atau pengakuan anak tersebut. Kebetulan saja dalam putusan kasasi tersebut kedua anak ditetapkan pada ibu sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap status hukum anak, baik sah ataupun tidak dalam kaitannya dengan hak pengasuhan.

Kelihatannya Mahkamah Agung juga tidak menyentuh bagian ini k a r e n a m e m a n g t i d a k dipermasalahkan oleh kedua belah pihak. Namun bila dibandingkan dengan putusan lain yang terkait dengan hak anak biologis untuk mendapatkan hak keperdataan dari bapak biologisnya, hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam.

Demikian beberapa aspek hukum yang dapat dipetik dari putusan judex juris tersebut, di samping penulis menyadari masih banyak hal-hal penting yang perlu digali dari putusan tersebut. Wallâh a'lam bi al-shawâb.

|Yengki Hirawan|

Referensi Buku-Buku:

Hardoes, Yudi, Menimbang Ulang

Tipikal Hak Asuh Dan Kriteria Moral Pemegang Hadanah,

Makalah: Badilag.net, 2011.

al-Khathîb, Yâsîn Nâshir Maḥmûd, Tsubût al-Nasab; Dirâsah Muqâranah bayn al-Madzâhib al- Fiqhiyyah al-Arba'ah wa al- Zhâhiriyyah wa al-Zaydiyyah wa Ghayrihâ, Jeddah: Dâr al-Bayân al-'Arabî, 1987.

al-Nawawî, Abû Zakariyyâ Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murâ, Rawdhah al-Thâlibîn wa 'Umdah al-Muftiyyîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1991, Cet. Ke-3, Juz 4. Sâbiq al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1983, Cet. Ke- 4, Jil. 2.

al-Thayyâr, 'Abdullâh bin Muhammad, dkk., al-Fiqh al-Muyassar, Riyadh: Madâr al-Wathan, 2012.

Aturan Perundang-undangan KUHPerdata

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Putusan-putusan

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 6 3 8 K / AG / 2 0 1 5 , t a n g g a l 3 0 September 2015

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 5 9 7 K / A g / 2 0 1 5 , t a n g g a l 3 0 September 2015

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 798 K/Ag/2015, tanggal 23 Desember 2015

Putusan Pengadilan Tinggi Agama B a n d u n g N o m o r 2 2 7 / Pd t . G / 2014/PTA.Bdg., tanggal 20 Januari 2015.

Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 343/Pdt.G/ 2014/PA.Dpk., tanggal 24 Juni 2014

Putusan Makamah Konstitusi Nomor 18/PP.XI/2013

FENOMENAL

PUTUSAN JUDEX FACTI

S

e j a k E g l a n t y n e J e b mendeklarasikan 10 pernyataan hak – hak anak (Hak akan nama d a n k e w a r g a n e g a r a a n , h a k kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan dan hak berpartisipasi dalam pembangunan) pada tahun 1923, berbagai macam perkembangan hukum yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak anak

terus berkembang hingga saat ini. Diikuti oleh Deklarasi Hak Anak

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 33-39)