MEMBANGUN NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME MELALUI SASTRA RELIGIUS
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Religius
Nilai religious merupakan sudut pandang yang mengikat antara manusia dengan Tuhan pencipta alam. Agama merupakan pegangan hidup seorang manusia yang dapat mengarahkan manusia ke dalam hal kebaikan dan juga sebagai pengerat umat manusia. Kehadiran agama akan mengatur setiap individu dan masyarakat melalui penyeragaman, baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus (Sasongko dalam Beddu 2014). Agama dapat pula bertindak menjadi pemicu adanya kesejahteraan masyarakat, kedinamisan dalam masyarakat, dan juga perangsang makna dari kehidupan. Melalui agama, manusia pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap sekaliagus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik (Rahman, 2013). Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini.
“Jimbron selalu membuat kami takjub akan tiga hal. Pertama, kami heran karena kalua mengaji, dia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, dia adalah seorang pastor karena dia orang Katolik, tapi kami memanggilnya “pendeta”. Pendeta Geovanny. Bagi kami yang tak banyak pengetahuan waktu itu, semua orang yang bukan Islam adalah Kristen dan semua lelaki yang bukan Islam dan memakai jubah adalah pendeta.
Ayah ibu Jimbron telah meninggal. Rupanya, Pendeta Geo, panggilan kami untuk pendeta Geovanny, mengangkatnya menjadi anak asuh. Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikitpun bermaksud mengubah keyakinan Jimbron. Dia malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.”(Hirata, 2006:48–49) “Laksmi dipungut seorang Tionghoa Thong San, pemilik pabrik cincau dan dia bekerja di situ. Seperti Jimbron dengan pendeta Geo, bapak asuh Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat”(Hirata, 2006:68)
Dilihat dari dua kutipan diatas terbukti bahwa Jimbron dan Laksmi memiliki kehidupan yang sama yaitu diasuh oleh seseorang yang berbeda agama akan tetapi pengasuh tidak pernah mencoba mengubah keyakinan Jimbron begitu juga keyakinan Laksmi. Pendeta yang bersama Jimbron tidak pernah terlambat mengantarkan Jimbron mengaji, sedangkan Tionghoa Thong San juga menumbuhkan Laksmi menjadi seorang muslimah yang taat. Dari sini religiusitas seseorang dapat menumbuhkan kesabaran, menghormati perbedaan agama, serta tidak angkuh pada sesama.
Biasanya sebuah keyakinan tumbuh dari orang tua. Agama merupakan kunci sejarah, kita batu memahani jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya Semi (dalam Rahman, 2013). Sebuah karya sastra yang mengangkat sebuah religiusitas akan dapat menggugah hati seorang pembacanya untuk menegakkan agama yang telah dimilikinya tersebut dengan segala kemampuan yang dimilikinya menurut syariat agama masing-masing. Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri
174
(Nurgiyantoro, 2005:326). Sikap religious dalam sebuah novel juga dapat menanamkan sikap manusia untuk taat dan tunduk kepada Tuhan atau dalam keseharian kita sebut dengan takwa. Seperti dalamkutipan berikut.
“Kesedihan hanya tampak padanya ketika dia mengaji Al-Quran. Di hadapan kitab suci itu, dia seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang lelah berjuang melawan rasa kehilangan pada seluruh orang yang dicintainya” (Hirata, 2006:26)
Dalam kutipan menunjukkan bahwa adanya kepercayaan bahwa Al-Quran sebagai pedoman hidup yang dapat menenangkan hati seseorang seperti Arai yang sedang dilanda kesedihan. Selain itu, religiusitas juga terbukti dalam dua kutipan di bawah ini.
“Setiap habis magrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di bawah temaram lampu minyak. Seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering ranggas yang menusuk-nusuk malam. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah jerit kerinduan yang tertangguhkan kepada ayah-ibunya” (Hirata, 2006:27)
“Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji dan mengaji Al-Qur’an sampai khatam berkali-kali. Kalau tamat SD belum hafal Juz ‘Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zig-zag seperti ayam mabuk” (Hirata, 2006:47)
Perilaku tokoh Arai menunjukkan bahwa Arai adalah seorang muslim. Arai juga menunjukkan bahwa dirinya mengerjakan perintah-Nya dengan baik. Itu terbukti pada kutipan novel di atas. Dalam kehidupan masyarakat pun pasti ada juga yang berperilaku seperti Arai karena dalam Islam juga ada kata-kata yang menunjukkan bacalah Al-Quran walau hanya satu ayat. Juga sama halnya dengan adat anak Melayu yang sudah harus hafal Juz ‘Amma ketika telah tamat SD dan hal itu disetujui oleh masyarakat karena bersifat positif.
Nilai Moral
Nilai moral hampir sama dengan nilai etika, yaitu sebuah ukuran tingkah laku yang diniliai dari patut tidaknya perilaku yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Moral dalam karya sastra merupakan isyarat yang ingin di sampaikan oleh pengarang. Uzey (2009:2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Terutama sikap disiplin, sikap disiplin bukan hanya dilakukan saat beribadah saja akan tetapi juga dilakukan dalam segala hal. Karena, sikap kedisiplinan pasti akan mendatangkan kebaikan. Disiplin juga baik dilakukan dalam pekerjaan apapun tanpa memandang siapa yang menajalankan kedisiplinan tersebut. Seperti yang terdapat pada kutipan berikut.
“Lipatan aksara ilmu pada kertas-kertas yang tajam mengiris jemari kami, menyayat hati kami yang bercita-cita besar ingin melanjutkan sekolah. Kami kelelahan ditumpuki buku-buku tebal dari mahasiswa baru tingkat persiapan sampai professor yang akan pension dalam euforia akademika yang sedikit pun tak dapat kami sentuh. Pekerjaan fotokopi menimbulkan perasaan sakit nun jauh di dalam hati kami” (Hirata, 2006:226).
175
“Dia bangun pukul dua pagi untuk memikul ikan. Dia, seperti aku dan Jimbron, tak punya ‘kemewahan’ itu, ‘kemewahan’ untuk memperhatikan diri sendiri. Yang tersisa untuk Arai, untuk kami, memang hanya semangat dan mimpi-mimpi”(Hirata, 2006:160).
Dalam kutipan diatas menunjukkan adanya sikap disiplin dan pantang putus asa untuk melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi. Arai dan Ikal memiliki cita-cita untuk sekolah setinggi mungkin akan tetapi dengan keterbatasan ekonomi mereka terpaksa harus bekerja terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan cita-citanya itu. Sikap disiplin mereka dalam bekerja menunjukkan adanya keinginan untuk bersekolah tanpa putus asa serta keyakinan itu juga sangat kuat dalam diri Arai.
Dalamkehidupan sehari-hari pasti kita akan menemui banyak seorang anak yang ingin bersekolah akan tetapi harus bekerja terlebih dahulu. Akan tetapi, harus ada keyakinan bahwa usaha tidak pernah membohongi hasil. Pengembangan nilai moral juga terdapat dalam kutipan berikut.
“Lalu, apa yang tersisa untuknya? Tak ada. Seperti ucapnya kepadaku: ‘tanpa mimpi dan semangat, orang seperti kita akan mati’” (Hirata, 2006:159)
“WC itu sudah hamper setahun diabaikan karena keran air yang mampet. Tapi, manusia-manusia cacing, para intelektual SMA negeri yang tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral itu, mereka menghinakan dirinya sendiri dihadapan Allah yang mengajarkan bahwa kebersihan sebagaian dari iman. Sekarang Kamilah yang menanggung semua kebejatan moral mereka” (Hirata, 2006:199–120)
Kutipan pertama menunjukkan adanya nilai moral yang menanamkan bagaimana seseorang dapat meraih cita-citanya tanpa adanya semangat dalam dirinya dan juga sebuah semangat akan menciutkan rasa takut akan kegagalan. Untuk kutipan kedua perilaku seperti itu tidak patut untuk di contoh oleh masyarakat, khususnya para penerus bangsa (siswa) karena, sudah jelas-jelas keran WC mampet masih saja dipakai. Para intelek muda seharusnya mengetahui bahwa kebersihan sebagian dari iman. Nilai moral seperti ini dapat dijadikan suatu contoh bahwa seseorang yang belum benar dan merasa dirinya telah benar itu patut untuk diarahkan ke arah yang lebih baik, sehingga nilai moral yang terdapat dalam novel dapat dijadikan sebuah contoh bahwa sebenarnya kepedulian terhadap lingkungan itu juga dibutuhkan. Selain itu, bukti kutipan yang lain yaitu.
“Celakanya, beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai” (Hirata, 2006:5).
Nilai moral seperti ini pun tidak dapat dijadikan sebuah contoh oleh pasa siswa yang tidak suka terhadap guru di sekolahnya dan sikap disiplin yang kurang menjadikan mereka malas untuk mendapat hukuman. Adapun nilai yang dimaksud dalam konteks tersebut menyangkut baik dan buruk yang diterima oleh masyarakat umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat
176
ditarik dari suatu rangkaian cerita karena karya sastra itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam masyarakat.
Nilai Sosial
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang juga termasuk di dalamnya (Rahman, 2013). Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial, karena karya sastra dapat pula bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik. seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
“Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. Dari dalam kamar, sayup terdengar Nurmi sedang menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung tadi kepada Mak Cik. Dia terkejut. Lalu, aku terpana dengan rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat Kue dan kami yang akan menjualnya!” (Hirata, 2006: 43).
“Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Dia kemudian dipungut keluarga kami”(Hirata, 2006:18).
Dalam kutipan diatas Arai kasihan dengan hidup Mak Cik yang selalu kurang atau hidup kesusahan. Karena, di setiap hari Mak Cik selalu berhutang beras kepada Ibu Ikal, sehingga Arai memutuskan untuk memecah tabungan yang selama dua tahun dikumpulkannya dengan Ikal untuk membantu Mak Cik. Dimintanya Mak Cik untuk membuat kue untuk dijual sehingga, Mak Cik memiliki penghasilan sendiri. Selain sifat Arai, keluarga Ikal juga memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi tebukti saat keluarga Ikal memungut Arai menjadi keluarganya. Sifat Arai dan keluarga Ikal menunjukkan adanya rasa kemanusiaan yang tinggi.
“Melihatku pilu, kupikir Arai akan ikut terharu, tapi dia malah tersenyum. Lalu, pelan-pelan dia merogohkan tangan ke dalam karung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan kalua dia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.
‘Ikal, lihatlah ini!’ bujuknya.
Dari dalam karung tadi, dia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan akum akin pedih membayangkan dia membuat mainan itu sendiri, memainkannya juga sendiri di tengah-tengah lading tebu. Aku tersedu-sedan” (Hirata, 2006:20–21).
Rasa sosial yang terdapat dalam kutipan di atas sangat tinggi, saat itu Ikal yang sebenarnya ingin membesarkan hati Arai dari kesusahannya ternyata semua berbalik, malah Arai yang mencoba menenangkan hati Ikal yang sebenarnya sedang kacau. Perilaku Ikal juga sudah menunjukkan sebuah perilaku sosial yang tinggi karena, Ikal ingin menghibur hati Arai yang sedang kesusahan. Selain itu, sifat membalas budi atas kebaikan orang lain pada nilai sosial sangatlah penting dengan tujuan untuk membangun sikap saling peduli dan peka antar sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di bawah ini.
177
“Aku ingin membuat Arai gembira. Aku ingin berbuat sesuau seperti yang dia selalu lakukan kepadaku dan Jimbron. Aku sering melihat sepatuku menganga seperti buaya berjemur, tahu-tahu sudah rekat kembali, Arai diam-diam memakunya. Kancing bajuku yang lepas tiba-tiba lengkap lagi, tanpa banyak cingcong, Arai menjahitnya. Jika terbangun malam-malam aku sering mendapatiku telah berselimut, Arai menyelimutiku. Belum menghitung kebaikannya waktu dia membelaku dalam perkara rambut belah tengah saat aku masih sekolah dasar, atau saat dia menjulangku di pundaknya jika kami berlomba menangkap kapuk di lapangan kampung. Dia tak mau kugantikan menjulangnya. Arai, bertahun lewat tapi aku tak kan lupa; kan ku balas semua kebaikanmu yang tak terucapkan itu” (Hirata, 2006: 160)
Selain itu, nilai sosial berkenaan dengan kemanusiaan dan mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih sayang, penghargaan, kerja sama, perlingdungan serta sifat-sifat saling tolong menolong sangat dibutuhkan dalam kepentingan kemanuasiaan hal itu tercermin pada kutipan di bawah ini.
“Wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendela terbuka, karena dipastikan tak kan ada siapa-siapa untuk mengambil apapun. Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang luwak, atapnya akan menjadi lumbung telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan menjadi istana liang kumbang.” (Hirata, 2006:19)
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal, Ikal dan Ayahnya menjemput Arai untuk tinggal di rumah Ikal. Karena, rasa sayang ayah Ikal kepada Arai juga tak melebihi rasa sayang Ayah Ikal kepada Ikal. Ayah Ikal menganggap bahwa Arai juga bagian dari keluarganya. Selain itu karena Arai adalah seorang anak kecil yang hidup sebatang kara jadi, dibawanya Arai oleh Ayah Ikal untuk tinggal bersamanya. Rasa kemanusiaan dan rasa kasih sayang ditunjukkan oleh ayah Ikal dengan menjemput Arai untuk tinggal bersamanya.
Beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa sebuah tanggung jawab terhadap kebahagiaan orang lain juga menjadi jaminan untuk menjalankan sikap kemanusiaan, supaya kebahagiaan orang lain terasa lengkap dengan sikap kita terhadapnya. Serta, perilaku atau nilai sosial yang baik juga akan membuat hubungan dalam bermasyarakat akan baik, rukun dan sejahtera.
Nilai Budaya
Nilai budaya dalam sebuah masyarakat adalah sesuatu yang paling abstrak dari adat istiadat dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat bernilai bagi masyarakat. Budaya merupakan suatu konsep-konsep yang telah tersusun dalam kumpulan masyarakat yang disetujui oleh semua pihak masyarakat yang secara turun temurun menjadi sebuah kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga budaya dianggap sebagai pedoman hidup oleh sekumpulan masyarakat itu sendiri.
Budaya dalam kehidupan sehari-haritetap menjadi prioritas dan sangat berpengaruh dalam menjalani kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan (Rahman, 2013). Makna dari sebuah budaya akan berarti ketika
178
ditumbuh kembangkan oleh seorang individu, namun dihayati, dilakukan, dimaknai, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang memang dilakukan oleh masyarakat itu secara turun temurun. Pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu (Uzey, 2009:1). Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Seperti kebanyakan anak Melayu miskin di kampung kami yang mulai bekerja sejak remaja, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual dipasar. Akar itu digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga yang mengajakku mengambil akan purun, perdu yang tumbuh di rawa-rawa, yang kami jual kepada pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi” (Hirata, 2006:26).
“Sangat berbahaya! Sangat berbahaya dan menjatuhkan martabatmu. Anak-anak Melayu bangsa pujangga, jika menonton film yang dengan melihat nama pemainnya saja, kita sudah dapat menduga ceritanya”(Hirata, 2006:86).
Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa budaya Melayu, seorang anak yang mulai menginjak dewasa harus bisa bekerja untuk membantu keluarga mencukupi penghidupan sehari-hari. Hal ini harus dilakukan oleh anak-anak melayu. Maka dalam cerita banyak anak Melayu yang lebih memilih untuk bekerja daripada harus sekolah. Selain itu, anak-anak Melayu yang masih berstatus siwa juga dilarang untuk menonton bioskop karena dianggap dapat merusak mental seorang anak. Terdapat pula kebudayaan yang menunjukkan seberapa bernilai sebuah kebudayaan dalam masyarakat. Seperti dalam kutipan dibawah ini.
“Orang tua Melayu tahu persis bahwa padi di dalam peregasan sudah tidak bisa dimakan. Namun, bagi mereka peregasan adalah perlambang yang mewakili periode paling sengsara dalam hidup mereka pada masa penduduk Jepang. Ajaibnya, sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun menjelma menjadi nostalgia yang tak ingin dilupakan.” (Hirata, 2006:30)
Kebudayaan menyimpan padi dalam peregasan menjadi kebudayaan yang sangat kuat bagi kaum orang tua Melayu karena, dengan menyimpan padi dalam peregasan orang tua Melayu dapat mengingat berbagai hal yang pernah terjadi kepada orang Melayu pada saat penjajahan Jepang. Disini menunjukkan bahwa adanya nostalgia yang membuat para orang tua Melayu menjadi mempunyai kebudayaan dengan mengambil cerita dari nasib yang telah menimpa para orang tua Melayu dan hal itu disetujui oleh masyarakat melayu.
Budaya dapat juga sekaligus menjadi pengerat kehidupan seseorang. Dengan kata lain, terdapat budaya yang memang harus dipatuhi serta dijalankan oleh masyarakat. Dengan menjalani kehidupan tersebut masyarakat meyakini bahwa akan adanya kebaikan didalam kebudayaan dan hasil dari kebudayaan tersebut. Jadi, budaya disini dianggap sebagai arah kehidupan. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini.
“Ketiga petinggi masjid itu lebih keras daripada orang tua kami sebab merekalah yang mengajari orangtua kami mengaji sekaligus menyunat mereka. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu, maka dialah pemilik kebijakan hidupmu.” (Hirata, 2006:47)
179
Jadi, dalam adat Melayu seseorang yang telah mengajar ngaji dan menyunat seorang anak kecil maka semua akidah perilaku norma dan tingkah laku ada dalam naungan si penyunat dan pengajar ngaji tersebut. Sebab mereka yang menyunat dan mengajar ngaji dipercaya menjadi orang tua yang dapat mendidik remaja Melayu menjadi remaja yang berguna untuk masyarakat serta agama. Disinilah budaya yang dimaksud sebagai pedoman hidup seseorang dalam menjalani kehidupan sehati-harinya, dan masih banyak lagi nilai kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat yang masih di pertahankan hingga sekarang.
KESIMPULAN
1) Nilai-nilai lokal dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata direalisasikan dengan perilaku tokoh saat menghadapi jalan kehidupannya dalam novel. Dengan adanya nilai religious, moral, sosial, dan budaya dalam kehidupan tokoh dapat membuat tokoh menjadi sosok yang berhasil dan tidak mudah putus asa serta, dengan berbagai dorongan dari pihak yang berkaitan dalam novel dapat menjadikan tokoh menjadi seseorang yang suka bekerja keras dengan adat yang ada di dalam masyarakat Melayu. Berdasarkan nilai-nilai lokal dalam masyarakat yang ada dapat mengubah perilaku, moralitas, dan juga tata cara kehidupan tokoh terutama tokoh utama dalam novel untuk mencapai sebuah keberhasilan.
2) Perilaku disiplin yang dieksplorasi oleh tokoh utama dalam novel dengan banyaknya usaha-usaha yang dilakukan oleh tokoh. Perilaku disiplin tersebut dieksplorasi dengan cara tokoh dalam bekerja sekaligus dengan bersekolah. Dengan bangun jam dua pagi untuk menjual ikan di pasar para tokoh terutama tokoh utama tidak pernah mengeluh. Juga saat sikap disiplin yang tidak hanya dilakukannya dalam hal beribadah saja. Tokoh utama juga menunjukkan perilaku taat dalam segala hal untuk kebaikan dirinya dan juga orang lain, tokoh dalam menjalani kehidupannya selalu berfikir optimis bahwa hidup yang penuh dengan kedisiplinan akan mendatangkan kebaikan termasuk dalam meraih cita-cita. Religiusitas, kebudayaan, serta nilai sosial yang dijalani oleh tokoh juga mempengaruhi gaya hidup tokoh sehingga, banyak kebaikan yang didapatkan oleh tokoh utama.
DAFTAR PUSTAKA
Beddu, Syarif, dkk. 2014. Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan dan Pemukiman Masyarakat Makassar. TEMU ILMIAH IPLBI: Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.
Hidayat, Dasrun. 2014. Representasi Nemui-Nyimah Sebagai Nilai-Nilai Kearifan Lokal: Perspektif Public Relation Multikultur.Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 5, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-118.
Hirata, Andrea. 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang [ed. Rev. 38, 2017]
Istiawati, Fitri Novia. 2016. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Adat Ammatoa dalam Menumbuhkan Karakter Konservasi. Cendekia, Vol. 10, No. 1, April 2016. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Surakarta, Indonesia
Maslamah. 2016. Nilai-Nilai Karakter dalam Kurikulum Humanistik di FITK IAIN Surakarta. Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2016. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univesity Press
Rahman, Fauzi. 2013. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata, (Online). (https://fauzierachman20.wordpress.com/2013/10/07/200)
180
Sugiarti. 2015. Politik Lokal dalam Novel Jatisaba Karya Ramayda Akmal. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Sastra 2015, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, Selasa 31 Maret 2015
Sularso. 2016. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pendidikan Dasar.Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol. 2, No. 1 Desember 2016.
Uzey. 2009. Pengertian Nilai. Dalam (http://uzey.blogspot.com/2009/09/pengertian-nilai.html). Diakses tanggal 2 Maret 2012.