• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINERGI GERAKAN LITERASI SEKOLAH DAN GERAKAN SOSIAL

SINERGI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN LITERASI SASTRA DENGAN GERAKAN SOSIAL

SINERGI GERAKAN LITERASI SEKOLAH DAN GERAKAN SOSIAL

Selain sebagai tempat tumbuh kembang anak, sekolah adalah lembaga yang berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan budaya pada generasi muda. Budaya-budaya yang ingin ditumbuhkan tentu saja budaya yang baik, yang memperkuat jati diri bangsa. Salah satu budaya yang ingin ditumbuhkan di sekolah adalah budaya membaca dan menulis pada generasi muda.

Menjadikan sekolah sebagai tempat menyemai budaya membaca dan menulis salah satunya adalah karena selama ini banyak tokoh-tokoh sastra yang memulai karier kepengarangan mereka dari bangku sekolah. Beberapa nama yang memulai karier kepengarangan mereka dari bangku sekolah seperti Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan lain sebagainya.

Sitor Situmorang dalam tulisannya “Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu: Proses Sajak” yang dimuat dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Gramedia, 1984: 1) menyampaikan kesannya terhadap pelajaran sastra di sekolah. Ia mengatakan bahwa pelajaran sastra di sekolah yang diberi terbatas saja, yaitu berupa kutipan pengisi halaman buku pelajaran bahasa Belanda, bunga rampai sastra dunia (Eropa) sebagai kelengkapan budaya untuk orang terpelajar sesuai dengan selera Eropa… (Situmorang, 1984: 6).

Dalam kutipan itu, seorang Sitor Situmorang yang kemudian dikenal sebagai penyair itu mengaku bahwa pelajaran sastra di sekolah (walau sangat terbatas) sangat mempengaruhi proses kreatif kepengarangannya. Tentu saja pilihannya menempuh jalan sastra sebagai bagian dari hidup dan perjuangannya. Selain Sitor ada Nasjah Djamin dalam tulisannya “Si Tampi dan Si Buyung Ketek” juga mengakui bahwa pelajaran sastra di sekolah berpengaruh pada proses kreatifnya sebagai pengarang roman.

Di kelas 7 SD (dulu SD 7 tahun) banyak buku cerita untuk murid, dalam bahasa Belanda tentunya. Mulai dari buku-buku pengarang Belanda untuk remaja hingga buku-buku Karl May, Jules Verne, dan Alexander Dumas. Buku-buku ini habis ditelan bahkan dimamah-mamah pula kembali. Karl May menumbuhkan sifat avontur, sifat kebenaran dan kejujuran, dan sifat kesatriaan bagi jiwa saya yang masih puber. Jules Verse menimbulkan avontur ke dunia teknis dengan cerita-cerita kapal selam Kapten Nemo dan alam kehidupan di bawah laut yang dipaparkannya (Djamin, 1984: 28).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa bagi seorang Nasjah Djamin yang dikenal sebagai pengarang Indonesia proses kreatifnya dimulai dari membaca buku-buku sastra di sekolah. Sekolah baginya menjadi pintu untuk memancing kreativitasnya dalam mengarang. Sekolah berperan besar dalam menumbuhkan kecintaan Nasjah Djamin pada karya sastra.

Dua tokoh di atas, Sitor dan Djamin tentu hanya sebagian kecil sastrawan Indonesia yang bersaksi bahwa pelajaran sastra di sekolah sangat berpengaruh pada jalan hidup kepengarangan seorang sastrawan. Jika dihubungkan dengan kondisi saat ini, pembelajaran sastra di sekolah tentu sejatinya mampu memancing lahirnya sastrawan-sastrawan besar Indonesia. Jika mereka dibekali nilai-nilai kebangsaan, maka sastrawan-sastrawan produk institusi pendidikan itu akan melahirkan karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai atau karakter bangsa.

Pemerintah sepertinya juga menyadari hal tersebut di atas, bahwa lembaga pendidikan adalah tempat yang baik untuk menyemai budaya membaca dan menulis. Oleh sebab itu di era pemerintahan Presiden Joko Widodo telah dikembangkan Gerakan Literasi Sekolah yang

45

mengacu pada sembilan agenda sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud. Butir-butir Nawacita yang berkaitan langsung adalah butir ke (5) meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; (6) meningkatkan produktivitas rakyat dandaya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; (8) melakukan revolusi karakter bangsa; (9) memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Persoalannya, sampai saat ini mengapa aktivitas membaca dan menulis masih belum membudaya pada masyarakat Indonesia? Gerakan Literasi Sekolah tidak begitu keras gaungnya. Bahkan ditelan oleh suara-suara Gerakan Literasi yang dikumandangkan oleh masyarakat. Hal itu tentu tidak salah, karena pada dasarnya perlu adanya sinergi program pemerintah dengan gerakan-gerakan sosial yang dibangun masyarakat.

Jika merujuk pada teori kritis, maka dapat dilihat bahwa teori kritis menekankan pada upaya untuk mengadakan tindakan-tindakan nyata dalam mengatasi sebuah persoalan. Teori kritis percaya bahwa persoalan sosial akan selesai jika ada aktor-aktor intelektual yang berperan menyelesaikan persoalan masyarakat sampai ke tingkat pelaksanaan di lapangan. Hal ini seperti yang disampaikan Littlejohn (2002: 207), bahwa teori kritis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya upaya untuk memahami pengalaman kehidupan orang-orang dalam konteks sosialnya; (2) adanya upaya untuk menemukan ketidakbenaran dalam suatu konstruksi sosial kemasyarakatan yang biasanya terdapat dalam kehidupan sehari-hari; dan (3) adanya upaya sadar untuk menyatukan teori dan tindakan.

Jika diuraikan penjelasan Litlejohn tentang teori kritis di atas, maka pertama yang dapat dilakukan adalah dengan meminjam gagasan dan metodologi dari pendekatan interpretasi dengan memberikan penekanan pada persoalan penindasan. Dalam hal ini perlu upaya memahami pengalaman kehidupan masyarakat dalam konteks sosial. Bisa dilihat bahwa gerakan literasi yang sudah dicanangkan pemerintah, bahkan sudah diturunkan dalam bentuk program semestinya dipahami oleh masyarakat luas. Semangat gerakan literasi dengan berbagai kegiatan itu harus ditransfer kepada masyarakat luas dari berbagai lapisan sebagai sebuah usaha untuk membudayakan kegiatan membaca dan menulis di kalangan anak-anak muda, khususnya sekolah.

Upaya kedua dapat dilakukan dengan menemukan kondisi-kondisi yang melemahkan gerakan literasi itu di sekolah. Dalam hal ini harus ada upaya untuk menemukan persoalan-persoalan utama yang membuat tidak berjalannya budaya literasi di sekolah bahkan masyarakat. Dalam pengamatan saya, hal pertama dan kedua ini sudah dilakukan yaitu dalam bentuk sosialisasi dan beberapa kegiatan literasi. Namun hal ini masih terlihat belum efektif karena tidak menyentuh masyarakat akar rumput. Sementara hal kedua, yaitu menemukan persoalan-persoalan yang menghambat budaya membaca dan menulis di sekolah, tentu juga sudah dilakukan.

Jika hal ini sudah dilakukan, yaitu memahamkan masyarakat dan menemukan persoalan yang menghambat budaya membaca dan menulis, hal ini masih belum cukup, karena menurut teori kritis, harus ada hal ketiga yang dilakukan yaitu aksi nyata untuk membudayakan kegiatan membaca dan menulis itu di sekolah. Penulis melihat upaya ketiga ini yaitu aksi nyata dalam membudayakan membaca dan menulis justru ada pada komunitas-komunitas masyarakat seperti FLP.

Lebih lanjut Littlejohn (2002: 467) menyatakan bahwa pemikir kritis menguak kekuatan yang menindas dengan analisis dialektika yang membongkar isi perjuangan antara kekuatan yang berlawanan. Hal ini merupakan misi yang terdorong dari pekerjaan teori kritis yang menyibak kekuatan menindas dalam masyarakat dengan cara yang dapat membuat setiap orang mampu mempertanyakan konstruksi komunikasi setiap hari.

46

Kekuatan yang menindas ini berhubungan dengan hal kedua seperti yang diutarakan Litlejohn, bahwa ada hal-hal yang membuat budaya membaca dan menulis terhambat. Hal yang menghambat ini bisa jadi budaya lain seperti masuknya berbagai teknologi baru yang bagi anak-anak muda lebih menarik dibanding membaca dan menulis. Hal ini seperti acara-acara televisi, film, dan permainan game di internet. Secara sederhana hal-hal yang disebutkan inilah yang disebut teori kritis sebagai kekuatan yang menindas.

Lebih jauh, jika didalami, teori kritis pada dasarnya tidak selalu menekankan perbedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah. Karena perbedaan itu bukan permasalahan mendasar, akan tetapi apa yang terjadi dibalik pembedaan itulah yang menjadi permasalahan. Karena setelah terjadi pembedaan budaya menjadi budaya tinggi dan budaya rendah untuk kepentingan industri maka terjadi dominasi dari industri terhadap ide-ide kreator budaya (dalam industi buku terhadap penulis). Selanjutnya hal yang ditekankan oleh teori kritis bukan revolusi tetapi kesadaran pada individu-individu yang berhubungan dengan dunia industri.

Martin Jay (2005: 113) seperti yang ia kutip dari Herbert Marcuse menyebut bahwa teori akan menjaga kebenaran bahkan ketika praktik revolusioner melenceng dari jalannya. Praktik mengikuti kebenaran, bukan sebaliknya. Artinya kesadaran akan nilai-nilai kebenaran yang ada pada diri individu-individu pelaku industri budaya adalah nilai positif tanpa harus melakuka perubahan mendasar dari semua bidang tatanan kehidupan (revolusi).

Artinya, ketiga hal yang menjadi syarat teori kritis harus dijalankan, yaitu pemahaman terhadap persoalan yang terjadi pada masyarakat, yang kedua menemukan permasalahan yang terjadi dan ketiga melakukan aksi untuk mengatasi persoalan sosial itu. Ketiga hal itu pada dasarnya saling menguatkan, pemahaman akan membuat masyarakat bisa menilai mana kebenaran dan kesalahan, sementara aksi membuat masyarakat bisa mewujudkan hal-hal yang baik daalam lingkungannya. Jika salah satu dari ketiga hal itu tidak dilaksanakan, maka cita-cita untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik tidak akan terjadi.

Lebih jauh Martin Jay (2005: 58) mengungkapkan inti teori kritis sebagaimana yang dikemukakan oleh para pemikir kritis Mazhab Frankfurt itu adalah kebencian terhadap sistem filosofis yang tertutup. Menyajikan hal ini sedemikian rupa akan mendistorsi kandungannya yang tak terbatas dan memancing rasa ingin tahu. Teori kritis sebagaimana namanya diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap pemikir dan tradisi filsafat lain. Pekembangan teori kritis ini kemudian berlangsung melalui dialog. Kelahirannya berkarakter dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan kepada fenomena sosial. Hanya dengan mengkonfrontirnya dengan gagasan-gagasan sendiri, sebagai suatu virus bagi sistem lain barulah dapat dipahami sepenuhnya.

Dari sejarah kelahiran dan pemikiran yang melatarbelakanginya sudah dapat dilihat bahwa teori kritis memang lahir karena melihat gagasan-gagasan pendahulunya yang dianggap tidak relevan dengan zaman. Hal inilah yang membuat pemikir-pemikir kritis ini terus berdialog untuk menemukan metode baru dalam memandang fenomena sosial. Buah dari dialog-dialog ini semakin nyata ketika abad ke 19 dan pada pertengahan abad ke 20 berkembangnya kritik sosial yang berkaitan dengan budaya massa.

Menurut McQuail (2011: 126) hal ini terjadi di Inggris dengan munculnya teori kritis

(critical theory) yang lebih radikal seperti yang disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond Williams dan Stuart Hall. Serangan awal kritik sosial teori kritis ini menyerang komersialisasi dan upaya merendahkan nilai-nilai budaya. Selain itu juga untuk membela konsumen dan juga kaum buruh yang berhubungan dengan budaya massa sebagai korban pemilik modal.

47

Lebih lanjut McQuail menjelaskan bahwa teori kritis untuk selanjutnya sangat berhubungan dengan Mazhab Frankfurt dengan pemikir-pemikir utama seperti Theodor W Adorno, Max Horkheimer, Leo Lowenthal, Herbert Marcuse dan Walter Benjamin. Hal senada juga disampaikan Kellner bahwa Teori Kritis adalah sebuah terma yang bisa mengacu pada tradisi teoritis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt, yakni sekelompok penulis yang dihubungkan dengan Institut Penelitian Sosial di University of Frankfurt, Jerman. Awalnya tokoh-tokoh pemikir Jerman itu memulai sebuah perbincangan dengan tradisi pemikiran dalam bidang filsafat dan sosial Jerman, terutama Marx, Kant, Hegel dan Weber.

Dari sudut pandang ahli-ahli kritis di atas, keadaan Jerman yang sedang mengalami depresi ekonomi setelah Perang Dunia I membutuhkan interpretasi ulang. Dari pemikiran ini ahli kritis menentang ortodoksi Marxis sembari memperdalam keyakinan bahwa ketidakadilan dan penakhlukan telah membentuk dunia nyata. Dengan fokus pada kapitalisme yang terus berubah mereka awalnya menganalisis berbagai bentuk dominasi yang menyertai perubahan (Kincheloe dan McLaren dalam Denzin dan Lincoln, 2009: 171).

Ahli-ahli teori kritis ini kemudian melihat dalam teori kritis terdapat metode yang secara temporer membebaskan karya akademik dari bentuk-bentuk kekuasaan. Terkesan oleh perhatian dialektisnya teori kritis pada konstruksi sosial pengalaman, mereka mulai memandang disiplin keilmuan sebagai manifestasi diskursus dan relasi kekuasaan dari konteks sosial dan historis yang menghasilkannya. Lebih lanjut mereka mendefinisikan seorang kritis sebagai seorang peneliti atau ahli teori yang berusaha menggunakan karyanya sebagai sebuah bentuk kritik sosial atau kritik budaya dan menerima asumsi-asumsi dasar tertentu.

Secara sederhana dapat dilihat bahwa teori kritis mencoba merealisasikan ide-ide atau gagasan yang dimiliki oleh aktor-aktor intelektual seperti mahasiswa dan akademisi dalam kehidupan masyarakat luas. Contoh dari pernyataan di atas adalah gerakan sosial FLP yang tidak hanya gerakan intelektual dan gerakan moral, akan tetapi ide-ide dan gagasan untuk perubahan itu diwujudkan dalam bentuk memasyarakat budaya menulis dan membaca di tengah-tengah masyarakat.