Terdapat konfrontasi ideologi humanisme versus otoritarianisme pada cerpen ―Keroncong Pembunuhan‖, hal itu ditandai dengan representasi konfrontasi ideologi otoritarianisme kelas dominan dengan ideologi humanisme kelas subordinat. Ideologi otoritarianisme terdapat pada tokoh wanita dan tokoh seseorang (tokoh yang memerintahkan untuk melakukan pembunuhan) sementara ideologi humanisme terdapat pada tokoh aku (pembunuh bayaran) yang
104
menyangsikan ideologi otoritarianisme dan kemudian mereduksi ideologi tersebut dengan kesadaran humanisme.
Representasi ideologi otoritarianisme dioperasikan secara figuratif oleh tokoh-tokoh antagonis seperti oleh tokoh wanita. Tokoh wanita ialah tokoh yang memerintah tokoh aku, wanita memiliki kuasa atas tokoh aku yang secara hierarkis berkedudukan lebih tinggi dari tokoh aku. Namun kuasa itu bersifat transaksional (bukan ideologis) yang sifatnya materialistik. Sebagaimana pernyataan tokoh aku dalam teks cerpen, ―Kontrak semacam ini memang sering
terjadi. Aku dibayar hanya untuk menembak, siapa yang jadi sasaran bukanlah
urusanku‖ (Ajidarma, 2007a: 5).
Kuasa tokoh wanita ialah bisa mengontrak dan juga membatalkan kontrak seorang pembunuh bayaran (tokoh aku). Tetapi ia tidak memiliki kuasa untuk menentang komando dari yang lebih berkuasa atas dirinya. Jika menentang perintah si pemberi komando, maka tokoh wanita bisa dalam posisi terancam ―Aku bisa celaka‖ (Ajidarma, 2007a: 13), kata wanita itu kepada tokoh aku saat dimintai informasi mengenai dalang penembakan misterius. Artianya, komando itu menandakan hierarki kekuasaan yang tidak terbatas pada kuasa tokoh wanita karena di atas kuasa wanita itu, terdapat hierarki kekuasaan yang lebih tinggi darinya yaitu orang yang memberi komando tokoh wanita (tokoh yang disebut sebagai ―seseorang‖), sementara tokoh wanita merupakan agen yang bertugas sebagai perantara antara tokoh aku dan tokoh seseorang.
Hubungan antara wanita dan seseorang (bos) merupakan hubungan yang sifatnya hierarkis sebagai representasi dari sentralisasi kepemimpinan otoritarian,
105
Erich Fromm (via Hartoko, 2016: 137) memahami otoritarianisme sebagai suatu karakter sosial yang tidak produktif yakni relasi kekuasaan dalam tatanan struktur sosial hanya beroperasi pada batas-batas dominasi dan penaklukan, akibatnya realitas politik antara tokoh wanita dan tokoh seseorang dimaknai sebagai situs perebutan kekuasaan (atas bawah) dan tidak memiliki fleksibilitas di dalam hierarki kekuasaan itu. Oleh karena itu dalam pandangan otoritarianisme, tokoh wanita yang berada pada hierarki yang lebih bawah daripada tokoh seseorang diposisikan sebagai objek kuasa yang dapat dikontrol oleh tokoh seseorang dengan demikian kepemimpinan otoritarianisme menuntut adanya suatu kepatuhan yang berdisiplin sebagai kecenderungan objek (wanita) untuk tunduk dan taat pada pribadi-pribadi subjek yang berkuasa (seseorang bos).
Atas dasar itu, hubungan kelas dominan hanya terjadi pada batas-batas hierarki kepemimpinan politik otoritarianisme yang di dalamnya tidak ada militansi ideologis, hal inilah merupakan representasi kepemimpinan politik Orde Baru, sensibilitas dan homoginitas kekuasaannya mudah mengalami desentegrasi karena kesatuan ideologi hanya terbatas pada kepatuhan dan ancaman, akibatnya semakin dominan ancaman mendominasi kepatuhan, maka semakin dominan juga kepatuhan itu rentan terhadap ancaman lain oleh karena itu setiap kali tokoh wanita mengalami ancaman yang lebih besar dari sebelumnya maka wanita akan meredefinisi kepatuhan pada posisi yang rentan, sementara tokoh aku mengancam wanita dengan ancaman pembunuhan, kemudian seketika kepatuhan wanita pada seseorang bos menjadi tidak stabil dan bahkan bersedia mengikuti perintah dari tokoh aku. Hal itu diketahui ketika tokoh wanita memilih untuk mengungkapkan
106
identitas tokoh seseorang sebagai dalang dari penembakan misterius kepada tokoh aku.
Model kepemimpinan tokoh seorang bos dan tokoh wanita tersebut digambarkan oleh Ajidarma sebagai karakteristik kepemimpinan yang ―top dwon‖ dalam teks ―Keroncong Pembunuhan‖ dengan cara-cara representasi hierarki, relasi dan posisi antara tokoh aku, wanita, dan tokoh seseorang; suatu representasi diskursus kepemimpinan politik Orde Baru yang diorganisasikan dari atas ke bawah dengan cara mengalienasi partisipasi yang ada di bawah, maka bentuk kepemimpinan tersebut cocok dengan kepemimpinan sentralisasi sultanistik; berkecenderungan memiliki paham otoritarianisme. Artinya, kepemimpinan dan kekuasaan politik berjalan atas perintah dan ancaman--bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. ―Keroncong Pembunuhan‖ karya Ajidarma membuat kepemimpinan otoritarianisme dinegatifisasi, alternatifnya ialah kepemimpinan yang desentralistik, yaitu kepemimpinan yang digerakkan oleh kesadaran politik kelas pinggiran seperti yang ditunjukkan oleh tokoh aku. Kesadaran politik inilah menurut Ajidarma (2002: 13) yang dapat memungkinkan kelas pinggiran dapat ―memiliki peran politik sebagai penentu makna perubahan‖.
Mulanya, Ajidarma berusaha menggambarkan identitas tokoh aku sebagai tokoh antagonis yang kejam sebagai pembunuh bayaran. Penenakan identitas itu didramatisasi dengan penggunaan teknik pengandaian dan pencitraan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh data berikut.
―Garis silang pada teleskop itu terus saja bergerak, sesekali berhenti pada dahi seseorang, dan mengikutinya. Kalau kutekankan telunjukku, tak pelak lagi dahi itu akan berlubang. Dan tubuh orang itu akan roboh. Bisa
107
roboh perlahan-lahan seperti pohon ditebang, bisa pula tersentak dan mengacaukan kerumunan orang yang sedang tertawa-tawa itu, menumpahkan gelas pada nampan yang dibawa pelayan. Tentu lebih menarik lagi kalau tubuh itu terpental ke kolam renang dengan suara bergedebur sehingga airnya muncrat membasahi pakaian para tamu dan kolam renang itu segera berwarna merah karena darah dan wanita-wanita berteriak: ‗Auuww!‘‖
―Garis silang pada teleskop kugeser agak ke samping, supaya lubang peluru pada kepalanya tidak membuat pembagian yang terlalu simetris. Peluru akan menembus mata kirinya‖ (Ajidarma, 2007a: 4, 10).
Data tersebut menunjukkan pengandaian yang ditujukan pada tokoh aku, pengandaian itu ditandai dengan penggunaan kata ―kalau dan akan‖, ―Kalau kutekankan telunjukku, tak pelak lagi dahi itu akan berlubang ....‖, ―Peluru akan menembus mata kirinya‖. Hal ini dapat mengandaikan citraan karakter tokoh aku sebagai tokoh antagonis yang dapat membunuh seseorang dengan satu tembakan mematikan. Pengandaian-pengandaian itu semakin didramatisasi dengan citraan penglihatan dan pendengaran seperti penekanan kata pada dahi berlubang, tubuh
orang itu roboh, seperti pohon ditebang, kolam renang berwarna darah,
wanita-wanita berteriak, lubang peluru pada kepala, peluru akan menembus mata kiri.
Akibatnya pengandaian itu memberikan citraan negatif pada tokoh aku sehingga penekanan cerita akan lebih terfokus pada keantagonisan tokoh aku sebagai pembunuh bayaran yang kejam. Selanjutnya citraan negatif itu diperjelas dengan dialog antara tokoh wanita dengan tokoh aku sebagai berikut.
―Aku tidak mau menembak orang yang bersalah.‖
―Itu bukan urusanmu, tahun lalu kamu menembak ribuan orang yang tidak bersalah‖ (Ajidarma, 2007a: 11-12).
108
Dialog antara wanita dengan tokoh aku memberikan gambaran kekejaman tokoh aku yang pernah membunuh ribuan orang yang tidak bersalah; Ajidarma 2005: 52) menyebut ―orang yang tidak bersalah‖ ini sebagai korban pembunuhan ―Petrus‖ yang ―tidak diadili‖, namun pada posisi itu kedudukan tokoh aku berada pada wilayah yang paradoksal, di satu sisi ia merupakan representasi dari penguasa dan sisi lain ia merupakan reprentasi kelas yang dikuasai (tidak ingin menembak orang yang tidak bersalah). Sehingga sifatnya oposisi biner, otoritarianisme vs humanisme. Tokoh aku berada pada posisi otoritarian ketika sebelum mengalami perubahan karakter, dan berada pada posisi humanisme ketika ia telah mengalami perubahan karakter.
Tokoh aku dalam keadaan otoritarian menggambarkan nilai-nilai ideologi otoritarian yang melekat pada kelas penguasa sebagai kelas yang represif dan koersif; melakukan pembunuhan dengan cara misterius. Sedangkan tokoh aku dalam keadaan humanis, digambarkan sebagai tokoh yang berperikemanusiaan. Saat keadaan humanis inilah tokoh aku mempersuasi pembaca dengan ideologi humanisme yang ditunjukkan oleh pertanyaan retoris tokoh aku.
―Kutatap lagi wajah itu, rasanya begitu dekat, bahkan pori-porinya terlihat dengan jelas. Aku bagaikan menatap bayang-bayang takdir. Siapakah sebenarnya yang menghentikan kehidupan orang itu, aku kah atau Kamu?‖
―Dan aku menatap mata orang itu. Astaga. Benarkah dia seorang penghianat?‖ (Ajidarma, 2007a: 8-9, 10).
Tokoh aku melakukan autokritik; mengalami internalisasi kesadaran ideologi humanisme, kesadaran inilah merupakan bentuk pembebasan ideologi
109
tokoh aku dari status quo otoritarianisme. Akibatnya, nilai-nilai otoritarian disangsikan oleh tokoh aku kemudian direduksi menjadi humanisme. Tokoh aku mengalami perubahan karakter dari yang semula otoritarian antagonis menjadi tokoh protagonis humanisme. Hal ini mengindisikan munculnya suatu pandangan dunia alternatif yang lebih menghargai manusia, memuliakan manusia, menghapus impersonalitas subjek objek dengan menempatkan manusia sebagai posisi sentral dalam kehidupan duniawi dan menjadikan realitas alamiah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran (Faruk, 2018: 150).
Tokoh aku melawan kekuasaan dominan ideologi otoritarianisme dengan cara mengalami perubahan karakter; dari yang semulanya berpihak pada kelas penguasa kemudian melakukan koreksi atas keberpihakan itu sehingga pada akhirnya memilih untuk menegasikan nilai-nilai lama otoritarianisme dan kemudian mengafirmasi suatu keberpihakan yang baru terhadap nilai-nilai alternatif humanisme; oleh sebab itu tokoh aku akhirnya memihak ke pihak oposan yaitu pihak yang di dalamnya terdiri atas ―orang-orang yang dianggap berbahaya dan disebut sebagai penghianat bangsa‖. Sehingga tokoh aku yang semulanya menganggap tokoh ―seorang penghianat bangsa‖ sebagai objek kemudian beralih menjadi subjek.
Melalui kesadaran ideologi humanisme pada tokoh aku lantas tokoh aku melawan kontrak pembunuhan dan mendudukkan kelas penguasa sebagai objek dan aktivitas pembunuhan pun beralih target pada tokoh seseorang yang memberi komando. Jadi pada tahap inilah Ajidarma memposisikan ideologi humanisme sebagai antitesis terhadap ideologi otoritarianisme Orde Baru dengan demikian
110
melalui humanisme itu, Ajidarma menempatkan manusia sebagai posisi sentral kehidupan, dan secara didaktik menolak kebijakan Penembakan Misterius, menolak kepemimpinan sentralisasi sultanistik serta mengkritik kekerasan dan terorisme negara.
2) Humanisme versus Radikalisme pada Cerpen “Bunyi Hujan di Atas