• Tidak ada hasil yang ditemukan

sebagai pilihan penyelesaian sengketa dan meningkatkan efektifitas mediasi di Pengadilan Seperti apa?

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 97-100)

Pertama, dibuka peluang bagi pegawai pengadilan di luar hakim untuk bertindak selaku mediator. Pegawai pengadilan dimaksud adalah panitera, sekretaris, panitera pengganti, jurusita, jurusita pengganti, calon hakim dan pegawai lainnya. Kedudukannya dipersamakan dengan mediator non hakim yang mesti memiliki sertifikat untuk dapat menjalankan fungsi mediator.

Kedua, pengaturan lebih rinci mengenai perkara-perkara yang tidak wajib dimediasi. Jika dalam Perma sebelumnya ditentukan hanya 4 ( e m p a t ) j e n i s p e r k a ra ya n g dikecualikan dari proses mediasi, Perma baru ini mengecualikan setidaknya 5 (lima) kelompok perkara, yakni sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya, sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya Penggugat atau Tergugat yang telah dipanggil secara patut, gugatan baik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi), sengketa mengenai pencegahan, penolakan, p e m b a t a l a n d a n p e n g e s a h a n perkawinan, serta sengketa yang diajukan ke pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator yang bersertifikat yang terdaftar di pengadilan setempat.

Ketiga, pengaturan tentang alasan-alasan yang sah tidak menghadiri mediasi untuk kemudian dapat diwakilkan kepada Kuasa Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah kondisi kesehatan yang tidak m e m u n g k i n k a n h a d i r d a l a m pertemuan mediasi berdasarkan surat ke t e ra n g a n d o k t e r, d i b a wa h pengampuan, mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri, dan menjalankan tugas Negara, tuntutan profesi atau p e ke r j a a n ya n g t i d a k d a p a t ditinggalkan.

Keempat, pengaturan tentang ittikad baik dalam mediasi, yang meliputi kriteria tidak berittikad baik, bentuk sanksi jika Penggugat tidak berittikad baik, bentuk sanksi jika Tergugat tidak berittikad baik, bentuk sanksi jika Penggugat dan Tergugat tidak berittikad baik, mekanisme

penetapan pihak atau para pihak yang tidak berittikad baik dan mekanisme pelaksanaan sanksi.

Kelima, kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara untuk menjelaskan tentang prosedur mediasi dan penandatanganan formulir terkait penjelasan mediasi serta kesiapan untuk berittikad baik dalam menempuh mediasi. Meskipun dalam Perma sebelumnya pengaturan ini telah dibuat, namun cakupan penjelasan dan penandatanganan formulir tidak diatur.

Keenam, pengaturan tentang kewajiban kuasa hukum terhadap prinsipal yang akan menempuh mediasi serta kemestian adanya surat kuasa yang menyatakan kewenangan untuk mengambil keputusan apabila prinsipal dengan alasan-alasan sebagaimana disebut pada poin ketiga diatas.

Ketujuh, pengaturan tentang ruang lingkup pembahasan dalam pertemuan mediasi yang tidak hanya mencakup hal-hal yang tertuang dalam posita dan petitum gugatan serta tata cara yang harus ditempuh oleh Para Pihak apabila mediasi menghasilkan kesepakatan di luar konteks posita dan petitum gugatan.

Kedelapan, perubahan lama waktu mediasi wajib dilaksanakan dari sebelumnya diatur selama 40 (empat puluh) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari. Perubahan juga dilakukan terhadap lama waktu perpanjangan mediasi dari sebelumnya hanya 14 (empat belas) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari. Makna hari dalam ketentuan ini adalah hari kerja, bukan hari kalender.

K e s e m b i l a n , p e r u b a h a n nomenklatur hasil mediasi yang dikerucutkankan menjadi tiga, yakni mediasi berhasil, mediasi tidak berhasil dan mediasi tidak dapat d i l a k s a n a k a n . D a l a m p e r m a sebelumnya terdapat 4 (empat) istilah hasil mediasi, yakni mediasi berhasil, mediasi tidak berhasil, mediasi gagal, dan mediasi tidak layak. Dua istilah yang terakhir digabungkan dan diubah menggunakan istilah baru yakni mediasi tidak dapat dilaksanakan.

K e s e p u l u h , p e n g a t u r a n kewenangan Hakim Pemeriksa Perkara terhadap kesepakatan

perdamaian yang hendak dikuatkan menjadi akta perdamaian. Selain m e m i l i k i ke we n a n ga n u n t u k menelaah, Hakim Pemeriksa Perkara juga berwenang memberikan saran perbaikan atas suatu kesepakatan perdamaian. Pengaturan kewenangan ini tidak hanya berlaku pada mediasi yang dilaksanakan di pengadilan, tetapi juga mediasi di luar pengadilan yang kesepakatan perdamaiannya akan dimohonkan untuk dikuatkan di pengadilan dengan akta perdamaian.

Kesebelas, diperkenalkannya kesepakatan sebagian (partial settlement) sebagai hasil mediasi dan masuk dalam kategori mediasi yang berhasil serta tata cara menyelesaikan sebagian lainnya yang belum d i s e p a k a t i m e l a l u i m e d i a s i . Kesepakatan sebagian ini dapat berupa kesepakatan sebagian pihak (subyek) dan kesepakatan sebagian permasalahan (obyek).

K e d u a b e l a s , p e r u b a h a n pengaturan tentang mediasi pada tahap upaya hukum. Jika dalam Perma sebelumnya, keterlibatan pengadilan dalam proses mediasi dimulai semenjak para pihak menyatakan keinginannya untuk menempuh perdamaian hingga penunjukan mediator dan pelaksanaan mediasi, maka dalam Perma yang baru tidak lagi diatur mengenai proses tersebut. Dalam Perma baru ini hanya diatur apabila Para Pihak mencapai kesepakatan selama proses upaya hukum (banding, kasasi, dan peninjauan kembali).

Dua Arah Pengaturan

M e m p e r h a t i k a n s e c a r a menyeluruh norma-norma baru yang diatur dalam Perma ini, setidak- tidaknya mengarah kepada dua politik pengaturan utama, yakni mendorong mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa dan mendorong efektifitas pelaksanaan mediasi di pengadilan.

Meskipun tidak menetapkan secara langsung arah pengaturan bagi masing-masing norma baru, dapat dipastikan semuanya mengarah kepada dua politik pengaturan tersebut. Dan boleh jadi satu norma yang diatur dapat mengarah kepada keduanya sekaligus.

Dibarengi dengan Produk-Produk Turunan

Upaya Mahkamah Agung untuk mendorong kedua hal tersebut melalui Perma baru ini pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan keberhasilan mediasi di Pengadilan yang saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Paling tidak, mediasi tidak lagi hanya dilihat sebagai prasyarat yang harus ditempuh agar suatu perkara dapat diperiksa dan

diputus oleh Hakim Pemeriksa Perkara, terlepas dari bagaimanapun kualitas mediasi itu dilaksanakan. Mediasi harus menjadi pilihan pencari keadilan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jaminan hasil yang dipersamakan dengan putusan pengadilan.

Untuk itu, Mahkamah Agung tidak sekedar mengeluarkan Perma sebagai payung hukum utama, tetapi juga instrumen-instrumen lain yang memungkinkan upaya tersebut

mencapai hasil yang optimum. Pe r u b a h a n ku r i ku l u m d i k l a t s e r t i f i k a s i m e d i a t o r h a k i m , pemanfaatan teknologi informasi melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara, pengaturan tentang tata kelola mediasi dan diterbitkannya instrumen-instrumen pendukung merupakan langkah-langkah lain yang diharapkan mampu mendukung pencapaian keberhasilan mediasi tersebut. Semoga.

|Mohammad Noor|

Berikut deskripsi tentang norma-norma baru dalam Perma mediasi dikaitkan dengan politik pengaturan yang melatarbelakanginya.

Sekitar medio Juli 2014, tim redaksi Majalah Peradilan Agama bertandang ke kampus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Maksudnya untuk mewawancari Dekan FSH yang pada waktu itu masih dijabat oleh Dr. J.M. Muslimin. Di area parkiran, tim redaksi bertemu dengan Prof. Mark Cammack, guru besar Southwestern Law School, Los Angeles, California, Amerika Serikat. Prof. Mark ini dikenal sebagai pemerhati hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia. Ia banyak meneliti dokumen-dokumen putusan pengadilan agama tempo dulu.

Karena sudah saling mengenal dan bahkan akrab satu sama lain, tim redaksi pun kemudian ngobrol tentang berbagai hal dengan professor nyentrik yang selalu mengikat rambut panjangnya ini. Sampai kemudian percakapan menyentuh tentang kajian peradilan agama berdasarkan

dokumen masa lalu. Dengan sangat antusias Prof. Cammack menyinggung tentang adanya kajian baru atas manuscript peradilan agama dari zaman Kesultanan Banten. Yang mengkaji adalah Doktor lulusan Perancis asal Indonesia, namanya Ayang Utriza. Hasil kajiannya bagus sekali, kata Prof. Cammack waktu itu.

Kemudian sekitar akhir Februari 2016, tim redaksi membaca artikel tulisan tokoh yang dibicarakan Prof. Cammack tersebut di Jurnal Studia Islamika Vol. 22, Number 3, 2015. Judulnya, “The Register of the Qadi Court Kiyahi Peqih Najmuddin of the Sultanate of Banten, 1754-1756 CE.” Tulisan setebal 35 halaman itu merupakan intisari hasil riset Dr. Ayang Utriza di University of Oxford, Inggris dan Harvard University, Amerika dalam kurun waktu 2012- 2 0 1 3 . Ay a n g U t r i z a s e n d i r i menyelesaikan S2 dan S3 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, masing-masing pada tahun 2005 dan 2013.

Hasil penelitian Ayang Utriza atas Arsip Kadi Kesultanan Banten abad ke- 18 itu mengungkapkan banyak fakta dan sejarah yang belum banyak diketahui tentang qadi yang merupakan cikal bakal peradilan agama di Indonesia. Misalnya tentang j e n i s p e r k a ra ya n g m e n j a d i kompetensi absolut qadi, tempat pelaksanaan sidang, hukum acara dan materil yang digunakan, dan lain sebagainya.

Kajian Doktor Sejarah Hukum Islam dan Hukum Adat yang juga alumni UIN Jakarta ini merupakan kajian yang diambil dari sumber primer referensi tertua yang berasal dari Indonesia. Seperti diakui Ayang

Utriza, catatan pengadilan (sijill/buku register perkara) yang diterima dari C. Snouck Hurgronje dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda ini merupakan dokumen tertua di Asia Tenggara. Hal ini terkonfirmasi dengan kenyataan bahwa pada umumnya, bahan kajian sejarah hukum dan peradilan agama di Indonesia diambil dari sumber- sumber pada abad ke-19 atau ke-20.

Dr. Ayang Utriza yang mahir berbahasa Inggris, Arab, Perancis dan jago membaca teks bahasa Belanda, Jerman, dan sedikit Persia ini di sela- s e l a ke s i b u ka n nya b e r ke n a n menerima tim redaksi untuk dimintai tanggapannya tentang kajian-kajian yang menjadi concern-nya selama ini. B e r i k u t a d a l a h p e t i k a n wawancaranya:

Fokus kajian disertasi Bapak menggunakan ilmu Sejarah dan Filologi. Bisa diceritakan kenapa tertarik di bidang tersebut?

Jika mau jujur, sebenarnya saya masuk jurusan sejarah dan filologi itu merupakan “kecelakaan sejarah”. Saat saya di Kairo, saya ditawarkan masuk jurusan kajian naskah (ilm al- makhtutat) di Universitas Liga Arab, tetapi saya menolak karena saya pikir ilmu pernaskahan itu ilmu “kurang keren.” Tetapi, justeru saat saya belajar di Prancis, malah saya masuk jurusan sejarah yang di dalamnya saya belajar filologi, epigrafi, arkeologi, bahkan belajar juga antropologi, etnologi, dan sosiologi. Di kampus saya di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) adalah kampus ilmu-ilmu sosial dan kemanusian yang m e n g g u n a k a n p e n d e k a t a n

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 97-100)