• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTIMBANGAN HUKUM

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 70-74)

TOKOH KITAANOTASI PUTUSAN

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:

mengenai alasan ke-1 sampai dengan alasan ke-8:

Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, karena judex facti telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:

• Bahwa berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Tentang perkawinan yang sah, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskannya s e b a g a i p e r k a w i n a n ya n g dilakukan menurut hukum agama dan penjelasan ini dipertegas oleh Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam y a n g m e n y a t a k a n b a h w a “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Hal ini menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan bagi orang Islam belum menjadi hukum poisitif di Indonesia;

TOKOH KITA

ANOTASI PUTUSAN

• Bahwa Pemohon Kasasi I dan P e m o h o n K a s a s i I I t e l a h m e l a ks a n a ka n p e rkaw i n a n berdasarkan hukum Islam pada tahun 2009 tetapi tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau dengan kata lain tidak tercatat, dan memperoleh anak yang diberi nama Devon David Delbridge pada tanggal 8 Juni 2010, maka bila berpegang teguh kepada bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam, anak bernama Devon David Delbridge adalah anak sah dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II;

• Bahwa menyangkut hak anak dan

perlindungan atas anak Pengadilan Agama seharusnya mendasari pertimbangannya dengan asas “kepentingan yang terbaik bagi anak” yaitu mempertimbangkan hak tumbuh kembang anak baik d a r i a s p e k p s i k o l o g i s perkembangan anak maupun dari aspek peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak;

• Bahwa dalam Hukum Islam sendiri penetapan asal usul anak atau penetapan nasab juga dilakukan d e n g a n m e m p e r h a t i k a n kepentingan anak, yaitu cukup dengan adanya pernikahan tanpa memandang sah atau tidaknya perkawinan tersebut (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, VIII:96 atau Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuh, VII:690). Cara lain ialah berbentuk pengakuan (iqrar), dan pada kondisi adanya pihak lain baru diperlukan pembuktian (bayyinah);

Bahwa oleh karena itu Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan pertimbangan berikut ini:

Menimbang, bahwa dalam hal kepentingan anak dan lagi pula perkawinan Pemohon I dan Pemohon II meskipun pada awalnya pernikahan Pemohon I dan Pemohon II dilakukan secara tidak tercatat kemudian dilakukan tajdid nikah (nikah resmi) dan memperoleh Akta Nikah, maka menurut Majelis Hakim Agung permohonan tentang Penetapan Asal Usul Anak Para Pemohon dapat dipertimbangkan;

Dengan demikian, meskipun dua keputusan ini bertentangan; dimana satu menolak permohonan, sementara satunya menerima permohonan, namun dua putusan ini secara prinsip menggunakan dasar hukum yang sama. Apa yang menyebabkan munculnya perbedaan putusan pada bagian berikut dijelaskan.

C. Analisis Kasus

Seperti ditulis pada bagian pendahuluan, ada beberapa kata kunci dalam penemuan hukum, yakni pembentukan, penciptaan, penemuan, penerapan, dan pelaksanaan. Demikian juga sudah populer sejumlah teori penemuan hukum, yakni metode interpretasi, metode

10

argumentasi, dan metode konstruksi. Dalam tulisan ini penemuan hukum yang dimaksud adalah penerapan atau pelaksanaan. Untuk menganalisis masalah yang dibahas dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan bahasa dan analisis interpretasi (metode interpretasi), sebab dalam menyelesaikan masalah asal usul anak telah ada perundang-undangan yang mengatur. Dalam menjelaskan masalah ini penulis menggunakan analisis Interpretasi Monodispliner, Interpretasi Interdisipliner dan Interpretasi Multidisipliner.

Adapun yang dimaksud dengan Interpretasi Monodisipliner, bahwa dalam menganalisis satu masalah dilakukan dengan menggunakan satu d i s i p l i n i l m u t e r t e n t u d a n

11

menggunakan metode tertentu. Maka dalam studi monodisipliner satu bidang ilmu tersendiri dengan objek m a t e r i a l d a n o b j e k f o r m a l (pendekatan, sudut pandang) tertentu, dan dengan metode tersendiri/tertentu pula. Dalam b i d a n g h u k u m , I n t e r p r e t a s i Monodisipliner adalah dalam m e n y e l e s a i k a n s a t u k a s u s diselesaikan dengan menggunakan hukum material di bidang hukum tersebut. Misalnya apa yang dilakukan para hakim selama ini dalam menyelesaikan masalah perkawinan adalah dengan menggunakan hukum material yang berkaitan dengan perkawinan, yakni UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI.

A d a p u n I n t e r p r e t a s i Interdisipliner dalam kajian hukum biasa dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu hukum dalam menyelesaikan satu masalah. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari

12

satu cabang ilmu hukum. Dengan demikian Interpretasi Interdisipliner masih dibatasi dalam cabang ilmu hukum. Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”, hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan perdata. Kasus pernikahan Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa misalnya, bisa dilihat d e n ga n m e l i h a t i n te r p re t a s i hukumnya pada KUH Perdata tentang status pernikahan dini, dan juga dalam UU Perlindungan Anak yang berkaitan

13

dengan masalah pidananya.

10 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum

(Yogyakarta: UII Press, 2006), hlm.30; Jazim Hamidi,

Hermeneutika Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 52; Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: sebuah Pengantar

(Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 55.

11 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 18.

12 Yudha Bahkti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 12

13 Memang ada pengertian lain dari interdisipliner, yakni kerjasama antar satu ilmu dengan ilmu lain sehingga menjadi satu ilmu baru dengan metode baru. Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, hlm. 21; Dalam sosiologi disebut juga Sosiologi Interdisipliner

(Interdisciplinary Sociology), yang berarti memadukan antara sosiologi dan ilmu lain, seperti sosiologi budaya, merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan ilmu budaya, sosiologi kriminalitas, merupakan perpaduan ilmu sosiologi dan ilmu kriminalitas, sosiologi ekonomi, sosiologi keluarga, sosiologi pengetahuan. Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 113 dst.

Sementara dengan Interpretasi Multidisipliner bahwa dalam menyelesaikan satu masalah, hakim perlu mempelajari satu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu yang berbeda-beda

14

di luar hukum. Dengan demikian hakim tidak cukup mengandalkan keahlian di bidang hukum saja, tetapi dibutuhkan keahlian dari bidang ilmu lain yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Aspek Ilmu Jiwa dari hukum menjadi psikologi hukum; aspek sosial dari hukum menjadi sosiologi hukum, demikian seterusnya dengan aspek- aspek lain dari hukum.

Pengertian asli dari kajian multidisipliner adalah kerjasama antara ilmu pengetahuan yang masing-masing tetap berdiri sendiri

15

dan dengan metode sendiri-sendiri. Disebut juga bahwa multidisipliner adalah interkoneksi antar satu ilmu dengan ilmu lain namun masing- masing bekerja berdasarkan disiplin

16

dan metode masing-masing.

Jazim Hamidi adalah di antara ahli hukum yang memandang penting, bahkan semakin tidak terelakkan lagi kebutuhan terhadap Interpretasi I n t e r d i s i p l i n e r d a n / a t a u multidisipliner di bidang hukum untuk menyelesaikan masalah yang muncul di zaman teknologi seperti sekarang. Dalam ungkapan Jazim Hamidi, ke depan Interpretasi Multidisipliner ini akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam dan bermunculan, seperti kejahatan

cyber crime, white color crime,

17

terrorism, dan lain sebagainya. Artinya, untuk menyelesaikan kasus- kasus kontemporer tidak cukup hanya dengan pendekatan monodisipliner. Kalaupun masih dapat dijawab dengan

m o n o d i s i p l i n e r t e t a p i p e n y e l e s a i a n n y a k u r a n g konprehensif, belum tuntas, sehingga masih menyisakan masalah.

Dengan menggunakan tiga model interpretasi ini dalam membaca putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Putusan Mahkamah Agung R.I. di atas, maka secara sederhana boleh dikatakan bahwa Pengadilan Agama Jakarta Selatan menggunakan model Interpretasi Monodispliner dalam penetapannya. Namun demikian penetapan ini syarat dengan usaha substansial dan misi prospektif peraturan perundang- undangan perkawinan. Artinya, dengan putusan ini ada misi luar biasa yang ingin diemban dan dibangun, yakni masa depan perundang- undangan di bidang perkawinan. Misi putusan ini menurut analisis penulis, di antaranya bahwa permohonan penetapan status anak ini pada prinsipnya adalah permohonan dispensasi. Maka penetapan PA ini ingin tegas bahwa masa dispensasi dalam berbagai hal di bidang perkawinan sudah terlalu lama b e r a k h i r. B a h w a p e m b e r i a n dispensasi sudah tidak waktunya lagi, dan tidak relavan lagi. Setelah UU No. 1 tahun 1974 berumur 41 tahun, mestinya isinya sudah waktunya dipatuhi secara menyeluruah. Dengan umur UU yang begitu tua tidak ada lagi alasan orang tidak mematuhinya. Sebaliknya, dengan pemberian dispensasi semacam ini membuat perundang-undangan di bidang perkawinan tidak mempunyai kekuatan (powerless). Orang merasa tidak masalah kalau tidak mematuhi perundang-undangan perkawinan, sebab kalau pun tidak mematuhi selalu saja ada jalan dispensasi yang akan diberikan para hakim. Jurus ini juga yang digunakan banyak orang dalam berbagai kasus. Prakter poligami di berbagai daerah dengan modus yang sama terjadi. Laki-laki yang akan poligami tidak perlu repot m e n g u r u s d a n m e m i n t a i j i n Pengadilan Agama. Jurus mudah nya adalah nikah siri dan lanjut dengan mempunyai anak. Setelah itu minta

dispensasi penetapan perkawinan dengan alasan yang sama dengan kasus ini, untuk penetapan status anak 'demi masa depan anak'.

Dengan demikian, putusan PA ini dalam kaitannya dengan misi pembangunan hukum ke depan agar dipatuhi masyarakat , pantas mendapat apresiasi. Hanya saja cara d a n p e n d e k a t a n n y a p e r l u ditingkatkan, dari Interpretasi Monodisipliner meningkat menjadi minimal Interpretasi Interdisipliner, bahkan sudah waktunya meningkat menjadi Interpretasi Multidisipliner. Sementara putusan Mahkamah Agung tersebut di atas boleh dikatakan telah menggunakan p e n d e k a t a n I n t e r p r e t a s i Interdisipliner. Artinya di samping telah berdasarkan pada materi hukum di bidang perkawinan, putusan ini juga didasarkan pada UUD 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan putusan MK ini berarti sudah sinkron secara sederhana dengan hasil R a k e t n a s B a l i k p a p a n , y a n g menekankan pada penggunaan pendekatan dan/atau analisis Interpretasi Interdisipliner.

Namun boleh jadi sudah waktunya untuk lebih maju ke analisis interpretasi multidisipliner; berupa analisis sosiologi, analisis psikologis, analisis biologis, dll. Misalnya dalam memberikan pertimbangan pada kasus dispensasi perkawinan dini dengan menggunakan berbagai tinjauan yang relevan, baik tinjauan hukum maupun tinjauan ilmu di luar hukum, misalnya Ilmu Biologi untuk mengetahui kesiapan biologis dalam r a n g k a m e n j a l a n k a n f u n g s i reproduksi. Demikian juga Ilmu Jiwa dalam rangka mengukur kesiapan para calon suami dan isteri menjalankan tugas-tugas dan fungsi- fungsi dalam kehidupan rumah tangga, menjadi isteri dan ibu dari anak. Demikian seterusnya dengan ilmu lain yang relevan.

14 Yudha Bahkti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, hlm. 12 dst.

15 A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengatahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 59; Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, hlm. 19-20.

16 Kaelan, Metode Penelitian Agama, hlm. 20. 17 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2005).

TOKOH KITA

ANOTASI PUTUSAN

Demikian juga analisisnya tidak h a n y a m e l i h a t d a n mempertimbangkan orang yang sedang kena dan/atau ditimpa kasus, tetapi juga prospek hukum ke depan dan sisi pelajaran bagi orang lain. Perlu ada ketegasan agar orang menghargai dan pada akhirnya mematuhi hukum. Te n t u t i d a k m u d a h u n t u k mengakomodir dua kepentingan yang boleh jadi bertentangan, tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan bersama secara serius, substansial dan berkelanjutan. Misalnya di samping berusaha menyelesaikan masalah yang sudah terjadi, ada juga usaha memberikan pelajaran bagi yang bersangkutan dan pada gilirannya orang lain agar tidak melanggar. Misalnya ada sanksi.

Dengan demikian pendekatan Interpretasi Interdisipliner yang digunakan Mahkamah Agung masih berada pada tingkatan penyelesaian masalah yang dihadapi, belum digunakan untuk menggiring masyarakat mematuhi peraturan p e r u n d a n g - u n d a n g a n b i d a n g perkawinan, yang dengan cara itu membuat UUP semakin kuat dan dipatuhi.

Pantas juga dirasakan sebagai langkah mundur ketika dalam putusan MA menyebut bahwa hukum Islam dalam bentuk fikih klasik, juga mendapat pengakuan sebagai dasar pengabasahan perkawinan di Indonesia. Sebab dengan pengakuan ini menjadi banyak aturan dalam perundang-undangan perkawinan yang menjadi hambar; perkawinan sah tanpa pencatatan, poligami boleh tanpa ijin pengadilan, talak absah diucapkan suami di manapun. Penyebutan ini dirasa langkah mundur sebab mestinya kita bersama-sama berusaha membangun paradigma dan kepercayaan bahwa fikih Islam Indonesia di bidang perkawinan adalah perundang-undangan di bidang perkawinan. Sebab rumusan itulah yang lebih cocok dengan konteks masyarakat Indonesia dengan dua alasan. Pertama, hasil ijtihad

kolektif berupa Undang-Undang Perkawinan Indonesia lebih cocok dengan konteks Indonesia sekarang. Kedua, Undang-Undang Perkawinan sebagai hasil pemikiran (ijtihad) kolektif dari berbagai ahli di bidang hukum Islam, mempunyai kekuatan yang lebih kuat dan konprehensif dari

18

pada fikih yang bersifat individu. D. Kesimpulan

Ada dua catatan sebagai kesimpulan dari bahasan tulisan ini. Pertama, penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menolak p e r m o h o n a n p e m o h o n , d a n penetapan Mahkamah Agung yang menerima permohonan pemohon, sama-sama mempunyai misi dan substansi yang syarat dengan tujuan memberikan yang terbaik untuk penegakan hukum. Kedua, secara k a s a t m a t a p e n e t a p a n ya n g dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan menggunakan pendekatan dan analisis Interpretasi Monodisipliner, sementara penetapan Mahkamah Agung menggunakan Interpretasi Interdisipliner. Dari aspek ini maka pendekatan yang digunakan Mahkamah Agung dirasakan lebih konprehensif. Namun interpretasi interdisiplinari yang digunakan masih pada aspek penyelesaian masalah, b e l um b e rus a h a m e m ba n g un kekuatan peraturan perundang- undangan bidang perkawinan di masa depan. Karena itu, di samping berusaha memberikan perhatian pada aspek masa depan perundang- undangan, juga sudah waktunya memberikan perhatian menggunakan pendekatan dan analisis interpretasi multidisipliner.

Daftar Pustaka

Abû Zahrah, 'Ilm Us}ûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabî, t.t..

Al-Dawâlibî, Al-Madkhal Ilâ 'Ilm al- Us}ûl al-Fiqh. Beirût: Dâr al- Kitâb al-Jadîd, 1965.

A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengatahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia, 1985.

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2006.

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2005. Kaelan, Metode Penelitian Agama

Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta: Paradigma, 2010. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi

Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010.

Nurani Soyomukti, Pengantar

Sosiologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika Aditama, 2006.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan

Hukum sebuah Pengantar.

Yogyakarta: Liberty, 1996. Syamsul Anwar, “Metodologi Hukum

Islam”, Kumpulan Makalah dan Diktat Kuliah Ushul Fikih. Tim Penyusun, Buku II edisi revisi 2010

tentang Pedoman Pelaksanaan Tu ga s d a n Ad m i n i s t ra s i Peradilan Agama. Jakarta: M a h k a m a h A g u n g R . I . , Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011.

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Yudha Bahkti Ardhiwisastra,

Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni, 2000.

UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

UU No. 35 tahun 2014 tentang Peruabahan Perlindungan Anak.

18 Sekedar penjelasan singkat dan pandangan penulis tentang produk pemikiran Hukum Islam; fikih, fatwa, yurisprudensi dan kodifikasi dapat dilihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010), hlm. 49 dst.

D

alam kurun waktu lima tahun sejak 2011 hingga 2 0 1 6 , k e e m p a t lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung mengalami kekurangan hakim dalam jumlah yang cukup signifikan. Salah satu eksesnya, pola mutasi dan promosi hakim di empat lingkungan peradilan, juga mengalami kendala. Hal ini karena, selama kurun waktu tersebut, belum ada titik temu terkait proses seleksi hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Yudisial.

Kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut bersama Mahkamah Agung dalam proses seleksi hakim tingkat pertama terdapat dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas U n d a n g - U n d a n g Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam pasal-pasal tersebut, terdapat kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” yang diajukan Judicial Review oleh Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sebagai Kuasa Hukum dari Mahkamah Agung RI, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, pasal-pasal yang diajukan Judicial Rerview tersebut, juga bertentangan dengan dua asas Lex certa dan Lex superior derogate l e g i i n fe r i o r i . A s a s p e r t a m a menyatakan suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis. Dan asas kedua menyatakan suatu undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Keadaan tersebut berakhir setelah Mahkamah Konstitusi pada 28 Oktober 2015 membacakan putusan Nomor 43/PUU-XII/2015 bahwa kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut bersama Mahkamah Agung dalam seleksi hakim tingkat pertama, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan

demikian, Mahkamah Agung menjadi otoritas tunggal pelaksana seleksi hakim tingkat pertama. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.

Ekses defisit hakim

Mutasi bagi hakim di lingkungan peradilan agama baik di pengadilan tingkat pertama maupun di tingkat banding, dilakukan apabila hakim yang bersangkutan telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 3 sampai 4 t a h u n , k e c u a l i y a n g a k a n dipromosikan sebagai pimpinan. S e m e n t a ra b a g i h a k i m ya n g ditugaskan di daerah terpencil atau di daerah rawan konflik, dapat dilakukan m u t a s i a p a b i l a h a k i m y a n g bersangkutan telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 2 tahun.

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 70-74)