• Tidak ada hasil yang ditemukan

176 Tabel 3. Pengalaman beternak

Dalam dokumen jilid3 komoditas peternakan lainnya (Halaman 194-200)

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Pengalaman seseorang dalam melakoni usahatani memiliki peranan penting dalam terhadap perolehan informasi terutama terhadap inovasi teknologi yang berhubungan erat dengan usahanya. Lamanya pengalaman usaahatani diukur mulai sejak peternak tersebut aktif secara mandiri mengusahakan usahataninya sampai pengkajian dilaksanakan (Fauzia dan Tampubolon 1991). Pengalaman beternak juga berpengaruh pada skala kepemilikan ternak, sebab semakin lama pengalaman beternak seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang diketahui oleh peternak yang dapat mendorong perkembangan usaha peternakan. Hal ini sesuai dengan Murwanto (2008) yang mengatakan pengalaman beternak sapi potong merupakan peubah yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan peternak dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak sapi dan sekaligus upaya peningkatan pendapatan peternak. Pengalaman beternak adalah guru yang baik, dengan pengalaman beternak sapi yang cukup peternak akan lebih cermat dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu.

Karakteristik Usaha Ternak Sapi Potong

Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma.

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan ternak sapi potong untuk setiap peternak masih rendah (berkisar antara 1-3 ekor), sehingga masih tergolong kepada usaha sampingan. Menurut pendapat Aziz (1993) dalam Prawira, dkk. (2015) bahwa pada tingkat pemeliharaan <6 ekor maka dikategorikan sebagai peternakan sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya ternak merupakan status sosial, serta pemasaran yang baru dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Sistem pemeliharaan dan perkawinan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sistem Pemeliharaan dan Perkawinan ternak sapi peternak sapi potong

di Kabupaten Seluma.

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma bersifat semi intensif sebanyak 47,1%, dimana ternak sapi pada siang hari diangonkan di kebun kelapa sawit atau di padang pengembalaan dan pada malam hari dikandangkan. Sistem ini biasanya dilakukan pada pemeliharaan ternak sapi indukan atau pengembangan. Untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi, peternak biasanya memberikan pakan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (1996)

Pengamalan (tahun) Jumlah Responden (Orang)

Persentase (%)

0 – 5 16 47,1

5 – 10 6 17,8

>10 12 35,3

Jumlah ternak (ekor) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)

1 - 3 20 58,8

4 - 5 10 29,4

6 -10 6 17,6

’> 10 4 11,8

Jumlah ternak (ekor) Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Sistem Pemeliharaan Semi Intensif 16 47,1 Intensif 18 52,9 Sistem Perkawinan Kawin Alam IB Campuran 12 16 6 35,3 47,1 17,6

177

menyatakan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu pada siang hari ternak dilepas dikebun atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur, kemudian sore harinya ternak dimasukkan dalan kandang dan pada malam harinya ternak sapi diberi minum berupa hijauan/rumput atau dedaunan. Sedangkan untuk sapi penggemukan, biasanya dilakukan dengan cara mengandangkan ternak sapi baik siang atau malam hari (intensif) sebanyak 52,9%. Pada sistem pemeliharaan dengan sistem intensif ini, ternak sapi diberikan hijauan berupa rumput unggul maupun rumput lapangan sesuai dengan kebutuhan ternak sapi (10%) dari berat badan dan pakan tambahan berupa solid, dedak, ampas tahu,dan lain-lain.

Sistem perkawinan yang dilakukan oleh peterkan sapi potong di Kabupaten Seluma ada 3 macam yaitu kawin alam, IB dan campuran keduanya, dimana perkawinan secara IB lebih sering dilakukan oleh peternak. Hal ini disebabkan karena peternak sudah memahami teknologi IB tersebut lebih menguntungkan dan sebagian disebabkan oleh ketersediaan pejantan yang langka di daerah peternakan mereka.

Potensi Pakan ternak Sapi Berbahan Limbah Kelapa Sawit.

Usaha peternak sapi potong pada kawasan perkebunan kelapa sawit pada intinya merupakan usaha untuk mendekatkan sumber pakan kepada ternak sapi, mengingat usaha tersebut tidak menguntungkan karena biaya pakan yang tinggi (Diwyanto dan Priyanti 2005). Manajemen pemeliharaan biasanya bergantung pada keinginan pemilik kebun kelapa sawit, namun pada prinsipnya dapat dilakukan secara in-situ, atau ex-situ (Djajanegara 2005), yang terpenting siklus biologisnya tidak terputus. Hasil samping/limbah dari satu subsistem produksi menjadi input bagi subsistem produksi lain. Pelepah dan daun kelapa sawit dapat dijadikan sumber pakan untuk ternak sapi, namun daun kelapa sawit masih mengandung lidi yang menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya, selain memerlukan tambahan waktu untuk menghilangkannya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang di lanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan untuk dibuat pelet atau balok (Mathius, 2008). Kandungan nutrisi daun tanpa lidi dan pelepah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan nutrisi daun tanpa lidi dan pelepah kelapa sawit

Kandungan nutrisi Daun tanpa lidi Pelepah

Bahan kering (%) 46,18 26,07 Protein kasar (%) 14,12 3,07 Lemak kasar (%) 4,37 1,07 Serat kasar (%) 21,52 50,94 Kalsium (%) 0,84 0,96 Fosfor (%) 1,07 0,08 Energi (kkal/kg) 4,461 4.841 Produksi (kg BK/ha/tahun 658 1.640 Sumber: Mathius (2003).

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa untuk setiap pohon kelapa sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan 22 pelepah, dengan rataan bobot pelepah perbatang mencapai 5 kg (hasil identifikasi oleh Sitompul 2004 bahwa rata-rata berat pelepah adalah 7 kg). Jumlah ini setara dengan 14.300 kg (22 pelepah x 130 pohon x 5 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap ha dalam satu tahun, dengan bahan kering adalah 3.729 kg/ha/tahun. Luasan perkebunan kelapa sawit rakyat dan produksi limbahnya di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 7 dan luas perkebunan swasta di Kabupaten Seluma pada Tabel 8.

Jika diasumsikan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah menghasilkan (60%) dari luasan pertanaman kelapa sawit, maka limbah yang bisa peroleh adalah 58.597.318 kg/tahun. Dengan demikian, apabila limbah tersebut diberikan pada ternak sapi sejumlah 50% dari kebutuhan satuan ternak (ST) ruminasia dengan bobot hidup 250 kg (konsumsi bahan kering 3,5% dari bobot hidup), maka daya tampung limbah kelapa sawit dari perkebunan rakyat untuk pakan adalah 58.597.318 kg: 4,375 kg/hari setara dengan 36.547 ST, sedangkan daya tampung dari ternak sapi pada perkebunan besar adalah 27.773.592 kg : 4,375 kg/hari sebanyak 17.392 ST. Menurut Purba dan Ginting (1995) dalam Utomo, dkk (2012) menyatakan bahwa pelepah kelapa sawit dapat menggantikan rumput sampai 80%, namun perlu pakan tambahan berupa rumput atau limbah pabrik kelapa sawit. Sedangkan Mathius, dkk. (2004) membatasi jumlah pemberian pelepah maksimum 33% dari total kebutuhan bahan kering. Namun Azmi dan Gunawan (2005) menyatakan bahwa pemberian pelepah sawit sampai mencapai 55% mampu meningkatkan PBBH sapi menjadi 226,7 gram/ekor/hari dari 216 gram/ekor/hari pada pola petani.

178

Tabel 7. Luasan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat dan Produksi Limbahnya di Kabupaten Seluma.

No Kecamatan Luas Perkebunan Rakyat (ha) Produksi Pelepah/daun (kg/tahun)

1 Semidang Alas Maras 2.343 5.330.796

2 Semidang Alas 2.276 5.178.355 3 Talo 1.091 2.482.243 4 Ilir Talo 3.682 8.377.286 5 Talo Kecil 1.515 3.446.928 6 Ulu Talo 1.005 2.286.576 7 Seluma 280 637.056 8 Seluma Selatan 1.737 3.952.022 9 Seluma Barat 2.743 6.240.873 10 Seluma Timur 1.262 2.871.302 11 Seluma Utara 805 1.831.536 12 Sukaraja 8.173 18.595.209 13 Air Periukan 3.518 8.140.665 14 Lubuk Sandi 924 2.102.284 Total 31.354 58.597.318

Sumber : Analisis data Skunder dan Primer 2016.

Tabel 8. Luasan Perkebunan Besar di Kabupaten Seluma dan Produksi Limbahnya.

No Nama perusahaan Luas Tanaman (ha) Produksi Pelepah/daun (kg/tahun) 1 PTPN VII 587 2.188.923 2 PT. Agri Andalas 6.861 25.584.669 Total 7.448 27.773.592

Sumber: Analisis data skunder dan primer 2016

Asumsi:

Daya tampung pohon kelapa sawit 130 batang/ha Produksi pelepah 22 pelepah/pohon/tahun Bobot pelepah: 5 kg/pelepah

Solid: 294 kg/1.000 kg TBS Bahan Kering: 26,07%

Peluang Pengembangan Ternak Sapi Potong Berbasis Industri Kelapa Sawit

Makin meningkatnya permintaan pasar akan produk hewani berupa daging akan memicu meningkatnya harga dari suatu komoditas tersebut. Dilihat dari prospek tersebut pengembangan bisnis ternak sapi potong di Kabupaten Seluma sebenarnya cukup prospektif. Hal ini setidaknya dilihat dari (i) ketersediaan lahan pengembangan yang cukup potensial dan dalam skala yang cukup luas, (ii) ketersediaan kebutuhan input produksi ternak seperti limbah perkebunan kelapa sawit rakyat sebanyak 58.597.318 kg/tahun yang diperkirakan dapat menampung ternak 36.547 ST dan (iii) prospek pasar lokal, regional maupun pasar nasional yang masih terbuka lebar untuk komoditas daging sapi. Permasalahan yang timbul dalam menggunakan limbah kelapa sawit (daun dan pelepah) adalah masih belum tersedianya mesin penghancur pelepah dan daun (shreeder) ditingkat peternak, sehingga peternak masih belum banyak yang menggunakan pelepah dan daun kelapa sawit untuk ternak sapinya.

Faktor pendukung dalam penggunaan limbah kelapa sawit sebagai pakan yaitu teknologi pengolahan limbah sudah banyak tersedia seperti silase, amoniasi dan juga fermentasi. Pelepah dan daun kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar ataupun diolah terlebih dahulu. Selain perlakuan fisik berupa pengeringan, perajangan, penggilingan dan pembentukan pelet, pengelolaan limbah kelapa sawit berupa daun dan pelepah sebagai pengganti hijauan ternak ruminansia dapat diterapkan dengan proses kimia dan bilologi yaitu perendaman dengan NaOH, amonasi dan selase atau dicampurkan dengan tepung daun singkong atau dengan hasil limbah pertanian seperti BIS (bungkil inti sawit), dedak padi,atau molases.

179

KESIMPULAN

Limbah perkebunan kelapa sawit berupa pelepah dan daun berpeluang digunakan sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Kabupaten Seluma dengan luasan pertanaman kelapa sawit rakyat sekitar 31.354 ha dan perusahaan swasta sebanyak 7.448 ha berpeluang menampung ternak sapi potong sebanyak 36.547 ST pada perkebunan rakyat dan 17.392 ST untuk perkebunan swasta.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu yang mendukung pendanaan pada kegiatan penelitian ini. Kepada Ibuk Zuraini (Kabid. Peternakan) Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Seluma dan petugas lapangan yang telah membantu dalam pengambilan data dilapangan diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M.A. 1993. Agroindustri sapi Potong Prospek Pengembangan pada PJPT II. PT.Insan Mitra satya. Jakarta.

Azmi dan Gunawan. 2005. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit dan solid untuk pakan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

BPS Kabupaten Seluma. 2014. Kabupaten Seluma Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Seluma.

Budiharjo. K, Handayani. M dan Sanyoto. G. 2011. Analisis provotabilitas usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang. Jurnal Ilmu-ilmu pertanian (Mediagro) Vol.7. No.1. 2011: hal 1 – 9.

Chamdi, A.N. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29 – 30 September 2003.

Djajanegara, A. 2005. Pembentukan jejaring komunikasi sistem integrasi sawit-sapi . Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi sawit-sapi banjarbaru, 22-23 Agustus 2005.

Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2005. Prospek pengembangan ternak pola integrasi berbasis sumber daya lokal. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi sawit-sapi banjarbaru, 22-23 Agustus 2005.

Harjono, B. S. Wisadirana dan Susilo E. 1990. Analisis Produktif Tenaga kerja dan Kesempatan Kerja wanita Pada Usaha Peternakan Sapi Perah. Laporan Penelitian Pusat Ilmu Sosial. Universitas Brawijaya, Malang.

Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing. Malang.

Mathius.I.W. 2003. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi basis pengembangan sapi potong. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25 (5): 1 – 4.

Mathius. I.W, D. Sitompul, B.P. Manurung dan Azmi. 2004. Produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplik untuk sapi. Suatu tinjauan. Hlm 120-128. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa sawit-sapi, Bengkulu . 9 -10 September 2003. Kerjasama Departemen Pertanian. Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Agricinal.

Mathius, I. W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (2): 206-224.

Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. UNS Press, Surakarta. Mubyarto, 1993. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi Ketiga. LP3ES. Jakarta.

Murwanto, A. G. 2008. Karakteristik Peternak dan Tingkat Masukan Teknologi Peternakan Sapi Potong di Lembah Prafi Kabupaten Manokwari (Farmer Characteristic and Level of Technology Inputs of Beef Husbandry at Prafi Valley, Regency of Manokwari). Jurnal Ilmu Peternakan, Vol. 3 No.1 hal. 8- 15.

Prawira. Y.P, Muhtarudin dan Rudy Sutrisna. 2015. Potensi Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol.3 (4): 250-255, November 2015.

180

Purba. A dan S.P. Ginting. 1995. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan ternak. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3): 161-177.

Purba, A., S . P . Ginting, Z. Poeloengan, K. Sanihuruk dan Junjungan . 1997 . Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3) : 161-177 .

Purba, A. dan S . P . Ginting. 1997. Integrasi perkebunan kelapa sawit dengan ternak ruminansia. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (2) :55-60.

Umar, S. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam merevitalisasi dan mengakselerasi pengembangan peternakan berkelanjutan. Pidato pengukuhan jabatan guru tetap dalam bidang ilmu reproduksi ternak pada fakultas peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan.

Utomo. B.N, Ermin. W. 2012. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Industri Perkebunan Kelapa sawit. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 31.No 34. Desember 2012: 153-162.

Siregar, S.B. 2002. Penggemukan Sapi. Cetakan ke-6. Penerbit Swadaya, Jakarta.

Siregar, N. W.P. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi usaha ternak sapi potong di Desa Mangkai Lama Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sitompul. D. 2004. Desain pembangunan kebun dengan sistem usaha terpadu ternak sapi Bali. Pros. Lokakarya Nasional sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Badan Litbang Pertanian, Pemprov. Bengkulu dan PT. Agricinal. Hlm. 81 – 88.

Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Soekartawi, 1988. Ternak Sapi Potong dan Kerja. Yasaguna. Jakarta.

Soekartawi. 2008. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sugeng, B.Y.1996. Sapi potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tangendjaja, 2009. Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (3): 192-207.

181

EFEKTIVITAS M-DECK TERHADAP KEMATANGAN KOMPOS KOTORAN AYAM

EFFECTIVENESS OF M-DECK TO MATURITY COMPOST OF CHICKEN MANURE

Hasrianti Silondae1 dan Tri Wahyuni2 1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara

2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Email: hasrianti_silondae@yahoo.com

ABSTRAK

Pengomposan merupakan proses biologis dengan kecepatan proses yang berbanding lurus dengan kecepatan aktivitas mikroba dalam mendekomposisi limbah organik. Proses pengomposan pupuk kandang juga bergantung pada faktor lingkungan. Jika kondisi lingkungan semakin mendekati kondisi optimum yang dibutuhkan oleh mikroba maka aktivitas mikroba semakin tinggi sehingga proses pengomposan semakin cepat. Penelitian yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Pandu pada bulan Juni sampai bulan Agustus tahun 2012 ini, bertujuan untuk mengetahui kematangan kompos kotoran ayam selama pengomposan dengan menggunakan biodekomposer M-Dec. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan bahan baku kompos kotoran ayam dengan 3 (tiga) ulangan dan kontrol. Pengomposan dilakukan di atas permukaan tanah dalam sangkar kompos yang terbuat dari bambu berukuran 1 meter kubik.Volume bahan yang dikomposkan adalah sekitar 1 m3/sangkar dan dilakukan penimbangan berat saat awal pembuatan dan pembalikan kompos sekali seminggu.Pembuatan kompos menggunakan 1 kg M-Dec bagi tiap 1 ton bahan organik.Diketahui bahwa tahapan pengomposan menghasilkan suhu semakin menurun mengikuti lamanya waktu pengomposan. Diperoleh suhu pada ulangan 1 sebesar 41oC, 39oC dan 43oC untuk ulangan 2 dan 3. Sedangkan perlakuan kontrol mencapai suhu 46oC. Penyusutan berat kompos masih lebih tinggi pada perlakuan dengan M-Dec dibanding kontrol yaitu U1 (1026 kg), U2 (1022 kg), U3 (825 kg), dan Kontrol (1032 kg). Karakter kompos yang dihasilkan mempunyai ciri tekstur kasar, tidak berbau, tidak ada jamur/hyfa, dan berwarna coklat gelap/kehitaman.

Kata Kunci: kotoran ayam, suhu, tekstur, M-Dec

ABSTRACT

Composting is a biological process with a process speed is directly proportional to the speed of microbial activity in decomposing organic waste. Manure composting process also depends on environmental factors. If the environmental conditions closer to optimum conditions required by microbes, the microbial activity makes so that higher and faster of the composting process.This research conducted at Kebun Percobaan Pandu in June to August 2012, aims to maturity compost of chicken manurefor composting using biodekomposer M-Dec. Research using a completely randomized design with chicken manure compost material with three (3) replicates and controls. Composting is done above ground level in a compost cage made of bamboo measuring 1 cubic meter. The volume of composted material is about 1 m3/cage and do weighing at the beginning creation and reversal of compost once a week. Making compost using 1 kg M-Dec for every 1 ton of organic material. It is known that the stages of composting produceheat that raise temperature and then decrease follows the length of the composting time. Retrieved temperature at 41oC for replay 1, 39oC and 43oC to repeat 2 and 3. The control treatment reaches 46oC.Depreciation weight of compost was higher in the treatment with M-Dec compared to controls, U1 (1026 kg), U2 (1022 kg), U3 (825 kg), and Control (1032 kg).Characters compost produced has the characteristic coarse texture, no smell, no mildew/hype, and dark brown/black.

182

PENDAHULUAN

Menurut Sihombing (2006)dalam Kusuma (2012), limbah ternak atau peternakan adalah semua yang berasal dari ternak atau petenakan baik bahan padat maupun cair, yang belum dimanfaatkan dengan baik, yang termasuk dalam limbah ternak adalah tinja atau feses dan air kencing atau urin.Kotoran ternak merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dalam pemeliharaan ternak selain limbah yang berupa sisa pakan. Djuarnanietal, (2005) menjelaskan bahwa kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik.Secara ilmiah, kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Sejalan dengan Crawford (2003) dalam Isroi (2008), bahwa kompos adalah hasil dekomposisi parsial/tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuranbahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yanghangat, lembab, dan aerobik.Kompos telah digunakan secara luas selama ratusan tahun dan telah terbukti mampu menangani limbah pertanian sekaligus berfungsi sebagai pupuk alami. Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N adalah hasil perbandinganantara karbon dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnaniet al, 2005).

Menurut Sutanto (2002), kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, disamping kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dan mikroorganisme tanah.Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

Kotoran ayam merupakan salah satu limbah yang dihasilkan baik ayam petelur maupun ayam pedaging yang memiliki potensi yang besar sebagai pupuk organik. Komposisi kotoran sangat bervariasi tergantung pada sifat fisiologis ayam, ransum yang dimakan, lingkungan kandang termasuk suhu dan kelembaban. Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan pertumbuhan tanaman. Penggunaan bahan organik kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara tanah dan meningkatkan retensi air. Apabila kandungan air tanah meningkat, proses perombakan bahan organik akan banyak menghasilkan asam-asam organik. Anion dari asam-asam organik dapat mendesak fosfat yang terikat oleh Fe dan Al sehingga fosfat dapat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Penambahan kotoran ayam berpengaruh positif pada tanah masam berkadar bahan organik rendah karena pupuk organik mampu meningkatkan kadar P, K, Ca dan Mg tersedia. Mikroba perombak merupakan salah satu pupuk hayati yang dapat membantu mempercepat proses pengomposan bahan organik menjadi pupuk organik yang siap diberikan untuk tanaman. Secara alami untuk mendapatkan pupuk organik memerlukan waktu yang cukup lama.Sekarang ditemukan beberapa aktivator yaitu agensia yang dapat mempercepat proses pengomposan sehingga kontinuitas produksipupuk organik lebih terjamin (Warsana,2009 dalam Fitri et al,2012). M-Dec merupakan inokulan perombak bahan organik yang mengandung, Trichoderma sp, Aspergillus sp, dan Trametes sp yang mempercepat proses pengomposan sisa-sisa tanaman pertanian (jerami, seresah jagung), perkebunan (tandan kosong kelapa sawit, blotong), dan hortikultura (sampah sayuran), sampah perkotaan (kertas, daun sisa tanaman, potongan rumput), kotoran hewan, sehingga dapat segera menjadikannya bahan organik tanah yang berfungsi menyimpan dan melepaskan hara di sekitar tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas M-Dec terhadap kematangan bahan kompos kotoran ayam.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pandu pada bulan Juni hingga Agustus 2012, dengan menggunakan kotoran ayam dan decomposer M-Dec sebagai perlakuan, bambu berbentuk segiempat untuk penyangga dan sirkulasi udara, Sepatu bot, sekop, cangkul, garu, ember dan gayung air, alat pengayak, parang, tongkat kayu, thermometer. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangandan kontrol. Data yang diperoleh diuraikan secara deskriptif. Volume timbunan kompostinggi 1 m, lebar 1 m, panjang 1 m. Bentuk timbunan kompos segiempat, terletak di atas tanah dengan diberi penyangga berupa kayu berbentuk segiempat. Proses pembuatan kompos kotoran ayam sebagai berikut :

Dalam dokumen jilid3 komoditas peternakan lainnya (Halaman 194-200)