Ideologi militerisme diwakili oleh tokoh ninja sementara ideologi humanisme diwakili oleh tokoh saksi mata dan tokoh Pak Hakim. Pertarungan kedua ideologi ditampilkan pada suatu lanskap ruang pengadilan tentang kekerasan, pembunuhan dan pembantaian. Saksi mata yang mengetahui informasi dan sekaligus menjadi saksi mata terhadap peristiwa pembantaian itu kemudian menjadi objek kekerasan daripada tokoh ninja. Walaupun demikian, hal itu tidak membuat saksi mata getir untuk menyampaikan kebenaran di ruang pengadilan oleh sebab itu saksi mata berkata kepada Pak Hakim ―Itu sebabnya saya datang
160
kebenaran, Pak‖ (Ajidarma, 2016: 8). Sementra demikian pula dengan tokoh Pak
Hakim yang mengatakan ―Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan
kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban lebih besar lagi?” (Ajidarma, 2016: 9).
Tokoh saksi mata dan Pak Hakim keduanya sama-sama menganut ideologi humanisme yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai posisi sentral dalam kehidupan personal dan sosial sehingga segala sesuatu yang sifatnya mengalienasi nilai-nilai kemanusiaan itu disangsikan dan kemudian ditempatkan pada wilayah objek yang memungkinkan untuk dilakukan pengadilan terhadapnya. Begitu pula karakter hukum atau keadilan yang menjadi pandangan dunia kedua tokoh itu ialah hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, tujuan utama pandangan ini ialah ―Memperlakukan manusia sebagai manusia, memanusiakan manusia dalam segala hakikat dan relasinya sebagai tujuan mulia dari konsep hukum itu sendiri‖ (O. Notohamidjojo via Indah, 2011: 6).
Ideologi humanisme menarik pembaca pada ruang simpatik melaluinya kemudian suatu penderitaan, kesakitan, dan beratnya satu tanggung jawab moral saksi mata ditampilkan sebagai ketidakadilan, hal ini menyiratkan bahwa betapa nilai-nilai kemanusiaan telah teralienasi dari nilai-nilai universal sementara hak individu untuk menyampaikan kebenaran ternyata teramatlah beresiko.
―Saksi mata itu datang tanpa mata.
Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara.
Dari lubang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus-menerus dari lubang mata itu.
161
Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya, membasahi sepatunya, dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-berteriak dengan emosi meluap-luap, sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkedap membuat suasana makin panas‖ (Ajidarma, 2016: 2-3).
Tokoh saksi mata dalam kutipan tersebut jika diandaikan hidup di kenyataan faktual/realitas normal, maka tokoh saksi mata tidak akan mampu mengalami kehidupan hal serupa sebagaimana yang terdapat dalam teks fiksi (misalnya bejalan dan memberi kesaksian di pengadilan dengan tanpa mata), namun di dalam teks ―Saksi Mata‖, tokoh tersebut dapat merusak realitas dan sekaligus membangun realitasnya sendiri (super realitas/surealis) hal inilah yang kemudian dapat memberikan simpati pada bentuk tubuh saksi mata yang rusak dan meskipun rusak saksi mata berani menyampaikan kebenaran di ruang publik sebagai bentuk pembelaannya terhadap keadilan dan kebenaran. Hal in pun tidak hanya menjadi kontestasi simpatik melainkan juga ada sensibilitasnya dengan realitas faktual bahwa konstruksi nama dan peristiwa pada teks cerpen menyembunyikan jejak-jejak intertekstualitas antara teks yang fiksi dengan teks historis. Hal ini dalam istilah Julia Kresteva (via Fairclough, 1995: 102) disebut dengan istilah intertekstualitas; penyisipan dari teks ke sejarah dan dari sejarah (masyarakat) ke dalam teks. Penyisipan sejarah ke dalam teks maksudnya ialah teks itu diserap dan dikonstruksi dari sejarah masa lalu kemudian menjadi artefak utama sebagai representasi dari suatu sejarah. Sementara penyisipan teks ke dalam sejarah artinya ialah teks tersebut bereaksi untuk menentukan ulang,
162
mendekonstruksi atau menentukan kembali teks di masa lalu dengan demikian dapat menciptakan teks baru dan sejarah baru yang dapat berimplikasi terhadap makna baru.
Oleh karena itu studi kearsipan memiliki peran penting untuk melacak keintertekstualitasan teks cerpen dengan teks historisnya. Ada penekanan pada kompleksitas masa lalu dan masa kini yang dapat dipikirkan, direpresentasikan, dan dilihat visibilitasnya di antara beragam teks, hal itu bergantung pada kekhasan yang tersisa dalam semua jenis arsip. Melalui arsip itu, teks dapat ditinjau kembali sebagai refleksi memori individu dan kolektif sehingga apa pun yang ada dan tidak dinarasikan dalam teks ―Saksi Mata‖ menjadi hubungan antara yang dapat dikatakan dan yang tidak dapat dikatakan.
Misalnya ketika Pak Hakim bertanya kepada tokoh saksi mata, ―Saudara
Saksi Mata masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?‖ (Ajidarma, 2016:
8). Kata ―pembantaian itu‖ merupakan kata penunjukan yang menuntut keberadaan referensi di luar dirinya, bersifat jauh dan kemungkinan bahkan berada di luar teks itu sendiri, tidak hadir namun berafeliasi sebagai makna yang menentukan. Hal ini berarti secara literer kata ―pembantaian itu‖ merujuk pada laporan kisah para saksi mata tentang Insiden Santa Cruz (lihat Ajidarma, 2005: 181) yang diliput oleh majalah Jakarta Jakarta kemudian dimuat dengan judul ―Pandangan Mata Saksi Tragedi” dalam Cerita dari Dili, Rubrik Gong! No. 288, 4-10. Berikut kutipan dari majalah Jakarta Jakarta tentang laporan kisah para saksi mata yang merupakan acuan daripada teks cerpen ―Saksi Mata‖.
163
―Tentara yang tidak pakai baju dan bawa senjata mesin, langsung menembak ke arah demonstran. Jarak tembakan kira-kira 10 meter. Lama tembakan 5 menit. Orang-orang yang berada di depan roboh semua kena tembak. Saat itulah tentara yang berseragam lengkap dan bawa sangkur mulai turun dan memeriksa mana yang masih hidup, dengan cara ditendang-tendang pakai kaki. Yang kelihatan masih bergerak dan masih hidup ditusuk pisau. Saya menyaksikan kekejaman mereka kurang lebih 10 menit, sampai saya dibentak oleh komandannya untuk segera keluar dari daerah tersebut. Saya segera meninggalkan Santa Cruz, tidak lama kemudian (sekitar 3 menit), terdengar lagi tembakan kedua, tidak lama sekitar 2 menit saja. Saya kira yang luka saja 200 lebih‖ (Ajidarma, 2005: 181).
Teks dalam Jakarta Jakarta tentang laporan para saksi mata kemudian ditampilkan oleh Ajidarma dalam bentuk estetik cerpen seperti berikut.
―Saudara Saksi Mata.‖ ―Saya, Pak.‖
―Apakah Saudara masih siap bersaksi?‖
―Saya siap, Pak. Itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbangan ke dokter mata, Pak.‖
―Saudara Saksi Mata masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?‖ ―Saya, Pak.‖
―Saudara masih ingat bagaimana mereka menembak dengan serabutan dan orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang?‖
―Saya, Pak.‖
―Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang, dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?‖
―Saya, Pak.‖
―Ingatlah semua itu baik-baik karena, meskipun banyak saksi mata, tidak ada satu pun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan, kecuali Saudara.‖
―Saya, Pak.‖
―Sekali lagi, apakah Saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?‖ ―Saya, Pak.‖
―Kenapa?‖
―Demi keadilan dan kebenaran, Pak‖ (Ajidarma, 2016: 8).
Berdasarkan perbandingan antara arsip majalah Jakarta Jakarta dengan cerpen ―Saksi Mata‖ tentang laporan saksi mata insiden Santa Cruz, maka diketahui bahwa dalam wujud arsip makna dapat terbebaskan dari kemungkinan
164
penggunaan yang sebenarnya, tetapi pembebasan juga merupakan suatu kehilangan, suatu abstraksi dari kompleksitas historis dengan demikian kekhususan penggunaan dan makna asli dari para saksi mata dapat dihindari dan bahkan dibuat tidak terlihat. Akibatnya, ketika arsip disajikan secara tidak kritis sebagai dokumen sejarah (akibat sensor), arsip tersebut diubah menjadi objek estetik yaitu cerpen ―Saksi Mata‖, kemudian segala hal ihwal tentang peristiwa insiden Santa Cruz mengalami konstruksi estetik misalnya ditandai oleh representasi dialog antara Pak Hakim dengan tokoh saksi mata.
“Saudara masih ingat bagaimana mereka menembak dengan serabutan dan orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang?”
“Saya, Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang, dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”
“Saya, Pak.”
Kedua pertanyaan dari tokoh Pak Hakim tersebut berasal dari keterangan para saksi mata dalam teks Jakarta Jakarta yang berbunyi seperti berikut. ―Orang-orang yang berada di depan roboh semua kena tembak. Saat itulah tentara yang berseragam lengkap dan bawa sangkur mulai turun dan memeriksa mana yang masih hidup, dengan cara ditendang-tendang pakai kaki. Yang
kelihatan masih bergerak dan masih hidup ditusuk pisau.‖
Visibilitas estetik dari praktik ini ialah peristiwa-peristiwa penting menjadi peristiwa yang dapat mengubah sejarah menjadi bacaan yang menghibur kemudian menghasilkan pemahaman yang sangat parsial tentang masa lalu karena teks ditampilkan secara guyon atau satir dengan lanskap narasi tentang peristiwa-peristiwa kekerasan tokoh ninja terhadap saksi mata.
165 ―Saudara Saksi Mata.‖
―Saya, Pak.‖
―Di mana mata Saudara?‖ ―Diambil orang, Pak.‖ ―Diambil?‖
―Saya, Pak.‖
―Maksudnya dioperasi?‖
―Bukan, Pak. Diambil pakai sendok.‖ ―Haaa? Pakai sendok? Kenapa?‖
―Saya tidak tahu kenapa, Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.‖
―Coba ceritakan apa yang dilihat mata Saudara yang sekarang mungkin sudah dimakan para penggemar tengkleng itu.‖
Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan menahan napas. ...
―Masih ingat pakaiannya barangkali?‖ ―Yang jelas mereka berseragam, Pak.‖
Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti dengungan seribu lebah. ***
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang. ―Seragam tentara maksudnya?‖
―Bukan, Pak.‖ ―Polisi?‖
―Bukan juga, Pak.‖ ―Hansip barangkali?‖
―Itu lho, Pak, yang hitam-hitam seperti di film.‖ ―Mukanya ditutupi?‖
―Iya, Pak, Cuma kelihatan matanya.‖ ―Aaah, saya tahu! Ninja, kan?‖
―Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya pakai sendok!‖ (Ajidarma, 2016: 3, 4-5).
Berdasarkan kutipan tersebut, tampaknya karakterisasi protagonis saksi mata menjadi pusat perhatian dari susunan-susunan peristiwa yang satir, kehadirannya sebagai protagonis menjadikan tokoh saksi mata sebagai objek yang marginal dari tindak kekerasan aparatur negara (tentara dan polisi) walaupun secara eksplisit tidak langsung menunjuk pada subjek tentara dan polisi namun
166
penyebutan istilah-sitilah seperti polisi, tentara, hansip, dan ninja merupakan istilah yang merujuk pada dirinya sendiri, hal ini dalam istilah Ajidarma (2016a: 35) disebut sebagai sastra yang berpolitik seperti halnya Shakespeare menyebut Denmark padahal maksudnya Inggris.
Jadi, cerpen ―Saksi Mata‖ melalui konstruksi ideologi humanisme tokoh saksi mata dan Pak Hakim tidak hanya memberikan rasa simpati kepada korban Insiden Santa Cruz melainkan juga merupakan formula estetik Ajidarma sebagai sarana untuk menyusun kembali kekerasan militerisme sebagai sesuatu yang secara inheren mampu terbaca. Keterbacaan kekerasan akhirnya menghadirkan konstruksi moral yang dapat dipahami sebagai negasi terhadap kekerasan militer itu sendiri, dan melaluinya kekerasan militer dibaca sebagai suatu kriminalitas yang perlu ditampilkan pada publik serta mendapatkan pengadilan publik dalam sudut pandang humanisme saksi mata dan Pak Hakim. Artinya, Ajidarma melalui ideologi humanisme tokoh saksi mata dan Pak Hakim ingin menampilkan kekerasan-kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparatur negara dengan cara-cara satir dan sarkas dengan lanskap penyajian alur dan penokohannya yang surealis dengan itu kemudian Ajidarma ingin mengkritik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer.