• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN JURNALIS DALAM MENULIS PANTUN GUNA MEMBENTUK KARAKTER ANAK

Maulina Hendrik

Prodi PJKR, STKIP Muhammadiyah Bangka Belitung maulinahendrik@gmail.com

Abstrak

Pantun merupakan karya sastra lama yang hingga saat ini masih dilestarikan, sehingga pantun selalu dikenal di setiap daerah kepulauan negara Indonesia. Pantun memiliki beranekaragam jenis, di antaranya pantun nasehat, pantun humor, pantun berkasih sayang, pantun politik, dan sebagainya. Setiap jenis pantun tersebut memiliki makna yang dapat membentuk karakter pribadi seseorang khususnya siswa. Di satuan pendidikan baik pendidikan sekolah dasar hingga pendidikan menengah, karya sastra ini dijadikan salah satu materi pembelajaran. Meskipun pantun telah mendunia, namun tidak semua orang dapat berpantun dengan baik khususnya di tingkat pelajar. Dalam pembelajaran, pantun dianggap sulit karena harus mengikuti syarat penulisan yang tepat. Selain itu, setiap pemantun harus memiliki perbendaharaan kata yang banyak agar dapat mengolaborasikan kata-kata tersebut hingga menjadi pantun yang indah dan bermakna. Agar pantun dapat dengan mudah dikonsumsi oleh para pelajar, maka diperlukan sebuah model pembelajaran.

Model pembelajaran jurnalis merupakan alternatif model yang dapat digunakan pendidik dalam membantu peserta didik menulis pantun. Model pembelajaran tersebut diadobsi dari jurnalis (wartawan) surat kabar melalui tiga tahapan kerja, yaitu: amati, tulis, dan kembangkan. Ketiga tahapan tersebut digunakan dalam proses menulis pantun, mulai dari mengamati lingkungan sekitar, menulis pokok-pokok penting, dan kembangkan pokok-pokok tersebut menjadi kalimat yang berangkai. Dengan demikian, fokus kajian ini diarahkan pada penulisan pantun dengan menggunakan model pembelajaran jurnalis yang akan menghasilkan karakter baik yang tergambar dari hasil penulisan maupun kepribadian si penulis. Hasil kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi kepada pendidik baik di satuan pendidikan sekolah dasar hingga pendidikan menengah dan pihak-pihak terkait agar dapat melaksanakan pendidikan karakter dengan memanfaatkan model pembelajaran ini dalam pembelajaran berpantun maupun pembelajaran sastra lainnya.

Kata kunci: model pembelajaran jurnalis, menulis pantun, pembentukan karakter

PENDAHULUAN

Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa produktif yang melibatkan daya pikir sebagai komponen utama untuk mengembangkan kreativitas secara tertulis melalui ide, pikiran, pengalaman, dan perasaan. Seperti halnya Kartini (2011: 2) mengatakan “Pembelajaran menulis memberikan berbagai manfaat diantaranya mengembangkan kreativitas, menanamkan kepercayaan diri dan keberanian serta membantu siswa menuangkan ide, pikiran, pengalaman, perasaan dan cara memandang kehidupan.” Proses menuangkan atau menstranfer ide secara tertulis memerlukan kesungguhan untuk mengonstruksi dan merekonstruksinya. Proses tersebut harus melalui proses belajar mengajar. Seperti yang diungkapkan oleh Resmini (2006: 8) “Kemampuan menulis tidak dapat diperoleh secara alamiah, tetapi melalui proses belajar mengajar.” Namun, proses inilah yang menjadi hambatan bagi seseorang untuk menulis khususnya menulis pantun.

182

Pantun sebagai salah satu karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat memegang peranan yang sangat penting. Dahulu, orang mengungkapkan perasaan dan keinginan hatinya melalui pantun, sehingga pantun disebut sebagai sarana ekspresi. Selain itu, pantun mampu mewakili tingkat dan derajat keilmuan seseorang. Hajar (2011: 11) mengatakan “pantun dapat dikatakan sudah menjadi ciri khas tersendiri dan besebati benar bagi masyarakat Melayu dalam pergaulan dan perhubungan sosial kemasyarakatan selama rentang masa zaman ke zaman.”

Saat ini, keberadaan pantun terkesan dipinggirkan. Jangankan masyarakat umum, sastrawan yang ahli dalam berkata-kata saja sudah jarang terlihat dalam menghasilkan karya pantunnya (Mafrukhi, 2007: 92). Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah kepulauan penghasil pantun. Eksistensi pantun di kepulauan tersebut sudah mulai tergusur oleh jenis-jenis karya seni yang lain. Kalaupun masih digunakan, pembaca pantun hanyalah sebagai pelengkap acara bukan sebagai pewarisan nilai-nilai. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Effendy (2004: 77) yang mengatakan bahwa dalam kehidupan masa kini, pantun hidup dan berkembang, tetapi isinya tidak lagi berpuncak kepada nilai-nilai luhur budaya asalnya.

Sangat disayangkan bila sebuah karya sastra seperti pantun diabaikan keberadaannya, padahal dalam sastra daerah terkandung nilai-nilai budaya yang tinggi. Nilai-nilai tersebut akan sirna ditelan zaman jika tidak dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari. Ikram (1997: 32) menyatakan bahwa akan tumbuh jurang yang dalam antara sastra lama manusia modern jika tidak ada pemeliharaan yang terarah dalam bentuk pelajaran sekolah dan pengadaan buku mengenai sastra.

Pelestarian pantun sebagai sebuah karya sastra dan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral akan lebih efektif bila pantun yang berkembang di masyarakat itu digunakan atau dimasukkan ke dalam bahan ajar kesusastraan di sekolah. Selain menyampaikan pesan moral, pantun dapat menumbuhkan berbagai nilai karakter dalam diri seseorang. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hajar (2011: 18) yang menyatakan bahwa ia meyakini benar baik dipandang dari asepek ilmiah maupun aspek sosial kultural bahwa pengembangan budaya pantun merupakan salah satu upaya membangun karakter bangsa (character building). Dengan keunikan pantun sebagai bahasa sastra yang santun dan mendidik maupun menghibur, dapat menanamkan nilai-nilai budaya santun dan berperilaku baik serta dapat melatih nalar dan kecerdasan para peserta didik dalam mengolah kata-kata yang ada dalam pikiran mereka.

Permasalahan di atas harus dicari solusi terbaik agar masyarakat khususnya para pelajar mampu dan mahir menulis pantun sehingga terbentuk nilai-nilai karakter dalam dirinya. Oleh karena itu, penulis bermaksud memberikan solusi alternatif dalam penulisan ini yaitu dengan menggunakan model pembelajaran jurnalis.

Model pembelajaran jurnalis merupakan model pembelajaran yang meniru tugas atau langkah kerja para jurnalis (wartawan) surat kabar. Secara umum, langkah kerja para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya adalah mencari, mengolah, dan menyajikan berita agar dapat dibaca masyarakat (khalayak).

PEMBAHASAN

Model Pembelajaran Jurnalis

Jurnalis atau disebut juga wartawan merupakan orang yang menghimpun dan mencari data berita, mengolah dan menulis naskah berita yang kemudian dilaporkan. Seseorang dapat dikatakan seorang jurnalis apabila sudah diakui eksistensinya dalam bidang jurnalistik yaitu wartawan di suatu media massa, khususnya media cetak atau surat kabar. Oleh karena itu,

183

peran wartawan sangat kompleks dalam menentukan citra suatu media, karena maju dan berkembangnya citra suatu media cetak di mata masyarakat atau pembaca surat kabar tergantung dari proses kerja wartawan dalam mencari berita, mengolah, dan menyajikan berita tersebut.

1) Mencari Berita

Mencari atau meliput berita merupakan tugas utama para jurnalis. Dalam pencarian berita, seorang wartawan atau reporter memperoleh bahan berita melalui liputan atau mencari tahu secara langsung ke lapangan. Menurut Sumadiria (2006: 94), “berita yang baik adalah hasil perencanaan yang baik.” Selama wartawan melakukan kegiatan wawancara dengan narasumber, maka kegiatan tersebut dinamakan mencari berita (news hunting).

2) Mengolah Berita

Setelah mencari berita, wartawan melanjutkan tugas keduanya yaitu mengolah berita agar dapat disajikan dalam surat kabar. Mengolah diartikan sebagai menyusun berita dalam pola yang baku dan mudah dipahami isinya oleh pembaca.

3) Menyunting Berita

Menyunting berita dalam surat kabar memegang fungsi yang sangat penting. Tebbel (2003: 72) mengatakan “perwajahan dan presentasi sebuah surat kabar umumnya sangat tergantung dari keahlian para redaktur dalam menyunting isi berita. Menyunting berita dapat dilakukan langsung oleh wartawan. Selanjutnya, naskah berita yang sudah diubah menjadi copy berita, akan dikirim ke percetakan untuk dicetak dan disebarluaskan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran jurnalis dalam menulis pantun dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu mencari kata, mengolah atau menyusun kata demi kata menjadi larik pantun, dan menyunting atau mengedit larik-larik di tiap baris pantun.

Menulis Pantun

Pantun merupakan bagian dari puisi lama yang digunakan orang sebagai alat komunikasi. Pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan (Fang, 1993: 195). Selain itu, Sugiarto (2008:10) berpendapat “Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang memiliki beberapa ciri, yaitu (1) dalam setiap bait terdiri atas empat baris, (2) baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi, (3) jumlah suku kata setiap baris antara delapan sampai dengan dua belas suku kata, dan (4) rima akhir setiap bait adalah a-b-a-b.”

Pantun berasal dari kata tun yang terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga, tuntun yang berarti teratur, dalam bahasa Tagalog disebut “tonton bercakap” yang berarti menurut aturan tertentu. Selain itu, keberadaan pantun juga terdapat dalam bahasa Jawa Kuno “tuntun” yang berarti benang dan atuntun yang berarti teratur dan matuntun yang berarti memimpin. Dalam bahasa Toba, kata ‘pantun’ berarti kesopanan, kehormatan.

Bahasa Melayu mengartikan pantun sebagai quatrian, yaitu sajak yang berbaris empat, dengan sajaknya a-b-a-b, sedangkan dalam bahasa Sunda, pantun berarti cerita panjang yang bersajak dan diiring oleh musik.

Berdasarkan pengertian pantun dari beberapa bahasa Nusantara, dapat disimpulkan bahwa pantun merupakan karya sastra lama berbentuk puisi yang digunakan sebagai alat komunikasi, disusun secara teratur, dengan bahasa yang sopan.

184 1) Setiap untai (bait) terdiri atas empat larik (baris).

Yaitu sebuah pantun tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang barisnya dari empat baris.

Contoh:

Hari raya serba baru Dari baju hingga kacamata Ikuti saja nasehat guru Agar tercapai cita-cita

2) Terdiri dari 8-12 suku kata pada tiap larik atau baris. Contoh:

Hari raya serba baru Dari baju hingga kacamata Ikuti saja nasehat guru Agar tercapai cita-cita

Dalam kalimat Hari raya serba baru terdapat delapan suku kata, yaitu ha-ri-ra-ya-ser-ba-ba-ru. Dari baju hingga kacamata memiliki sepuluh suku kata, yaitu Da-ri-ba-ju hing-ga-ka-ca-ma-ta. Bagitu pula dengan baris isi yang masing-masing memiliki sepuluh dan sembilan suku kata.

3) Bersajak ab-ab

Yaitu maksud sajak atau rima disini adalah kemiripan pengucapan atau persamaan bunyi pengucapan antar baris 1 dengan baris 3 dan baris 2 dengan baris 4.

Contoh:

Hari raya serba baru (a) Dari baju hingga kacamata (b) Ikuti saja nasehat guru (a) Agar tercapai cita-cita (b)

Pantun di atas dianggap benar karena baris 1 dengan baris 3 memiliki kemiripan bunyi atau mempunyai sajak yang sama yaitu (a). Begitu juga pada baris 2 dengan baris 4 memiliki kemiripan bunyi atau mempunyai sajak yang sama yaitu (b).

4) Baris 1 dan baris 2 disebut sampiran, sedangkan baris 3 dengan baris 4 disebut isi pantun. Contoh:

Hari raya serba baru (a) Dari baju hingga kacamata (b)

Dua baris di atas merupakan sampiran dari sebuah pantun. Sampiran itu sendiri adalah kiasan yang dijadikan isi di dalam pantun.

Contoh:

Ikuti saja nasehat guru (baris 3) Agar tercapai cita-cita (baris 4)

Dua baris di atas merupakan isi pantun tersebut. Isi pantun adalah apa yang akan adisampaikan si penulis dalam pantun yang dibuatnya.

Wendi Widya (2009: 6-13) menyatakan bahwa berdasarkan isinya, pantun dapat dikelompokkan menjadi lima jenis sebagai berikut.

185

Pantun anak-anak berisi tentang dunia anak-anak. Umumnya pantun anak-anak digunakan pada saat bermain atau bersenda-gurau. Pantun anak-anak menggambarkan perasaan yang dialami anak-anak. Pantun anak dibagi menjadi pantun sukacita dan pantun dukacita.

Pantun sukacita, berisi ungkapan yang menyatakan perasaan kegembiraan yang bisa terjadi dalam semua kejadian dan peristiwa, misalnya kegembiraan saat bertemu keluarga, mendapat barang baru, bermain atau saat mengungkapkan rasa sayang pada keluarga.

Contoh:

Hitam-hitam si buah manggis biar hitam manis rasanya Cup cup jangan menangis ini mainan adik yang punya

Pantun dukacita, berisi ungkapan yang menyatakan perasaan sedih, misalnya, saat ditinggal orang tua, tidak punya uang, dimusuhi teman.

Contoh:

Jalan-jalan ke kota Panda lihat itik berlari-lari Ibu Bapak kutiada kini aku tinggal sendiri

b) Pantun Remaja (Muda) atau Dewasa

Pantun remaja atau dewasa menggambarkan kehidupan orang remaja dan dewasa. Tema pantun ini biasanya tentang cinta dan perjuangan hidup.

Pantun perkenalan, berisi tentang ungkapan perasaan hati atau pujian terhadap orang yang ingin diajak berkenalan. Dahulu pantun perkenalan digunakan oleh pemuda untuk berkenalan dengan pemudi.

Contoh:

Pergi ke hutan membawa panah tidak lupa membawa palu Gadis manis berbaju merah ingin berkenalan tetapi malu

Pantun berkasih-kasihan, berisi curahan hati, perasaan senang, perasaan tidak ingin berpisah, rindu, pujian dan sanjungan.

Contoh:

Aku terkenang sebuah lagu lagu indah syair ternama Kalau cinta janganlah ragu hidup dan mati kita bersama

Pantun perpisahan atau pantun perceraian dibuat untuk menyatakan akhir dari hubungan berkasih-kasihan. Pantun ini berisi kenangan indah yang pernah dilalui, perasaan sedih, atau tidak ingin berpisah.

Contoh:

Beli motor buatan Jepang motor dibawa keliling Bali Jangan bimbang adikku sayang aku pasti akan kembali

186

Pantun orang tua berisi tentang pengajaran yang diberikan orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Selain pengajaran, pantun orang tua berisi nasehat, ibarat (perumpamaan) atau sindiran.

Pantun adat, berisi pengajaran untuk menjaga adat yang berlaku sehingga anak muda diharapkan tidak menyimpang dari adat.

Contoh:

Lebat daun bunga tanjung berbau harum bunga cempaka Adat dijaga pusaka dijunjung baru terpelihara adat pusaka

Pantun nasehat, dibuat agar anak selalu ingat nasehat yang diberikan. Contoh:

Siang terang karena matahari kalau malam menjadi pekat Berbuatlah baik setiap hari jangan sampai berbuat jahat.

Pantun agama, berisi pengajaran untuk taat pada agama yang dianut. Contoh:

Anak ayam turun sepuluh mati satu tinggal sembilan Bangun pagi sembayang subuh minta ampun kepada Tuhan. d) Pantun Teka-Teki

Pantun teka-teki berisi pertanyaan yang bisa dijawab. Pantun ini biasa digunakan anak-anak untuk bermain tebak-tebakan atau berbalas pantun.

Contoh:

Kalau Tuan bawa keladi bawakan juga si pucuk rebung Kalau Tuan bijak bestari hewan apa tanduk di hidung? e) Pantun Jenaka

Pantun jenaka digunakan untuk menghibur hati, bersenang-senang, dan akan membuat orang lain tertawa.

Contoh:

Di sini kosong di sana kosong tak ada batang pohon tembakau Bukannya saya berkata bohong ada katak memikul kerbau

Berdasarkan uraian di atas, diharapkan siswa terampil menulis pantun dengan berbagai jenis yang ada.

Pembentukan Karakter

Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (dalam Aunillah, 2011:19) karakter adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak.” Oleh karena itu, Mansyur (2014:6) mengartikan,

187

“Pendidikan karakter adalah upaya pendidik untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.”

Berdasarkan kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter yang akan menjadi ciri atau kepribadian seseorang berdasarkan keputusan baik-buruknya sesuatu yang dikerjakannya.

Pijakan utama yang harus dijadikan landasan dalam menerapkan pendidikan karakter adalah nilai moral yang berasal dari agama. Agama menentukan seseorang berkepribadian baik atau buruk. Orang yang tidak jujur, kejam, tidak disiplin, tidak peduli, tidak percaya diri disebut orang yang berkepribadian buruk. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral (agama) akan memunculkan karakter yang baik pula. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Mantan Presiden RI, Soekarno. Berulang-ulang beliau menegaskan, “Agama adalah unsur mutlak dalam National dan character building.” (dalam Sumantri, 2010)

Seseorang dikatakan memiliki karakter yang baik apabila tergolong ke dalam 18 nilai-nilai pendidikan karakter bangsa (Kemendiknas dalam Mansyur, 2014:6-7), yaitu: a. Religius, bersikap dan berperilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama, toleran dan hidup rukun terhadap pemeluk dan pelaksanaan ibadah agama lain. b. Jujur, berperilaku sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, perbuatan, dan pekerjaan. c. Toleransi, menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. d. Disiplin, tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. e. Kerja keras, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas atau kewajiban. f. Kreatif, berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. g. Mandiri, tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. h. Demokratis, menilai sama, hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain. i. Rasa ingin tahu, selalu berupaya mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. j. Semangat kebangsaan, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. k. Cinta tanah air, menunjukkan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan sosial dan budaya, ekonomi dan politik, serta bangsa. l. Menghargai prestasi, mendorong diri sendiri untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. m. Bersahabat/Komunikatif, tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. n. Cinta damai, sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. o. Gemar membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. p. Peduli lingkungan, berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. q. Peduli sosial, selalu memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggung jawab, melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan untuk diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Implementasi Model Pembelajaran Jurnalis dalam Menulis Pantun Guna Membentuk Karakter Anak

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menulis pantun menggunakan model pembelajaran jurnalis sebagai berikut.

188

Sebelum menulis, siapkan terlebih dahulu berbagai kata yang terdapat di lingkungan sekitar kemudian kata-kata tersebut dicatat.

2) Penulis menyusun dan mengembangkan kata menjadi kalimat

Setelah kata-kata ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah menyusun dan mengembangkan sebagian kata-kata tersebut menjadi kalimat yang bermakna.

Contoh 1:

Seseorang sedang berada di dalam kelas, ia manfaatkan ruang kelas beserta isinya untuk menulis pantun. Contoh kata-kata yang telah dicari: topi, dasi, papan tulis, meja, kursi, buku, lemari, penghapus, spidol, penggaris, pensil, guru, siswa, jendela, jam dinding, dan sebagainya.

Kembangkan menjadi kalimat papan tulis di samping lemari

banyak buku tersusun sejajar jangan lupa setiap hari

bersihkan kelas sebelum belajar susun buku di atas meja

pertanda belajar siap dimulai ayo teman mari mengeja tegakkan badan jangan lunglai Contoh 2:

kata-kata yang ditemukan:

bunga, tangkai, pasir, pot, rumput, batu, lidi Banyak bunga, bunga bertangkai

tumbuh dan berkembang di atas pasir jika hendak menjadi anak yang pandai perbanyak membaca tafsir

tangkai bunga tangkai berduri tak sama tajam dengan batang lidi dalam hidup jangan suka iri hidup di dunia tak kan abadi

PENUTUP

Pantun sebagai salah satu karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat memegang peranan yang sangat penting. Namun sayangnya, keberadaan pantun saat ini mulai terpinggirkan. Hal tersebut disebabkan sulitnya seseorang mencari kata yang tepat untuk dipadukan sehingga memiliki makna.

Model pembelajaran jurnalis merupakan salah satu model pembelajaran yang diyakini mampu membantu seseorang dalam mengungkapkan perasaan dan keinginannya melalui pantun. Model ini mengadobsi langkah kerja para jurnalis, yaitu mencari, mengolah, dan menyunting/mengembangkan. Ketiga langkah tersebut dilakukan agar dapat menulis pantun dengan mudah dan tepat. Hasil yang diperoleh setelah menulis pantun adalah akan terbentuk

189

karakter di setiap diri penulis. Penulis akan mampu memahami arti bekerja keras, disiplin, tanggung jawab, jujur, religius, dan sebagainya dengan menulis pantun.

DAFTAR PUSTAKA

Aunillah, N.I. 2011. Panduan menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta: Laksana.

Effendy, T. 2004. Tunjuk ajar dalam pantun Melayu. Yogyakarta: Adi Cita. Hajar, E.A. 2011. Cerdas cermat pantun. Pekanbaru: Unri Press.

Ikram, A. 1997. Filologi Nusantara. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Kartini. 2011. “Peningkatan kemampuan menulis puisi bebas dengan teknik menulis akrostik pada siswa kelas VA MI Semplak Pilar, Kabupaten Bogor” dalam Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa, 1 (1), hlm. 1—11.

Mafrukhi, dkk. 2007. Kompeten berbahasa Indonesia, untuk SMA kelas XII. Jakarta: Erlangga.

Mansyur. 2014. Implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan. Jurnal Artikel LPMP Sulsel, 1—13.

Resmini, N. 2006. Pembinaan dan pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung:UPI PRESS.

Sumandiria. 2006. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Cetakan Kedua. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sumantri, E. 2010. Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan Nilai: Tinjauan Filosofis, Agama, dan Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter Membangun Bangsa Beradab. Prodi Pendidikan Umum, SPs UPI, Bandung, 28 Juli 2010.

190