• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perkawinan di Indonesia

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 106-109)

Judul buku : Pembaruan Hukum Perkawinan di

Indonesia

Penulis : Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag.

Penerbit : Simbiosa Rekatama Media, Bandung.

Tahun terbit : Nopember 2015

Jumlah halaman : 180 + xii halaman Resensator : M. Natsir Asnawi, S.H.I.

Hakim Pengadilan Agama Banjarbaru,

Kalimantan Selatan

u k u m p e r k a w i n a n d i

H

Indonesia melewati sejarah

panjang. Mulai dari yang bercirikan hukum perkawinan adat kemudian banyak dipengaruhi hukum perkawinan ala Barat, hingga kemudian menemukan suatu forma yang sejauh ini dianggap paling representatif dengan keadaan hukum Indonesia dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang ini, jika dilihat dari sudut pandang historisnya, merupakan upaya para pemikir h u k u m t e r d a h u l u u n t u k mentransformasikan nilai-nilai hukum perkawinan yang diyakini oleh masyarakat Indonesia ke dalam suatu kodifikasi perundang-undangan. Kental terasa nuansa Islami dalam Undang-Undang ini, sekalipun esensi Undang-Undang ini berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang

mengedepankan dimensi Ketuhanan, tidak terkecuali dalam urusan perkawinan.

Buku ini lahir dari suatu rangkaian penelitian yang dilakukan penulis dalam kurun waktu 2004 – 2005 dan 2013 – 2014. Penelitian dalam kurun waktu tersebut kemudian melahirkan suatu analisis terhadap hukum perkawinan di Indonesia dengan aksentuasi historis- tematis, peraturan perundang- undangan, fatwa, keputusan, maupun pendapat perorangan perihal hukum perkawinan di Indonesia.

Dalam menyusun bukunya, Penulis memulai dengan suatu risalah p e n d a h u l u a n ( B A B 1 ) y a n g menegaskan bahwa eksistensi fikih perkawinan (al fiqh al munakahat) tidak hanya diakui dan ditaati oleh masyarakat, namun melembaga dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Namun demikian, segera setelah berlakunya UUP tersebut terjadi suatu gejala yang penulis sebut dengan “modernisasi hukum perkawinan” yang menurutnya merupakan suatu perubahan mengenai hukum perkawinan yang terlampau jauh mengikuti nilai-nilai Barat (h.1-10).

Bab 2 membahas perihal kitab kuning sebagai rujukan hakim dalam menyelesaikan sengketa. Penulis menyorot sikap sebagian ulama maupun hakim yang ragu untuk melakukan suatu terobosan hukum sebagai bentuk ijtihad (h.14). Ulama dan hakim seharusnya mampu dan berani melakukan suatu ijtihad dengan bersandar pada nash-nash al Qur'an dan hadits serta ijma' ulama terdahulu.

Bab selanjutnya merupakan uraian tentang keluarga sakinah. Keluarga sakinah lahir dari suatu pemahaman yang benar dan utuh atas ajaran agama Islam (h.19). Untuk mewujudkan keluarga sakinah, tidak semata-mata menjadi tanggung jawab suami isteri tersebut, melainkan dalam cakupan yang lebih luas juga m e r u p a k a n t a n g g u n g j a w a b Pemerintah (khususnya ulama dan pemuka agama) dalam wujud gerakan keluarga sakinah (h.18). Inisiatif pemerintah dan ulama menjadi salah satu determinan penting dalam hal ini.

K e t e n t u a n - k e t e n t u a n perkawinan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh pada prinsipnya telah ditransformasikan ke dalam hukum n a s i o n a l m e l a l u i l e g i s l a s i , pengundangan, dan taqnin. Namun demikian, ketentuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan seolah “dipaksa” berinteraksi dengan hukum-hukum lain yang hidup dan b e r k e m b a n g d i m a s y a r a k a t . Kenyataan ini menyebabkan ada beberapa ketentuan dalam RUU Perkawinan Tahun 1973 yang tidak s e l a r a s d e n g a n j i w a h u k u m perkawinan dalam Islam (h.51). Bahasan ini menjadi tema dalam Bab 4 yang kemudian dieksplorasi lagi dalam Bab 5.

Bab 6 membahas pencatatan perkawinan sebagai salah satu terma paling penting dalam UU 1/1974. Pencatatan perkawinan menurut UU tersebut tidak secara tegas ditetapkan s e b a g a i s e b u a h s y a r a t s a h perkawinan. Perbedaan pendapat

y a n g m u n c u l m e n g e n a i a p a sebenarnya kedudukan pencatatan perkawinan disebabkan perbedaan cara penafsiran terhadap ketentuan mengenai pencatatan tersebut. Cara penafsiran yang berbeda ini kemudian terbagi menjadi dua kubu, yaitu penafsiran gramatikal (kebahasaan) dan penafsiran sistematis (h.67). Draf KHI dan Draf RUU Hukum Terapan berupaya mengatasi perbedaan tersebut dengan mencantumkan aturan bahwa setiap perkawinan wajib untuk dicatatkan (h.69 – 71).

Bab 7, 8, dan 9 membahas tentang perkawinan wanita hamil karena zina serta akibat hukumnya. Perkawinan wanita hamil karena zina merupakan persoalan sosio-hukum yang senantiasa muncul di setiap zaman. Permasalahan paling mendasar dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah status atau kedudukan hukum anak yang dilahirkannya (h.89). B a hwa s e k a l i p u n M a h k a m a h Konstitusi melalui putusan nomor 4 6 / P U U - V I I I / 2 0 1 0 t e l a h menormakan status anak dari hasil zina memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, tidak serta merta menyelesaikan masalah.

Kesucian perkawinan dianggap telah dinegasi oleh Mahkamah Konstitusi karena begitu saja menyamaratakan akibat hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dengan yang lahir dari suatu perzinahan (h.103). Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan T e r h a d a p n y a b e r u p a y a mengembalikan status anak hasil zina seperti ketentuan dalam fiqh, yaitu tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya (h.113).

Isu selanjutnya yang dibahas penulis adalah perkawinan beda agama (Bab 10). Dalam membahas perkawinan beda agama, penulis membandingkan beberapa perspektif, di antaranya Fatwa MUI, Fatwa Muhammadiyah, Pendapat A. Hassan

dan Persis, Keputusan NU, KHI, Draft KHI Tahun 2004 dan RUU Hukum Terapan, serta Putusan MK (h.117– 126). Dari analisis terhadap berbagai pandangan tersebut , penulis berkesimpulan bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap ketentuan agama-agama dan k e b e r a d a a n n y a d i d u g a k u a t mengganggu keharmonisan lembaga- lembaga agama (h.126).

Kesucian perkawinan dianggap telah dinegasi oleh Mahkamah Konstitusi karena begitu saja menyamaratakan akibat hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dengan yang lahir dari suatu perzinahan (h.103). Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan T e r h a d a p n y a b e r u p a y a mengembalikan status anak hasil zina seperti ketentuan dalam fiqh, yaitu tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya (h.113).

Isu selanjutnya yang dibahas penulis adalah perkawinan beda agama (Bab 10). Dalam membahas perkawinan beda agama, penulis membandingkan beberapa perspektif, di antaranya Fatwa MUI, Fatwa Muhammadiyah, Pendapat A. Hassan dan Persis, Keputusan NU, KHI, Draft KHI Tahun 2004 dan RUU Hukum Terapan, serta Putusan MK (h.117– 126). Dari analisis terhadap berbagai pandangan tersebut , penulis berkesimpulan bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap ketentuan agama-agama dan k e b e r a d a a n n y a d i d u g a k u a t mengganggu keharmonisan lembaga- l e m b a g a a g a m a ( h . 1 2 6 ) . Penulis menutup pembahasan dengan menguraikan secara cukup lengkap isu yang dianggap paling “seksi” dalam hukum perkawinan, y a i t u p o l i g i n i ( p o l i g a m i ) . Permasalahan utama mengenai poligini adalah pada penerapan hukumnya. Perumus undang- undang(baik perumus UU 1/1974

maupun RUU Hukum Terapan Peradilan Agama) menghendaki agar dilakukannya screening atau pengetatan prosedur (sering disebut p u l a p e n g h a m b a t a n a t a u mempersulit) poligini (h.156). Cara demikian didasarkan pada prinsip atau kredo sosial dan ekonomi yang berbasis pada mashlahat dan mudharat, terutama menyangkut pendidikan dan masa depan anak- anak yang dilahirkan dari poligini (h.161). Upaya meniadakan poligini sebagai tergambar dari kehendak perumus Draf KHI Tahun 2004 karena dianggap tidak sejalan dengan prinsipkesetaraan (h.160, 161) adalah tidak dapat dibenarkan, karena bagaimana pun poligini adalah ketetapan Allah, hanya penerapannya saja yang perlu diperketat.

Keseluruhan pembahasan penulis dalam buku tersebut di atas pada prinsipnya dapat dipahami konsep pembaruan hukum perkawinan, yaitu: 1. Perlu penegasan dari negara

mengenai bagaimana seharusnya kedudukan anak luar kawin.

Penekanan terpenting adalah hak anak tidak terabaikan sementara nilai kesucian perkawinan juga tetap terjaga;

2. P e n c a t a t a n p e r k a w i n a n seharusnya menjadi syarat sah suatu perkawinan. Sekalipun dogma dalam kitab kuning dan pendapat para fuqaha tidak menganggap pencatatan sebagai syarat sah perkawinan, kebutuhan hukum saat ini sangat mendesak terutama sekali dalam rangka perlindungan hak-hak perempuan dan anak serta upaya menata kehidupan perkawinan sebagai fondasi terwujudnya masyarakat madani;

3. Nikah mut'ah dalam bentuk apa pun harusnya dilarang dan diberikan sanksi tegas karena secara nyata telah merelegasi harkat dan martabat perempuan; 4. Poligami perlu diperketat melalui

serangkaian syarat, sehingga tujuan poligami yang luhur dapat tercapai, bukan sebaliknya. Peran pengadilan dalam hal ini sangat urgen sehingga para hakim

dituntut untuk lebih jeli dalam memeriksa perkara poligami. Dibandingkan dengan beberapa buku serupa yang mengkaji hukum perkawinan, buku ini banyak membandingkan dan mengkritisi draf KHI dan RUU Hukum Terapan. Penulis m e n g k r i t i s i t e r h a d a p ke d u a rancangan tersebut yang sedikit banyak terlampau liberal dan cenderung ingin melahirkan suatu norma baru yang keluar dari nash syar'i. Di sini letak kelebihan buku ini karena berupaya membahas sesuatu yang lebih visioner sembari tetap membandingkan dengan akar filsafati lahirnya ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan.

Kekurangan dari buku ini lebih pada tidak adanya analisis terhadap putusan-putusan pengadilan sehingga penulis tidak memberikan gambaran b a g a i m a n a p e r k e m b a n g a n implementasi hukum perkawinan melalui putusan pengadilan dalam kasus-kasus nyata yang dihadapi (law in action).

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 106-109)