• Tidak ada hasil yang ditemukan

Humanisme versus Radikalisme pada Cerpen “Bunyi Hujan di Atas Genting”

Ajidarma menggunakan narator orang ketiga juru cerita dalam cerpen ―Bunyi Hujan di Atas Genting‖ untuk menyampaikan cerita tentang ketakutan kepada Alina dengan demikian Ajidarma bermaksud membangun jarak antara dirinya sebagai pengarang dan pembaca teks sebagai penafsir, sehingga memungkinkan pembaca merasakan seolah-olah teks tersebut langsung diceritakan padanya oleh tokoh seorang juru cerita yang ada dalam teks. Hal ini dalam istilah Rampan (2000b: xlvii) dianggap sebagai inovasi estetik Ajidarma terhadap penceritaan cerpen dengan cara merekreasi realitas fiktif pada realitas dongeng dengan demikian estetika dongeng dapat beroperasi sebagai media untuk menghegemoni pembaca tanpa pembaca menyadari bahwa dirinya sedang dihegemoni. Oleh karena itu, teks ―Bunyi hujan di Atas Genting‖ merupakan gelanggang hegemoni terhadap pembacanya.

Tokoh juru cerita sebagai narator tampaknya bertindak sewenang-wenang di akhir cerita dengan cara menutup cerita melalui teknik twist menggantung. Hal ini merupakan situasi yang dapat mempertanyakan kelanjutan cerita di dalam benak pembaca dengan begitu fungsi teknik ini sebenarnya ialah transmisi naratif sehingga narasi yang ada dalam teks tetap berlanjut, dipertanyakan, didramatisasi,

111

dan diilustrasikan di dalam pikiran pembaca, hal ini merupakan kreativitas estetik Ajidarma untuk menggerakkan kesadaran ideologi dalam pikiran pembaca, seperti yang pernah dikatakan oleh Lionel Trilling ―Ada sebuah benak/pikiran masyarakat dan pikiran inilah yang disapa, diajar, dibedah, diilhami, dievaluasi, dikiritsi dan diperbaharui secara terus menerus oleh penulis (via Said, 2017: 28). Kesadaran ideologis tersebut digerakkan dan dipersuasi melalui tokoh Sawitri dengan menempatkan dirinya sebagai posisi tokoh oposan terhadap ideologi radikalisme dan memiliki kecenderungan berpihak pada nilai-nilai humanisme; ada suatu nilai kemanusiaan yang diperjuangkan tokoh Sawitri dengan menggerakkan kesadaran universal tentang kemanusiaan.

―Sawitri kadang-kadang merasa orang itu ingin berteriak bahwa ia tidak mau mati dan masih ingin hidup dan ia punya istri dan anak-anak. Kadang Sawitri juga melihat mata yang bertanya-tanya. Mata yang menuntut. Mata yang menolak takdir‖ (Ajidarma, 2007a: 18).

Tokoh Sawitri membayangkan mayat-mayat bertato melakukan aktivitas sebagaimana orang hidup, memiliki ekspresi dan emosi; merasa tidak ingin mati, merasa ingin kembali pada keluarga, menuntut, dan menolak takdir. Hal ini dalam istilah Wellek dan Warren (via Faruk, 2018: 12) disebut sebagai bangunan dunia imajiner, citra-citra dan imajinasi merupakan obsesi imajinatif tokoh Sawitri terhadap korban-korban pembunahan dengan cara memvisualisasikan tokoh-tokoh itu seolah-olah ingin hidup, seolah-olah ingin kembali pada keluarga, seolah-olah menuntut dan seolah-olah menolak takdir, tetapi nyatanya Sawitri menyadari bahwa tubuh-tubuh korban itu tetaplah tubuh yang mati yang tercerabut dari dunia kehidupan. Oleh sebab itu melalui tokoh Sawitri, Ajidarma menginginkan

112

transimisi ideologi humanisme dengan cara memprofokasi emosi pembaca bahwa ―tubuh-tubuh bertato yang mati‖ itu pun manusia yang memiliki hak untuk hidup, berkeluarga, dan kehidupan itu merupakan takdir manusia sehingga pembunuhan terhadap manusia ialah menyalahi takdir manusia itu sendiri.

Visualisasi kematian tubuh korban melalui citra penglihatan tokoh Sawitri membuat tokoh-tokoh yang mati memiliki makna terhadap pembaca bahwa kematiannya ternyata merupakan sesuatu yang hidup bagi pembaca. Hal ini mengingatkan pada pernyataan metaforis Ajidarma (2005: 225-226) yang menyatakan ―Jarak antara hidup dan tidak-hidup ternyata hanya seperti

mengedipkan mata. ... Tapi perbedaan hidup dan tidak hidup itu begitu besar,

sehingga daun yang melayang menjadi sangat besar artinya.‖

Lintas silang antara kehidupan dan kematian yang dimaksud Ajidarma merupakan keniscayaan yang sama-sama memiliki makna, dan dalam konteks peristiwa historis Penembakan Misterius kematian itu menjadi sesuatu bermakna bagi Ajidarma untuk ditampilkan sebagai kematian filosofis dalam teks ―Bunyi Hujan di Atas Genting‖, hal demikian membawa pemikiran aksiologis akan nilai-nilai kemanusiaan yang baru, suatu nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada setiap individu dalam kehidupan. Kecenderungan sikap Ajidarma terhadap nilai-nilai humanisme ini membuatnya mengalienasi ideologi radikalisme yang diwakili oleh tokoh penembak dan tokoh masyarakat.

―Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau

113

menghargai pendapat & keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif ... dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan)‖ (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2015: 1).

Kecenderungan penembak pada ideologi radikalisme terlihat dari tindakan kekerasan yang dilakukan olehnya terhadap tokoh-tokoh penjahat bertato dengan cara menembak tokoh yang bertato itu sampai mati dan bahkan penembakan itu bukan hanya bertujuan untuk membuat mati objeknya melainkan juga memberikan penderitaan sebagai siksa dan ganjaran terhadap tokoh-tokoh bertato.

―Sawitri kadang-kadang merasa penembak orang bertato itu memang sengaja merusak gambarnya. Sebenarnya mereka bisa menembak hanya di tempat yang mematikan saja, tapi mereka juga menembak di tempat-tempat yang tidak perlu. Mereka juga menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan. Apakah mereka menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan hanya karena ingin membuat orang-orang bertato itu kesakitan? Di tempat-tempat yang tidak mematikan itu kadang-kadang terdapat gambar tato yang rusak karena lubang peluru‖ (Ajidarma, 2007a: 20-21).

Penembakan Misterius sebagaimana yang dinyatakan oleh Heryanto (2006: 19) disebut sebagai terorisme negara (state terrorism), yaitu serangkaian kampanye yang disponsori negara yang menimbulkan ketakutan intens dan luas terhadap populasi besar, yang melibatkan lima aspek: Pertama, ketakutan tersebut berasal dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh agen negara atau kuasanya.

Kedua, tindakan kekerasan diarahkan terhadap warga individu terpilih (korban

primer). Ketiga, individu-individu dipilih sebagai perwakilan dari satu atau lebih kelompok sosial (populasi target) yang sering diidentifikasi secara publik.

Keempat, viktimisasi individu terpilih, status perwakilan

114

ketakutan dan ketidakpastian di antara kelompok sasaran yang lebih luas terhadap kekerasan serupa yang kemungkinan dapat terjadi di masa depan yang tidak dapat diprediksi. Kelima, akibatnya populasi umum mereproduksi dan menguraikan citra kekerasan dan ketakutan yang intens di antara kelompoknya sendiri.

Ketakutan yang diakibatkan oleh peristiwa Penembakan Misterius tidak hanya tentang ketakutan penjahat kecil (tokoh orang bertato) terhadap negara (tokoh penembak) melainkan juga memproduksi ketakutan negara terhadap penjahat kecil dan ketakutan masyarakat (tetangga Sawitri) dituduh sebagai penjahat kecil (Kusno via Fuller, 2010: 149). Oleh sebab itu kondisi ketakutan tersebut dapat menciptakan radikalisme pada tokoh tetangga Sawitri.

―Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangganya itu bergembira setiap kali melihat mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda ... Mereka berteriak-teriak sambil mengerumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.

―Lihat! Satu lagi!‖ ―Mampus!‖

―Tahu rasa dia sekarang!‘ ―Anjing!‖

―Anjing!‖

Kadang-kadang mereka juga menendang-nendang mayat itu dan menginjak-nginjak wajahnya. Kadang-kadang mayat itu mereka seret saja sepanjang jalan ke kelurahan sehingga wajah orang bertato itu belepotan dengan lumpur karena orang-orang kampung menyeret dengan memegang kakinya‖ (Ajidarma, 2007a: 19-20).

Ajidarma tampaknya menciptakan ruang fiktif bagi tokoh-tokohnya untuk menjadi antagonis lalu memberikan tanda keantagonisan itu pada diri individu tokoh sebagai tokoh yang radikal. Ruang fiktif tersebut diciptakan melalui kodefikasi bahasa tekstual (textual language) yang menggunakan berbagai sarana

115

pengungkapan keterwakilan tokoh antagonis sebagai kehadiran tidak langsung atau dalam istilah Said (2016: 32) disebut sebagai kehadiran kembali (represence) dengan cara pencitraan identitas secara berlebih-lebihan pada tokoh antagonis.

Misalnya Ajidarma menegatifisasi sektor-sektor verbal tokoh para tetangga dengan penyebutan-penyebutan ―mampus dan anjing!‖ dengan begitu pencitraan atau representasi karakteristik para tetangga itu telah ditampilkan sebagai sesuatu yang anomali, amoral dan bertentangan dengan humanisme yang telah direpresentasikan oleh tokoh Sawitri, dengan demikian nilai-nilai radikalisme pada tokoh-tokoh antagonis telah disubordinasi dengan citra Sawitri yang cenderung hadir sebagai tokoh yang sedang mencari nilai totalitas dalam realitas yang telah kehilangan makna kemanusiaan. Melaluinya, kemudian ideologi radikalisme telah ditolak sementara ideologi humanisme dipersuasikan melalui pandangan dunia tokoh Sawitri. Penolakan Sawitri tersebut tampaknya merupakan bentuk lain dari obsesi ketidaksetujuan Ajidarma terhadap ketidakadilan Penembakan Misterius dalam sejarah Indonesia (Ajidarma, 2005: 54).

Garis besar

Dokumen terkait