• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militerisme, Radikalisme, dan Humanisme pada Cerpen “Sebatang Pohon di Luar Desa”

Kecendurangan Ajidarma pada ideologi humanisme pun terlihat pada cerpen terakhir, ―Sebatang Pohon di Luar Desa‖. Humanisme menjadi ideologi sentral yang beroperasi semacam sebagai antitesis terhadap ideologi militerisme dan radikalisme. Ideologi humanisme diwakili oleh tokoh Alfonso sementara

242

ideologi militerisme diwakili oleh tokoh tentara dan ideologi radikalisme diwakili oleh gerombolan bersenjata. Humanisme Alfonso pada ―Sebatang Pohon di Luar Desa‖ sebagaimana juga yang terdapat pada humanisme Alfonso pada cerpen ―Kepala di Pagar Da Silva‖ merupakan humanisme yang menempatkan manusia sebagai posisi sentral dari kehidupan namun pada batas-batasnya humanisme ini tidak bergerak ke arah nasionalisme melainkan lebih menekankan simpati terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal yang disebabkan oleh supremasi ideologi radikalisme dan militerisme. Militerisme pada cerpen ini pun digambarkan sebagaimana militerisme pada cerpen-cerpen Saksi Mata yang lain, yang lebih berfokus pada penggambaran kekerasan militer, sementara radikalisme lebih condong ke paham dan gerakan radikal dengan cara kekerasan yang tendensius mengarah ke penolakannya pada paham militerisme namun secara paradoks radikalisme pun digambarkan sebagai ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Tokoh-tokoh yang merepresentasikan tiga kekuatan ideologi tersebut berada pada lanskap naratif, diceritakan oleh Ajidarma melalui tokoh Adelino yang serba tahu. Misalnya radikalisme gerombolan bersenjata digambarkan oleh Ajidarma melalui citra pendengaran dan penglihatan Adelino sebagai kelompok yang melakukan perampokan, melakukan kekerasan, penembakan, dan membunuh para tentara.

―Dari balik ketiak Adelino tetap mendengarkan. Ia akhirnya bisa mengenali sifat suara-suara itu.

―Apakah ini gerombolan yang suka dibicarakan Paman Alfonso?‖ pikirnya diam-diam sambil menahan napas karena ketiak ibunya ternyata bau. Dari percakapan Paman Alfonso dan kaum laki-laki desa itu, Adelino

243

sering mendengar tentang adanya gerombolan bersenjata yang bersembunyi di perbukitan. Mereka turun ke desa itu kalau sudah tidak punya makanan, atau mencegat bus di jalan dekat pohon itu, menyergapnya dari balik ladang jagung. Mereka merampok para penumpang bus, setelah itu menghilang.‖

―Memang terjadi baku tembak di ladang jagung di luar desa pada siang hari bolong. Gerombolan itu menyergap patroli tentara, membunuh semuanya, merampas senjatanya, dan melucuti seragam, sepatu, bahkan kaos kakinya sehingga tentara-tentara yang gugur itu ketika ditemukan hanya mengenakan cawat. Bergelimpangan di luar desa‖ (Ajidarma, 2016, 144, 147).

Data tersebut menunjukkan betapa kelompok gerombolan bersenjata digambarkan telah melakukan tindakan radikal dengan cara melakukan kekerasan terhadap penduduk desa dan tentara, jika yang dimaksud radikalisme gerombolan bersenjata mengacu secara literer pada kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan misalnya seperti terdapat pada tokoh Sebastian dalam cerpen ―Pelajaran Sejarah‖ yang disebut sebagai orang yang mencintai kemerdekaan lebih dari kehidupan, atau pada tokoh seorang pengkhotbah dalam cerpen ―Junior‖ yang meyakini kematian (merebut kemerdekaan) sebagai perjalanan menunju tempat terindah (surga), atau pada tokoh Da Silva pada cerpen ―Kepala di Pagar Da Silva‖ yang disebut sebagai tokoh yang terlalu banyak mengorbakan kematian keluarganya demi cita-cita kemerdekaan atau bahkan justru mengacu pada kelompok klandestin pada cerpen ―Klandestin‖ maka hal tersebut semakin menegaskan posisi Ajidarma sebagai pengarang yang tidak mendukung cita-cita kemerdekaan Timor Timur melainkan lebih bersimpati terhadap korban kekerasan yang ada di Timor Timur baik yang disebabkan oleh kelompok penjuang kemerdekaan/anti-integrasi atau yang disebabkan oleh kelompok militerisme yang mendukung integrasi. Oleh sebab itu tokoh Alfonso

244

pada cerpen ―Sebatang Pohon di Luar Desa‖ mengatakan: ―Aku juga heran,

kenapa keyakinan bisa membuat orang tidak takut mati?‖ Keheranan yang

dimaksud bukanlah perasaan takjub akan sesuatu hal melainkan lebih pada perasaan ganjil terhadap suatu keyakinan yang dipandang paradoks dengan nilai-nilai dan pandangan hak hidup untuk manusia dengan demikian keyakinan ―tidak

takut mati‖ itu meruapakan keyakinan yang dipandang anomali oleh Ajidarma

karena pada persigungannya ternyata dapat mengorbankan hak hidup manusia. Hal inilah yang tampaknya menjadi perhatian Ajidarma bahwa sekali pun dominannya keyakinan perjuangan kemerdekaan atas nasib suatu bangsa namun jika hal itu dapat mengorbankan hak hidup manusia maka keyakinan tersebut dikritisi atau justru ditolak dan kemudian Ajidarma selanjutnya menempatkan nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki pandangan ―hak hidup untuk semua manusia‖ yang dipertegas dengan data berikut.

―Aku ini serbasalah,‖ ia dengar Paman Alfonso berkata kepada ibunya, ―tentara mengira aku bekerja sama dengan gerombolan, gerombolan mengira aku bekerja sama dengan tentara.‖

―Sikap kamu sendiri bagaimana?‖

―Bagiku yang penting desa ini selamat, sudah terlalu banyak orang saling membunuh‖ (Ajidarma, 2016: 145).

Kenyataan sikap Alfonso yang tidak berada di antara kedua ideologi biner (militerisme versus radikalisme) menandakan posisi Paman Alfonso sebagai ―kelompok antara‖ yaitu suatu kelompok yang berada di antara militerisme dan radikalisme, Paman Alfonso tidak mendukung kedua kelompok ideologi tersebut tetapi secara literal justru menolak kedua ideologi itu dan lebih mengutamakan kepentingan kemanusiaan daripada kepentingan politik dan kekuasaan, oleh sebab itu Paman Alfonso mengatakan ―Bagiku yang penting desa ini selamat, sudah

245

terlalu banyak orang saling membunuh.‖ Namun sekalipun Paman Alfonso tidak

berpihak kepada kedua ideologi, pada kenyataannya tetap dicurigai sebagai orang yang berpihak kepada kelompok ideologi radikalisme (gerombolan bersenjata) hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh data berikut.

―Adelino jarang mendengar Paman Alfonso mengeluh. Sebaliknya, hampir setiap orang di desa itu selalu mengeluh anaknya diculik, ada yang mengeluh saudaranya dipukuli, ada yang mengeluh kakak perempuannya diperkosa, ada yang mengeluh dirinya ditanya macam-macam sambil disunduti rokok dan ditempeleng.

―Semua orang dikira anggota gerombolan,‖ kata Paman Alfonso. ―Apa kamu sudah jelaskan banyak orang desa ini yang mati waktu perang saudara di pihak yang berlawanan dengan gerombolan itu?‖

―Sudah.‖ ―Terus?‖

Lagi-lagi Adelino mendengar suara tarikan napas, dan embusannya yang mengentak panjang. Kali ini tidak ada jawaban‖ (Ajidarma, 2016: 146).

Hal inilah yang kemudian memberikan penggambaran citra militer yang bertentangan dengan nilai-nilai humanisme Paman Alfonso yaitu suatu citra yang digambarkan sebagai citra dominan yang mengoperasikan operasi militerisasi untuk mencegah berkembangnya kelompok gerombolan bersenjata misalnya dengan cara-cara kekerasan seperti penculikan, pemukulan, pemerkosaan dan pembunuhan. Oleh sebab itu kekerasan militer secara otomatis kemudian dikritisi dan ditolak karena pada dasarnya hal itu juga dimaknai sebagai suatu kekuatan yang totaliter yang hakikatnya pun dapat mengorbankan hak hidup manusia. Ketika narasi semakin bergerak menju akhir cerita kemudian Paman Alfonso yang menganut humanisme tersebut dibuat mati oleh Ajidarma, dan hal inilah yang

246

kemudian menandakan betapa nilai-nilai kemanusiaan telah tercerabut akibat dari pertarungan dua kekuatan politik, radikalisme versus militerisme.

―Memang terjadi baku tembak di ladang jagung di luar desa pada siang hari bolong. Gerombolan itu menyergap patroli tentara, membunuh semuanya, merampas senjatanya, dan meluciti seragam, sepatu, bahkan kaos kakinya sehingga tentara-tentara yang gugur itu ketika ditemukan hanya mengenakan cawat. Berlimpangan di luar desa.

Setelah peristiwa itu, berlangsung operasi militer besar-besaran. Gerombolan menghilang. Pada malam hari Adelino mendengar bagaimana pintu-pintu ditendang dan penghuni rumah dipaksa ikut. Sebagian tidak pernah kembali, sebagian kembali dengan wajah yang tidak dikenali lagi karena dihajar habis-habisan sampai hampir mati. Paman Alfonso termasuk yang tidak kembali. .... seorang penduduk desa pada suatu pagi melihat Paman Alfonso mati tergantung. Mayatnya bergoyang-goyang ditiup angin‖ (Ajidarma, 2016: 147-148).

Jadi, pada dasarnya data tersebut menujukkan kepada pembaca bahwa betapa nilai-nilai kemanusiaan telah ―mati‖ dan kematian nilai-nilai kemanusian ternyata disebabkan oleh ideologi anti-kemanusiaan seperti radikalisme dan militerisme; narasi itu kemudian dapat memberitahukan pembaca bahwa terdapat ketidakadilan manusia di suatu belahan dunia tertentu (Timor Timur) yaitu di suatu tempat geografis yang di dalam tempat tersebut terdapat sebatang pohon yang berdiri tegak di luar desa dan melaluinya Ajidarma seolah ingin menyampaikan bahwa dunia bisa lebih baik dari itu jika menempatkan humanisme sebagai posisi sentral dalam kehidupan.

Sementara konsep pohon metaforis pada cerpen ―Sebatang Pohon di Luar Desa‖ semakin menegaskan supremasi ideologi humansme itu yang ternyata konsep pohon tidak hanya menjadi bangunan pelengkap unsur-unsur intrinsik cerpen melainkan juga secara metaforis jika mengacu pada pendapat Garner (2004: 87) pohon bisa juga menjadi metafora suatu kehidupan manusia yang

247

secara simbolik menghindari kematian serta mimimpikan kehidupan dan keseimbangan. Argumen ini memungkinkan untuk menjadi jauh lebih tepat tentang peran yang dimainkan pohon dalam mengonstruksi wacana kemanusiaan dan pencarian akan totalitas kehidupan yang ideal oleh sebab itu salah satu kutipan cerpen menyatkan ―Pohon itu menjadi sangat penting bagi mereka yang

membutuhkan mimpi‖. Oleh sebab itu, konsep pohon pada cerpen justru

memberikan sinyal atau penanda akan kecenderungan Ajidarma pada nilai-nilai humanisme; yaitu suatu pohon kehidupan yang di masa lalu menghadirkan totalitas kehidupan yang penuh kedamaian ketika orang-orang masih bisa bermimpi, tidur nyentak, berdansa dan merasakan ketenangan.

2. Peranan Tokoh Intelektual pada Penembak Misterius dan Saksi Mata

Garis besar

Dokumen terkait