• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militerisme, Nasionalisme, dan Humanisme pada Cerpen “Kepala di Pagar Da Silva”

Ideologi humanisme diwakili oleh tokoh Alfonso, sementara ideologi nasionalisme diwakili oleh Da Silva dan ideologi militerisme diwakili oleh tokoh serdadu. Humanisme Alfonso bertitik tolak dari rasa empatinya pada kematian Rosalina (anak Da Silva) yang dipotong kepalanya oleh serdadu dan kepala itu kemudian ditancapkan di pagar rumah Da Silva.

―Terdengar napas terengah-engah. Dalam kegelapan itu hanya terlihat cahaya sepasang mata yang ketakutan.

―Aku tidak percaya ....‖ ―Kepala siapa?‖

―Rosalina!‖ ―Rosalina?‖ ―Rosalina!‖

Kini terdapat cahaya dua pasang mata yang memancarkan sorot ketakutan dalam gelap itu.

―Rosalina. Kenapa mereka membunuh Rosalina?‖ ―Kenapa harus memenggalnya?‖

―Kenapa harus ditancapkan di depan rumah bapaknya?‖

Gumpalan mega di langit membungkus rembulan itu sehingga malam tiba-tiba saja menjadi begitu gelap dan gulita.

―Kita ambil saja kepala itu?‖ ―Kenapa?‖

―Kasihan Da Silva‖

―Jangan sampai dia melihatnya. Rosalina anak perempuan satu-satunya.‖

Terdengar suara desah. ―Kenapa? Kamu takut?‖ ―Sudah jam malam.‖

―Aku takut seperti Pereira. Diinjak-injak di atas truk dan kepalanya bocor dihajar popor senapan.‖

Terdengar desah yang lain.

Lantas, malam menjadi begitu sunyi dan begitu senyap. Hanya angin, mendesis-desis, seperti membawa kabar buruk dari benua yang jauh‖ (Ajidarma, 2016: 120-131).

237

Melalui pemotongan kepala Rosalina kemudian secara literal mendapat arti simbolik bahwa pemotongan kepala telah mengakibatkan terjadinya pemotongan terhadap nilai-nilai kemanusiaan atau lazim disebut dengan dehumanisasi, dan Ajidarma melalui tokoh Alfonso sebenarnya bersimpati terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan dan atau dehumanisasi dan melaluinya kemungkinan besar Ajidarma menginginkan suatu totalitas kehidupan yang menempatkan manusia sebagai subjek yang merdeka atas dirinya sendiri tanpa harus ada intervensi dari berbagai kekuatan mana pun yang berpretensi mendehumanisasi manusia sebagai subjek kehidupan. Oleh sebab itu Alfonso pada cerpen ―Kepala di Pagar Da Silva‖ mewakili pandangan humanisme tersebut untuk mengkritik dan sekaligus melawan pandangan yang anti-kemanusiaan. Alfonso merasa bersedih dan sekaligus mengalami ketakutan, bersedih karena Rosalina yang tidak mengerti apa-apa tentang politik ternyata menjadi korban dari kekerasan militerisme dan sekaligus takut karena perlawanan terhadap militerisme dianggap dapat juga menghilangkan nyawanya sendiri akibatnya Alfonso tidak melakukan apa-apa selain daripada meratapi dan bersimpati pada nilai-nilai kemanusiaan yang telah hilang itu. Sementara dalam teks cerpen ―Kepala di Pagar Da Silva‖ pandangan humanisme itu disupermasi sedemikian rupa sehingga ada kecenderungan dapat mengambil simpati pembaca untuk meligitimasi humanisme pada posisi kesadaran yang paling dasar, akibatnya segala hal ihwal yang menyebabkan terjadinya dehumanisasi kemudian diposisikan sebagai nilai yang tidak ideal, misalnya kekerasan militerisme.

238

Kekerasan militerisme semakin mendapat penilaian buruk ketika narasi semakin bergerak pada deskripsi pemotongan kepala Rosalina, dan hal itu semakin didramatisasi melalui teknik citra penglihatan pada keadaan objek kepala Rosalina di dalam teks, dengan kata lain kepala Rosalina tidak hanya menjadi suatu entitas objek yang mati, justru melalui kepala sebagai objek simbolik terus bergerak membawa narasi-narasi kekejaman dan melaluinya mendapatkan sugestif moral yang terkait erat dengan kesadaran humanisme, sebagaimana hal itu digambarkan oleh Ajidarma pada kutipan data berikut.

―Matanya terbuka, seperti berkata-kata. Kita sering kali cepat mengerti sorotan mata orang yang hidup, tetapi kita tidak bisa memastikan apa yang dimaksudkan oleh sorot mata orang yang sudah mati. Apakah mata itu memancarkan sesuatu dari dunia ini ataukah dari dunia orang-orang mati? apakah mata itu bisa berkisah tentang apa yang dialami pemiliknya? ....

Rambut yang tadi menutup dahi kini tersibak karena angin. Ujung pitanya yang terjalin manis di rambut itu bergerak-gerak. Rambut yang merah, keriting, dan panjang, melambai-lambai di tengah malam.

Kepala itu tertancap dengan baik, seperti dilesakkan oleh tangan yang kuat di tombak pagar yang tidak terlalu mudah juga mencabutnya kembali. Darah masih mengalir dari potongan lehernya. Pastilah itu leher yang jenjang. Sebagian mengalir merayapi jeruji pagar. Sebagian menetes-netes dari ujung kulit leher yang tersayat dengan kasar, menetes-netes langsung ke tanah. Dari dalam tanah semut-semut mulai bergerak menyusuri jeruji. Seekor walang sengit menempel sebentar di hidungnya, lantas melayang legi entah ke mana. Seekor bencok mengencingi ubun-ubunnya, sebelum akhirnya meloncat dan menghilang.‖

―Tiba-tiba hujan turun .... Bumi segera basah. Kepala itu basah kuyup. Rambutnya juga basah. Air hujan membasahi wajahnya, menetes-netes dari mulutnya yang setengah terbuka. Matanya tetap saja terbuka. Setiap kali kilat menerangi bumi, seperti ada cahaya meluncur dari mata itu, seperti ingin bercerita‖ (Ajidarma, 2016: 132-133, 134-135).

Penggambaran kepala Rosalina yang telah dipotong dan ditancapkan di pagar tidak hanya berfungsi untuk menceritakan objek kekerasan sebagai bentuk

239

simpati terhadap nilai-nilai kemanusiaan melainkan juga dapat menuntut kehadiran subjek yang mengakibatkan adanya dehumanisasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan oleh sebab itu narator (Ajidarma) berkata ―Apakah mata itu bisa

berkisah tentang apa yang dialami pemiliknya?‖ dan dalam teks inilah kemudian

kisah yang dialami oleh kepala Rosalina itu ditampilkan ke publik sebagai bentuk pengadilan terhadap kekejaman militer yang terepresentasi pada tokoh-tokoh serdadu.

―Sejumlah serdadu berloncatan turun. Mereka mengenakan seragam berwarna gelap. Terdengar percakapan.

―Sudah pulang orangnya?

―Sudah, tapi pasti dia belum lihat. Kepala itu masih di situ.‖

Salah seorang menyentuh kepala itu dengan ujung laras senapannya sehingga kepala itu agak berubah letaknya.

―Bikin dia melihat.‖

Terdengar suara cekikikan yang ditahan-tahan. ―Ya sudah, naik dulu semua.‖

Serdadu-serdadu itu naik kembali. Tinggal satu orang yang tinggal, membungkuk-bungkuk sambil menyorotkan senter, mencari sesuatu.

―Ada?‖ ―Ada!‖

Kemudian, ia melemparkan batu yang dipungutnya ke pintu rumah Da Silva. Suaranya terdengar menggebrak keras sekali. Tapi, tidak ada reaksi langsung dari dalam.

Serdadu itu melompat naik, lalu truk itu menderu pergi.

Di rumah sebelah, kedua orang yang mengintip masih mendengar suara orang tertawa-tawa di dalam truk tentara.

Da Silva juga masih mendengar suara orang tertawa-tawa itu ketika ia menyeret kakikinya menuju ke pintu‖ (Ajidarma, 2016: 137-138).

Berdasar pada kutipan data tersebut, serdadu tidak hanya ditampilkan sebagai kelompok militer yang kejam melainkan ditampilkan sebagai representasi dari suatu bentuk terorisme negara yang totalitarian, hal demikian terlihat dari sikap para serdadu yang memaknai kekejaman sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan memandang pemotongan kepala Rosalina sebagai objek hiburan untuk

240

memberikan teror kepada tokoh Da Silva dengan demikian tokoh-tokoh serdadu itu ingin memproduksi kepatuhan pada tokoh Da Silva yang menganut ideologi nasionalisme; memperjuangkan kemerdekaan bangsaanya bahkan sampai-sampai kehilang anggota keluarga seperti Maria, Rui, Eusebio, Manuel, dan yang terakhir ialah Rosalina.

―Lantas, Da Silva tertidur dan bermimpi. Begitulah ia melihat almarhum istrinya berjalan tenang-tenang dalam hujan. Istrinya mengenakan baju pengantin adat yang meriah, tapi basah kuyup. Begitu lambat langkah istrinya itu, begitu ringan -- melambai dan melangkah pergi.

―Maria!‖ Da Silva memanggil. Maria melangkah terus.

Di antara cahaya kilat yang berkeredap, Da Silva masih bisa melihat lubang-lubang peluru yang mengucurkan darah di punggung Maria.

Dari kegelapan tempat menghilangnya Maria, muncul ketiga anak laki-laki Da Silva. Ia tersenyum dalam tidurnya. Betapa ceria anak-anak itu, mereka semua menyandang senapan dan berkalung rentetan peluru. Mereka tertawa-tawa dan melambaikan tangan dalam siraman hujan.

―Rui!‖ ―Eusebio!‖ ―Manuel!‖

Tapi, mengapa tubuh mereka tiba-tiba retak dan ambyar bergelimpangan terserak-serak di atas tanah?

Da Silva terlonjak bangun betapa ia merasa sudah berkorban terlalu banyak karena memperjuangkan kemerdekaan‖ (Ajidarma, 2016: 135-136).

Oleh sebab itu, data tersebut menunjukkan bahwa selain juga yang terdapat pada cerpen ―Salazar‖ dan cerpen ―Kepala di Pagar Da Silva‖ semakin memperjelas posisi Ajidarma sebagai pengarang yang problematis. Alih-alih Ajidarma memposisikan diri sebagi pengarang yang mewakili bangsa Timor Timur namun secara paradoks Ajidarma tidak bersimpati terhadap cita-cita kemerdekaan Timor Timur, hal itu terlihat dari posisi tokoh Alfonso yang secara tendensius mewakili nilai-niai humanisme namun tidak bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan dan atau nasionalisme Da Silva.

241

Pintu kembali tertutup, lalu terdengar isak tangis tertahan-tahan. ―Ssshhh. Sudah sudah. Tabahkan hatimu. Kita semua menderita.‖ ―Mengapa harus Rosalina? Mengapa harus Rosalina?‖

―Sudahlah, bukan cuma kamu yang terluka. Hampir seumur hidup kita tertekan. Tak bisa kubayangkan perasaan Da Silva.‖

―Da Silva patut menerima segala resiko kenekatannya, tapi bukan Rosalina. Ia tidak tahu apa-apa ....‖ (Ajidarma, 2016: 133).

Hal tersebut kemudian mengindikasikan sikap Ajidarma yang berkecenderungan pada nilai-nilai humanisme tetapi tidak dengan cita-cita kemerdekaan Timor Timur, hal ini kemudian berbanding terbalik dengan yang pernah dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer pada novel Perburuan dan Bumi

Manusia, berdasarkan catatan Faruk (2018: 155) Pramoedya Ananta Toer

berkecenderungan menempatkan humanisme sebagai kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia untuk memperjuangan kemerdekaan Indonesia melawan kolonialisasi, tetapi tidak demikian dengan Ajidarma. Ajidarma lebih berkecenderungan menekankan pada nilai-nilai humanisme universal dan pembelaannya pada moralitas akal-budi dan gagasan tentang kodrat manusia yang universal, yang melampui batas-batas sosial dan historis (Mattick via Faruk, 2018: 151). Hal yang paling tendensius melalui supermasi humanisme ini ialah memberikan jarak kritis terhadap ideologi militerisme.

13) Militerisme, Radikalisme, dan Humanisme pada Cerpen “Sebatang

Garis besar

Dokumen terkait