• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL IBUK KARYA IWAN SETYAWAN

Diana Putri

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

dianaptr05@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) nilai-nilai pendidikan karakter berupa nilai pendidikan sosial (2) nilai-nilai pendidikan karakter berupa nilai pendidikan agama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan berupa pendekatan sosiologi yang berperan untuk menggali nilai-nilai pendidikan karakter yang disajikan oleh pengarang. Data dalam penelitian ini berupa kutipan kalimat, paragraf yang berkaitan dengan fokus penelitian. Sumber data adalah novel Ibuk karya Iwan Setyawan. Analisis data yang digunakan adalah

contentanalysis, dengan langkah sebagai berikut. (1) mendeskripsikan data yang sudah dicatat; (2) Mengklasifikasikan data sesuai dengan teori; (3) Menganalisisdata berdasarkan klasifikasi yang ditemukan; (4) Menginterpretasikan data yang sudah dianalisis; (5) Menarik simpulan dan menulis laporan penelitian. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan yaitu; (1) Nilai-nilai pendidikan sosial, yang mencakup kasih sayang, sabar, dan pekerja keras (2) Nilai-nilai pendidikan agama yaitu, berdo’a sebelum melakukan kegiatan dengan melibatkan Tuhan dan Orang Tua. Dari keseluruhan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel ini, sangat bermanfaat digunakan untuk pembentukan karakter manusia.

Kata kunci: novel, sosiologi sastra, nilai pendidikan PENDAHULUAN

Sastra adalah suatu karya seni. Suatu seni dalam sastra merupakan ekspresi pengalaman pengarang secara menyeluruh tentang hidup dan kehidupan. Karya sastra merupakan terjemahan tentang perjalanan hidup manusia, secara langsung atau tidak langsung. Karya sastra itu bersifat imajinatif. Sifat imajinatif merupakan perpaduan antara pikiran dan perasaan pengarang dalam mengasah pengalaman untuk dijadikan suatu karya cipta.

Proses imajinatif pengarang tidak lepas dari hasil kreatifitas pengarang, oleh sebab itu karya sastra mempunyai kekuatan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan manusia serta dinamikanya. Hal itu sejalan dengan pernyataan Sugiarti (2014:303) bahwa pengarang melakukan proses kreatif akan dipengaruhi oleh sesuatu yang mempribadi dalam dirinya serta kecermatannya dalam melihat, mendengar, merasakan, serta menghayati sesuatu yang terjadi dalam realitas. Sehingga karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati dan diapresiasi oleh pembacanya. Sementara itu, pembaca yang baik adalah pembaca yang dapat memberikan apresiasi, baik berupa kritik maupun masukan terhadap karya sastra sehingga karya sastra dapat bermakna bagi kehidupannya.

Pada dasarnya, sastra lahir dari hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw dalam Nugrahan Farida (2015:870) kehadiran karya sastra di tengah masyarakat bukan dari kekosongan

65

budaya, melainkan terdapat unsur kesinambungan tradisi sepanjang yang dijalani pengarang. Sehingga latar belakang yang ditampilkan sastra, umumnya meliputi: tata cara kehidupan, adat istiadat, kebiasaan, sikap, cara memandang, cara melihat dan lain sebagainya.

Novel merupakan sebuah cerita panjang yang kompleks dan dibangun oleh unsur-unsur pembangunnya. Unsur di dalam novel terbagi menjadi dua yaitu unsur-unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik pembangun novel terdiri dari peristiwa, plot, tema, tokoh, alur, sudut pandang dan lain-lain. Sedangkan unsur pembangun ekstrinsik ialah unsur-unsur dari luar karya yang secara tidak langsung ikut berpengaruh, seperti sosiologi, psikologi, sosial-budaya dan lain sebagainya.

Sebuah karya sastra (novel) hadir di tengah-tengah masyarakat selain sebagai sarana hiburan, karya sastra juga sebagai penyampai pesan berupa nilai-nilai positif oleh pengarang kepada pembacanya. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra yang mempunyai peran setrategis untuk mengungkap nilai-nilai kehidupan. Sehingga hadirnya sebuah novel di tengah-tengah masyarakat mampu memberikan kontribusi penting dalam bentuk sajian cerita yang dinikmati sekaligus mendidik masyarakat. Selanjutnya, (Nurgiyantoro, 2015:435) mengungkapkan sastra pada hakikatnya memberikan teladan kehidupan yang diidealkan, teladan kehidupan orang yang berkarakter (sastra mampu menunjang pembentukan karakter). Karakter mempunyai makna sebagai kepribadian, identitas diri, jatidiri. Maka karakter dapat dikatakan jatidiri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang yang berkaitan dengan dimensi psikis dan fisik atau dengan kata lain karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antarmanusia.Menurut Budiharjo (2015:3) mengatakan orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Secara universal karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan pilar: kedamaian, menghargai, kerjasama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahhatian, kasih sayang atau cinta kasih, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi dan persatuan (Ghufron dalam Nurgiyantoro, 2015:436).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sastra pada hakikatnya memberikan teladan kehidupan yang diidealkan atau teladan kehidupan orang yang berkarakter (nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antarmanusia). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sugiarti (2016: 32) bahwa karya sastra di samping menunjukan sifat yang rekreatif, ia juga merupakan dian penerang yang mampu membawa manusia mencari nilai-nilai yang dapat menolongnya untuk menemui hakikat kemanusiaan yang berkepribadian. Selanjutnya Endraswara (2013:1) menyatakan sastra menawarkan aneka nilai moral, yang dapat membangun watak bangsa. Sehingga kebermanfaatan atau nilai-nilai karakter yang di kandung dalam sastra, novel Ibuk karya Iwan Setyawan dapat mewakili pernyataan tersebut.

Novel Ibuk, diciptakan oleh pengarang, menghadirkan berbagai nilai-nilai karakter (inspiratif) di dalamnya yaitu nilai pendidikan sosial dan nilai pendidikan agama. Nilai pendidikan sosial mencakup kasih sayang, sabar, dan pekerja keras. Kasih Sayang menurut Samani dan Harianto (2013:116) adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan perasaan penuh kasih sayang, dan penuh kelembutan terhadap orang lain. Wujud kasih sayang dalam novel Ibuk meliputi; sikap dan perilaku yang menunjukkan rasa sayang melalui perhatian serta memberikan semangat.Selanjutnya, sabar menurut Samani dan Harianto (2013: 53) merupakan sikap tahan menghadapi cobaan, bersikap tenang, tidak suka tergesa-gesa atau bertindak ceroboh. Nilai sosial selanjutnya yaitu pekerja keras, di dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan bentuk pekerja keras meliputi; kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh hingga mencapai target; dan bekerja pantang menyerah. Hal itu sesuai dengan

66

Samani dan Harianto (2011: 133) yang menyatakan bahwa bersemangat adalah bekerja dengan penuh kegairahan dan semangat meluap-luap. Seseorang yang bersemangat akan melakukan segala sesuatu dengan bekerja keras.

Selanjutnya nilai pendidikan agama yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia. Kesadaran ketuhanan dalam sastra Indonesia disebut dengan transendensi. Transendensi memuat kesadaran tentang kebertuhanan, selain itu kesadaran terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan (Sugiarti, 2016:334). Oleh karena itu, dari paparan di atas terdapat kekayaan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan serta penyampaian pesan yang sederhana dan ringan, sehingga membuat peneliti tertarik untuk meneliti novel Ibuk karya Iwan Setyawan.

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Dalam hal ini, peneliti mendeskripsikan secara kualitatif tentang permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam novelIbuk karya Iwan Setyawan dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.Data pada penelitian ini adalah sekuen cerita yang berwujud dialog, monolog dalam bentuk kutipan kalimat atau paragraf. Sumber data dari penelitian ini adalah novel Ibuk

karya Iwan Setyawan.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan melalui dokumen terhadap pustaka-pustaka yang relevanan ditunjang dengan jurnal, penelusuran artikel-artikel baik secara cetak maupun elektronik. Sementara teknik analisis datanya dilakukan dengan langkah-langkah berikut. (1) Mendeskripsikan data yang sudah dicatat; (2) mengklasifikasikan data sesuai dengan teori; (3) menganalisis data berdasarkan klasifikasi yang ditemukan; (4) menginterpretasikan data yang sudah dianalisis; (5) menarik simpulan.

PEMBAHASAN

Proses kreativitas pengarang dalam melakukan pergulatan batin melalui dunia realita sangat mendalam. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan dijadikan pengalaman baru (new experience) pengarang dalam rangka mendalami, menghayati, dan mengimajinasi sebagai kekuatan untuk mengeksplorasi pengalaman baru dan dunia baru (Sugiarti, 2015: 329). Semua itu merupakan respon atas berbagai kebudayaan masyarakat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai berkarakter. Kesadaran terhadap nilai-nilai itu digunakan sebagai landasan di dalam kehidupan. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk melakukan penggalian nilai-nilai karakter sebagai landasan di dalam kehidupan.

Untuk mengetahui nilai-nilai karakter dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan terkait dengan (1) nilai-nilai pendidikan sosial, yang mencakup kasih sayang, sabar, dan pekerja keras; (2) nilai-nilai pendidikan agama yaitu, berdo’a sebelum melakukan kegiatan dengan melibatkan Tuhan dan Orang Tua.

Nilai Pendidikan Sosial

Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan (Rosyadi dalam Nugrahan, 1995: 80). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan individu lainnya. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu lain yang mengacu di dalam masyarakat. Bagaimana

67

seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial.

(1) Nilai pendidikan sosial kasih sayang pada novel Ibuk dapat dilihat pada kutipan berikut. Membesarkan lima orang anak membutuhkan napas yang panjang. Tak pernah mudah, tak pernah berhenti. Setelah Ibuk sembuh ia mulai lagi bergulat membesarkan anak-anaknya. Ia mulai membuat nasi goreng untuk sarapan anak-anaknya sebelum berangkat ke sekolah. Ia kembali memberikan cintanya (Setyawan, 2016: 37-38). Berdasarkan kutipan di atas tokoh Ibuk nilai pendidikan sosial kasih sayang berupa sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa sayang. Hal ini dibuktikan dengan sikap dan perilaku Ibuk ketika usai jatuh sakit, Ibuk melakukan aktivitasnya kembali. Selain pada kutipan tersebut, terdapat kutipan lain yang menunjukkan bentuk kasih sayang Ibuk terhadap anak-anaknya, sebagai berikut.

Lima orang anak sudah ketika Ibuk baru mengetahui ada program Keluarga berencana. Mereka sudah di tangannya dan Ibuk memberikan apa pun yang ia miliki untuk mereka. Dengan hatinya. Mereka sudah ada dalam gengamannya dan Ibuk tak akan membeiarkan mereka terjatuh. Begitu tekadnya (setyawan, 2016: 42).

Berdasar kutipan di atas tokoh Ibuk nilai pendidikan sosial kasih sayang berupa sikap yang mencerminkan kasih sayang. hal itu terbukti tekad Ibuk untuk memberikan segalanya dan tidak membiarkan anak-anaknya terjatuh. Selanjutnya kutipan yang menunjukkan bentuk kasih sayang adalah, berikut ini.

Ibuk melihat wajah anaknya satu-satu sebelum akhirnya mengelum rambut Isa yang duduk di sampingnya. “Nduk, sekolah nang SMP iku mesti. Koen kudu sekolah. Uripmu cek gak soro koyok aku, Nduk! Aku gak lulus SD. Gak iso opo-opo. Aku mek iso masak tok. Ojo koyok aku yo Nduk! Cukup aku ae sing gak sekolah. . . ,” kata Ibuk (Setyawan, 2016: 60-61).

Pada kutipan tersebut, tokoh Ibuk nilai pendidikan kasih sayang berupa sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa sayang atau perhatian memberikan semangat dan sikap terdapat sikap kelembutan untuk anak-anaknya. Hal ini dibuktikan dengan perkataan Ibuk yang memberikan semangat kepada Isa untuk terus sekolah agar hidupnya bisa lebih baik dan tidak seperti Ibuk. Ibuk memberikan semangat sambil mengelus raambut Isa dengan penuh kelembutan. Bentuk kasih sayang selanjutnya, terdapat pada kutipan sebagai berikut.

Setiap kali melihat anak yang sakit, hati Ibuk seperti jatuh,” kata Ibuk. Ia menatap anaknya satu-satu. “Melihat kalian sehat seperti ini adalah segalanya bagi Ibuk,”

lanjutnya. Anak-anak terdiam. Bayek menatap mata Ibuk dalam-dalam (Setyawan, 2016: 85).

Kasih sayang Ibuk terlihat sangat dalam, saat menunjukkan sikap untuk anak-anaknya. Hal itu terlihat ketika Ibuk berucap apabila anak-anaknya jatuh sakit, hati Ibuk terasa jatuh dan Ibuk menatap pelan satu persatu. Bagi Ibuk kondisi sehat atau kesehatan anak-anaknya adalah sumber segalanya untuk dirinya. Hal berikutnya yang menunjukkan bentuk kasih sayang adalah pada kutipan berikut.

68

Ketika Lebaran tiba, ia memastikan anak-anak memakai baju baru. Ibuk memastikan tidak ada air mata dengan segala cara. Menggadaikan cincin emas, menjual baju bekas, atau hutang ke Bang Udin. Yang penting anak-anak bisa tersenyum dan mendatangi kerabat dengan bangga. Agar mereka sama dengana anak-anak lain (Setyawan, 2016: 102).

Kasih sayang Ibuk, terlihat kembali melalui sikap dan perilakunya. Pada kutipan tersebut, terlihat Ibuk tidak mau melihat anak-anaknya menangis hanya untuk tidak memakai baju baru saat lebaran. Ibuk rela melakukan apa saja, agar anak-anaknya tersenyum saat hari Lebaran itu. Di antaranya Ibuk akan menggadaikan cincin emas, menjual baju bekas, atau bahkan hutang ke Bang Udin. Semua itu dilakukan Ibuk atas nama kasih sayang untuk anak-anaknya. Selain itu kasih sayang Ibuk tidak berhenti di saat itu saja, melainkan masih ada kutipan-kutipan yang menunjukkan rasa sayangnya terhadap anak-anaknya sebagai berikut.

“Kamu sudah gedhe loh Yek. Bentar lagi SMA, kuiliah dan kerja. Kalau bisa, jangan jadi sopir kayak Bapakmu. Lek iso, senengno Bapak ambek dulur-dulurmu yo Le!”

pesan Ibuk sambil mengelus rambut Bayek (Setyawan, 2016: 130).

Sesuai kutipan di atas bentuk kasih sayang Ibuk nampak terlihat melalui sikap saat menasehati Bayek. Ibuk berpesan agar kelak suatu saat, ketika ia sudah besar dan bekerja mampu membahagiakan Bapak dan saudara-saudaranya. Di nasehat itu, Ibuk juga berharap agar Bayek tidak bekerja sebagai sopir angkot seperti Bapaknya, melainkan bekerja dengan profesi lain yang tidak memberatkan dirinya. Maka kasih sayang selanjutnya terlihat pada kutipan berikut ini.

Buk, aduh, bahasa Inggrisku masih kacau. Banyak yang gak ngerti kalau aku ngomong. Masih blon lancar,” keluh Bayek di telepon. “Wis, belajar terus ae. Jangan takut ngomong,” jawab Ibuk. “Iya, Buk, tapi masih nggak lancar-lancar iki,” lanjut Bayek. “Bisa Le. Percaya sama Ibuk. Kamu sudah dipercaya ke sana, pasti kamu bisa,” kata Ibuk meyakinkan Bayek (Setyawan, 2016: 151-152).

Kasih sayang Ibuk yang ia berikan tidak hanya lewat fisik bertemu fisik semata. Kasih sayang Ibuk tetap sampai kepada anak lelaki satu-satunya yang berada di luar Negeri. Bayek yang bekerja di New York saat itu, apabila sedang mengalami kegundahan, resah, atau kecemasan Ia menelepon Ibuk. Maka dengan sigap sikap penenang, penyemangat Ia berikan ke anaknya, dengan bentuk sikap Ibuk yang menenangkan atau memberi semangat terhadap Bayek merupakan bentuk kasih sayangnya terhadap anaknya. Selanjutnya kutipan yang menunjukkan kasih sayang Ibuk terhadap anakanya adalah sebagai berikut.

“Le, kamu sekarang sudah mandiri. Udah punya uang. Terus hati-hati ya. Jaga diri. Ibuk gak tahu kotamu itu seperti apa. Hatimu harus dijaga. Tetap seperti yang dulu,” pesan Ibuk yang selalu menjaga Bayek (Setyawan, 2016: 174).

Pada kutipan di atas terlihat sikap Ibuk yang selalu hadir menjaga Bayek dalam kejauhan. Nasihat-nasihat yang Ibuk berikan kepada anak yang berada di kejauhan membuat Bayek tenang. Kasih sayang yang Ibuk berikan kepada Bayek tiada batas hingga menembus

69

kota luas atau luar Negeri. Tidak hanya berhenti disitu, kasih sayang Ibuk masih berlanjut pada kutipan sebagai berikut.

“Le, sudah cukup kamu membantu keluarga. Sekarang waktumu. Waktumu untuk membangun hidupmu. Ini sudah lebih dari cukup,”kata Ibuk yang terdengar luruh (Setyawan, 2016: 219).

Kasih sayang Ibuk dalam bentuk sikap, kerap ia lakukan kepada Bayek anak lelaki satu-satunya. Pada kutipan tersebut, terlihat Ibuk menasehati Bayek agar berhenti membantu keluarganya dalam bentuk material. Ibuk sudah merasa tercukupi atas materi yang diberikan Bayek untuknya.

(2) Nilai pendidikan sosial dalam bentuk sabar pada novel Ibuk dapat dilihat pada kutipan berikut.

Di bulan ketiga, ketika mencuci baju di belakang rumah, Ibuk merasa sesuatu mengalir di kakinya. Ada darah menetes di betisnya. Ia segera pergi ke bidan desa langganannya. Ternyata Ibuk keguguran. Ibuk kehilangan bayinya. Harapan Bapak untuk menggendong anak laki-laki gugur bersama gugurnya janin di rahim Ibuk. Enam bulan setelah keguguran, Ibuk hamil lagi. bapak dan Ibuk kembali menaruh harapan besar untuk memiliki anak laki-laki dari kehamilan kali ini (Setyawan, 2016: 34-35)

Tokoh Ibuk memiliki nilai karakter sabar berupa sikap tahan dalam menghadapi cobaan. Hal ini terbukti saat Ibuk mengalami keguguran di bulan ketiga. Sabar yang dimiliki Ibuk menghasilkan penantian berharga setelah enam bulan mengalami keguguran, perut Ibuk berisi janin kembali, sehingga peluang untuk memiliki anak laki-laki menghampiri Bapak dan Ibuk. Selanjutnya sikap sabar dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan terdapat pada kutipan berikut.

“Buk... udah masak tah!" teriak Rini dari belakang rumah.

“Sebentar... lima menit lagi. udah mau mateng iki. Sebentar lagi ya,”jawab Ibuk sambil menggoreng empal.

“Buk, wis luwe iki!” teriak Bayek.

“Iya, iya... 5 menit lagi,”bujuk Ibuk.

“Dari tadi 5 menit ae!” teriak Bayek lagi. Akhirnya empal selesai digoreng!

“Satu-satu ya. Ibuk Cuma punya tujuh iris,” pesan Ibuk (Setyawan, 2016: 47).

Pada penggalan kutipan tersebut, terlihat sikap Ibuk yang sabar berupa tidak lekas marah dan bersikap tenang. Dengan sikap sabar, Ibuk mampu mengendalikan keramaian yang terjadi di dalam rumahnya karena masakannya belum kunjung matang. Ibuk mampu membujuk anak-anak hingga sabar menanti masakannya siap untuk di makan. Selain pada kutipan tersebut, terdapat kutipan lain yang menunjukkan bentuk sikap sabar Ibuk terhadap anak-anaknya, sebagai berikut.

“Buk, beli buku baru entar malam ya?” rayu Bayek.

70

“Buk, bayar SPP. Ini sudah tanggal 10...,” keluh Bayek.

“Buk, aku sekolah SMP ya tahun depan,” kata Isa.

“Buk, aku mesti beli seragam koor baru,” keluh Bayek lagi.

“Buk, masak opo?” tanya Rini

“Buk...”

“Buk...” (Setyawan, 2016: 58).

Sabar yang ditunjukkan Ibuk terlihat pada kutipan di atas. Ibuk tidak lekas marah dan bersikap tenang saat menghadapi anak-anaknya yang mengeluh. Ibuk dengan sabar menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan segala siasat yang Ibuk miliki karena Ibuk tak mau melihat anak-anaknya bersedih. Selanjutnya kutipan yang menunjukkan bentuk sikap sabar adalah, berikut ini.

“Nah, anak ini mungkin mati suri,” kilah Mbak Carik lirih.

Ibuk menangis dan mengelus pipi Bayek yang tertidur dengan tenag.

“Mati suri, iku nopo mbah?” tanya Ibuk terisak-isak.

“Anak ini tidak apa-apa, Nah. Masih istirahat kita berdoa,” kata Mbah Carik

“Mbah, bagaimana kalau Bayek tidak bangun sampai Zuhur?” tanya Ibuk. Air mata Ibuk menetes di pipi Bayek.

“Kita hanya bisa pasrah Nah,” jawab Mbah Carik lirih (Setyawan, 2016: 83-84). Pada kutipan tersebut terlihat, cobaan tengah menguji Ibuk. Bayek yang biasanya terbangun jam 5, tidak ada tanda-tanda untuk membuka mata. Kepanikan Ibuk begitu menggelora, hingga Ia membawa Bayek ke dokter meski tidak ada kepastian hasil dan membawa Bayek ke rumah Mbah Carik. Sosok Mbah Carik dikenal sebagai orang ngerti (pintar) di kampungnya. Saat Mbah Carik menyeruh untuk pasrah, Ibuk hanya bisa menangis sambil menunggu. Selang beberapa jam, atas doa dan kesabaran Ibuk, Bayek mulai membuka mulut dan perlahan mulai membuka mata. Hal berikutnya yang menunjukkan bentuk sikap sabar adalah pada kutipan berikut.

“Buk, aku pingin les bahasa Inggris!” pinta Bayek di tengah perjalanan ke sekolah.

“Lah, kan di SD belum ada pelajaran bahasa Inggris?” Ibuk bertanya

“Iyo Buk, tapi teman-teman sudah pada belajar bahasa Inggris. Apalagi Nanda! Dia sudah bisa tanya-tanya pakai bahasa Inggris, loh!” jawab Bayek ketus.

“Kamu bisa belajar sama Mbak Isa dulu. Dia kan sudah belajar bahasa Inggris... Eh le, itu tempat Bapak dulu bekerja!” Ibuk mencoba mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk sebuah rumah besar di pinggir jalan (Setyawan, 2016: 94).

Penggalan kutipan tersebut, memperlihatkan sabar dalam menghadapi anak-anaknya. Siasat demi siasat Ia gunakan untuk mengalihkan pembicaraan tanpa meninggalkan kesedihan di hati anaknya. Ibuk tak pernah bosan untuk menjawab rengekan anaknya, Ia tetap sabar tanpa amarah dalam mendidik anaknya saat permintaan tidak dapat diwujudkannya. Tidak hanya berhenti disitu, sikap sabar Ibuk masih berlanjut pada kutipan sebagai berikut.

Setelah 40 hari tahlilan Bapak, Ibuk mulai berjalan pagi kembali, ke kaki Gunung Panderman. Sehabis menanak nasi dan shalat Subuh, seperti biasa Ibuk mengganti daster batiknya dengan celana training, kaos, dan jaket. Ketika akan memakai sepatu olah raganya, di sana, di sudut dapur, Ibuk melihat sepatu Bapak. Ibuk menitikkan air

71

mata. Di sana ia melihat Bapak yang selalu jalan pagi bersamanya (Setyawan, 2016: 284).

Kesabaran Ibuk serta ketabahan nampak pada kutipan di atas. Cobaan yang dialami Ibuk begitu mendalam lantaran ditinggalkan Bapak untuk menghadap sang Pencipta. Ibuk yang mulai beraktivitas setelah 40 hari Bapak menunjukkan sikap kerelaan atau keikhlasan atas kepergian Bapak meskipun itu berat.

(3) Nilai pendidikan sosial dalam bentuk pekerja keras pada novel Ibuk dapat dilihat pada