• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAWANCARA EKSKLUSIF

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 55-59)

M

ahkamah Agung memiliki Wakil Ketua Bidang Yudisial yang baru setelah mayoritas hakim agung pada 14 April 2016 memilih Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H., yang memasuki masa purnabakti, 1 Mei 2016. Dua minggu berselang, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2016 tanggal 26 April 2016 tentang pengangkatan H. M. Syarifuddin untuk menjadi orang nomor dua di lembaga pengadilan tertinggi itu.

Kemudian tanggal 3 Mei 2016 menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam perjalanan karir H. M. Syarifuddin karena pada hari itu ia mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden RI untuk membantu Ketua MA RI mengurus bidang yudisial untuk periode 2016-2021.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai sosok dan visi misi mantan Ketua Kamar Pengawasan ini, tim redaksi Majalah Peradilan Agama mewawancarai alumnus fakultas hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini pada 29 April 2016, di ruangan kerjanya. Simak petikan wawancaranya berikut ini:

Secara umum, menurut Bapak, kira-kira ke depan apa yang harus dilakukan MA terutama dalam bidang yudisial?

Yang pertama, sebagai pejabat yang baru yang jelas bersama pimpinan yang lain kita melaksanakan tugas membantu Pak ketua (MA). Yang kedua, mungkin ada tugas-tugas

program yang lama dari Pak Saleh (mantan Waka MA Yudisial) yang belum selesai, akan kita lanjutkan. Antara lain dua atau tiga bulan yang lalu saya yang pada waktu itu masih Ketua Kamar Pengawasan diajak Pak Wakil Ketua Yudisial melakukan pertemuan dengan seluruh asisten dan seluruh aparatur di MA untuk membenahi minutasi perkara. Ada hampir dua ribu minutasi perkara yang di atas satu tahun. Nah, karena sudah ada aplikasi manajemen perkara, kita sudah lebih gampang untuk mengetahui berkas itu sudah berada di tangan siapa dan macetnya di mana. Kita sudah bisa petakan yang

membuat minutasi lambat itu di mana. Hasilnya, tiga bulan setelah pertemuan akan dievaluasi ulang s e t e l a h m a s i n g - m a s i n g menandatangani semacam kontrak kinerja. Nah, tiga bulan itu jatuhnya tanggal 1 Mei 2016. Kalau sampai tanggal 1 Mei itu masih ada minutasi yang di atas satu tahun, Badan Pengawasan akan kita minta untuk

melakukan pemeriksaan. Dari pemeriksaan itu akan diketahui jika ada yang belum selesai minutasi, macetnya di mana. Waktu itu saya tidak mikir bahwa akan menjadi Wakil Ketua MA, saya hanya menjalankan SOP Pengawasawan saja. Karena Pak Saleh sudah pensiun dan saya diberi amanah untuk menjadi pengganti beliau, akhirnya tugas ini menjadi tugas saya juga.

Jadi, saya kira minutasi itu yang menjadi pekerjaan besar yang musti kita selesaikan segera. Kalau percepatan penyelesaian perkara, baik pidana, perdata, agama, militer, dan TUN itu sudah cepat. Minutasi inilah

yang perlu kita pikirkan bersama.

Di beberapa media akhir-akhir ini ada semacam kritikan tentang tertutupnya pembacaan putusan di Mahkamah Agung. Merujuk ke disertasinya Sebastiaan Pompe, katanya dulu MA baca putusan itu terbuka untuk umum. Kok sekarang tidak terbuka untuk umum? Artinya tidak ada para pihak ataupun masyarakat luar yang menghadiri sidang pembacaan putusan. Tanggapan Bapak?

Ide itu sih bagus yah. Saya gak pernah tahu apakah memang waktu itu pernah ada (pembacaan putusan terbuka untuk umum, red.). Begini, hakim agung di kita kan ada 47. Yang menjadi ketua majelis berapa itu. Saya saja sekali sidang dalam satu hari bisa mencapai 50 perkara dengan majelis hakim agung yang berbeda-beda. Kalau mau terbuka, saya tidak bisa bayangkan berapa banyak ruang sidang yang harus disediakan di MA. Karena kan pasti ada masyarakat yang hadir kalau sidang terbuka.

Nah, ruang sidang ini tidak bisa kita bayangkan, karena sidang di MA itu beda dengan sidang di pengadilan tingkat pertama. Di tingkat pertama itu memang berhadapan dengan masyarakat karena mendengarkan saksi, mendengar para pihak, mendengar terdakwa, memeriksa alat bukti dan lain sebagainya. Kalau di Mahkamah Agung kan cukup baca berkas saja. Jika harus terbuka untuk umum, saya tidak bisa bayangkan berapa itu ruang sidang yang harus kita sediakan.

Selain itu, ada beberapa tokoh misalnya dari melbourne, Australia Prof. Tim Lindsey yang menyoroti putusan pengadilan dan MA di Indonesia. Katanya, pertimbangan putusan pengadilan dan MA di Indonesia itu terlalu singkat. Legal reasoning-nya kurang terlalu digali. Bagaimana menurut Bapak?

Mungkin itu justru dua kutub yang berlawanan. Maksudnya begini, justru kalau kita lihat putusan- putusan di Belanda, putusan itu singkat-singkat, baik di tingkat kasasi ataupun PK. Kita justru melihat ke Belanda itu. Kenapa kok di Belanda bisa singkat-singkat? Kita melihat ke sana. Tapi kalau dibilang putusan kita

terlalu singkat, ya tidak juga. Justru kita merasa (putusan) kita ini panjang. Karena di antara putusan itu kalau kita lihat semua, memori kasasi itu ada juga yang dimuat di putusan. Itu yang menjadikan putusan tebal.

J a d i m e n u r u t B a p a k , seharusnya putusan itu singkat- singkat saja?

Kalau menurut saya, kalau memang tidak ada perubahan hukum, sudah benar itu singkat saja. Kecuali kalau kita membatalkan putusan itu. Kalau mau membatalkan putusan tingkat pertama atau tingkat banding itu kan memang harus argumentasi panjang. Ada seninya memang harus

panjang, apa saja alasannya. Tetapi kalau yang hanya menolak, kenapa putusan harus panjang?

A p a m u n g k i n y a n g mengatakan seperti itu karena perbedaan latar belakang sistem hukum? Australia, Common Law dan Indonesia Civil Law.

Oleh karena itu kemarin kita kan bikin template putusan. Maksud kita supaya jangan panjang-panjang itu putusan.

Bagaimana pendapat Bapak tentang kebebasan pers dan anggapan adanya trial by the press sebelum adanya persidangan di

pengadilan yang sebenarnya? Adakah kiat-kiat agar hakim tidak terpegaruh dengan press itu?

Memang demokrasi kita ini s e b e t u l n y a b e r b e d a d e n g a n demokrasi di negara lainnya. Kenapa saya bilang begitu? Ini perkara yang masih kita sidangkan itu sudah berapa kali sidang di pers, dibahas ditelevisi. S e m u a b e r p e n d a p a t . D e n ga n ditayangkan, dikaji, dan digali seperti itu akan membentuk opini. Lalu apakah nanti ketika di persidangan akan seperti itu? Belum tentu. Hakim harus berpegang teguh kepada apa y a n g d i t e r a n g k a n d i m u k a persidangan. Nah, ini resikonya besar. Kalau opini yang dibangun dan digali

tadi tidak sama dengan yang di persidangan, hakimnya akan dicaci maki, bahkan bisa dikejar-kejar. Kalau sama, hakimnya akan dibilang terpengaruh dengan opini itu. Padahal tidak seperti itu. Hakim harus mengadili fakta dan bersifat netral. Tapi kalau kita juga batasi pers ini, itu akan menjadi masalah lagi karena mereka menganggap kebebasan pers itu harus berjalan baik termasuk masalah persidangan itu.

Bapak juga pernah cukup lama memimpin Badan Pengawasan (Bawas) MA sebelum kemudian menjadi hakim agung dan Ketua Kamar Pengawasan. Selama ini, dari aparat peradilan, terutama hakim, itu yang paling umum apa Pak?

Iya, Kepala Bawas itu jabatan paling lama yang pernah saya emban. Biasanya paling dua atau tiga tahun, terus pindah. Yang terlama ini KaBawas. Saya hampir enam tahun menjabat di sana.

Mengenai temuan, saya melihat kalau dulu-dulu banyak saya temui yang namanya minta uang. Tapi sekarang setelah gencar kita lakukan pengawasan, kasus itu sangat sedikit sekali. Tapi justru beralih ke asusila, selingkuh. Kemungkinan saya menduga, banyak di antara kawan kita itu, hakim, karena gajinya sudah

lumayan, dia berhitung bahwa di manapun dia ditempatkan pasti bisa pulang sekali sebulan paling tidak. Jadi banyak yang isterinya ini ditinggal, tidak diajak ke tempat tugas. Karena m e r a s a h i d u p s e n d i r i , j a d i kemungkinan itu besar. Kita lihat banyak MKH (Majelis Kehormatan Hakim) itu kan kasusnya itu-itu saja.

Oleh karena itu didalam promosi dan mutasi (TPM) kita, pimpinan memperhatikan betul itu. Asalkan data personil itu lengkap suami isteri yang sama-sama bekerja di pengadilan diusahakan untuk ditempatkan di kantor yang berdekatan.

Karena banyaknya kasus-kasus yang saya sebutkan itu, saya menghimbau kawan-kawan hakim yang mutasi sebaiknya keluarganya (suami/isteri) dibawa. Apalagi memang di setiap mutasi, biaya pindah untuk keluarga itu dihitung, ada biayanya.

Selama melaksanakan tugas sebagai hakim, apa pengalaman Bapak yang paling berkesan. Entah itu pengalaman pahit atau p e n g a l a m a n m a n i s s e l a m a bertugas?

Ada pengalaman pahit, tapi akhirnya jadi pengalaman manis. Saya kan pertama kali bertugas di Kutacane, Aceh. Sejak mulai dari cakim (calon hakim) saya sudah ditempatkan di Aceh. Jadi di kutacane itu, hakim pertama itu saya. Tujuh tahun saya di sana. Waktu pertama saya datang ke sana, itu listriknya baru separuh hari. Masih sepi belum ada listrik. Gaji kita juga masih sangat kecil. Selama 7 tahun jadi hakim di Kutacane, saya tidak pernah pulang, karena tidak punya ongkos. Mana bisa? Coba, dulu kan gaji kecil, kalau mau naik pesawat

ke Kutacane harus ke Medan dulu. Isteri kan dari Jawa, saya dari Palembang. Kalau mau pulang kampung, harus dua-duanya, plus dengan anak. Sekali pulang kita bisa tidak makan berapa bulan itu kalau mau naik pesawat. Kalau mau naik bis, itu lama karena cuti kan hanya bisa 12 hari. Oleh karena itu selama 7 tahun di Kutacane kami tidak pernah pulang.

Jadi, Kutacane itu sudah seperti kampung halaman bagi saya dan keluarga karena saya tidak pernah pulang. Saya menyatu betul dengan masyarakat di sana. Itulah saya bilang sebetulnya duka yah, tapi sekarang

karena dinikmati ya menjadi suka, menjadi kenangan yang indah. Saya juga akhirnya punya banyak saudara di sana.

Apa pesan Bapak untuk hakim- hakim di tingkat pertama dan tingkat banding, terutama yang muda-muda?

Pesan saya yang pertama tadi sudah saya sampaikan. Pertama, kalau mutasi bawalah isterinya atau suaminya untuk ketekunan bekerja. Yang kedua, saya ingin kita bekerja itu bukan semata-mata ingin bekerja, tapi bekerja itu dinilai sebagai ibadah. Oleh karena itu supaya nilai pekerjaan kita itu dinilai sebagai ibadah, kita harus ikhlas dalam bekerja. Kan jika kita ihklas bekerja semata-mata karena Allah saja maka pekerjaan kita itu jadi ibadah yang mendapat pahala dari Yang maha Kuasa. Kalau dari pimpinan sudah pasti akan dinilai.

Kemudian, di zaman sekarang kita tidak bisa mendalami dan memahami suatu perkara jika tidak dibantu dengan peningkatan diri. Jadi perintah Tuhan untuk membaca itu sebenarnya menyuruh kita belajar. Jangan pernah berhenti belajar.

|Achmad Cholil, Mahrus AR. Foto: Ridwan Anwar|

WAWANCARA EKSKLUSIF

P e n a m p i l a n n y a t e d u h , berwibawa, ceria dan ramah. Itulah kesan yang didapatkan ketika kita bertatap muka dengan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H.

P r i a k e l a h i r a n B a t u r a j a Palembang, 17 Oktober 1954 ini memiliki perjalanan karir yang cemerlang dan cepat. Ia mengawali karir sebagai calon hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh pada tahun 1981. Ia kemudian ditempatkan sebagai hakim di PN Kutacane sejak tahun 1984. Setelah tujuh menjadi p e n g a d i l d i Ku t a c a n e , H . M . Syarifuddin dimutasi ke PN Lubuk Linggau sampai dengan tahun 1995. Selanjutnya diangkat sebagai Wakil Ketua PN Muara Bulian, Jambi.

Karirnya semakin menanjak, ia diangkat sebagai Ketua PN Padang Pariaman dan akhirnya pulang ke kampung halaman sebagai Ketua PN Baturaja pada tahun 1999. Track r e c o r d - n y a y a n g m e n g k i l a p membawanya menjadi hakim Ibukota di PN Jakarta Selatan. Hanya berselang

dua tahun, ia mendapat promosi sebagai Wakil Ketua PN Bandung periode 2005-2006 dan kemudian menjadi Ketua pada pengadilan yang sama sejak tahun 2006.

Setelah menjadi Ketua PN Bandung, H.M. Syarifuddin kemudian diangkat sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Palembang. Karirnya semakin melejit dengan pengangkatan selanjutnya sebagai Kepala Badan Pengawasan (Bawas) MA selama 6 tahun. Tidak itu saja, ia juga pernah menjadi Plt. Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA ketika masih menjabat Kepala Bawas MA.

Awal tahun 2013 menjadi salah satu milestone terpenting dalam sejarah karir Syarifuddin karena k a r e n a K o m i s i I I I D P R R I menetapkannya menjadi hakim agung bersama tujuh kolega lainnya pada 23 Januari 2013. Ketua MA kemudian melantik Syarifuddin menjadi hakim agung pada 11 Maret 2013. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 28 Mei 2015 mungkin karena pengalamannya yang luas di bidang pengawasan, H.M. Syarifuddin diangkat sebagai Ketua Kamar Pengawasan MA RI. Satu tahun berikutnya, setelah melalui proses pemilihan demokratis di MA, H.M. Syarifuddin resmi menjabat sebagai Wakil Ketua MA Bidang Yudisial ketika pada 3 Mei 2016 Doktor Hukum j e b o l a n U n p a r B a n d u n g i n i membacakan sumpah jabatan di Istana Negara.

A n a k k e t i g a d a r i e n a m bersaudara ini menyelesaikan pendidikan SD sampai SMA di kota kelahirannya, Baturaja. Tamat SMA, H.M. Syarifuddin ingin kuliah di Jogja meskipun ia tidak tahu harus kuliah di kampus apa. Nama Universitas Gadjah Mada (UGM) pun belum pernah ia dengar. Pokoknya yang penting kuliah di Jogja, karena menurut orang di

kampungnya, Jogja itu bagus untuk kuliah.

Dengan diantar ayahnya yang seorang pegawai golongan II/a di Perusahaan Kereta Api yang dulu bernama PNKA, Syarifuddin muda mendaftar di Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Di kampus yang banyak melahirkan tokoh hukum tingkat nasional itu, ia tercatat pernah menjadi mahasiswa terbaik se- fakultas hukum dan wisudawan terbaik UII.

Ketika masih sarjana muda, H.M. Syarifuddin pernah bekerja sebagai staff perpustakaan di IAIN Yogyakarta, tetapi hanya sebentar karena kuliahnya akan segera rampung di UII. Belum sempat ijazahnya keluar, ada pembukaan pendaftaran calon hakim. Dengan menggunakan ijazah sementara ia pun mendaftar dan ternyata lulus dan ditempatkan di Kota Serambi Mekah. Naik Kapal Ta m p o m a s , Sya r i f u d d i n p u n berangkat dari Tanjung Priuk ke Belawan, lalu ke Banda Aceh. Takdir pun akhirnya menghantarkan H.M. Syarifuddin menjadi hakim dan terus mengalir hingga sekarang menempati posisi Wakil Ketua Mahkamah Agung.

“Jangankan bermimpi jadi Wakil Ketua MA, menjadi hakim pun awalnya tidak pernah terpikirkan oleh saya,” jawabnya ketika ditanya mengenai jabatan baru yang disandangnya.

Ikhlas semata-mata karena Allah SWT adalah motto hidupnya dalam bekerja. Tetapi menurutnya, ikhlas saja tidak cukup. Selain ikhlas, kita juga harus rajin dan tekun bekerja serta disiplin dan bersungguh- sungguh, kata pengagum K.H. Ahmad Azhar Basyir ini di penghujung wawancara.

|Achmad Cholil|

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 55-59)