Meskipun tokoh-tokoh Ajidarma melalui ideologi liberalismenya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap pembangunanisme namun secara literer upaya Sukab untuk melakukan perubahan sebenarnya merupakan kritik Ajidarma terhadap kekuasaan politik preventif, totaliter, pembangunananisme, dan adigium stabilitas di masa pemerintahan Orde Baru, sebagaimana pernyataan Ajidarma (2016a: 131) kuasa adalah suatu bentuk tindakan atau hubungan antarkhalayak, yang pada setiap persentuhannya bernegosiasi, sehingga karena itu tiada akan pernah tetap dan stabil. Eh, kok, Orde Baru membangun berhala baru yang bernama ―stabilitas.‖ Oleh sebab itu melalui ideologi liberalisme tokoh Sukab tampaknya Ajidarma tidak ingin melawan ideologi pembangunanisme melainkan mengkritik konsep stabilitas dan pembangunanisme Orde Baru.
8) Materialisme, Hedonisme dan Puritanisme pada Cerpen “Helikopter”
Tokoh Saleh menganut ideologi materialisme dan hedonisme. Kedua isitilah ini berdasarkan definisi O‘Shaughnessy dan O‘Shaughnessy (2002: 225) maknanya berekuivalen bilamana ditautkan dengan kondisi masyarakat modern yang sebagian besar gaya hidupnya diarahkan oleh akumulasi dan konsumsi barang-barang material. Gaya hidup masyarakat tersebut umunya disebut sebagai masyarakat konsumen yang secara tradisional dikaitkan dengan hedonisme. Hedonisme dilihat dengan cara ini bertentangan dengan puritanisme tokoh nenek Saleh yang menasihati Saleh agar tidak berbuat sombong dan selalu hidup sederhana sesuai ajaran agama, puritanisme tokoh nenek Saleh ini merupakan
153
ideologi yang memandang bahwa kesenangan dan kemewahan adalah dosa sementara manusia diminta menjadi hamba yang saleh dalam menjalankan agama Tuhan di dunia (Briffault, 1931: 38; Parry, 2017: 114). Dasarnya ideologi puritanisme berpotensi untuk menyangkal ideologi hedonisme dan materialisme tetapi faktanya melalui materialisme dan hedonisme tokoh Saleh Ajidarma lebih memilih bersikap abai terhadap puritanisme, sementara materialisme dan hedonisme dibuat problematik dengan cara memproduksi plot ironi melalui karakterisasi tokoh Saleh yang problematis.
Ajidarma membuat tokoh Saleh menginginkan dunia yang anti materialisme dan hedonisme tetapi di sisi lain tokoh Saleh juga ditunjukkan pada kecenderungan sikap materialisme dan hedonisme; ambiguitas ideologi inilah memosisikan Saleh pada posisi antagonisme. Hal ini yang membuat Saleh membeli helikopter.
Ketika sembilan dari sepuluh tetangganya bersama-sama membeli mobil Baby Benz, lelaki bernama Saleh itu menjadi panas.
―Keterlaluan sekali,‖ katanya, ―rupa-rupanya orang sudah tidak memedulikan nilai luhur warisan nenek moyang. Semua orang sudah gila. Semua orang sudah tidak malu-malu lagi pamer kemewahan. Rupa-rupanya kesederhanaan sudah tidak dianggap penting. Tidak ada solidaritas sosial sama sekali. Terlalu!‖
Lantas, dibelinya sebuah helikopter Blue Thunder.
―Baik,‖ ujarnya lagi, ―kalau kita mau pamer kemewahan, ayo! Jangan tanggung-tanggung!‖ (Ajidarma, 2007a: 141).
Sikap ironi tokoh Saleh yang pada dasarnya mencitakan kehidupan sederhana tentang nilai-nilai luhur kesederhanaan nenek moyang namun seketika nilai itu kontradiksi di dalam dirinya sendiri justru Saleh melakukan hal yang sebaliknya dengan cara membeli helikopter mewah yang melebihi kemewahan
154
mobil Baby Benz (Mercedes) yaitu sebuah helikopter Blue Thunder. Sikap ironi Saleh menghasilkan jarak kritis yang penting antara Ajidarma sebagai pengarang, Saleh sebagai tokoh fiksi dan realitas kultural sebagai refleksi dari karya sastra, dengan itu Ajidarma dapat menggunakan ironi untuk mengritisi kultur materialsme dan hedonisme masyarakat yang terepresentasi pada ideologi materialisme dan hedonisme tokoh tetangga sebagai rasa kehilangan impersonal terhadap nilai-nilai kesederhanaan.
Teknik ironi membantu Ajidarma untuk mengkonstruk batasan-batasan identitas personal dengan cara menciptakan kehidupan yang ironi dalam tokoh Saleh; membuat pembaca 'lebih dekat' dengan sifat materialisme dan hedonisme, melalui kedua sifat itu Ajidarma mengritik dan bahkan menertawakan kehidupan yang materialistik dan hedonistik khususnya kehidupan yang cenderung menempatkan barang-barang mewah (khususnya mobil) menjadi media penunjang ―gengsi sosial‖ sebagaimana pernyataan Ajidarma (2015: 171) ―Makna
mobil itu telah melampui fungsinya, dan pada gilirannya menjadi tidak
proporsional ... Sementara itu, semua ini rupa-rupanya berlangsung di
masyarakat munafik.‖
Pandangan Ajidarma ini mengarah pada apa yang disebut Tjalve (via Steele, 2010: 95) sebagai ―skeptisisme logis epistemo; bahwa ternyata ‗kita tidak memiliki akses ke kebenaran eksternal namun akses kita hanya mengarah pada skeptisisme universal‘‖. Nilai-nilai universal secara epistimelogis direduksi berdasarkan pengalaman-pengalaman subjektivitas Ajidarma dan dengan itu kemudian Ajidarma memperkirakan beberapa makna universal tentang
155
kebudayaan yang memungkinkan bernilai dan yang bertentangan dengannya. Hal ini berpretensi mengarah pada hasil ironisasi karakter Saleh sehingga disadari atau pun tidak, asumsi-asumsi tentang skeptisme epistemologis ini memberikan dasar bagi ironi estetik Ajidarma.
Hal itu dapat dilihat dari sifat dasar paradoks antara kesederhanaan dengan kemewahan pada diri tokoh Saleh. Tokoh Saleh dideskripsikan sebagai subjek yang dikorbankan oleh kekuatan di luar kendalinya yaitu perilaku masyarakat yang materialistis dan hedonis. Kondisi perilaku masyarakat tersebut memaksa subjek untuk menggunakan materialisme hedonis melawanan materialisme hedonis. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh data berikut.
Mereka merasa, semua orang boleh bejat, asal jangan Saleh. Ia menjadi tonggak, supaya dunia tidak runtuh. Ia menjadi contoh, bahwa perjuangan dan kerja keras hanya layak untuk membangun dunia, bukan menumpuk kekayaan bagi diri sendiri.
Namun Saleh membuyarkan citra itu. Pada suatu hari ia kumpulkan seluruh pegawainya di sebuah lapangan, dan dari dalam helikopternya yang terbang di tempat ia berpidato.
―Zaman sekarang ini kalian jangan malu-malu mengerjakan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Zaman sudah berubah. Zaman sudah edan. Kalau kalian tidak ikut edan, kalian tidak kebagian. Seberuntung-beruntungnya orang tidak edan, masih lebih beruntung yang ikut edan. Nomer satu ambisi pribadi. Bekerjalah lebih keras untuk kepentingan dirimu sendiri. Itu baru namanya kemajuan. Pupuklah sifat tamak, loba dan rakus supaya tidak ketinggalan zaman. Semua orang harus bercita-cita punya Baby Benz. Setelah mencapainya ia harus bercita-cita punya helikopter. Itulah falsafah perusahaan kita. Yang tidak setuju boleh angkat tangan, supaya bisa saya pecat!‖
... Masih terngiang di telinga mereka, dulu Saleh selalu menganjurkan hal-hal yang baik. Saleh selalu menganjurkan pegawainya supaya lebih perhatian. Perusahaan memang maju, tapi banyak orang lain yang membutuhkan pertolongan. Banyak orang lain tidak punya kesempatan menolong dirinya sendiri. Semua itu memprihatinkan. Kita harus punya tenggang rasa. Rezeki kita adalah bagian dari penderitaan orang lain. Jangan
156
menghalalkan hasil perjuangan sendiri. Jangan mentang-mentang punya kesempatan dan nasib baik (Ajidarma, 2007a: 145, 146).
Ajidarma melalui karakterisasi Saleh yang problematois itu sebenarnya menginginkan pembaca untuk mengidentifikasi batas-batas kemungkinan manusia untuk mengenali kecenderungan terhadap kesombongan, hiperindividualisme, materialisme dan hedonisme. Ajidarma menetapkan batas-batas identitas manusia bahwa tindakan manusia dapat memiliki konsekuensi yang bersinggungan dengan nilai-nilai paradoks yang ada dalam dirinya. Nilai-nilai paradoks itu ditunjukkan oleh sikap reaksioner tokoh Saleh tehadap lingkungan sosial yang hedonis. Oleh sebab itu karena sifat ironi reaksioner tokoh Saleh, hal ini kemudian menghasilkan narasi satir dari bentuk politik cerita Ajidarma yang bertujuan untuk membalikkan tatanan moral yang dianggap tidak relevan, seperti yang Ian Hall (via Vuorelma, 2018: 10) tunjukkan bahwa secara substansial berpretensi sebagai pembalikan dari apa yang diketahui oleh penulis dan pembaca untuk menarik perhatian pada ketidakkonsistenan atau kontradiksi.
Kontradiksi ideologi dalam diri Saleh merupakan strategi sikap ironi terhadap dunia yang diungkapkan melalui sindiran-sindiran satir terhadap tatanan sosial yang mapan. Strategi dasarnya ialah mengubah struktur plot lainnya menjadi terbalik, atau mendekonstruksi dan menyusunnya kembali dalam pola yang sulit dikenali. Berdasarkan penjelasan White (1973: 37) bahwa tujuan dari strategi ironi tersebut ialah untuk menegaskan secara negatif apa yang ada pada tingkat literal yang ditegaskan secara positif atau pun sebaliknya. Ironi tersebut memiliki keraguan tentang sesuatu darinya yang diasingkan. Misalnya, Saleh
157
menganjurkan kepada karyawannya agar menyetujui sikap ambisi terhadap diri sendiri, memilki sifat tamak, loba dan rakus namun pada dasarnya nilai-nilai itu kemudian dinegasikan, dirusak dan dikonstruksi kembali dengan tatanan nilai-nilai yang baru yaitu nilai-nilai-nilai-nilai yang bertentangan dengannya seperti nilai-nilai-nilai-nilai kemanusiaan; tidak berambisi untuk kepentingan pribadi, membantu orang lain, tidak loba dan tidak tamak.
Sifat kontradiksi itu merupakan pernyataan kehilangan terhadap diri sendiri dan dunianya hal ini merupakan upaya untuk menurunkan status sosial dan moral masyarakat materialis--hedonis yang direpresentasikan oleh lingkungan sosial tokoh Saleh. Representasi tampaknya merupakan reaksi terhadap kegagalan moral yang dirasakan dalam tatanan hegemonik sebagaimana pendapat Domanska (1998: 178) yang menyatakan bahwa ketakutan ironis terhadap dunia muncul dalam konteks degradasi sosial dan kultural. Namun dalam konteks ini, Ajidarma melakukan pendegradasian terhadap nilai-nilai materialisme dan hedonisme yang telah bertransformasi menjadi suatu kebudayaan dominan di dalam lingkungan masyarakat.
―Chuck kita harus pergi dari sini! Aku ingin pulang ke rumah!‖ ―Mau ke mana lagi? Kita masih di bumi!‖
―Ini bukan bumi kita!‖
―Bumi kita isinya manusia, bukan binatang purba!‖.
―Untuk apa semua kemajuan ini ya Allah, jika kami masih sama dengan binatang purbakala?! Kami memang rakus! Kami memang memikirkan perut kami sendiri! Tapi kami ‗kan manusia?‘! Kamu menyindir aku ya Allah? Aku tersinggung! ...‖ (Ajidarma, 2007a: 151, 152).
158
Saleh teralienasi dari dunianya, ia teralienasi pada dunia yang tidak dikenali; suatu dunia yang dianggapnya telah terdegradasi. Hal ini secara bersinggungan memiliki keterkaitan metafor bahwa dunia yang terdegradasi itu ternyata ialah dunia manusia tetapi meskipun demikian Saleh menganggap bahwa dunia itu bukanlah dunia manusia melainkan dunia manusia yang seperti dunianya binatang dikarenakan ―manusia sudah sama seperti binatang‖. Artinya, Ajidarma mununjukkan komparasi sifat negatif manusia yang secara ontologis memiliki kesamaan dengan sifat alamiah binatang (manusia = binatang). Namun perbandingan ini tidak merujuk pada fakta biologis melainkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang disandingkan dengan binatang, dengan demikian Ajidarma melalui tokoh Saleh sebenarnya mengkritisi dan menolak dunia yang seperti binatang itu, dunia yang di dalamnya terdapat materialisme dan hedonisme, ketamakan, loba, dan hiperindividualis.
Atas dasar tersebut, sifat paradoksal ideologi tokoh Saleh (melalui ironi) ialah wujud ideologi pembebasan Ajidarma terhadap wacana dominan materialisme dan hedonisme tentang kemewahan dan kemapanan yang merupakan suatu simtom dari kultur modernisme, sebagaimana kata Brennan (2014: 380) ironi adalah kebebasan; kebebasan subjek dari makna, keyakinan, dan negasi ketidakbenaran yang berfungsi sebagai sudut pandang filosofis. Sudut pandang filosofisnya secara literer bersifat menegasikan karena mencoba menantang representasi realitas hegemonik dan mengubahnya dalam arti subjektif. Ada pandangan kritis terhadap diri sendiri, apakah dalam kelemahan diri untuk menempatkan dirinya dalam posisi orang lain (tokoh Saleh) atau dalam
159
ketidakmampuan diri Ajidarma untuk mengenali sifat-sifat pertentangan dalam dirinya sendiri.
b. Konfrontasi Ideologi pada Saksi Mata
Terdapat konfrontasi ideologi militerisme versus humanisme pada cerpen ―Saksi Mata‖ dan ―Telinga‖, ideologi militerisme versus nativisme pada cerpen ―Manuel‖ dan ―Maria‖, ideologi militerisme versus teologi pembebasan pada cerpen ―Salvador‖, ideologi militerisme versus etnonasionalisme pada cerpen ―Rosario‖ dan ―Listrik‖, konfrontasi ideologi militerisme, nasionalisme dan humanisme pada cerpen ―Pelajaran Sejarah‖ dan cerpen ―Kepala di Pagar Da Silva‖, ideologi anarkisme versus nihilisme pada cerpen ―Klandestin‖, ideologi kosmopolitanisme versus nasionalisme pada cerpen ―Salazar‖ dan ―Junior‖, serta konfrontasi ideologi militerisme, radikalisme dan humanisme pada cerpen ―Sebatang Pohon di Luar Desa‖.