• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militerisme versus Teologi Pembebasan pada Cerpen “Salvador”

Ideologi militerisme diwakili oleh tokoh serdadu dan komandan sementara teologi pembebasan diwakili oleh tokoh Carlos Santana. Antagonisme kedua ideologi bersifat bipolar antara satu dengan lainnya yang masing-masing saling melakukan supremasi, irradiasi, pertentangan, dan perlawanan. Kekuatan dominan berada pada kelompok militerisme yang secara literal memiliki kekuatan dominan mengontrol kekuasaan yang diidentifikasi olehnya sebagai objek seperti pada tokoh Salvador.

―Ketika mayat Salvador diseret sepanjang jalan berdebu di kota yang kering dan gersang itu, angin bertiup kencang menerbangkan pasir dari gurun sehingga orang-orang di jalanan menekan topi tikarnya dalam-dalam supaya pasir tidak mengotori rambutnya. Ketika kepala mereka melihat mayat Salvador yang diseret seekor kuda.

Pandangan mata orang-orang di jalanan mengikuti mayat yang diseret perlahan-lahan itu dengan kepala tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata. Seorang serdadu duduk di atas kuda yang menyeret mayat itu dengan tubuh dan kepala tegak karena mengenakan helm yang melindungi wajahnya dari pasir beterbangan. Di belakang mayat itu seorang juru warta menunggang kuda sambil membawa gong. Di belakang juru warta itu satu peleton serdadu berkuda mengawal dengan langkah serempak. Sampai di perempatan kota yang gersang itu mereka berhenti dan juru warta itu memukul-mukul gongnya.

―Pengumuman! Pengumuman! Inilah mayat Salvador, seorang pencuri ayam! Ia telah dihukum tembak sampai mati, dan mayatnya akan digantung di gerbang kota, sebagai peringatan bagi mereka yang berani membangkang!‖ (Ajidarma, 2016: 39-40).

Fenomena pembunuhan Salvador pada data tersebut bukan hanya cara yang paling koheren untuk memahami militerisasi sebagai konsep strategis keamanan terhadap ―pencurian ayam‖ yang dituduhkan pada Salvador, tetapi juga cara terbaik untuk mengkonsolidasikan konsep militerisasi dengan studi kekerasan, sekuritisasi, dan teror untuk memprioritaskan gagasan ―keamanan dan pencuri

187

ayam‖ sebagai logika politik untuk meligitimasi kuasa dominan militerisme tokoh-tokoh seperti Serdadu dan komandan. Akibatnya wacana ―pencuri ayam‖ yang dimunculkan oleh Serdadu merupakan semacam logika politik militer untuk membenarkan pembunuhan terhadap kelompok ideologi pembebasan yang diidentifikasi sebagai kelompok pemberontak.

―Banyak di antara orang-orang yang datang itu belum pernah sekalipun melihat wajah Salvador secara langsung. Mereka hanya mengenal wajah Salvador dari selebaran gelap yang selalu menganjur-nganjurkan pemberontakan, yang selalu mereka terima entah dari mana, ... Mereka juga mengenal wajah Salvador dari poster-poster yang disebarkan ke segenap penjuru kota. Pada poster itu terdapat lukisan wajah Salvador dengan tulisan:

Dicari

SALVADOR

Maling Ayam Hidup atau Mati Hadiah US$5.000,‖ (Ajidarma, 2016: 41).

Logika politik militer melalui poster ―maling ayam‖ kemudian beralih pada perujukan identitas Salvador sebagai bagian dari kelompok pemberontak, namun labelisasi ―pencuri ayam‖ pada identitas Salvador secara partikular ternyata merujuk pada sejarah identitas Salvador sebagai pejuang perlawanan, meskipun perlawanan itu ternyata membuat Salvador dibunuh dan mayatnya dijadikan tontonan publik sebagai bentuk lain dari kontrol dan teror, sehingga terorisme kemudian menjadi metode strategis militer untuk mengalienasi perlawanan kelompok teologi pembebasan Salvador, sebagaimana Armbrost (2010: 422) menyatakan bahwa terorisme adalah "Metode, modus operandi, bukan ideologi atau pandangan dunia". Metode tersebut melibatkan bentuk-bentuk kekerasan

188

dalam spektrum luas terhadap kekerasan politik yang sering kali manargetkan pembunuhan. Target bukanlah korban langsungnya, tetapi melibatkan teror yang mencekam terhadap audiens yang lebih besar. Tujuan utamanya bukan untuk menyakiti atau menghukum korban langsung tetapi untuk mengirim pesan yang mengintimidasi kepada populasi sasaran, negara bagian, atau organisasi, seperti yang ditulis oleh Schmid dan Jongman (via Morin, 2016: 3) ―Terorisme adalah metode yang mengilhami kegelisahan dari tindakan kekerasan berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok atau aktor klandestin (semi-klandestin), untuk alasan istimewa, kriminal atau politis yang memeliki perbedaan dengan konsep pembunuhan—target langsung kekerasan bukanlah target utama. Sementara korban langsung terorisme berfungsi sebagai pembuat pesan, dan kekerasan yang menimpa korban berfungsi untuk memanipulasi target utama (audien), mengubahnya menjadi target teror, target permintaan, atau target perhatian.‖

Oleh sebab itu fenomena kematian Salvador sebagai tontonan publik tidak lain ialah upaya teror yang dilakukan oleh kelompok militer untuk mengintimidasi kelompok teologi pembebasan Carlos Santana. Upaya teror itu kemudian dipertegas melalui penyebaran media poster buronan Salvador dengan tujuan untuk meneror sebanyak mungkin massa target, dengan demikian media tersebut tidak hanya menjadi media teror melainkan juga dapat berfungsi sebagai legitimasi kekerasan dan meminta dukungan publik untuk mendukung pembunuhan Salvador sebagai maling ayam. Oleh sebab itu tokoh seseorang mengatakan ―Begitu sulitkah menangkap seorang maling ayam?‖ (Ajidarma, 2016: 42). Namun logika politik militer tersebut ternyata tidak membuat

189

penduduk setempat membenarkan pembunuhan Salvador, justru para penduduk berduka atas kematian Salvador dan melakukan misa Requem di dalam gereja.

―... ketika di antara desau angin, yang masih saja menerbangkan pasir menyapu kota, terdengar nyanyian perkabungan dari gereja, antara paduan suara dan suara tunggal, sayup-sayup merambat langit.

Requiem aenternam dona eis Domine et lux perpetua luceat eis

in memoria aeterna erit iustus ab aucitione mala non timebit

Serdadu itu masih akan mengucapkan sesuatu ketika mendadak terdengar ledakan dan ia tiba-tiba tersedak memuntahkan makanan bercampur darah‖ (Ajidarma, 2016: 44-45).

Prosesi misa pada data tersebut merupakan misa penebusan dosa untuk mendoakan kebaikan bagi arwah Salvador yang telah meninggalkan dunia dari realitas serta mengharap arwah itu agar diterima di kerajaan Tuhan. Oleh sebab itu wujud misa requem dari penduduk tersebut sebagaimana mengutip istilah Zhixiong dan Rowland (2013: 183) disebut sebagai ―Gagasan harapan dalam teologi pembebasan yang menandakan adanya refleksi kritis dalam cahaya firman yang diadopsi melalui iman pada kehadiran orang-orang Kristen di dunia yang kacau‖, ―Harus membantu kita untuk memahami hubungan antara kehidupan iman dan kebutuhan mendesak untuk membangun masyarakat yang berkeadilan'' (Gutiérrez, 2002: 339). Kebutuhan untuk membangun masyarakat berkeadilan tersebut tidak hanya bertitik tolak dari ketidakadilan militerisme terhadap Salvador melainkan juga kebutuhan untuk mengentaskan kemiskinan para penduduk. Kemiskinan itu sangat terlihat jelas pada data berikut.

190

―Langit yang kelabu menjadi telah menjadi gelap. Badai pasir menggoyang lentera dan mematikan cahaya sehingga kota itu semakin muram dipeluk malam yang betul-betul kelam. Di dalam setiap rumah yang nyaris tanpa perabotan orang-orang menyantap makan malamnya perlahan-lahan. Mereka mencelupkan roti-roti kering ke dalam sup yang hambar dan memasukkannya ke dalam mulut mereka tanpa kata-kata. Setiap orang dalam setiap rumah menguyah makan malamnya tanpa bicara sehingga seluruh kota tenggelam dalam kesunyian‖ (Ajidarma, 2016: 43).

Tampaknya kemiskinan itu pun sebagaimana pembunuhan terhadap Salvador juga disebabkan oleh operasi militer yang ―menenggelamkan kota dalam

kesunyian‖ sementara posisi teologi pembebasan yang terwakili pada tokoh

penduduk dan Carlos Santana berorientasi untuk menempatkan masyarakat pada posisi agen pembebasan untuk membebaskan masyarakat dari keterasingan dari sistem ideologi militerisme sehingga meminta penebusan atas keterasingan tersebut. oleh sebab itu Carlos Santana melakukan gerakan pembebasan dengan cara pembalasan dendam.

―Menjelang fajar, seorang pengembara tiba di gedung kota itu menunggangi seekor keledai. Ia melihat mayat-mayat serdadu bergeletakan, helmnya menggelinding, dan komandan mereka digantung pamflet bertuliskan MALING AYAM.

Di tembok gerbang kota, ia membaca kata-kata yang ditulis dengan darah, yang masih basah dan mengalir ke bawah.

Kuambil jenazah Salvador pemimpin kami yang berani. Aku, Carlos Santana,

kini memimpin perjuangan‖ (Ajidarma, 2016: 45-46).

Pembalasan yang dilakukan oleh kelompok teologi pembebasan Carlos Santana ialah membunuh para serdadu dan menggantung komandan dan di mayat komandan itu diberi pamflet ―maling ayam‖, maka hal ini pun secara literer

191

kembali ke konsep awal bahwa ternyata pembebasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh teologi pembebasan terjebak pada istilah lain dari terorisme (bukan emansipasi). Jadi yang ditawarkan oleh Ajidarma melalui pertarungan kedua ideologi militerisme versus teologi pembebasan dalam teks ―Salvador‖ sebenarnya merupakan konsep nihilisme untuk tidak berpihak pada salah satu kekuatan ideologi melainkan sama-sama menegasikan kedua ideologi itu dan keduanya sama-sama didukkan pada status pembantai dengan demikian Ajidarma tidak pro terhadap militer dan tidak pro juga terhadap teologi pembebasan sementara yang Ajidarma inginkan ialah nilai-nilai kemanusiaan yang di dalamnya tidak ada kekerasan dan pembunuhan terhadap sesama manusia, oleh sebab itu salah satu kutipan dalam cerpen ―Salvador‖ berbunyi: ―Kita pergi saja

Brur, aku tidak mau terlibat.‖

Garis besar

Dokumen terkait