• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Ransum

Dalam dokumen jilid3 komoditas peternakan lainnya (Halaman 72-78)

56 5. Parameter yang diukur

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Ransum

Konsumsi merupakan tolok ukur penilaian palatabilitas suatu bahan pakan, apakah bahan pakan tersebut cukup palatabel atau tidak akan terlihat dari tingkat konsumsi suatu bahan pakan. Tingkat konsumsi bahan pakan pada penelitian dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel. 2. Rata-rata konsumsi bahan kering selama penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Hijauan Konsumsi bahan kering (gr/ekor/hari) Konsentrat Ransum Rasio

Hijauan : Konsentrat

A 204,49c 101,72b 306,21c 66,78 : 33,22

B 173,91b 78,89a 252,80a 68,79 : 31,21

C 167,88b 126,19c 294,08bc 57,09 : 42,91

D 145,88a 131,51c 277,39ab 52,59 : 47,41

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam berpengaruh nyata (P<0,05) tehadap konsumsi BK hijauan. Uji lanjut DMRT memperlihatkan konsumsi BK hijauan pada perlakuan D nyata lebih rendah dari tiga pelakuan lainnya. Sementara pada perlakuan B dan C memiliki tingkat konsumsi Bk hijauan yang sama pada kedua perlakuan ini dan lebih rendah dari perlakuan (A) konsumsi BK hijauan tanpa Limbah sayuran fermentasi (LSF).

Pengaruh perlakuan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi level penggunaan LSF semakin rendah konsumsi BK hijauan. Hal ini menggambarkan bahwa LSF kurang disukai ternak dan rendah palatabilitasnya.

Rendahnya tingkat konsumsi BK hijauan pada ransum perlakuan D kemungkinan disebabkan belum terbiasanya ternak dengan kondisi pakan baru. LSF adalah pakan baru yang belum terbiasa dikonsumsi oleh ternak dan membutuhkan masa adaptasi yang lebih panjang. Jumlah limbah sayuran fermentasi pada perlakuan D lebih mendominasi dibandingkan jumlah rumput alam sehingga menyebabkan turunnya palatabilitas. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia, dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan (Katongole, C.B., Sabiiti, E.N., et al. 2009).

Faktor kesehatan merupakan hal lain yang menyebabkan rendahnya konsumsi BK hijauan. Pada penelitian hampir 40% ternak percobaan menderita sakit mata pada minggu 2-3 masa perlakuan. Hal ini berdampak negatif terhadap tingkat konsumsi ransum. Secara umum ternak ruminansia yang normal (tidak dalam keadaan sakit atau sedang berproduksi), mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok. Hal ini sejalan dengan pendapat (Dietz, T.H., Scott, C.B., Campbellet al., 2010) yang menyatakan bahwa konsumsi setiap ekor ternak berbeda-beda, dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari ternak, pakan yang diberikan dan lingkungan tempat ternak tersebut dipelihara.

Tidak terjadinya perbedaan konsumsi yang nyata pada perlakuan B dan C menunjukkan bahwa limbah fermentasi dapat disubstitusikan 33,33%-50% dalam ransum untuk menggantikan rumput alam sebagai pakan alami ternak, ini menandakan bahwa limbah fermentasi memiliki potensi sebagai pakan alternatif pengganti rumput alam sampai dengan 50%. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji kecernaan bahan kering secara in-vitro bahwa semakin tinggi jumlah limbah sayuran fermentasi yang diberikan maka semakin tinggi tingkat kecernaan bahan kering.

Hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap konsumsi BK konsentrat dan menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk tingkat konsumsi kosentrat pada perlakuan C dan D, dari hasil Uji lanjut DMRT menunjukkan konsumsi BK konsetrat pada

57

perlakuan B nyata lebih rendah dari ketiga perlakuan lainnya. Konsumsi bahan kering konsentrat pada penelitian ini berkisar 78,89gr – 131,51gr per ekor per hari, konsumsi tertinggi pada perlakuan D. Pada tabel 2 di atas terlihat bahwa semakin tinggi jumlah LSF yang diberikan dalam ransum maka tingkat konsumsi kosentrat semakin meningkat.

Tingginya tingkat konsumsi BK Kosentrat pada ransum perlakuan C dan D dikarenakan rendahnya konsumsi BK hijauan pada kedua perlakuan ini, ini membuktikan bahwa ternak selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan zat-zat makanannya, ini sesuai dengan pendapat (Wallie M, Mekasha Y, et al 2012) yang menyatakan bahwa penambahan konsentrat dalam ransum ternak merupakan suatu usaha untuk mencukupi kebutuhan zat-zat makanan, sehingga akan diperoleh produksi yang tinggi. Selainitu dengan penggunaan konsentrat dapatmeningkatkan daya cerna bahan keringransum, pertambahan berat badan sertaefisien dalam penggunaan ransum.

Pendapat (Wallie M, Mekasha Yet al., 2012) juga sejalan dengan hasil yang didapatkan pada pengamatan pengamatan tingkat konsumsi BK ransum penelitian, berdasarkan hasil sidik ragam yang dilakukan memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi BK konsentrat berbanding lurus dengan konsumsi BK ransum pada perlakuan penelitian ini. Uji DMRT yang dilakukan memperlihatkan konsumsi BK ransum perlakuan B (252,80gr/ekor/hari) lebih rendah dari ketiga perlakuan lainnya (Perlakuan A (306,21gr/ekor/hari),C (294,08 gr/ekor/hari) dan D 277,39 gr/ekor/hari). Rendahnya konsumsi BK ransum pada perlakuan B ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi BK kosentrat pada perlakuan B yang hanya 78,89 gr/ekor/hari lebih rendah bila di bandingkan dengan jumlah konsumsi BK Kosentrat perlakuan A (101,72 gr/ekor/hari), C (167,88 gr/ekor/hari) dan D (131,51 gr/ekor/hari).

Perbandingan konsumsi hijauan dan konsentrat pada penelitian ini berkisar antara 52,59:47,41 pada perlakuan D sampai dengan 68,79 : 31,31 pada perlakuan B dan memperlihatkan terjadi perubahan perbandingan konsumsi bahan kering hijauan dan konsumsi bahan kering konsentrat. Semakin tinggi level penggunaan LSF maka semakin rendah konsumsi bahan kering hijauan dan sebaliknya pada konsumsi bahan kering konsentrat, sehingga imbangan konsumsi BK hijauan dan konsentrat menjadi lebih sempit.

Tingkat konsumsi bahan kering ransum dalam penelitian ini ditinjau dari berat badan metabolic dan persen berat badan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel. 3. Rata-rata konsumsi bahan kering ransum penelitian (gr/ekor/hari)

Konsumsi BK Perlakuan A B C D - gr/ekor/hari 306,21b 252,80a 294,08b 277,39b - gr/Kg W0,75 44,68 39,54 47,54 45,68 - % BB 2.50 2.17 2.60 2.49

Sumber: Data Primer (2015)

Konsumsi bahan kering ransum pada penelitian ini berkisar 252,80-306,21 gr/ekor/hr dan hasil ini lebih rendah dari konsumsi bahan kering yang diperoleh Nurhaita (2010) yaitu 307,25 – 375,79 gr/ekor/hari pada ternak yang diberi ransum daun sawit amoniasi yang mendapatkan konsumsi bahan kering sebesar 363-478 gr/ekor/hari pada ternak kambing yang diberi ransum daun sawit dan pengolahan kelapa sawit.

Konsumsi bahan kering ransum dalam berat metabolik pada penelitian ini berkisar 39,54 - 47,54 gr/Kg W0,75. Hasil ini lebih rendah dari batasan yang dikemukakan oleh Suparjo, K. G. Wiryawan, et al (2011) bahwa kebutuhan bahan kering adalah 60-78 g.Konsumsi bahan kering kambing yang dilaporkan oleh beberapa peneliti bervariasi, perbedaan konsumsi bahan kering disebabkan oleh kandungan nutrien, terutama kandungan protein dan energi pakan, status fisiologis, jenis kelamin ternak, dan bahan pakan penyusun ransum (Lewis, R. M. & G. C. Emmans. 2010).

Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan suatu pakan merupakan bagian dari pakan yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan bahwa bagian tersebut diserap oleh hewan.Nilai koefisien cerna bahan kering maupun organik menunjukkan derajat cerna pakan pada alat-alat pencernaan serta seberapa besar manfaat pakan bagi ternak (Katongole, C.B., Sabiiti, E.N., et al. 2009).

58

Tabel 4. Rata-rata kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan Neutral Deterjen Fiber (KCNDF) ransum percobaan (%)

Kecernaan Invitro Perlakuan

A B C D

- KCBK 61,94a

64,48b 67,93c 70,55d

- KCNDF 35,45c

31,18a 33,56b 35,13c

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kecernaan bahan kering pada ransum A sebesar 61,94% (BK) sedangkan ransum yang menggunakan limbah sayuran fermentasi mengalami peningkatan kecernaan bahan kering tertinggi sebesar 70,55 % (BK) yaitu pada ransum D. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering ransum limbah sayuran fermentasi melebihi batas normal seperti yang dikatakan oleh Ali U. (2012) nilai kecernaan bahan kering dalam batas normal berkisar antara 65–69%. Pakan yang difermentasi akan memiliki nilai gizi yang lebih baik dari pada bahan asalnya, mudah dicerna, mempunyai cita rasa atau flavour yang lebih baik, selain itu beberapa hasil fermentasi seperti alkohol dan asam dapat menghambat pertumbuhan mikroba pathogen di dalam pakan.

Mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang telah lebih dahulu dipecah menjadi glukosa dan penambahan bahan-bahan nutrient ke dalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan kedalam medium fermentasi akan diuraikan untuk enzim urease menjadi ammonia dan karbondioksida selanjutnya aman digunakan untuk pembentukan asam amino.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian limbah sayuran fermentasi pada ransum memberikan dampak yang signifikan terhadap kecernaan bahan kering. Pakan yang diberikan perlakuan memberikan profil yang lebih baik yang menandakan bahwa organisme selulotik pada ransum perlakuan dapat bekerja lebih baik dalam mencerna pakan sehingga kecernaan akan meningkat.

Peningkatan nilai rataan KCBK pada penelitian ini berkisar 61,94%-70,55% sedangkan penelitian Andayani, J (2010) mendapatkan rataan KCBK berkisar antara 32,96%-39,85% pada kulit buah jagung yang di amoniasi, serta mendapatkan rataan KCBK 54,27%(inokulum lactobacillus collinoides), 56,53% (inokulum lactobacillus delbrueckii), 55,26% (inokulum campuran) pada silase hijauan gebilina menggunakan inokulum lactobacillus collinoides dan lactobacillus delbrueckii. Peningkatan kecernaan bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Andayani, J (2010).

Mc.Donald PRA, Edwards, et al (2010) menambahkan bahwa pakan tropik memiliki nilai kecernaan berkisar antara 40 – 60% sedangkan pakan subtropik 50 – 80%. Kadar dinding sel pakan mempengaruhi nilai KCBK pakan, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi jumlah konsumsi.Selanjutnya dijelaskan bahwa kandungan lignosellulose lebih tinggi pada tanaman pakan yang tumbuh di daerah tropik dibandingkan dengan daerah subtropik. Nilai kecernaan dalam penelitian limbah sayuran fermentasi berkisar antara 61,94 – 70,55%, hal ini menandakan pakan yang dibuat dalam penelitian ini memiliki kualitas yang baik, diatas tingkat kecernaan bahan kering pada daerah tropik dan mendekati tingkat kecernaan pada daerah subtropik.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Kecernaan NDF Pada Limbah Sayuran Fermentasi Hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap daya cerna NDF, dari hasil Uji lanjut DMRT menunjukkan kecernaan NDF pada perlakuan A dan D lebih tinggi dari perlakuan B dan C. Daya cerna NDF pada penelitian ini berkisar 31,18%– 35,45%, dengan daya cerna NDF terendah pada perlakuan B dan daya cerna NDF tertinggi pada perlakuan A dan D. Dari Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi jumlah LSF yang diberikan dalam ransum maka daya cerna NDF pada ransum semakin meningkat.

Rata rata kecernaan NDF pada ransum perlakuan limbah sayuran fermentasi mengalami peningkatan 2% sampai dengan 4% seiring dengan penambahan persentase limbah yang diberikan. Ini menunjukkan bahwa adanya interaksi antara persentase pemberian limbah sayuran fermentasi dalam ransum terhadap kecernaan NDF akibat dari meningkatnya aktivitas mikroba rumen menyebabkan naiknya laju fermentasi dan laju digesta dalam, sehingga kecernaan NDF meningkat. Peningkatan ini

59

sejalan dengan peningkatan sintesis protein mikroba (Nurhaita, N. J., Warly, et al. 2010) yang menunjukkan adanya peningkatan populasi dan aktivitas mikroba dalam rumen karena tersedianya nutrient untuk pertumbuhannya secara cukup dan seimbang. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa suplementasi nutrient tertentu harus disesuaikan dengan ketersediaan nutrient lainnya.

Kecernaan pakan tergantung pada aktivitas mikroorganisme rumen karena mikroorganisme rumen berperan dalam proses fermentasi, sedangkan aktivitas mikroorganisme rumen itu dipengaruhi oleh zat zat akan yang terdapat dalam pakan. Perlakuan D yang hanya diberi 40% limbah sayuran fermentasi dapat menyamai tingkat kecernaan NDF pada perlakuan ransum A yang diberikan rumput alam. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah fermentasi pada ransum sangat efektif dalam meningkatkan kecernaan NDF. Fermentasi secara tradisional dapat memperbaiki sifat tertentu dari bahan, seperti lebih mudah dicerna, lebih tahan disimpan dan dapat mengurangi senyawa racun sehingga nilai ekonomisnya menjadi lebih baik.

NDF merupakan bagian dari fraksi serat yang sulit di cerna oleh mikroorganisme rumen. Hal ini disebabkan karena NDF merupakan komponen penyusun dinding sel terbesar yang terdiri dari sellulosa, hemisellulosa, lignin, silica, serta beberapa protein dinding sel. Penurunan NDF pada LSF pada penelitian ini sebesar 7,35%- 13,56% ini berdampak positif terhadap peningkatan kecernaan NDF sampai sebesar 11,24%.

Pengaruh Perlakuan Limbah Sayuran Fermentasi Terhadap Pertambahan Berat Badaan Kambing Peranakan Etawa

Tabel 5. Rata rata pertambahan berat badan harian kambing Peranakan Etawa yang diberikan limbahkebun sayuran fermentasi

Perlakuan Rata rata PBB(gr/ekor/hari)

A 62,79b

B 41,96a

C 58,03b

D 75,00c

Sumber: Data Primer (2015)

Penggunaan limbah kebun sayuran fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan berat badan harian kambing PE, terlihat padaTabel 5 pertambahan berat badan harian kambing PE meningkat secara significant seiring dengan ditambahnya level penggunaan limbah kebun sayuran fermentasi. Pertambahan berat badan terendah ditemukan pada perlakuan B sebesar 41,96 gr/ekor/hari, dan tertinggi pada perlakuan D sebesar 75 gr/ekor /hari. Tabel 5 memperlihatkan pertambahan berat badan harian meningkat secara signifikan seiring meningkatnya level penggunaan LSF. Peningkatan pertambahan berat badan pada perlakuan D dibandingkan dengan perlakuan A adalah sebesar 16,28% (75,00 gr/ekor/hari vs 62,79 gr/ekor/hari) sedangkan bila dibanding dengan perlakuan B peningkatannya sebesar 44,05% (75,00 gr/ekor/hari vs 41,96 gr/ekor/hari).

Pertambahan berat badan pada penelitian ini merupakan refleksi dari peningkatan kecernaan ransum. Pertambahan berat badan tertinggi pada perlakuan penggunaan limbah fermentasi pada level 40% dalam ransum yang memberikan respon terbaik diantara perlakuan lainya, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fermentasi limbah kebun sayuran dapat meningkatkan nilai gizi dan kecernaan ransum.

Urutan peningkatan pertambahan berat badan pada masing-masing perlakuan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah konsumsi bahan kering ransum, pada hasil penelitian ini terlihat dari data rata-rata konsumsi bahan kering ransum terjadi peningkatan rata-rata konsumsi bahan kering ransum diiringi dengan peningkatan rata-rata pertambahan berat badan ternak percobaan, dengan demikian dapat diartikan bahwa jumlah konsumsi ransum mempengaruhi pertambahan berat badan ternak kambing semakin banyak pakan yang dikonsumsi akan meningkatkan pertambahan berat badan sesuai dengan pendapat Wallie M, Mekasha Y, Urge M, et al. (2012)

Kisaran pertambahan berat badan harian yang diperoleh pada penelitian ini antara 41,96–75,00 gr/ekor/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Raya (2015) yang hanya mencapai 51,59 gr/hari/ekor yang diberi pakan silase daun singkong dan rumput lapangan. Ini berarti pemanfaatan limbah kebun sayuran fermentasi masih memberikan peluang untuk meningkatkan produktivitaspada ternak kambing PE.

60

KESIMPULAN

Penggunaan limbah sayuran fermentasi dapat dijadikan alternatif dalam pengganti hijauan alam, fermentasi yang dilakukan dalam limbah sayuran dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan NDF (Neutral Detergen Fiber) serta dapat meningkatkan pertambahan berat badan ternak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis penulis ucapkan pada: Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas bidang Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telahmendanai pelaksanaan kegiatan penelitian ini serta semua pihak yang berperan serta dalam penyelesaian tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, U. (2012). Pengaruh penggunaan onggok dan isi rumen sapi dalam pakan komplit terhadap penampilan kambing Peranakan Etawah. Majalah Ilmiah Peternakan, 9(3).

Andayani, J. (2010). Evaluasi Kecernaan In Vitro Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Penggunaan Kulit Buah Jagung Amoniasi dalam Ransum Ternak Sapi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 252-259.

Bengkulu Ekspress.com. Bantuan 200 ekor kambing etawah.http://bengkuluekspress.com/bantuan-200-ekor-kambing-etawa/. [Diunduh Tanggal 25 Februari 2015.

BPTP. 2009. Teknologi Pakan Berkualitas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu

Dietz, T.H., Scott, C.B., Campbell, E.J., Owens, C.J., Taylor, C.A. & Brantely, R. 2010. "Feeding Redberry Juniper (Juniperus pinchotii) at Weaning Increases Juniper Consumption by Goats on Pasture", Rangeland Ecology and Management, vol. 63, no. 3, pp. 366-372. Definiati,N. Nurhaita, Zurina.R, Suliasih. 2013. Inventarisasi ketersediaan hijauan pakan ternak pada

lahan petani sayuran di Kec. Kabawetan Kab. Kepahiang.Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I (Pertama)

Definiati,N. Suliasih, Afrianto, Jafrizal. 2014. Pemanfaatan Hijauan Pakan ternak pada lahan Petani Sayuran tehadap Performance Kambing peranakan Etawah(PE) di Kecamatan. Kabawetan. Kabupaten Kepahiang. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II (kedua)

Katongole, C.B., Sabiiti, E.N., Bareeba, F.B. & Ledin, I. 2009, "Performance of growing indigenous goats fed diets based on urban market crop wastes", Tropical animal health and production, vol. 41, no. 3, pp. 329-36.

Lewis, R. M. & G. C. Emmans. 2010. Feed intake of sheep as aff ected by body weight, breed, sex, and feed composition. J. Anim. Sci. 88:467-480

Márquez, ,M.A., Diánez, F., & Camacho, F. (2011). The use of vegetable subproducts from greenhouses (VSG) for animal feed in the poniente region of almería. Renewable Agriculture and Food Systems, 26(1), 4-12.

Mc.Donald PRA, Edwards, and Greenhalgh JDF, Morgan CA. 2002.Animal Nutrition.Sixth Edition.Pretice Hall.Gosport. London.

Nurhaita, N. J., Warly, L.& Mardiati, Z. (2010).Sintesis protein mikroba pada domba yang mendapat ransum daun sawit amoniasi yang disuplementasi mineral S, P dan daun ubi kayu. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, 12, 107-114.

Raya, F. P. U. K. P. (2015). Karakteristik fisik silase campuran daun ubikayu (Manihot esculenta) dan rumput Kumpai (Hymenachine ampleexicaulis). Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol, 4(2). Retnani Yuli, I.G Permana, N.R Kumalasari, Taryati. 2014. Teknik membuat biskuit pakan ternak

dari limbah pertanian. Penebar Swadaya Jakarta, 2014.

Sinar Tani. 2015. Teknologi ternak kambing.http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx _ttnews%5Btt_news%5D=2780&cHash=9438c9c6537e7cacf49a6e059d3e71e8.

61

Suparjo, K. G. Wiryawan, E. B. Laconi, D. Mangunwidjaja (2011). Performa kambing yang diberi kulit buah kakao terfermentasi.Media Peternakan. vol. 34, no. 1, 35-41

Wallie M, Mekasha Y, Urge M, Abebe G, Goetsch AL (2012) Effects of form of leftover khat (Catha edulis) on feed intake, digestion, and growth performance of Hararghe Highland goats. Small Rumin Res 102:1–6.

62

PERANAN METODE DEMPLOT TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI,

Dalam dokumen jilid3 komoditas peternakan lainnya (Halaman 72-78)