• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militerisme versus Humanisme pada Cerpen “Telinga”

Ideologi militerisme diwakili oleh tokoh tentara (pacar Dewi) dan tokoh Dewi sementara ideologi humanisme diwakili oleh Alina dan juru cerita. Juru cerita dalam cerpen ―Telinga‖ berlaku sebagai narator yang menyampaikan cerita tentang kekejaman kepada Alina. Alur cerita secara tematis menunjuk pada

167

kekejaman militer, cerita kekejaman dibingkai dengan lanskap kisah romansa dan perang (antara cinta dan kekejaman). Juru cerita dalam kisah ―Telinga memiliki peran yang sangat sentral khususnya berperan untuk membuka menutup cerita dan sekaligus memberikan informasi terkait kekejaman perang antara aparatur negara (tentara) dan masyarakat sipil. Melaluinya, juru cerita tidak hanya menampilkan representasi identitas tentara melainkan juga melakukan pengadilan publik terhadap tokoh-tokoh tentara. Pengadilan publik kekejaman tentara kemudian bergerak secara partikular untuk memicu atau bahkan menekan dengan agresif ke arah negatifisasi identitas dengan demikian suatu citra dominan tentang sosok tentara dirusak, hal itu terlihat dari cara-cara juru cerita mengkriminalisasi anggota tentara melalui narasi alur cerita yang disampaikan juru cerita kepada Alina.

―Kukirim telinga ini untukmu, Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan perang. Ini adalah telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang biasa memotong telinga orang-orang yang dicurigai sebagai peringatan atas resiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan.‖

―Telinga itu kugantung di ruang tamu dan tamu-tamu mengaguminya. Aku sangat terharu engkau masih teringat padaku di medan perang yang hiruk pikuk itu. Engkau pasti sangat lelah bertempur setiap hari dan menembaki musuh sampai mati.‖

―Dewi berpikir barangkali setiap orang yang ditemui pacarnya di medan perang itu semunya adalah orang-orang yang pantas dicurigai.‖

―Nun di medan perang, pacar Dewi sibuk membantai orang. Segenap prajurit yang dikirim ke medan perang itu telah menjadi sangat sibuk karena setiap orang mengadakan perlawanan.‖

―Bayangkanlah betapa sibuknya. Kami tidak hanya memotong telinga, kami harus memenggal kepala. itulah sebabnya. Dewi, aku tidak punya waktu untuk membalas suratmu‖ (Ajidarma, 2016: 13, 15, 17, 18, 19).

168

Tokoh tentara ditampilkan sebagai sosok yang kejam, terbiasa melakukan perang, melakukan kekerasan fisik, dan berambisi untuk meredam perlawanan. Artinya, pacar tentara Dewi ditampilkan oleh juru cerita sebagai sesosok tentara yang menginginkan kekerasan dan perang sebagai solusi perlawanan; akibatnya alur terus berlanjut ke persoalan-persoalan sarkasme (walaupun cenderung ―dibumbui‖ kisah romansa tetapi kisah kekajaman sama sekali tidak mencair).

Hal ini mengingatkan pada pernyataan Putu Wijaya yang disampaikan dalam Temu Sastra 1982 (via Rampan, 2000a: 784) bahwa ―Menulis ialah

menggorok leher, leher sendiri atau milik siapa saja tetapi tanpa menyakiti yang

bersangkutan, bahkan kalau bisa tanpa diketahui‖, atau dalam istilah Ajidarma

(2005: 41) ―Kalau lu sadis, gua bisa lebih sadis‖. Oleh sebab itu, dalam cerpen

Telinga, Ajidarma melalui tokoh-tokoh prajuritya menghadirkan suatu lanskap

kekejaman perang sebagai peristiwa teror dan kriminologis.

Perang telah digambarkan sebagai pembantaian tercela atau penjagalan heroik tokoh-tokoh yang dianggap pemberontak, hal itu diketahui melalui surat-surat Dewi dengan pacaranya. Meskipun Dewi mengetahui bahwa pacarnya telah melakukan kekerasan dan pembunuhan; memotong telinga dan memenggal kepala orang-orang yang dianggap sebagai pemberontak, justru Dewi bersimpati dengan kelakuan pacar tentaranya, Dewi kemudian mengoleksi telinga-telinga hasil dari pemotongan di medan perang. Kecenderungan yang demikian ini menempatkan Dewi dan tentara sebagai penganut paham ideolgi militerisme, bagi Ben-Eliezer dan Lutz (via Adelman, 2003: 1122-1123) militerisme dianggap sebagai pandangan dunia yang terbiasa melegitimasi dan mengutamakan kekerasan

169

terorganisasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik. Militerisme adalah ideologi serta seperangkat pengaturan kelembagaan yang berpusat pada mobilisasi masyarakat yang berkelanjutan untuk mempersiapkan dan mendukung perang. Militerisme mengaburkan batas-batas antara apa yang dapat didefinisikan sebagai militer dan apa yang dapat dipandang sebagai bagian dari kehidupan sipil, militerisme menuntut agar seluruh masyarakat dibangun sesuai dengan nilai-nilai dan prioritas militer. Meskipun militer sebagai institusi dan sarana kekerasan terorganisasi tetapi di sisi lain militer menjadi bagian sentral dari masyarakat yang dimiliterisasi, pada posisi tersebut militer akan mengiradiasi sebagian dari keseluruhan sistem budaya, politik, dan ekonomi masyarakat sipil yang dibentuk oleh militerisme oleh sebab itu militerisasi menarik perhatian pada sifat material dan diskursif dari dominasi militer secara simultan.

Kecenderungan Dewi sebagai masyarakat yang menerima ideologi militerisme sebagai ideologi yang ideal membuat Dewi memberikan dukungannya terhadap perang yang diorganisasi oleh tentara, oleh sebab itu pengoleksian Dewi terhadap telinga yang dihasilkan oleh kekerasan tentara menandakan ada kedekatan spasial antara Dewi sebagai masayarakat yang terhegemoni dengan militer dan kekerasan yang dilakukannya; melaluinya, kisah kekerasan ini memicu teror yang mencekam, soalah-olah menteror tokoh Alina [khusunya bagi pembaca yang memungkinkan mengategorikan cerpen ―Telinga‖ sebagai cerita tentang kekejaman] seperti adanya pesta pora pertempuran, luka dan mayat, perang tanpa akhir, pemberontakan, kekacauan, senjata, pemotongan telinga, dan pemenggalan kepala, hal semacam itu dapat menurunkan status tentara sebagai pahlawan ke

170

pangkat pembantai. Representasi kekerasan perang sebagai krimonologis memberi harapan bahwa toleransi dan keadilan mungkin merupakan hasil dari sikap antiheroik; suatu sikap yang mungkin ingin diadopsi oleh kriminologi perang dalam cerpen ―Telinga‖.

Hal itu tampaknya merupakan upaya Ajidarma untuk mengahadirkan peristiwa historis yang jauh dan yang lampau secara tekstual melalui surat-surat antara Dewi dengan pacarnya dan melaluinya status kepahlawanan tentara kemudian direduksi pada status pembantai. Peristiwa historis itu tidak terlepas dari sejarah masyarakat; memiliki konektor pragmatika antara teks dengan realitas sesungguhnya bahwa teks ―Telinga‖ ialah teks yang secara tekstual memiliki referensi pragmatika dengan realitas historis.

―Dewi menulis surat kepada pacarnya. ...

Telinga itu kugantung di ruang tamu dan tamu-tamu mengaguminya. Aku sangat terharu engkau masih teringat padaku di medan perang yang hiruk pikuk itu. Engkau pasti sangat lelah bertempur setiap hari dan menembaki musuh sampai mati‖ (Ajidarma, 2016: 15).

Kutipan tersebut dapat merujuk secara harfiah pada kematian entitas abstrak. Personifikasi abstrak melibatkan apa yang disebut oleh Fauconnier (1994: 1-10, 73-81) sebagai konektor pragmatika perangkat yang memungkinkan seseorang untuk merujuk bukan ke referensi utama ekspresi tetapi ke beberapa entitas yang terkait dengan referensi tersebut. Misalnya pada berita yang berjudul

Misteri Siluman Berambut Gondrong (Jakarta Jakarta No. 288, 10 Januari:

100-101) dan hasil wawancara dengan Gubernur Mario Viegas Carrascalao tentang pemicu Insiden Santa Cruz 1991 perihal penyiksaan dan pemotongan telinga dua

171

pemuda asal Timor Timur. Berita dan hasil wawancara kemudian ditransformasi oleh Ajidarma menjadi materi fundamental pada cerpen ―Telinga‖ untuk menciptakan antiheroik militer.

Namun judul ―Telinga‖ pada cerpen sifatnya bukan hanya penanda intertekstualitas melainkan memiliki makna simbolik sebagaimana Gadamer (1993: 77) mengutip dari Goethe, "Segala sesuatu yang terjadi adalah simbol, sepenuhnya mewakili dirinya sendiri yang menunjuk ke arah yang lain". Artinya, judul Telinga telah menjadi simbol; simbol telinga dapat berfungsi sebagai alat untuk mendengar, namun jika ternyata telinga itu dipotong maka fungsinya sebagai alat pendengaran tidak berguna lagi, hal inilah yang tampaknya menjadikan Dewi, keluarganya, dan teman-temannya merasakan heroisme pada tokoh-tokoh tentara; hal demikan terjadi karena telinga sebagai alat pendengaran telah kehilangan eksistensinya untuk mendengar ―kebenaran‖ dengan demikian orang-orang yang telah memperlakukan tentara menjadi hero berperan sebagai publik yang terhegemoni, di sinilah peran ideologi militerisme dan nasionalisme semu disisipkan pada kesadaran publik sebagai cara-cara para elite melegitimasi keputusan untuk berperang.

Hegemoni pada tahap ideologis ini kemudian membentuk internalisasi gagasan budaya yang mendukung agresi militer, termasuk sosialisasi, alienasi, definisi situasi, kepatuhan terhadap otoritas dan normalisasi. Akibatnya, kekerasan tentara (pacar Dewi) memiliki akar struktural, budaya dan ideologi dalam benak Dewi, keluarganya, dan teman-temannya oleh sebab itu mereka mendukung kekerasan tentara kemudian mendudukkan tentara sebagai simbol dari

172

pahlawan. Tetapi heroisme pada tokoh-tokoh tentara itu sebaliknya dikecam oleh tokoh Alina dan juru cerita.

―Alangkah kejamnya pacar Dewi itu,‖ ujar Alina kepada juru cerita itu.

Maka, juru cerita itu pun menjawab, ―Tapi, banyak orang menganggapnya pahlawan‖ (Ajidarma, 2016: 19).

Ajidarma mencoba mendeskripsikan kekerasan-kekerasan tentara kemudian menegatifisasi karakter-karakter tokohnya sebagai tokoh yang kejam sehingga dapat memosisikan karakter tokoh itu sebagai kelompok luar (out group) yang tidak berprikemanusiaan, sadis, totaliter. Kemudian di akhir cerita, Ajidarma meragukan kepahlawanan dari tokoh-tokoh tentara dengan skeptis ―tapi, banyak orang menganggapnya pahlawan‖ dengan itu terjadilah proses deheroisme pada tokoh tentara.

Sehingga perubahan timbal balik status dari heroisme ke status pembantai dapat memunculkan empati terhadap orang-orang yang terpinggirkan, terhadap tokoh-tokoh yang telah dipotong telinganya dan yang telah dipenggal kepalanya. Empatida lam perjumpaan timbal balik status meminta pembaca sebagaimana Alina untuk bersimpati dan mengecam kekerasan ideologi militerisme dengan demikian empati tidak mengikat subjek dengan mengikatnya pada subjek lain, empati memberikan pedoman untuk tindakan atas nama kehidupan dan kemanusiaan (humanisme); hal semacam ini ialah gagasan Ajidarma yang berusaha untuk melindungi hak-hak asasi manusia daripada menghancurkannya. Bahkan hal inilah menjadi titik tolak teks ―Telinga‖ untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap wacana kekerasan dan sebagai gantinya dapat

173

memproduksi ideologi alternatif tentang kemanusiaan dan lalu mentransformasinya ke dalam ilusi sastra untuk mengubah pembaca menjadi warga dunia yang bersimpati dan mendukung hak asasi kemanusiaan sebab bagi Vargas Llosa (via Ruggiero, 2018: 10) ―Kehidupan dalam fiksi lebih baik, dan sastra membantu kita melihat perbudakan di mana kita hidup ... sastra mengingatkan kita bahwa dunia ini dibuat dengan buruk dan karenanya dunia itu bisa dibuat lebih baik lagi‖.

Jadi, ideologi humanisme juru cerita dan Alina menampilkan visibilitas kekejaman perang sebagi konteks historis untuk memberikan kesadaran kritis bagi pembaca bahwa ideologi militerisme ternyata mampu mengalienasi nilai-nilai kemanusiaan dan dengan itu diharapkan agar dunia bisa lebih baik daripada sebelumnya dengan demikian hal ini dapat menjelaskan kepedulian Ajidarma terhadap korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia untuk menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai posisi sentral dari kehidupan yang selanjutnya dapat mengalienasi bentuk-bentuk kekerasan ideologi militerisme.

Garis besar

Dokumen terkait