• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tema kunci dalam cerpen ―Manuel‖ ialah peperangan; suatu usaha mendominasi teritorial geografis melalui senjata dan agresi militer. Cerita diawali dengan peristiwa penyerbuan pasukan payung dengan kapal perang dari arah laut dan darat yang menembakkan bom menuju rumah-rumah penduduk dan kemudian menurunkan pasukan payung untuk mendominasi kekuasaan secara spasial. Tokoh Manuel mengalami marginalisasi, Manuel terasing dari wilayah

174

teretorialnya sehingga membuat Manuel mengungsi bersama keluarga dan penduduk setempat.

―Perjalanan itu adalah suatu penderitaan bagiku. Namun, kelak akan kusadari, betapa tak terbayangkan penderitaan macam apa lagi yang akan kami alami kemudian. Sepanjang jalan pesawat-pesawat tempur memburu kami dalam kegelapan. Kami, rombongan pengungsi yang beribu-ribu orang itu, kacau balau bagaikan semut yang ketakutan‖ (Ajidarma, 2016: 22-23).

Manuel menjadi entitas kesadaran kolektif dari kelompoknya yang terasing dan yang menderita. Manuel menghilangkan jarak ontologis antara dirinya yang personal dengan entitas kesadaran komunal sehingga yang dideskripsikan oleh Manuel bukanlah eksistensi ―ke-aku-an‖, melainkan ―kami‖ yang teraleniasi dan yang menderita. Akibatnya, Manuel telah mendemarkasi polarisasi kelompok antara ―kami‖ yang mewakili ideologi nativisme (khususnya Manuel) dan ―mereka‖ yang mewakili ideologi militerisme (khususnya pasukan asing dan atau pasukan payung). Kami menjadi kelompok yang termarginalisasi dan ―mereka‖ menjadi kelompok yang mendominasi. Demarkasi kelompok dipertegas dengan citra kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ―mereka‖ (out group). Misalnya representasi kekerasan kelompok ―mereka‖ dengan cara pendeskripsian aktivitas pengeboman, pembunuhan, dan penyiksaan terhadap kelompok ―kami‖.

―Ternyata pemboman itu berlangsung selama tiga bulan. Ketakutan dan kengerian kami sampai hilang sama sekali karena barangkali telah melewati batas.

―Di manakah ayahmu?‖

175

Nenekku, kau tahu, nenekku yang sudah berumur 74 tahun, diiris kulit pipinya dan disuruh makan kulit pipi itu mentah-mentah untuk ditanya seperti apa rasanya‖ (Ajidarma, 2016: 24, 26-27).

Kekerasan-kekerasan pada kutipan data menunjukkan betapa kekuasaan militer dapat mengalienasi suatu kelompok, menciptakan penderitaan individu dan kolektif serta dapat menghilangkan hak asasi manusia. Namun juga secara dialektik menghasilkan kesadaran kritis bagi kelompok (in group) Manuel untuk melakukan perjuangan secara defensif atas kuasa dan dominasi militer dengan cara melakukan perlawanan bersenjata di gunung-gunung. Namun perlawanan kelompok bersenjata ternyata tidak membawa dampak berarti bagi eksistensi kelompoknya sebagai subjek yang seharusnya merdeka dan hal itu pada akhirnya membawa Manuel kembali ke kota tempat kelahirannya.

Ketika Manuel kembali ke kota kelahirannya ternyata Manuel tetap merasa terasing di tempatnya sendiri; tempat, benda-benda materiel serta aktivitas kultural telah terdegradasi dari nilai-nilai dan identitas ―ke-kami-an‖ kelompok Manuel. Nilai-nilai identitas inilah yang dipertanyakan, dicari, dan inginkan oleh Manuel.

―Kami bisa makan, kami bisa minum, tapi kami tidak memiliki diri kami sendiri. Kota kami yang damai itu kini penuh dengan pasukan asing, banyak mata-mata berkeliaran dan selalu mencurigai kami. Kami bersekolah, tetapi kami tidak boleh berpikir dengan cara kami sendiri. Kami tidak berbicara dalam bahasa kami, kami tidak mempelajari bahasa kami sendiri, dan kami tidak mungkin mengungkapkan pendirian dan cita-cita kami, karena setiap kali hal itu dilakukan, selalu ada yang ditangkap, disiksa, dan masuk bui tanpa diadili. ...‖

―Kami bahkan begitu sulit untuk mengadakan pesta seperti adat kebiasaan kami karena setiap pertemuan orang banyak dianggap persekongkolan. Orang-orang dicurigai menurut selera sendiri dan introgasi berlangsung dengan cara yang kejam sekali. Tak cukup dengan bentakan,

176

ancaman, dan pukulan. Nenekku, kau tahu, nenekku yang sudah berumur 74 tahun, diiris kulit pipinya dan disuruh makan kulit pipi itu mentah-mentah untuk ditanya seperti apa rasanya‖ (Ajidarma, 2016: 26-27).

Ketika Manuel kembali ke kotanya setelah sekian lama mengungsi dan melakukan perlawanan di gunung-gunung secara sparatis, tampaknya Manuel tidak menemukan lagi identitas kultural pada tempat/kota yang Manuel tempati sehingga terciptalah pemisahan dan jarak relasional antara Manuel dengan ruang publik kota, kota tidak lagi menjadi tempat yang damai sebagai tempat pelembagaan identitas kulturalnya. Kehilangan identitas kultural merupakan tema kunci dalam cerita ―Manuel‖, kunci untuk mempersinggungkan antara konfrontasi ideologi militerisme versus nativisme, pengisahan sejarah kelas, kota dan identitas kultural pada tokoh Manuel, dan pada titik tersebut Manuel mengkritisi perubahan-perubahan kota yang disebabkan invasi militer terhadap kota, sehingga Manuel menyadari bahwa perubahan kultural pada kotanya diakibatkan oleh dominasi militer yang berpretensi untuk menghilangkan identitas kultural, hak, dan kebebasan individu sebagai subjek yang merdeka.

Akibatnya timbul kesadaran ideologi pada diri Manuel, suatu pandangan nativisme untuk kembali pada masa lalu. Higham mendefinisikan nativisme ini sebagai oposisi kuat terhadap minoritas internal atas dasar koneksi asing, lain halnya dengan Fry secara komprehensif menyatakan bahwa nativisme adalah upaya kolektif penduduk asli yang diidentifikasi sendiri untuk mengamankan atau mempertahankan hak-hak sebelumnya yang secara eksklusif menghargai sumber daya penduduk asli atas populasi prospektif berdasarkan persepsi keterasingannya (via Maertens, 2017: 6-7).

177

Pandangan nativisme Manuel berkaitan dengan persoalan siapa yang harus diidentifikasi sebagai bagian dari kelompoknya dan dengan demikian mencoba untuk mempertahankan status quo politik, sosial, dan budaya kelompok itu. Seperti yang ditunjukkan oleh Uri Friedman (via Maertens, 2017: 7) para nativis sendiri biasanya mengidentifikasi diri mereka sebagai patriot, oleh sebab itu Manuel melakukan perlawanan di gunung-gunung karena merasa dirinya sebagai patriot yang mempertahankan status quo sebagai bangsa yang independen, sehingga nativisme pada tokoh Manuel intinya berkaitan dengan pelestarian identitas kultural dan pendifinisan batas-batas antara siapa yang akan dimasukkan dan siapa yang harus dikeluarkan dari kelompoknya dengan demikian kelompok Manuel diupayakan harus dilindungi dari kelompok lain yang dapat dikecualikan berdasarkan ras, etnis, dan ideologi yang diorganisasi berdasarkan prinsip dasar klasifikasi dan penentuan siapa dan apa yang dianggap sebagai bagian dan bukan bagian dari identitas ―kota dan kelompok kami‖.

Kecenderungan untuk menetapkan batas-batas identitas kelompok sangat kuat di masa pascaperang. Gerakan-gerakan nativisme Manuel menawarkan kolektivitas penduduk kota sebagai kelompok yang terasingkan dan terdegradasi dari identitas kultural yaitu sebagai kelompok yang kehilangan peran politik, status, dan kekuasaan akibat dari dominasi militer pasukan asing dengan demikian Manuel ingin melindungi identitas kultural yang dimiliki misalnya seperti bahasa, adat, dan hak individu. Oleh sebab itu Manuel menentang perubahan yang terjadi pada kota, dan lebih menyukai kembali ke masa lalu, ke masa kota yang damai, ke masa ketika Manuel dan orang-orang lainnya masih berkuasa atas nasibnya sediri.

178

Tidak mengheran jika Manuel menginginkan untuk kembali pada masa kota yang damai karena Manuel semakin merasa sebagai orang asing di kotanya sendiri, ―Kami tidak memiliki diri kami sendiri‖ kata Manuel kepada tokoh intel.

Kemungkinan pada titik keterasingan Manuel, Ajidarma membayangkan Timor Timur untuk melakukan gerakan nativisme dengan gagasan bahwa kekuasaan harus diserahkan kembali kepada orang-orang yang benar-benar berasal dari Timor Timur yang juga mengandung pesan tersirat bahwa ideologi militerisme dianggap berfungsi untuk kepentingan nonpribumi atau merusak kelompok asli bangsa Timor Timur dengan demikian pada tahap iniliah Ajidarma merasa dirinya seolah mewakili kelompok Manuel yang secara konsisten merasa diabaikan oleh elite pemerintahan. Sebagaimana sindiran Manuel terhadap tokoh elite pemeritahan ―Saya sulut sebatang rokok, tapi segera saya matikan. Menurut

pemerintah, merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Bukankan pemerintah selalu

benar?‖ (Ajidarma, 2016: 23).

Kecenderungan anti elitis Manuel secara teratur diekspresikan melalui penghinaan terhadap aturan-aturan pemerintah yang disindir oleh Manuel sebagai pemerintahan yang selalu benar (padahal mungkin sebaliknya). Hal inilah yang dapat menciptakan demarkasi politik antara elite pemerintahan dan Manuel. Akibatnya, Manuel semakin merasa terasing dari kepemimpinan pemerintahan yang menempatkan militer sebagai sentralisme kekuasaan sementara elite pemerintahan hanya melanjutkan tujuan kepemimpinannya sendiri dan tidak hadir untuk mewakili kepentingan dari kelompok Manuel.

179

Atas dasar pandangan nativisme pada tokoh Manuel tersebut pada dasarnya Ajidarma bertujuan untuk merevitalisasi kultur sosial Timor Timur sebagaimana adanya (bukan sebagaimana harusnya); yaitu menginginkan demiliterisasi, dekolonialisasi, dan antidominasi sebagai upaya menciptakan ruang-ruang kebebasan bagi individu atau kelompok agar mampu berekspresi, berbahasa, dan berorganisasi untuk mengembalikan Timor Timur ke identitas aslinya sebagaimana direpresentasikan oleh setting tempat cerpen sebagai ―kota yang damai‖.

Garis besar

Dokumen terkait