• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Rita Pranawati, MA

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 51-55)

Pendahuluan

P

erceraian adalah perkara halal,

namun dibenci Allah. Itulah doktrin Islam yang ada dalam kehidupan seorang muslim. Ternyata doktrin itu tidak cukup kuat untuk menekan tingginya angka perceraian di Indonesia. Sah saja jika pasangan suami istri mengambil keputusan untuk bercerai sebagai jalan keluar dari masalah keluarga yang mereka hadapi. Namun sayangnya persoalan perceraian sering dianggap sebagai domain orang dewasa semata. Padahal dalam perceraian, jika sudah memiliki anak, maka anak menjadi pihak yang paling rentan menghadapi masalah jika orang tua yang bercerai tidak bijak dalam berdialog soal masa depan anak.

Perceraian di Indonesia pada tahun 2010-2014 mencapai 15 persen.¹ Jika terjadi 200 ribu perceraian dengan asumsi satu keluarga satu anak, maka akan ada dua ratus ribu anak yang terdampak oleh perceraian. Belum lagi data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI menyebutkan, dari total kasus perceraian yang sampai di Mahkamah Agung, hanya 25 persen yang secara serius memuat putusan tentang hak asuh anak, yang lainnya

putusan soal anak hanya menjadi putusan yang sifatnya asesoris.² Ada dua kemungkinan dalam hal ini, orang t u a y a n g b e r c e r a i s u d a h menyelesaikan atau sebaliknya orang dewasa hanya mengutamakan penyelesaian perceraian sedangkan u r u s a n a n a k b e l u m m e n j a d i pembahasan antara keduanya.

Banyak studi ilmiah menyebut setiap perceraian sedikit banyak akan tetap mempengaruhi tumbuh kembang anak. Hampir semua anak tidak menginginkan orang tuanya berpisah. Jika mereka memiliki saudara pun mereka sangat berharap tidak dipisahkan dari saudaranya. K o n d i s i k e t e r p i s a h a n d a n ketidaksesuaian harapan ini pun sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Belum lagi kuantitas dan kualitas kasih sayang yang kemungkinan besar berkurang karena kondisi dan situasi keluarga yang berubah. Usaha yang dapat dilakukan d i a n t a r a n y a a d a l a h d e n g a n menguatkan itikad baik kedua orang tua untuk mengurangi risiko anak dari perceraian orang tua.

Perlindungan anak dalam situasi orang tua berpisah merupakan hal yang sangat penting. Perspektif perlindungan anak dalam proses peradilan yang berdampak pada anak perlu untuk memperhatikan prinsip

perlindungan anak sebagaimana termaktub dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 2. Prinsip tersebut adalah non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, k e l a n g s u n g a n h i d u p , d a n perkembangan, dan ฀penghargaan terhadap pendapat anak. ฀Pada prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak misalnya, masing-masing pihak sering merasa bahwa yang mereka inginkan adalah yang terbaik bagi anak meskipun pada realitasnya hal itu hanya ego masing-masing pihak. Oleh karenanya, membangun perspektif perlindungan anak untuk anak dalam situasi orang tua yang berkonflik sangat dibutuhkan agar masa depan anak tetap terjamin.

Tulisan ini akan menguraikan harapan norma hukum keluarga yang akan dipraktekan dalam praktek peradilan di masa yang akan datang khususnya yang menyangkut keluarga. Tulisan ini dibuat dari refleksi kasus- kasus pengasuhan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki mandat dari UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2 0 1 4 P a s a l 7 6 d i a n t a r a n y a memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak, menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak dan melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak.

¹ Kasus Perceraian Meningkat, 70% diajukan Istri, Selasa 30 Juni 2015

http://health.kompas.com/read/2015/06/30/151500123 /Kasus.Perceraian.Meningkat.70.Persen.Diajukan.Istri,

diakses 30 Agustus 2015 makalah dipresentasikan di KPAI² Edi Riyadi, Perceraian di Indonesia, 2015,

Problematika Kasus Pengasuhan

Kasus pengasuhan yang diadukan ke KPAI termasuk kasus kedua tertinggi setelah kasus anak berhadapan dengan hukum pada rentang 2011 hingga 2015. Meskipun pengaduan bidang pengasuhan termasuk memiliki jumlah kasus yang cukup tinggi, namun perhatian publik dan pengambil kebijakan untuk melakukan upaya solusi masih kurang dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang lebih mudah mengambil simpati publik. Padahal pengasuhan merupakan hulu dari berbagai persoalan. Jika persoalan pengasuhan dapat terselesaikan dengan baik maka minimal pondasi tumbuh kembang anak akan lebih terjamin. Berikut adalah data pengaduan ke KPAI dari 2011- 2016.

Jika melihat kluster pengaduan kasus pengasuhan berikut ini, masing-masing pengaduan sangat berpotensi menjadi kasus penelantaran dalam konteks penelantaran psikologis. Meskipun tidak terlihat secara fisik, tetapi penelantaran akibat konflik kedua orang tua dapat berdampak pada perkembangan psikologis, kehidupan sosial anak, serta kehidupan akademiknya. Pada situasi ini orang tua perlu memiliki kesadaran adanya dampak perceraian kepada anak dan meminimalisirnya. Secara detail untuk kasus pengasuhan dapat dilihat sebagaimana tabel berikut:

Secara umum persoalan mendasar dari pengaduan ke KPAI terkait pengasuhan adalah masalah sengketa kuasa asuh, pelarangan akses bertemu orang tua (baik yang hanya kesulitan akses bertemu hingga terjadi “penculikan” atau pemutusan akses bertemu), maupun terkait tidak dipenuhinya nafkah anak paska perceraian.

Mendalami Isu Pemenuhan Hak Anak Paska Perceraian Kuasa asuh dan hak asuh adalah dua hal yang berbeda namun seringkali dipertukarkan.³ Putusan pengadilan seharusnya menitikberatkan pada hak asuh sehingga pengadilan akan memutuskan pengasuhan anak kepada pihak yang dianggap paling mampu. Sedangkan kuasa asuh akan lebih memfokuskan pada siapa diantara kedua orang tua yang paling berhak dengan melihat apa yang dapat diberikan orang tua kepada anak.

Kepentingan terbaik bagi anak seharusnya menjadi indikator utama kepada siapa hak asuh akan diberikan. Misalnya tentang pengasuhannya, pendidikannya, kenyamanan anak secara psikologis dan fisik. Selama ini proses persidangan terkait hak asuh lebih banyak membahas kondisi orang tua daripada melakukan

assessment terhadap kondisi anak. Kebutuhan akan psikolog dan pekerja sosial untuk proses melakukan pendalaman kebutuhan anak menjadi hal penting. Pada akhirya menjadi kewajiban para hakim untuk mencocokkan kepentingan yang terbaik untuk anak dengan orang tua yang tepat. Orang tua yang memiliki hak asuh juga mampu menetralisir keadaan perpisahan yang dialami anak dengan orang tua lainnya maupun dengan saudara lainnya.

Persoalan-persoalan terkait pengasuhan seringkali muncul ketika orang tua memutuskan bercerai namun tidak ada pembahasan terkait pengasuhan. Hukum formal perdata Indonesia yang berlaku saat ini adalah ketika tidak ada tuntutan terkait hak asuh, maka tidak akan ada pembahasan hak asuh atau yang lebih dikenal dengan ultra petita. Ultra petita yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg melarang hakim memutus melebihi yang dituntut atau dalam hal ini hakim dianggap

4

melebihi kewenangannya. Padahal idealnya urusan anak dapat diselesaikan dan dibicarakan sebaik-baiknya bersama-sama dengan urusan perceraian urusan orang tuanya. Hal ini mengingat karena anak belum dapat menuntut haknya untuk diperhatikan sementara proses perceraian tetap berlangsung.

3 Reza Indragiri Amriel, Jaminan Relasi Anak - Orang Tua, Media Indonesia, 15 Desember 2015.

4 http://fatahilla.blogspot.co.id/2011/02/larangan-putusan-ultra-petita- hanya.html

Persoalan lain yang sering terkait dengan kuasa asuh seringkali adalah tidak adanya putusan sementara hak asuh anak. Walaupun kedua orang tuanya masih tetap memiliki kewajiban melakukan pengasuhan, banyak anak menjadi korban rebutan kedua orang tuanya ketika belum ada putusan terkait hak asuh. Perebutan anak sendiri mulai banyak terjadi di sekolah yang seharusnya orang tua menghormati sekolah sebagai tempat netral dan menghormati kebutuhan anak akan ketenangan psikologis untuk belajar. Jika ini terjadi maka orang tua sudah mengabaikan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Pada kasus sudah adanya putusan siapa yang berhak melakukan pegasuhan, eksekusi putusan hak asuh tidak semuanya mulus. Anak bukanlah barang yang dapat dipindahtangankan dengan mudah. Penyiapan kondisi psikologis anak menjadi sangat penting karena anaklah yang menjadi p e l a k u u t a m a d a l a m p ro s e s pengalihan pengasuhan. Proses pengkondisian agar anak nyaman dan siap berpindah sangat dibutuhkan. Norma hukum terkait proses pengalihan pengasuhan yang memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak diperlukan di masa yang akan datang.

Pada beberapa kasus hak asuh, ada orang tua yang ingkar mematuhi putusan pengadilan terkait hak asuh tanpa memiliki itikad baik untuk mematuhi keputusan pengadilan. Gagalnya eksekusi putusan pengadilan terkait hak asuh tentu merupakan pelanggaran dan penghinaan terhadap lembaga peradilan. Walaupun ada upaya mediasi yang dilakukan atas g a g a l nya e s k s e k u s i p u t u s a n pengadilan, ke depan seharusnya ada mandat yang diberikan kepada lembaga tertentu untuk melakukan penegakan putusan pengadilan utamanya terkait hak asuh yang menyangkut manusia. Apalagi jika memang tidak ada itikad baik sama sekali dari pihak yang sedang membawa anak. Sekali lagi asumsi bahwa pemegang hak asuh bukanlah

penguasa mutlak atas anak harus menjadi pandangan dari para pihak.

H a k a k s e s b e r t e m u d a n “penculikan” anak oleh salah satu pihak juga menjadi problema p e r c e r a i a n o r a n g t u a . Ketidakpercayaan antara pasangan menyebabkan salah satu pihak khawatir jika dipertemukan dengan orang tua lainnya anak akan dibawa dan tidak kembali. Begitu juga dengan kekhawatiran bahwa pihak orang tua lain akan melakukan cuci otak untuk membenci orang tua lain menjadikan salah satu pihak melakukan tindakan mulai dari menutup akses bertemu hingga melakukan “penculikan” atau membawa pergi anak.

Menutup akses hingga tindakan “penculikan” anak oleh salah satu orang tua terjadi baik perkawinan antara warga Negara Indonesia maupun antar warga Negara. Dalam konteks hukum perdata internasional, dikenal the Hague Convention on Child Abduction 1980. Norma konvensi tersebut adalah bagaimana seorang anak yang diambil secara paksa

(wrongly removal) dikembalikan kepada pemegang hak asuh atau tempat dimana ia seharusnya berada

(habitual residence). Meskipun konvensi child abduction mengatur terkait “penculikan” anak antar orang tua beda warga Negara, namun norma penyelesaian masalah “penculikan” anak tetap diperlukan untuk menyelesaikan masalah hak akses bertemu dan “penculikan” anak. Hal ini mengingat bahwa kasus-kasus seperti cukup tinggi terjadi di Indonesia.

Salah satu prinsip perlindungan anak anak adalah mendengarkan pendapat anak. Dalam konteks perceraian, anak seringkali terabaikan h a k n y a u n t u k d i d e n g a r k a n pendapatnya. Padahal anak adalah salah satu pihak yang paling berkepentingan terhadap putusan pengadilan. Memang kepentingan terbaik anak tidak harus selalu berdasarkan wish atau harapan anak. Namun jika ada pandangan anak

(view) bagi anak yang usianya sudah

remaja perlu dapat didengar pendapatnya. Pada masa yang akan datang, pembelaan untuk kepentingan terbaik bagi anak dapat dilakukan dengan cara Negara memandatkan p e n g a c a r a t e r t e n t u d e n g a n pembiayaan dari Negara untuk membela anak. Sehingga keputusan terkait anak benar-benar merupakan Hak Asuh dan Hak Nafkah Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Anak pada prinsipnya adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Meskipun pasangan suami istri bisa saja menjadi mantan, namun relasi orang tua dengan anak tidak akan berakhir. Tidak ada mantan orang tua maupun anak. Dalam prinsip perlindungan anak, anak memiliki hak untuk mengetahui asal usul orang tuanya dan dalam hukum Islam nasab hubungan darah akan menentukan perwalian serta waris. solusi terbaik bagi anak.

Kewajiban orang tua yang jelas termaktub dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 14 adalah sebagai berikut:

(1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau a t u r a n h u k u m y a n g s a h menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan t e r b a i k b a g i A n a k d a n merupakan pertimbangan terakhir. ฀

(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: 1. bertemu langsung dan

berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;

2. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan memperoleh Hak Anak lainnya.”

Kompilasi Hukum Islam dalam aspek pengasuhan menganut perspektif sole custody, dimana anak dibawah usia 12 tahun atau belum

mumayyiz hadhanahnya ke ibu. Alasan yang dapat menggugurkan ibu memegang hak asuh, misalnya ibu merupakan pecandu narkoba atau memiliki akhlak yang tidak terpuji dalam norma umum yang akan membahayakan anak jika memegang hak asuh. Sedangkan UU Perlindungan Anak menempatkan pengasuhan joint custody sebagai perspektif ketika kedua orang tuanya berpisah. Kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan pengasuhan, hak akses bertemu dan dukungan tumbuh serta kewajiban lainnya.

Joint custody sendiri tidak bermakna bahwa anak akan dibagi rata hari pengasuhannya kepada kedua orang tuanya. Joint custody tetap

memperhatikan kenyamanan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Beberapa praktek pengasuhan dengan pembagian hari kerja dan akhir pekan juga tidak selamanya merupakan bentuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Pembagian hari kerja dan akhir pekan dalam pengasuhan akan menempatkan orang tua yang bersama anak di hari kerja akan selalu sibuk dengan rutinitas sekolah anak dan tidak menempatkan anak bersamanya dalam situasi yang rileks serta sebaliknya bagi pasangan yang mendapatkan akhir pekan. Praktek yang banyak dilakukan di Negara lain adalah misalnya hanya di minggu ke 2 dan ke 4 anak bersama orang tua yang tidak memegang hak asuh. Itupun disesuaikan dengan kondisi anak misalnya sedang sakit atau ada acara sekolah.

Inti dari joint custody lebih pada pengasuhan bersama dengan tetap memberikan hak akses bertemu kepada anak bagi yang bukan pemegang hak asuh. Periode berkunjung atau visit period pada masa dua minggu sekali atau liburan panjang penting sekali disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga anak tetap dapat berhubungan secara tetap dengan kedua orang tuanya.

Dalam hal nafkah, Kompilasi Hukum Islam juga mewajibkan ayah untuk memberikan nafkah sementara dalam UU Perlindungan Anak nafkah dari kedua orang tua juga menjadi kewajiban orang tua. Hal ini ingin menunjukkan bahwa tanggung jawab kedua orang tua tidak putus walaupun perkawinan orang tua berakhir. Besar kecil pembiayaan lebih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.

Fakta pemenuhan hak nafkah anak yang diputuskan dalam proses perceraian di pengadilan juga sebagian besar sulit dilaksanakan putusannya. Tidak ada aturan hukum yang mengatur dapat memaksa pihak yang memiliki tanggung jawab pemberi nafkah untuk memenuhi kewajiban nafkah kepada anak. Dalam

konteks perceraian, sekali lagi anak tidak bisa meminta orang tua memberi nafkah namun tanggung jawab orang tualah untuk memenuhi kewajiban tersebut. The Hague Convention 2007 on the International Recovery of Child Support and Other Forms of Family Maintenance, atau disebut juga s e b a g a i H a g u e M a i n t e n a n c e Convention mengatur terkait bagaimana orang tua dapat terus b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k memberikan nafkah hingga anak-anak dewasa. Norma hukum dari Hague Maintenance Convention penting untuk diturunkan dalam norma hukum keluarga di Indonesia.

Penutup

Penyelesaian persoalan anak pada situasi orang tua berkonflik sangat diperlukan agar anak tidak lama dalam situasi yang tidak kondusif. Walaupun sudah ada upaya mengurangi dampak perceraian bagi anak, faktanya perceraian sedikit benyak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Itikad baik orang tualah yang berdamai untuk anak yang akan membantu menguatkan anak dalam situasi orang tua berkonflik. Beberapa sisi kekosongan hukum mulai dari mekanisme eksekusi anak pada putusan hak asuh, penentuan hak asuh, memberikan akses bertemu, mencegah terjadinya “penculikan anak”, mendengarkan pendapat anak, hingga eksekusi pemenuhan hak nafkah untuk anak adalah fakta kondisi praktek hukum di Indonesia. Di masa yang akan datang, Indonesia memerlukan norma hukum keluarga yang integratif yang memperhatikan kepentingan yang terbaik untuk anak. Mengingat fakta saat ini bahwa masih banyak anak yang terlantar secara psikologis akibat kondisi konflik orang tua, maka reformasi hukum keluarga di Indonesia sangat dinanti untuk masa depan yang lebih baik bagi anak- anak Indonesia. Wallahu a'lam bish- showab.

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 51-55)