• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM KELUARGA QATAR

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 42-46)

PERADILAN MANCANEGARA

Qatar merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim dengan sistem pemerintahan monarki tradisional. Mayoritas penduduk terkonsentrasi di Ibu Kota Negara yaitu Doha. Secara historis, Qatar merupakan wilayah kekuasaan Turki Usmani, tetapi pada tahun 1916 wilayah Qatar berada dalam perlindungan Inggris dengan tetap mengakui keluarga al-Thani sebagai penguasanya. Pada tanggal 3 September 1971 Qatar mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Dalam perkembangannya, Qatar berhasil memposisikan diri dalam deretan negara kaya di Timur Tengah.

Dalam kajian sejarah hukum Islam, Qatar termasuk negara Islam dengan latar belakang mazhab

Hanbali. Sistem hukum yang berkembang tidak jauh berbeda dengan negara tetangganya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab yang nota bene menganut sistem kerajaan. Sistem hukum yang berkembang pada negara-negara tersebut adalah hukum tradisional, hukum tidak tertulis atau dengan kata lain tidak menganut kodifikasi hukum seperti pada beberapa negara Arab lainnya (Tahir Mahmood, 1987:14). Dalam beberapa dekade fikih Hanbali masih mendominasi referensi hukum terutama hukum keluarga (Abdullah A. Ana'im, 2004:135).

Sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan konstitusi negara Qatar, terjadi pergeseran

tradisi hukum maupun sumber hukum yang dipergunakan. Struktur peradilan modern di Qatar mulai terbentuk sejak tahun 2003.

Berdasarkan Undang-Undang Kekuasan Kehakiman Nomor 10 tahun 2003, lembaga peradilan di Qatar terdiri dari tiga tingkat, yaitu tingkat pertama mahkamah ibtidaiyyah/the courts of first instance, peradilan t i n g k a t b a n d i n g m a h k a m a h isti'nafiyyah/the courts of appeal dan peradilan tingkat kasasi yaitu

mahkamah tamyiz/ the court of cassation.

Pada tahun 2004, terjadi perubahan sistem pemerintahan dengan lahirnya konstitusi pada bulan Juni 2004 yang efektif pada bulan Juni tahun berikutnya. Konstitusi melindungi hak-hak sipil dan hak asasi manusia, semua warga negara adalah sama dalam hak dan tugasnya.

Konstitusi memberikan kerangka administrasi untuk tata negara. Sistem pemerintahan didasarkan pada prinsip pemisahan otoritas sesuai dengan ketentuan Konstitusi. Kekuasaan legislatif dilaksanakan melalui Dewan Syura, sedangkan kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Emir, yang dibantu oleh Kabinet. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan yang mandiri dalam menjalankan fungsi peradilannya.

Konstitusi tersebut telah membawa pada perubahan sistem

hukum. Pada tahun 2006 terjadi perubahan mendasar dalam tradisi hukum keluarga, yang semua bersifat tradisional beranjak pada kodifikasi hukum.

Kerjasama Dua Mahkamah Agung

Delegasi Mahkamah Agung RI dalam rangka penyempurnaan penyusunan Hukum Acara Ekonomi Syariah pada tahun 2011 berkunjung ke Qatar, karena disana diberlakukan sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan Islam sekaligus.

Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, S.H.,M.H. pada tahun 2 0 1 5 m e m i m p i n D e l e g a s i mengunjungi Mahkamah Agung Qatar dalam rangka penguatan kerjasasama antar dua lembaga Mahkamah Agung dari dua negara.

Pada awal tahun 2016 lalu Delegasi Mahkamah Agung Qatar melakukan kunjungan balasan dalam rangka menghadiri Sidang Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, mendengarkan presentasi khusus dari Ketua Kamar Pembinaan MA RI Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., L.LM. tentang sejarah dan praktik mediasi di Indonesia, sekaligus melakukan pembahasan draft final Nota Kesepahaman antara dua lembaga Mahkamah Agung yang direncanakan akan ditandatangani di Doha pada beberapa waktu yang akan datang.

PERADILAN MANCANEGARA

Hadhanah dalam Undang-Undang

Qatar mengeluarkan Undang- Undang Nomor 22 tahun 2006 tentang hukum keluarga qanun al-usrat. Penamaan hukum keluarga di Qatar menggunakan nama yang sama dengan hukum keluarga di Al-jazair yaitu Qanun al-Usrat tahun 1959. Hal ini berarti Qatar tidak mengikuti hukum keluarga yang telah lama berlaku di negara Turki, huquq al- a'ilah (1917) atau yang baru-baru ini ditetapkan di Mesir qanun al-ahwal al- syakhsiyyah (2000).

Hukum keluarga Qatar (UU 22/2006) terdiri dari 301 pasal yang terbagi pada lima bagian (kitab). Kitab pertama membahas perkawinan dan terakhir membahas warisan. Kitab ketiga terdiri dari ahliyah wal wilayah dan keempat hibah dan wasiat. Pembahasan hadhanah berada pada bagian kedua yaitu membahas tentang perceraian. Hadhanah dibahas pada Pasal 163 s/d 188. Uraian ini terlihat lebih luas pembahasannya bila dibandingkan dengan KHI yang hanya membahas hadhanah pada pasal 98-

106 dan pasal 156.

Pasal 165 menyatakan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak termasuk di dalamnya pendidikan, pertumbuhan yang tertumpu pada kemaslahatan anak. Pemeliharaan anak dibatas dengan umur, bagi anak laki-laki 13 tahun dan anak perempuan 15 tahun. Ketentuan ini tidak menghalangi hakim untuk menyimpanginya selama disebutkan alasan hukum yang jelas dalam putusannya. Masa hadhanah tersebut dapat diperpanjang jika keadaan menghendaki demikian.

Hukum keluarga di Qatar memberikan peluang yang besar kepada hakim untuk menentukan siapa yang berhak memegang hak hadhanah. Kepentingan bagi si anak the best interest of child menjadi pertimbangan penting untuk hakim dalam memutuskan pemegang hak hadhanah.

Bila dibandingkan dengan KHI, pengaturan hadhanah dalam hukum keluarga Qatar lebih spesifik baik ditinjau dari tata urutan pemegang hak hadhanah maupun kualifikasi

(syarat-syarat) pihak yang berhak atas hadhanah.

Menurut Lynn Welchman (2010:10), dalam tradisi hukum negara-negara teluk, secara umum pengasuhan anak terbagi dalam dua jenis yaitu custodian dan guardian. J e n i s y a n g p e r t a m a l e b i h menunjukkan tanggung jawab secara psikologis karena berhubungan dengan pengasuhan dari anak kecil hingga dewasa. Sedangkan guardian cenderung pada tanggung jawab finansial, pendidikan, perumahan dan yang lainnya.

Oleh karena itu, custodian menjadi hak seorang ibu, sedangkan guardian menjadi tanggung jawab ayah. Setelah masa hadhanah/ costody berakhir, kewenangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ayah. Seperti halnya di Qatar, hak pengasuhan s e o r a n g i b u t e r h a d a p a n a k perempuannya menjadi hilang setelah anak perempuan tersebut melewati usia 13 tahun (Musawah, Februari 2014).

PERADILAN MANCANEGARA

Salah satu keistimewaan hadhanah di Qatar dapat dilihat dari penentuan masa hadhanah dengan mempertimbangkan jenis kelamin. Di beberapa negara Timur Tengah, h a d h a n a h t i d a k d i t e n t u k a n berdasarkan usia saja, tetapi juga ditinjau dari jenis kelaminnya. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang membatasi usia hadhanah hingga 12 tahun tanpa memandang jenis kelamin anak yang diasuh (Pasal 105 KHI).

Di Qatar dan di beberapa negara lainnya seperti di Uni Emirat Arab, anak perempuan diasuh hingga usia 13 tahun dan anak laki-laki hingga anak 12 tahun. Bahrain juga menetapkan pengasuhan anak tidak hanya berdasarkan usia tetapi dengan mempertimbangkan jenis kelamin, anak laki-laki diasuh hingga 15 tahun dan perempuan hingga 17 tahun (Lynn Welchman, 2010:11).

Hadhanah Antara Fikih dan Undang-Undang

Jika dilakukan komparasi antara fikih mazhab Hanbali dengan ketentuan hadhanah yang terdapat dalam hukum keluarga, terdapat pergeseran yang cukup jauh. Kuat dugaan hal ini terjadi karena sistem hukum Qatar yang sudah modern, beranjak dari sistem tradisional ke sistem kodifikasi. Di sisi lain, Qatar telah menunjukkan perhatiannya terhadap hak-hak anak sejak tahun 1995, di mana pada tahun tersebut Q a t a r m e ra t i f i k a s i ko nve n s i internasional tentan hak anak Convention on the Rights of the Child (CRC) (Unicef,Oktober 2011).

Diantara perbedaan ketentuan hadhanah antara mazhab Hanbali dengan hukum keluarga di Qatar adalah berkenaan dengan usia

h a d h a n a h d a n i s t i l a h y a n g dipergunakan. Dalam beberapa kitab fikih Hanbali, makna hadhanah disandingkan dengan makna kafalah seperti dalam karya Ahmad bin Hasan al-Kaludzani (436-520H) dijelaskan

mengenai bab man ahaqqu bikafalat tifhl dan dalam pembahasannya makna kafalah disandingkan dengan makna hadhanah.

Nampaknya pergeseran makna i n i j u g a d i p e n g a r u h i o l e h perkembangan fikih kontemporer, yang lebih banyak mempergunakan kafalah dalam bidang ekonomi dibandingkan mempergunakannya dalam hukum keluarga (Kaludzani, 2004:500).

Perbedaan lainnya terdapat pada daftar urutan pemegang hak hadhanah. Beberapa pendapat ulama mazhab Hanbali menyatakan bahwa pemegang hak hadhanah adalah ibu, ibunya ibu kemudian ayah lalu ibunya ayah. Dalam hukum keluarga Qatar telah terjadi perubahan ketentuan tersebut, pemegang hak hadhanah adalah ibu, kemudian ayah berikutnya adalah ibunya ayah (Pasal 169).

Ketentuan hadhanah di Qatar t e r l i h a t l e b i h r e a l i s t i s b i l a dibandingkan dengan fikih klasik, yang menempatkan garis keturunan ibu sebagai pemegang hak hadhanah sebelum pihak ayah. Selama ini, sengketa pemeliharaan anak terjadi antara pihak ibu atau ayah si anak, dan hakim akan menentukan apakah ayah atau ibu yang berhak atas hadhanah, bukan menentukan pihak lain di luar subyek yang bersengketa seperti ibunya ibu atau garis keturunan ibu lainnya. Bila dibandingkan dengan hadhanah yang diatur dalam KHI (Pasal 156), nampaknya KHI masih “terbelenggu” dengan sistem fikih konvensional yang meletakkan daftar urutan hadahanah mulai dari ibu, garis keturunan ibu baru kemudian ayah.

Hadhanah dalam Putusan Hakim

Eksistensi lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa hak asuh anak dapat dilihat pada putusan pengadilan tingkat kasasi (mahkamah tamyiz). Dalam persidangannya tanggal 6 Juni 2006, terhadap putusan banding Nomor 30 tahun 2006 telah membuat sebuah aturan hukum

berkenaan dengan hadhanah.

Secara materiil, putusan ini bersesuaian dengan hukum keluarga yang ditetapkan pada tahun yang sama yaitu UU No. 22 tahun 2006 yang ditetapkan pada tanggal 29 Juni 2006. Putusan majelis tingkat kasasi tersebut telah menggariskan asas hukum dalam penyelesaian sengketa hak asuh anak, bahwa pengasuhan anak ditetapkan berdasarkan asas kemaslahatan bagi si anak.

Penentuan pihak yang berhak dan masa berakhirnya hadhanah harus didasari oleh nilai kepentingan bagi anak. Diantara pertimbangan putusan tersebut, hakim menegaskan b a h w a p a r a f u q a h a t i d a k mendapatkan kata sepakat mengenai batasan umur, oleh karenanya pembatasan umur tersebut harus dipertimbangkan berdasarkan kemaslahatan si anak.

|Sugiri Vermana, Mahrus AR|

Daftar bacaan

http://www.sjc.gov.qa/Portal_1/ahka m/detailspage.aspx?slno=317&g cc=1&subcode=7849

Tahir Mahmood, Personal Law in

Islamic Countries, New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987.

Abdullah A. Ana'im, Islamic Family Law in a Changing World : A Global Resource Book,London, Zed Books, 2004.

Musawah, “Musawah List of Issues and Questions” on Article 16: Qatar, 57 cedaw session, Februari 2014,. Lynn Welchman, Bahrain, Qatar, UAE:

F i r s t t i m e F a m i l y L a w Codifications in Three Gulf States, published in the International Survey of Family Law 2010 edition (gen. Ed Bill Atkin (July 2010).

Unicef, “QATAR MENA Gender Equality Profile”, Oktober 2011

Ahmad ibn Hasan al-Kaludani, al- Hidayah,Kuwait: Gharas,2004.

PERADILAN MANCANEGARA

Penyelesaian Sengketa Hak Asuh

Dalam dokumen Edisi 9 Majalah PA Edisi 9 (Halaman 42-46)