• Tidak ada hasil yang ditemukan

NYANYIAN KEGELISAHAN BATIN SANG KAWISWARA Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana bgs_jelantik@unud.ac.id

Abstrak

Kesusastraan kidung merupakan salah satu genre karya sastra tradisional Indonesia yang cukup populer pada masanya, bahkan sampai sekarang ini masih dinyanyikan di Bali saat upacara tertentu. Salah satu karya sastra kidung yang dikenal di Bali disebut kidung sewa dharma. Isinya, mengenai pengarang yang mempunyai keinginan besar melakukan aktivitas mengarang untuk menyuarakan hakikat kebenaran. Dalam usahanya mencari insprirasi, pengarang menghadapi kenyataan betapa sulitnya mengarang. Karena kebingungannya, lalu mengembara (murang-murang lampah) berbekal karas (batu tulis) dan grip (anak batu tulis) melewati hutan yang lebat, melintasi tebing yang terjal, menyusuri sungai yang deras alirannya menuju laut, bersaudara dengan pohon, dan berteman dengan binatang di hutan. Di tengah hutan sekitar kaki gunung, ditemukanlah sebuah asrama sederhana. Di asrama itu, pengarang berjumpa dengan seorang guru yang bersedia menjadi gurunya. Sejak itu, pintu kebajikan dan kebenaran (dharma) terbuka lebar bagi dirinya untuk dieksplorasi. Berdasarkan alur cerita yang demikian itu, tampaklah kidung sewa dharma menempatkan diri pengarang (seniman) sendiri sebagai elemen terpenting. Karya sastra yang mengandung curahan hati, ucapan, proyeksi pikiran, dan perasaan pengarang, tepatnya dianalisis melalui pendekatan ekspresif. Di mana pusat perhatian dicurahkan kepada pengarang sendiri sebagai objek yang melahirkan produksi persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yang dikombinasikan. Melalui teks kekata yang dituangkan pengarang, analisis ini diupayakan untuk mengungkap ekspresi pengarang tentang jati dirinya dan tanggapannya terhadap lingkungan. Bagaimanakah perasaan, persepsi, dan pikirannya seperti tertuang di dalam teks yang dibangunnya.

Kata kunci: pengarang, kidung, ekspresif

PENDAHULUAN

Kesusastraan kidung merupakan salah satu genre karya sastra tradisional Indonesia yang cukup populer pada masanya, bahkan sampai sekarang ini masih dinyanyikan di Bali saat upacara tertentu. Sebagai karya sastra, kidung berbentuk puisi yang memiliki kaidah tertentu. Secara garis besar kaidah bentuknya dibangun dengan sejumlah silabel tertentu dalam setiap baitnya yang setiap lariknya diakhiri dengan bunyi vokal seperti /a/, /i/, /u/, dan lainnya. Bahasa kidung berasal dari kata asli bahasa Jawa Kuna atau Jawa Tengahan yang isinya mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. Disamping dari segi bahasa berkaitan erat dengan teks keagamaan (Hindu) dan difungsikan dalam berbagai jenis upacara agama Hindu, kesusastraan kidung berkaitan pula dengan seni musik Bali (Agastia, 1994: 8).

Pada perkembangannya kemudian, kesusastraan kidung dinyanyikan dengan diiringi instrumen gamelan berbentuk laras pelog 7. Di mana nadanya terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pamero. Hanya dalam kidung di Bali terdapat modulasi, yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah dan sangat banyak menggunakan nada pamero. Secara spesifik komposisi gamelan yang mengiringi kidung terdiri dari pangawit (pembuka), pamawak (pemendek),

158

panama (pemanjang), dan pangawak (batang tubuh) yang merupakan bagian utama (Bandem, 1983: 31).

Sebagai salah satu genre karya sastra, metrumnya disebut metrum tengahan yang pada dasarnya sama dengan prinsip metrum macapat di Jawa dan metrum gaguritan di Bali. Namun demikian, metrum kidung memiliki ciri khas tersendiri, yaitu tidak adanya pungtuasi yang memisahkan larik satu dengan larik berikutnya dalam satu bait. Kondisi ini, merupakan salah satu faktor yang menyulitkan dalam proses pembacaan teksnya yang tersurat di permukaan naskah. Pembaca, akan berhadapan dengan lautan suku kata, kadang lebih dari 60 suku kata dalam satu bait (Zoetmulder, 1983: 142).

Demikian pula saat teks Kidung Sewaka Dharma (KSD) yang tersurat di atas naskah dengan medium lontar itu dibaca. Kesulitan pertama yang dihadapi selain upaya transliterasi teksnya agar memudahkan pembacaannya ialah merekonsruksi metrum yang digunakan. Metrum yang digunakan baru diketahui setelah membaca akhir teks yang menyatakan metrum yang digunakan membangun KSD ialah pupuh wasi sawit (Iti Kidung Sewa Dharma,

puh wasi sawit) pada pupuh 40h.

Setelah teksnya dapat dibaca dengan konstruksi metrumnya, persoalan berikutnya ialah memahami isinya untuk selanjutnya dilakukan kritik teks. Sebagaimana diketahui aktivitas kritik teks tidak saja berhubungan dengan teori analisis yang tepat, tetapi juga berkaitan langsung dengan tipe karya sastra dan ketepatan teori yang digunakan untuk menganalisis.

Di dalam hal itu, teks kesusastraan yang disebut KSD itu merupakan bentuk karya sastra tradisional yang disebut kidung. Robson (1971: 23), pada saat menganalisis Kidung Wangbang Wideya, menyatakan bahwa menilai karya sastra kidung dalam bahasa Jawa Tengahan (dan Jawa Kuna) yang berasal dari Jawa maupun Bali mengalami kendala karena tiadanya buku-buku teori normatif tentang sastra kidung. Demikian pula Vickers (2005) yang meneliti Kidung Panji Malat Rasmi menyatakan adanya kendala yang sama. Hal sama juga dialamu Suarka (2007) saat menganalisis Kidung Tantri Pisaca Harana dan Soekatno (2009) saat menyusun disertasi berjudul Kidung Tantri Kediri: Kajian Filologis Sebuah Naskah Jawa Pertengahan.

Oleh sebab itu, analisis ini mengabaikan kesulitan-kesulitan itu dengan memfokuskan penelitian pada salah satu aspek penting dalam salah satu kesusastraan kidung yang disebut KSD, yaitu menyangkut aspek perasaan, persepsi, dan pikirannya seperti tertuang di dalam teksnya. Persoalan-persoalan lain yang berkaitan dengan keseluruhan aspek karya sastra KSD diabaikan untuk sementara. Namun demikian, penelitian dilakukan berdasarkan data internal yang tersedia melalui proses pembacaan teksnya.

PEMBAHASAN

Pengarang Kidung Sewa Dharma

Menelusuri siapa pengarang karya sastra tradisional mengalami kendala karena sifatnya yang anonim. Namun demikian, sebagian pengarang kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, maupun pengarang-pengarang kesusastraan tradisional lainnya diketahui melalui kolofon naskah maupun keterangan pada pertengahan naskah. Kakawin Arjuna Wiwaha dikarang oleh Mpu Kanwa pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Kakawin Smaradahana ditulis oleh Mpu Dharmaja pada zaman pemerintahan Raja Kameswara I di Kediri, Kakawin Bharatayudha ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada zaman pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri, Kakawin Arjuna Wijaya dan Kakawin Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular pada zaman Kerajaan Majapahit, Kakawin Dharma Sunya Kling,

159

pada zaman pemerintahan Gelgel di Bali, Kidung Ni Diah Tantri ditulis oleh Ida Padanda Ketut Pidada dan saudaranya Ida Padanda Nyoman Pidada, Gaguritan I Ketut Bungkling

dikarang oleh Ida Wayan Dangin, Sejarah Jawa lan Sajarah Arab ditulis oleh Ida Padanda Gede Wayan Jelantik Soba. Selain pengarang-pengarang tersebut, masih banyak lagi pengarang yang belum diketahui jati dirinya yang sesungguhnya karena memakai nama samaran.

Lalu, siapakah Pengarang KSD? Teks KSD tidak menyebutkan secara eksplisit, namun mungkin disampaikan secara implisit. Sampai sekarang, siapa sesungguhnya yang mengarang KSD belum diketahui. Perlu kajian mendalam selanjutnya agar diketahui siapa sesungguhnya mengarang KSD.

Kolofon naskah yang berisi catatan identitas penulis naskah, waktu penulisan naskah, dan tujuan penulisan naskah biasanya terdapat pada awal, bagian tengah, atau bagian akhir naskah. Umumnya, kolofon ditulis pada akhir naskah (lihat Baroroh Baried, 1983). Untuk menjejaki siapa penulis KSD dapat dilakukan dengan memeriksa bagian awal, tengah, dan akhir naskah.

Pada bagian awal naskah, KSD tidak mencatatkan siapa sejatinya pengarangnya. Pernyataan-pernyataan melankolis sebagai orang yang kebimbangan (wirangrong) yang melakukan perjalanan penuh resiko melintasi hutan belantara, jurang, dan tebing curam pada awal teks, tidak dilanjutkan dengan mengungkap penulis naskah secara eksplisit maupun implisit.

Dia yang pergi memburu keindahan pada saat bulan kartika (antara bulan September--Oktober), ada kemungkinan berhubungan dengan nama Sang Hyang Śītaraśmi pada larik 3a, bait ke-3 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

3. Sang Hyang Śītaraśmi, Masinang wahu tumiling, Kadya (a)suguh raras, Gērēnya mandra mirage, Kusuma mārminging,

kinarang-karanging kumbang.

Terjemahannya:

3. Sang Hyang Śītaraśmi, Bersinar baru sebagian,

Bagai menyuguhkan keindahan, Guruh bersuara lembut mempesona, Bunga-bunga mekar menebar bau wangi, Dibelai-belai kumbang.

Nama Sang Hyang Śītaraśmi yang muncul pada bait ke-3 di atas, sepintas lalu seperti nama diri. Akan tetapi, pada kenyataannya merujuk pada arti 'bulan yang bersinar sejuk'. Arti tersebut dipertegas oleh larik 3b. //o// Masinang wahu tumiling //o// (bersinar baru sebagian). Jadi, yang bersinar itu ialah Sang Hyang Śītaraśmi atau 'bulan yang bersinar sejuk' (Zoetmulder, 2004: 1105).

Apabila pada bagian awal itu, tidak ditemukan siapa sebenarnya sosok pengarang yang sesungguhnya menulis KSD, maka harapan selanjutnya akan ditemukan pada bagian tengah dari teks KSD. Harapan besar nama pengarang akan ditemukan pada bagian tengah

160

teks KSD diintroduksi oleh isi teks yang menceritakan pertemuan pengarang dengan seorang pendeta (Sang Dwija) di sebuah asrama yang terletak di tengah hutan.

Pada saat pertemuan antara pendeta dengan pengarang di tengah hutan, identitas pengarang sudah ditanyakan (//o// Ah ndi sangkanta mās ingwang //o//), 'hai, darimanakah engkau datang?'. Namun demikian, dialog selanjutnya tidak ada menyebutkan adanya jawaban dari pengarang tentang dirinya.

Pada bait ke-30, bahkan secara eksplisit pendeta menanyakan nama pengarang seperti tergambar sebagai berikut:

30. Tan warnān huwus añēkul,

We umunggwing sujang atīs,

Amuncang ayeng nāgara,

Sang Dwija sārjawa muwus,

Lah ampunana mās ingwang,

Syapa sira mareng wukir,

Paran swakaryan resun,

Yaya wuryaning akingking. Terjemahannya:

30. Tidak diceritakan setelah makan, (meminum) Air sejuk dalam bumbung, Mengunyah sirih seperti di ibu kota, Pendeta berujar dengan ramah, Mohon dimaafkanlah aku,

Siapakah engkau yang mengungsi ke gunung, Apa pula pekerjaanmu,

Sepertinya tampak sedih menderita.

Pertanyaan Sang Pendeta itupun tidak dijawab dengan menyebutkan nama. Akan tetapi, diteruskan dengan menceritakan bahwa sesungguhnya perjalanan yang dilakukan bukanlah karena mendapat hukuman dari raja, tetapi karena kegelisahan untuk mempelajari ajaran "kebenaran" (dharma). Setelah bertemu dengan Sang Pendeta, maka bermaksud akan mengabdi dengan kesungguhan hati.

Pada bagian teks selanjutnya, pengarang hanya menyampaikan bahwa dirinya berasal dari Majapahit. //o// Saking Wilwatikta singgih //o// 'dari Wilwatikta sesunguhnya', begitu tersurat pada KSD, 35d. Jadi, pengarang teks KSD yang menyebut dirinya orang yang menderita (Wong Kawēlas Hyun) berasal dari Majapahit. Teks kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, menyebutkan Wilwatikta sebagai nama lain dari Kerajaan Majapahit.

Harapan selanjutnya, nama pengarang akan dijumpai pada akhir teks. Namun, sayangnya pada akhir teks hanya disebutkan nama teks sebagai Kidung Sewa Dharma dan nama metrumnya. //o// Iti Kidung Sewa Dharma //o// (KSD 40g) 'Ini Kidung Sewa Dharma', diakhiri dengan //o// Puh Wasi Sawit //o// (KSD 40g).

Dengan demikian, pengarang Kidung Sewa Dharma yang menggunakan metrum

Pupuh Wasi Sawit, tidak diketahui. Hanya saja, pengarang yang menyebut dirinya sebagai "Orang Menderita" identitasnya berasal dari Kerajaan Majapahit.

161

Perasaan, Persepsi, dan Pikiran Pengarang Kidung Sewa Dharma

Sejak awal, teks KSD dominan mengungkapkan "perasaan" pengarang. Teks diawali dengan konstruksi monolog yang mengungkapkan keadaan pengarang yang menyebutkan dirinya sebagai "Orang Menderita" yang melakukan pengembaraan ke tengah hutan. Oleh sebab itu, KSD sejatinya merupakan teks ekspresif, yaitu teks yang mengungkapkan perasaan, persepsi, dan pikiran pengarang.

Pada awal teks sudah dinyatakan bahwa perasaan pengarang dalam keadaan kebingungan yang mencekam. Dalam keadaan itu, sampai-sampai tidak sayang akan nyawa sendiri seperti disampaikan pada bait ke-1 berikut ini.

1. Laringku amurang laku,

Ri durgamaning wana,

Pringga jurang trējung rejeng,

Norahat ring hurip,

Wetnyānggung wirangrong. Terjemahannya:

1. Perjalananku pergi mengembara, Di tengah hutan belantara,

Di kedalaman jurang (dan) di tepi tebing curam, Tiada hirau akan kehidupan,

Disebabkan kebingungan mencekam.

Perasaan kebingungan tersebut disebabkan tidak berhasilnya pengarang mengungkapkan keindahan yang akan dituangkan ke dalam karyanya. Setelah mengutarakan maksudnya untuk mengembara tanpa menghiraukan kehidupannya, teks KSD berlanjut dengan menggambarkan bahwa pengarang semakin tersiksa keindahan alam pada saat bulan

kartika (antara bulan September--Oktober). Keindahan alam yang terpancar pada saat itu, menyebabkan pengembaraan segera dilakukan, //o// Laringkwa glis prapti //o// (KSD 4a) 'perjalananku saatnya tiba'.

Berbekal batu tulis, pengembaraan dilanjutkan di pagi hari menjelang matahari terbit. Terbitnya matahari itu seolah membangkitkan rindu asmara di tengah keindahan bunga-bunga yang sedang bermekaran mengeluarkan bau harum. Dalam pada itu terpancarlah persepsi pengarang atas keindahan alam yang tampak olehnya. Namun keindahan itu tiada kuasa dilukiskannya sampai terhenyak duduk di atas sebuah batu datar yang dinaungi bunga

gadung yang sedang berbunga menjuntai di atasnya.

Sambil memijat kakinya yang letih setelah melakukan perjalanan jauh, pengarang menikmati keindahan alam yang terhampar di segala penjuru. Pada saat itulah pengarang menjumpai bunga pudak yang lembaran-lembarannya telah ditulisi syair dengan bahasa yang indah dan manis menyentuh perasaan seperti tergambar pada teks KSD pupuh ke-9 berikut ini.

9. Ngka ta ngwang tībra salungguh,

Ring śilā nayanā radin,

Kasonganing jangga mure,

Rapuh ngong amijēt suku,

Harsa mihating kalangwan,

162

Rasa bhāsa anglangut,

Angaras twas amanis. Terjemahannya:

9. Di sanalah aku duduk terhenyak, Di atas batu datar yang indah, Dinaungi bunga gadung berjuntai, Lelah aku memijat kaki,

Terpana menikmati keindahan, Tiba-tiba menemukan bunga pudak, Bahasanya terjalin indah,

Menyentuh perasaan lagi pula merdu.

Tidak disebutkan secara eksplisit apakah bunga pudak yang bahasanya terjalin indah

dan menyentuh perasaan itu ditulis oleh pengarang. Namun pada KSD 10.a dinyatakan bahwa setelah membaca kidung, pengarang melanjutkan perjalanannya mengembara sembari menikmati keindahan alam yang terhampar di hadapannya. Di sini tampak bahwa persepsi pengarang bahwa keindahan terus dicari untuk dituangkan ke dalam karya sastra dengan bahasa yang terjalin indah. Jalinan bahasa yang indah itu akan menyentuh perasaan dan bila dinyanyikan akan terdengar merdu. Namun, mengapa setelah keindahan itu dilihat dan berhasil digambarkan melalui bahasa yang indah, pengembaraan berlanjut?

Keberlanjutan pengembaraan itu menggambarkan ada sesuatu di balik pikiran pengarang. Pengambaran keindahan itu, tiada artinya tanpa menggambarkan suatu ajaran yang berguna. Di sini tercermin pikiran pengarang bahwa penggambaran keindahan harus disertai dengan dasar ajaran yang sesungguhnya.

Pada episode teks yang menggambarkan pertemuan antara pengarang dengan pendeta (Sang Dwija), secara implisit pengarang hendak menyampaikan bahwa penguasaan atau pengetahuan realitas keindahan (estetika) tidak cukup untuk melahirkan karya sastra yang baik. Penguasaan terhadap keindahan harus disertai penguasaan terhadap ilmu yang benar. Dalam situasi ini, tampaklah pemikiran pengarang bahwa keindahan itu merefleksikan ilmu kebenaran yang tertinggi.

Hakikat ilmu kebenaran yang dicari dalam pengembaraan oleh pengarang disampaikan secara bertahap. Pertama-tama, pada episode pertemuan antara pendeta dengan pengarang ada penyebutan pendeta sebagai Sang Dwija (KSD 30.d), dipertegas lagi dengan penyebutan Sang Biksu (KSD 33.a). Penyebutan kedua julukan pendeta itu mengintroduksi pembaca bahwa ilmu kebenaran yang dimaksud berkaitan dengan agama Budha.

Pada tahap berikutnya, pengarang KSD secara eksplisit menyebutkan bahwa ilmu kebenaran yang membuat pengarang perasaannya gelisah ingin pergi mengembara dan persepsinya terhadap keindahan yang tidak ada artinya tanpa kebenaran agama disampaikan melalui pupuh ke-38 berikut ini.

38. Malar amatra ketēmu,

Pēh nikang Mahāyana,

Sangka sih Sang Dwija tan len,

Ping sasra andadi,

163 Terjemahannya:

38. Tidak sedikit bisa ditemukan, Intisari ajaran Mahayana,

Dikarenakan keiklasan pendeta tiada lain, Seribu kali menjelma,

Tiada akan berpisah dari pendeta.

Pupuh di atas, menggambarkan secara eksplisit tentang pemikiran pengarang bahwa yang menyebabkan perasaannya gelisah ialah tidak dipahaminya ajaran agama Budha Mahayana. Dengan demikian tercermin persepsinya mengenai keindahan yang digambarkan melalui karyanya berkaitan dengan ajaran agama tersebut.

Pengarang KSD, dengan demikian berusaha membangun konsepsi pemikirannya tentang keindahan tertinggi yang berkaitan dengan agama yang dianutnya. Pemikirannya disampaikan secara bertahap dengan menggambarkan keindahan yang mengaduk perasaannya sehingga menuntun dirinya untuk mengembara mencarinya. Pada gilirannya, persepsinya terhadap keindahan yang berkaitan dengan ajaran agama terkoneksi dalam untaian mata rantai yang jelas.

Inter relatifitas subjektif pengarang dalam hal ini menggambarkan keseluruhan rangkaian perasaan, persepsi, dan pemikiran pengarang terhadap karya sastra. Di mana karya sastra yang dibangunnya tidak hanya berhenti pada keindahan estetis semata. Pengarang KSD yang menyebut dirinnya "Orang Menderita" dari Majapahit itu hendak menyampaikan bahwa karya sastra yang akan dibangunnya merefleksikan keyakinan agamanya, yaitu agama Budha Mahayana.

KESIMPULAN

KSD sebagai karya sastra tradisional Indonesia yang khas sampai sekarang ini masih perlu mendapat perhatian serius peneliti kesusastraan. Rintangan yang dihadapi peneliti dalam memahaminya sebagai genre kesusastraan yang rumit perlu diupayakan untuk dilalui.

Salah satunya dengan melakukan pendekatan ekspesif yang berupaya menggali perasaan, persepsi, dan pemikiran pengarang melalui pendekatan interinsik. Melalui pendekatan ekspresif terhadap KSD tidak diketahui secara pasti siapakah yang menulisnya. Jati diri pengarang KSD hanya dapat direkonstruksi sebagai orang yang menyebut dirinya "Orang Menderita'. Agama yang dianutnya ialah agama Budha Mahayana. Pengarang yang mengaku dirinya mengembara di tengah hutan belantara tersebut berasal dari Kerajaan Majapahit (Wilwatikta).

Perasaan pengarang yang dipenuhi kegelisahan itu, diakibatkan oleh tegangan di dalam dirinya untuk melukiskan keindahan "yang nyata" ke dalam karya sastranya. Pada saat semua keindahan yang dinikmatinya berhasil dituangkan ke dalam karya sastra, kepuasan batinnya belum terpenuhi. Dalam pada itu muncullah persepsi pengarang terhadap "keindahan" tiada akan dapat dipahami secara penuh tanpa penghayatan terhadap pengetahuan yang tertinggi, yaitu ilmu agama. Horison harapan pengarang tersebut, akhirnya dapat dipenuhi setelah bertemu dengan sorang pendeta yang kadang disebut Sang Dwija dan

Sang Bhiksu. Ilmu agama yang ditekuni dari Sang Dwija atau Sang Bhiksu tersebut ialah agama Budha Mahayana.

Keseluruhan rangkaian teks KSD menggambarkan inter relatifitas subjektif pengarang yang menggambarkan keseluruhan rangkaian perasaan, persepsi, dan pemikirannya saat membangun karya sastranya. Pengarang berkeyakinan bahwa karya sastra

164

yang dibangun tidak berhenti pada estetika semata, berkaitan dengan kebenaran mutlak yang digali dari keyakinan ilmu agama. Demikianlah kegelisahan batin pengarang KSD yang membuatya menderita sehingga menyebut dirinya sebaga "Orang Menderita".

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and The Crititical Tradition. London/New York: Oxford University Press.

Agastia, IBG. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Bandem, 1983. Ensiklopedia Gambelan Bali. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar.

Baroroh Baried (ed), Siti, 1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Robson, SO. 1971. Waŋbaŋ Wideya: A Javanese Panji Romance. The Hague: Martinus Nijhoff.

Soekatno, Revo Arka Giri. 2009. Kidung Tantri Kediri: Kajian Filologis Sebuah Naskah Jawa Pertengahan. Leiden: Universiteit Leiden.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisâcaraóa. Denpasar: Pustaka Larasan.

Vickers, A.H. 2005. Journeys of Disire: A Study of The Balinese Text Malat. Leiden KITLV Press.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (Diterjemahkan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Djambatan

165

MEMBANGUN NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME