• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militerisme versus Etnonasionalisme pada Cerpen “Rosario”

Ideologi militerisme diwakili oleh tokoh serdadu dan ideologi etnonasionalisme diwakili oleh Fernando. Masing-masing kelompok ideologi melakukan supremasi untuk tujuan politik kelompoknya. Representasi konfrontasi ideologi disajikan secara fragmentaris melalui narator utama serba tahu dan terkadang disajikan juga melalui pengisahan tokoh dokter tentang insiden kekerasan yang menyebabkan tokoh Fernando menelan rosario selama dua puluh bulan. Sementara alur dikemas dengan teknik alur mundur, sehingga alur tersebut semacam menjadi bingkai sejarah kekerasan yang dialami Fernando di masa lalu yang disebabkan koersifitas militer. Keoersifitas militer pada dasarnya menjadi permasalahan sentral yang menyebabkan marginalisasi tokoh Fernando, akibatnya

192

plot marginalisasi menempatkan militer pada posisi ―bersebrangan‖ dengan Fernando dan kemudian didudukkan sebagai tokoh antagonis. Namun tidak demikian dengan tokoh dokter, dokter masih menerima kelompok militer sebagai sesuatu yang ―hero‖ hal itu sebagaimana ditunjukkan data berikut.

―Dokter itu sering melihat barisan serdadu berlari-lari dalam latihan sambil membawa bayonet. Serdadu-serdadu itu sering berlari-lari keliling kota sambil bertelanjang dada dan bernyanyi-nyanyi. Diam-diam dokter itu kagum, betapa seseorang bersedia mengorbankan jiwa untuk pekerjaannya (Ajidarma, 2016: 51).

Data tersebut menandakan adanya upaya militerisasi yang melibatkan dokter sebagai masyarakat sipil ternyata memandang serdadu sebagai kekuatan yang menakjubkan, hal itu ditunjukkan oleh kekaguman dokter terhadap patriotisme serdadu yang dinilai telah mengorbankan jiwa untuk pekerjaannya. Kekaguman dokter merupakan simtom dari suatu masyarakat yang menerima militerisme sebagai kekuatan utama kekuasaan hingga efeknya dapat melegitimasi tindakan militerisasi sebagai sesuatu yang ideal. Namun di balik itu, ternyata kekaguman dokter merupakan akibat dari ketidaktahuannya terhadap tindakan koersifitas militer di masa lalu misalnya seperti tindakan rasisme, kekerasan, sampai pembunuhan.

―... gambar-gambar berkelebat di kepala Fernando dengan jernih. Gambar-gambar yang tidak mungkin dilupakan oleh seseorang yang ingin melupakannya sekalipun. Di telinganya masih terngiang jeritan itu, di matanya masih terbayang orang-orang roboh seperti pohon pisang ditebang. Lantas peluru itu, lantas darah itu, lantas wajah-wajah ketakutan itu. Namun, yang selalu membuatnya tersentak adalah bentakan-bentakan itu. Bentakan-bentakan yang sangat menghina, bentakan-bentakan yang hanya bisa diucapkan oleh seseorang yang merasa dirinya mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib orang-orang yang dibentaknya.‖

193

―Sementara itu, dalam komanya Fernando pergi ke masa lalu, ketika seorang serdadu memaksanya menelan rosario di sebuah kuburan, dengan bayonet terhunus yang bersimbah darah.

―Kemerdekaan adalah impian terkutuk,‖ kata serdadu itu, sambil menempelkan bayonetnya ke pipi Fernando. Di sekelilingnya mayat bergelimpangan‖ (Ajidarma, 2016: 51-52, 55).

Data tersebut menunjukkan betapa serdadu yang dipandang hero oleh tokoh dokter pada kenyataannya melakukan tindakan-tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Akhirnya koersifitas militer tampaknya menjadi penyemaian ideologi etnonasionalisme Fernando yang diawali oleh proses apa yang disebut Freud (1917) sebagai duka cita dan melankolia (Mourning and Melancholia) yaitu suatu gejala psikologis tokoh Fernando yang merasakan gejolak emosional ketika orang-orang yang dicintai meninggal dunia.

―Sekarang ia ingin tahu apakah Fernando punya keluarga, tapi ia merasa akan menadapat jawaban yang mengerikan.

―Bapaknya hilang ketika rumahnya digerebek pada suatu malam.‖ ―Kakaknya mati dalam tahanan dengan wajah bonyok tidak keruan.‖ ―Adiknya pergi dari rumah, masuk hutan.‖

―Ibunya tertembak, ibunya mati tertembak.‖

Dokter itu terpekur. Fernando masih koma‖ (Ajidarma, 2016: 54).

Rasa sakit yang diterima Fernando akibat koersifitas militer terhadap keluarganya bukan hanya rasa sakit fisik, melainkan juga dipengaruhi oleh fenomena sosial seperti diskriminasi sosial, penghinaan etnis, serta perasaan diremehkan oleh serdadu sebagai orang yang pengakuannya diinginkan seperti pengakuan akan sebagai subjek manusia yang merdeka.

―Fernando melirik. Perutnya sakit sekali. Tapi, hatinya lebih sakit lagi. Kesakitan seseorang yang telah terhina, tersinggung, dan terlecehkan.

194

Sempat terlitas di benaknya untuk menyuruh dokter itu menelan stetoskopnya sendiri.‖

―Bukan hanya serdadu yang berani mati. Siapa pun berani mati untuk mempertahankan hidupnya. Apalagi untuk sebuah kehidupan merdeka yang punya harga diri‖ (Ajidarma, 2016: 49, 52).

Fernando secara literer tidak mampu menyadari kedekatannya untuk mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, atau menyadari betapa tergantungnya Fernando pada kekuatan militer untuk mendapatkan rasa hormat dan pengakuan darinya, Fernando kadang-kadang merasa sulit untuk mengidentifikasi rasa kehilangan yang dialami, dan lebih sulit lagi untuk memahami bahwa perasaan Fernando tentang depresi adalah produk dari ketakutan yang tidak bisa Fernando setujui sendiri. Sebab itu ―Dalam tunduknya, Fernando memejamkan mata.

Pandangan matanya gelap. Ia merasa marah kepada dirinya sendiri, mengapa

ketakutan bisa merajamnya sedimikian rupa‖ (Ajidarma, 2016: 48-49).

Tanpa sadar melankolia Fernando tersebut membuatnya mencela dirinya sendiri, menjelek-jelekkan dirinya sendiri dan berharap akan adanya suatu penebusan dan salah satu bentuk penebusan itu ialah kemerdekaan, sehingga segala hal ihwal yang bertentangan dengan keinginannya untuk merdeka, maka hal itu kemudian diidentifikasi sebagai perbedaan dengan kata lain bagi Freud (1917:251) ―Dia mengambil perlindungan dalam identifikasi narsistik yang membuat semua perbedaan tidak dapat ditoleransi‖. Selanjutnya intoleransi yang akan menginternalisasi kebencian ke dalam operasi kesadaran Fernando. Objek cinta pengganti yang telah hilang misalnya seperti kehilangan Bapak, kematian kakak, kepergian adik dan tertembaknya Ibu dicari penggantinya untuk menebus

195

penderitaan itu sebagai kepuasan sadis. Penebusan kemudian dapat mengubah Fernando sebagai manusia subjek yang tidak bisa mencintai lagi akibat akumulasi perasaan benci, iri, dan kesengsaraan yang diderita di masa lalu sebab itu Fernando berkata ―Bukan hanya serdadu yang berani mati, siapa pun berani mati

untuk mempertahankan hidupnya.‖ Rasa cinta Fernando telah hilang dan sekarang

berganti ke rasa benci, perlawanan dan dendam untuk membalas cinta yang telah hilang.

Oleh sebab kehilangan cenderung dirasakan sebagai pengalaman yang sangat diprivatisasi, maka Fernando juga cenderung untuk menampilkan nostalgia sebagai upaya untuk membayangkan kembali kekejaman komunitas militer sebagai penyebab utama yang menyebabkan rasa duka cita dan melankolia pada diri Fernando. Privatisasi duka cita dan melankolia itu kemudian bertransformasi menjadi kekuatan tujuan politik Fernando untuk mengembalikan identitas komunitasnya sendiri pada posisi yang ideal sebagaimana Butler (2004: 21-22) mengungkapkan ―Ketika kita kehilangan seseorang, kita tidak selalu tahu apa yang telah hilang di dalam diri orang itu. Jadi ketika seseorang kehilangan seseorang dihadapkan dengan sesuatu yang membingungkan: ada sesuatu bersembunyi dalam kehilangan, dan ada juga sesuatu yang hilang dalam relung kehilangan ... Banyak orang berpikir bahwa kesedihan itu diprivatisasi ... Tapi saya pikir hal itu dapat melengkapi rasa komunitas politik dari suatu tatanan yang kompleks‖. Sehingga hal ini kemudian secara literer merujuk pada pernyataan Darian Leader (via Gadd, 2010) bahwa menghubungkan gejala melankolia dengan persepsi kehilangan budaya telah menjadi mode, khususnya dalam kaitannya

196

dengan analisis nasionalisme, rasisme, dan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara-negara bekas jajahan dengan demikian duka cita dan melankolia Fernando tidak hanya berhenti pada proses depresi, ketakutan, dan kebencian Fernando terhadap tokoh-tokoh serdadu melainkan juga terhubung sangat erat pada kebangkitan ideologi etnonasionalisme.

Mardiansyah (2001: 300) mengungkapkan bahwa entnonasionalisme merupakan paham kebangsaan dengan sentimen etnis (agama, suku, ras) sebagai struktur basisnya yang semulanya hanya berupa entitas semangat etnis kemudian diwujudkan dalam suatu entitas politik negara-bangsa (nation-state), semangat negara-bangsa merupakan penebusan terhadap marginalisasi dan keliyanan pada peta-peta pascakolonial, sementara etnonasionalisme pada batas-batasnya tidak dapat dirangkul sebagai suatu entitas yang integral dari bagian konsep nasionalisme yang universal oleh sebab itu kesadaran pada etnonasionalisme ialah upaya desintegrasi untuk menjadikan kelompok etnisnya sebagai negara-bangsa yang merdeka.

Namun kesadaran etnonasionalisme Fernando tidak sampai menjadi suatu kesadaran bangsa-negara, sehingga entnonasionalisme Fernando lebih cocok dengan istilah yang disebut Smith (via Shu Yun, 1990: 532) sebagai nasionalisme etnis yang memungkinkan memiliki kesadaran nasionalisme tanpa negara atau nasionalisme teritorial bahwa perlawanan Fernando pada militerisme menjadi semacam perlawanan subjektif terhadap kekejaman pemerintahan asing yang kemunculannya hanya ditafsir sebagai respon terhadap eksploitasi kolonial militerisme.

197

―Sementara itu, dalam komanya Fernando pergi ke masa lalu, ketika seorang serdadu memaksanya menelan rosario di sebuah kuburan, dengan bayonet terhunus yang bersimbah dara.

―Kemerdekaan adalah impian terkutuk,‖ kata serdadu itu, sambil menempelkan bayonetnya ke pipi Fernando. Di sekelilingnya mayat bergelimpangan‖ (Ajidarma, 2016: 55).

Namun perlawanan ideologi entonasionalisme terhadap ideologi militerisme dalam teks ―Rosario‖ tidak beroperasi sebagai pertarungan situs kekuasaan yang dapat memberikan berbagai pilihan wacana alternatif perlawanan misalnya pilihan integrasi atau tidak integrasi, merdeka atau dikoloni, melainkan kontradiksi antara kedua ideologi hanya semacam menjadi representatif sejarah kekerasan militer di masa lalu terhadap korban kekerasan insiden Santa Cruz sebagai upaya Ajidarma untuk mengenang kembali dan menyajikan lanskap kekerasan militerisme sebagai kekuatan antagonis.

Garis besar

Dokumen terkait