• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Literasi Sastra

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Anista Emilia Widayanti

PEMBAHASAN Literasi Sastra

Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. EDC (Education Development Center) menyatakan bahwa literasi tidak sekedar mengarah kepada kemampuan baca tulis melainkan kemampuan individu menggunakan segenap potensi dan keterampilannya.Literasi tidak sekedar mampu membaca huruf melainan membaca dunia. Sementara itu, UNESCO memberikan pernyataan bahwa literasi merupakan hak setiap orang dan menjadi dasar untuk belajar sepanjang hayat, Makna literasi dipengaruhi oleh penelitia akademik, institusi konteks nasional, nilai-nilai budaya dan pengalaman. Melalui kemampuan literasi akan memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun lisan. Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.Literasi adalah kegiatan refleksi (diri), dan literasi adalah hasil kolaborasi. Berdasarkan jangkauan makna literasi, literasi sastra secara spesifik dapat dimasukkan ke dalam penguasaan dan apresiasi budaya. Literasi sastra rekayasa literasi adalah suatu jalan menuju pada suatu perubahan dan peningkatan literasi masyarakat dengan metode dan teknik pemasyarakatan literasi yang mencerdaskan, dan bahwa dalam pembengkelan sastra (baca-tulis) diperlukan keterampilan berbahasa, menyimak, berbicara, membaca, menulis, baik dimulai dari bahasa ibu, bahasa Indonesia, dan bahasa asing.

Literasi sastrra perlu dikembangkan di masyarakat baca/masyarakat belajar. Hal ini beralasan karena sastra dan seni memiliki peranan penting dalam pembinaan bangsa. Ajip Rosidi (2016) menyatakan bahwa peranan sastra dan seni dalam pembinaan bangsa (1) makna sumpah pemuda 1928 yang salah satunya menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia adalah ikrar kebudayaan yang mengakui ragam kebudayaan dan bahasa daerah di Indonesia (2) sastra dan seni menjadi alat identifikasi bangsa, (3) sastra Indonesia sebagai bagian daru “ahli waris kebudayaan dunia”. Lebih lanjut perlunya literasi sastra, khususnya dalam masyarakat belajar karena kesusastraan merupakan sebuah dimensi ruhani. Sastra merupakan produk masyarakat/bangsa yang beradab dan berkebudayaan. Oleh sebab itu keberlangsungan pelaksanaan literasi sastra memerlukan keputusan politik seperti Gerakan Literasi Masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana Negara/Pemerintah peduli dengan persoalan kebudayaan? Pengalaman menunjukkan pemerintah justru meminggirkan persoalan kebudayaan hanya karena memprioritaskan pada pembangunan ekonomi. Dampak negatif prioritas pembangunan ekonomi adalah persaingan liberal, materialistik, pembangunan non ruhani yang melahirkan segala macam budaya pop. Literasi sastra di masyarakat bukan sekedar penyediaan mobil pustaka keliling, penyediaan bahan literasi, tetapi jauh dari itu yaitu menanamkan sikap gemar membaca sastra. Sebuah data (Ajip Rosidi, 2016), bahwa kemampuan baca sastra pelajar di zaman Kolonial Belanda justru lebih baik, karena penyediaan buku sastra.

27

Kondisi literasi sastra di Malaysia justru lebih baik, karena adanya political will terkait dengan wajib membaca sastera Melayu/karya sastra karangan sastrawan Malaysia baik yang klasik maupun modern. Negara yang berhasil mengembangkan literasi sastra adalah Negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Di Negara tersebut sastra dibaca oleh setiap orang/kebanyakan orang. Sastra dianggap sebagai kebutuhan rohani sehari-hari dan membaca karya sastra dianggap memperluas kaki langit pandangan dan memperdalam pengertian tentang sifat-sifat manusia. Kemajuan suatu bangsa tidak lepas dari kemajuan kesusastraannya. Bahkan Negara yang secara ekonomi belum maju, akan dihormati bangsa di dunia karena kesusasteraannya, misalnya Hadiah Nobel Kesusastraan. Sebagai contoh negera-negara Amerika Latin seperti Chili, Nikaragua, Meksiko, Argentina, Kolombia, Peru, dll. Munculnya sastrawan dunia ini terjadi karena kehidupan sastra dalam masyarakat bangsanya berkembang, sastra dianggap penting serta kegemaran membaca masyarakatnya tinggi. Bagaimana dengan Indonesia?

Secara menyedihkan, literasi sastra di Indonesia tidak menggembirakan. Meskipun setiap hari bisa dilihat di toko buku Gramedia atau yang lain, produksi buku bacaan sastra/fiksi meningkjat dari tahun ke tahun, tetapi dua hal tidak terpenuhi untuk literasi sastra yaitu (1) harga buku masih tergolong mahal, (2) minat baca masih rendah, kalau toh ramai pengunjung mungkin hanya karena jalan jalan, jumlah pembaca tak sebanding dengan jumlah penduduk baca, kendala politik dan kebijakan penerbitan buku, (3) sastra tidak dianggap penting oleh Negara. Masyarakat tentunya tidak langsung memahami dan tiba tiba terliterasi/mengerti karya-karya Putu Wijaya, YB Mangunwijaya, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Pramoedya ANanta Toer (apalagi pernah di blacklist pemerintah Orde Baru), NH. Dini, dll, Hal ini hanya dimengerti sedikit masyarakat terpelajar saja di Indonesia, tidak memasyarakat. Di bidang pendidikan formal sekolah juga menyedihkan. Sebagai contoh ketika zaman Orde Baru, ketika Menteri Pendidikan dijabat Daoed Joesoef, persentasi buku nonfiksi harus lebih banyak daripada buku fiksi, Garis kebijaksanaan ini menunjukkan pandangan pemerintah yang menganggap sastra tidak penting. Dengan demikian kesempatan mengenalkan dan mengakrabkan sastra kepada siswa tidak ada sama sekali. Lebih buruk lagi zaman menteri Wardiman Djojonegoro dengan konsep kebijakan link and match, robotisasi, mekanisasi. Padahal Indonesia sangat kaya dongeng, fabel, mitologi, wiracarita, karya sastra klasik. Baru kemudian ada kesadaran politik pentingnya literasi dan dimunculkannya GLS, sudah sangat terlambat.

Masyarakat Belajar

Masyarakat belajar (Learning Society) bisa terjadi apabila terjadi komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi. Tidak ada pihak yang segan bertanya, tidak ada pihak yang paling tahu, semua pihak harus saling berbagi dan mau mendengarkan. Semua pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Masyarakat belajar akan terbentuk dengan baik jika para komunikator dan komunikan yang terlibat di dalamnya terkondisikan situasi sosial budaya yang mendukung, hubungan sosial yang baik, lingkungan fisik geografis yang terekayasa dengan baik, dan pengalaman berkomunikasi.

Di kalangan Negara-negara ASEAN, Singapura menduduki perangkat pertama baik dalam literasi dan minat baca masyarakat maupun dalam masyarakat belajar dalam arti memahami segala pengetahuan dan aturan yang dipahami. Seorang sopir taksi tidak akan

28

memberangkatkan taksinya sebelum penumpang memasang sabuk pengaman. Seorang penumpang yang paham aturan, begitu masuk taksi langsung memasang sabuk pengaman. Sopir langsung memberangkatkan taksi. Hal ini sudah terliterasi dengan baik. Juga dalam kebersihan, kerapihan, keindahan, aturan di tempat umum, menyeberang jalan, antri, dll. Indonesia sangat menyedihkan.

Sering pula kita mendengar atau melihat tentang berbagai peristiwa dan situasi sosial lainnya yang terjadi di negara-negara maju, yang bisa diperbandingkan dengan keadaan dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini. Untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan suatu negara atau bangsa bukan hanya ditentukan oleh para pemimpin politiknya, kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh seluruh anggota masyarakatnya yang cerdas. Masyarakat hanya bisa cerdas jika seluruh anggota masyarakat mau belajar. Inilah salah satu kunci utama keberhasilan kenapa sebuah negara atau bangsa bisa maju dan sejahtera.Kompetisi global menuntut setiap orang untuk selalu belajar agar dia memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif untuk mencegah dan mengatasi berbagai masalah kehidupan yang serba kompleks.Terbentuknya masyarakat belajar diawali oleh individu pembelajar. Jika setiap orang di suatu negara sudah tumbuh kesadaran dan kemauannya untuk belajar, maka di sinilah mulai muncul masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar, yang melakukan perbuatan belajar tidak hanya kalangan-anak-anak dan remaja, tetapi orang dewasa pun melakukan usaha belajar hingga sepanjang hayat (long life learning, reading dang writing).

Pembentukan masyarakat belajar diawali oleh pembentukan individu-individu yang menjadi warganya. Pengubahan individu yang santai menjadi individu yang aktif,dinamis,kreatif, suka bekerja keras, individu konsumtif menjadi produktif, individu penerima menjadi individu pemberi, individu yang mudah menyerah pada keadaan menjadi individu yang dengan semangat mengubah keadaan, menuntut perubahan mendasar pada pribadi individu-individu tersebut. Perubahan tersebut diawali pada perubahan persepsi dan sikap, baik terhadap dirinya, maupun terhadap lingkungan, peluang-peluang, ancaman dan hambatan yang dihadapi. Selanjutnya menumbuhkan kepercayaan diri, dan motivasi untuk maju. Setelah ada kepercayaan diri, bahwa dirinya memiliki kekuatan, potensi dan kemampuan, tumbuh motivasi untuk berubah, mau belajar, mau berusaha, maka kegiatan belajar bisa dimulai.Semakin banyak individu atau anggota masyarakat yang melakukan perbuatan belajar, maka pasti akan semakin baik pula kehidupan bangsa dan negara ini, yang pada akhirnya dapat mengantarkan kita semua benar-benar menjadi sebuah bangsa yang maju, sejatera dan terhormat.

Untuk kaitan masyarakat belajar dan literasi sastra, kiranya pemikiran Soedjatmoko (1995) tentang Konsep pendidikan religio humanis sangat tepat. Religio Humanis yang merupakan bagian dari nilai-nilai sastra, merupakan model pendidikan yang secara praktis dan pragmatis memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa. Ini dikarenakan sikap kritis religious dan rasa kemanusiaan dalam kesusastraan yang mendalam akan menumbuhkan rasa nasionalisme dan etika transenden yang akhirnya melahirkan manusia kritis dan bersusila dan terhormat.

Jika masyarakat belajar sudah terbentuk melalui gerakan literasi, dan literasi sastra menjadi bagian dari program pengembangannya, maka dalam perspektif studi kultural pendidikan sebagaimana dikemukakan H.A.R. Tilaar (2003) akan terbentuk masyarakat bermoral dan masyarakat yang cerdas. Hal ini tentunya terkait dengan konsep literasi sastra pada masyarakat belajar yaitu mengarahkan masyarakat mencintai sastra yang jelas di dalamnya terkansung nilai etika dan moral, nilai mitologi dan historis, nilai bhukum, kemasyarakatan, nilai, ilmu pengetahuan dan adat istiadat. Jika dalam masyarakat baca

29

terdapat literasi sastra, maka ia akan memelihara tradisi literasi dan akan dilukan transformasi nilai sosio-edukatif. Literasi pada dasarnya proses dari kelisanan menuju keberaksaraan dengan wujud transformasi learning society dalam menghadirkan curiousity ilmu pengetahuan dalam kleluarga sejak dini.

Transformasi

Upaya-upaya menghadirkan semangat Literasi Sastra melalui Kesadaran Learning Society dapat ditempuh melalui:

1. Politis: Pemerintah memiliki political will dalam gerakan literasi sastra dengan penerbitan buku sastra melalui kebijakan perbukuan dan penerbitan yang murah.

2. Politis: Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa selama ini telah menerbitkan proyek-proyek penulisan buku bacaan dan sastra. Hasil terbitan yang selama ini terbatas dalam publikasi untuk kalangan terbatas, dikembangkan secara luas di masyarakat, terutama dengan pemberian bantuan gratis kepada perpustakaan rakyat dan rumah baca. 3. Sosiologis: Perlu kerjasama antara pemerintah lokal dengan perusahaan melalui program

Corporate Social Responsibility/CSR, tidak saja dalam renovasi pertamanan atau ruang public, tetapi pengadaan buku sastra dan dibagikan ke dalam suatu wilayah kerja CSR yang memiliki perpustakaan dan rumah baca yang kredibilitasnya bagus.

4. Sosiologis: Diversifikasi program layanan public pada dinas perpustakaan dan kearsipan pemerintah lokal.

5. Sosiologis: Pemerintah lokal memfasilitasi pemutaran film untuk khalayak, terutama film yang terkait sejarah dan pemfilman karya sastra unggul, melalui program film masuk sekolah dan organisasi literasi masyarakat.

6. Kultural: Literasi sebagai gejala kebudayaan dalam praktiknya memerlukan penguatan sosial dan kultural melalui lembaga terkait dalam program pragmatic mengajak masyarakat memandaikan diri membaca dunia dengan bertanya, suka membaca, dan membuka peluang berekspresi di public tanpa rasa takut.

7. Ekonomi: Pemerintah memperhatikan kehidupan penerbitan, baik yang tergabung dalam IKAPI maupun penerbitan Swapikir/Indie publishing.

8. Edukasi: Penguatan pembelajaran kontekstual. Memahamkan guru dalam berbagai kesempatan untuk menyadarkan pentingnya minat baca, literasi sastra, kreatif dalam integrated teaching, dengan kegiatan membaca sastra, menulis sastra, dan membaca dunia. Kebijakan membaca 15 menit sebelum pelajaran harus dimaknai secara luas dan kreatif. Sekolah perlu profesionalisme perpustakaan sekolah, diversifikasi kegiatan baca dan pemberdayaan komite sekolah dalam pengadaan kegiatan literasi yang menyenangkan.

KESIMPULAN

Setiap orang hebat meninggalkan warisan paling berharga yang tertanam dalam buku yang mereka tulis. Beruntunglah orang-orang yang senang membaca, karena mereka akan mendapatkan warisan paling berharga dari orang-orang hebat. Orang yang rajin membaca bagaikan sedangmelihat masa lalu dan masa depan. Hadir disetiap sejarah, dan hadir di setiap imajinasi orang-orang hebat. Jika kita mendidik anak andaangsa untuk membaca pada dasarnya kita melahirkan orang hebat yang berpengaruh di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Goody, Jack. Ed. 1975. Literacy in Traditional Societies. Cambridge: Cambridge University Press.

30

Rosidi, Ajip. 2016. Sastera dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suastika, I Made. 2006. Estetika dan Kreativitas Penulisan Sastra dan Nilai Budaya Bali.

Denpasar: UNUD Press.

Suastika, I Made. 2005. Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Denpasar: UNUD Press.

Soedjatmoko. 1995 Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan Soedjatmoko. Jakarta: LP3 ES.

Soedjatmoko. 2010. Menjadi Bangsa Terdidik. Jakarta: Kompas.

Tilaar, HAR. 2003. Kekuasaaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Jakarta: Kompas.

31

DAMPAK KOLONIALISASI PADA KARAKTER TOKOH