• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militerisme versus Etnonasionalisme pada Cerpen “Listrik”

Konfrontasi ideologi pada cerpen ―Listrik‖ semacam episode dari konfrontasi ideologi militerisme versus etnonasionalisme pada cerpen ―Rosario‖. Hanya saja konfrontasi ideologi pada cerpen ―Listrik‖ dikemas dengan latar belakang yang berbeda, semesta tokoh-tokoh yang berbeda, dan konseptualisasi etnonasinalismenya pun berbeda. Konsep ideologi etnonasionalisme pada cerpen ―Rosario‖ tidak mencapai ke gerakan yang lebih luas (negara bangsa), sementara dalam cerpen ―Listrik‖ kesadaran etnonasionalisme sudah melingkupi gerakan negara bangsa yang lebih luas yang ditandai dengan persentuhan tokoh Januario dengan negara-negara internasional misalnya seperti Amerika, Portugal, Australia dan Belanda. Konsep negara-bangsa Januario dibentuk dan melalui apa yang

198

disebut oleh Mohamad (2017: 143-144) sebagai ruang nasional yaitu satu ruang negara-bangsa yang diproduksi oleh sejarah rasionalitas dan kekerasan, dengan demikian ideologi etnonasionalisme Januario semacam ideologi yang lahir dalam bayang-bayang kesakitan, keliyanan, dan keterasingan akibat kekerasan tetapi pada akhirnya ideologi etnonasionalisme Januario semakin menguat, dan semakin bergerak secara kontinuitas dan terus-menerus mengalami rasionalisasi dari berbagai kulminasi kekerasan yang diproduksi oleh militerisme hingga akhirnya menjadi satu kesadaran yang melawan, bergerak dan ingin merdeka.

Ideologi militerisme diwakili oleh tokoh Wakijan, dan Kep (panggilan terhadap kapten). Tokoh-tokoh tersebut ditampilkan sebagai tokoh antagonis yang mengandalkan kekuatan militer untuk meligitimasi kekuasaannya, sementara legitimasi kekuasaan pun berlangsung melalui cara-cara koersif terhadap tokoh-tokoh yang mewakili ideologi etnonasionalisme. Misalnya dengan cara menyiksa, menyetrum, dan mengintrogasi Januario.

Tahanan itu betul-betul menjadi tahanan dalam rumus R = E/I di mana arus proton dan elektron dengan tegangan 110 volt menggasak Januario bertubi-tubi. Ternyata, listrik tidak hanya berguna untuk penerangan, pikir Januario, listrik punya daya pukul melebihi seorang petinju kelas berat.

―Cepat katakan! Siapa suruh kamu orang minta suaka!‖ ―Viva .... Arrrgghhhh!!!‖

Kalimat itu tak pernah diselesaikannya, karena setiap kali ia mengucapkannya, seorang petugas memutar potensiometer di depannya, dan suatu entakan arus listrik yang dahsyat menghantam tubuh Januario sehingga ia terpental bersama kursinya.

―Kamu orang kepala batu! Kenapa kamu orang tidak mau mengaku? Kamu orang ingin merdeka, tapi kamu orang tidak bisa merdeka kalau tidak mau kerja sama! Cepat katakan, siapa?‖ (Ajidarma, 2016: 59).

Penyiksaan dan kekerasan terhadap Januairo terjadi karena Januario dinilai meminta suaka dan menginginkan kemerdekaan bagi kelompok etnisnya.

199

Akibatnya, Januario disetrum dengan listrik 110 volt, bahkan kawan-kawan Januario seperti Alfredo, Cornelio dan Alfonso mengalami nasib yang lebih buruk dari penderitaan Januario yaitu dibunuh sampai mati oleh serdadu asing, sementra kekasih Januario yang bernama Esterlina diintimidasi, dieksplotasi tubuhnya, diperkosa, dan disiksa sebab Esterlina dinilai menyimpan informasi tentang Januario dan kelompok kelandestin, sebagaimana pengakuan Esterlina.

―‘Januario! Mereka memperkosa aku, Januario! Aku ditelanjangi dan tubuhku disundut rokok kretek! Aku ditidurkan dilantai dan punggungku diinjak-injak dengan sepatu tentara! Telingaku berdenging karena pukulan pentungan karet. Sakit sekali rasanya, Januario! Mereka taruh kaki meja ke atas ibu jari kakiku dan mereka berdiri di atas meja itu. Aku tidak tahan! Mereka ingin tahu tempat persembunyianmu, Januario! ... Mereka memperkosa aku bergantian! Sakit sekali rasanya, Januario! Aku tak tahan, Januario! Sehabis mereka memperkosa, aku disetrum, setelah disetrum aku diperkosa. Aku tak sanggup lagi!‖ (Ajidarma, 2016: 64).

Berdasarkan kutipan data tersebut tampaklah bahwa tokoh-tokoh militer yang diasosiasikan sebagai pronomina jamak ―mereka‖ ditampilkan sebagai manusia subjek yang tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan, memiliki karakter kejam, pemerkosa, dan penyiksa. Kekejaman tokoh militer kemudian menyebabkan tokoh-tokoh tersebut ternegatifisasi dan didudukkan sebagai kelompok luar out group, melaluinya kemudian suatu demarkasi kelompok diciptakan untuk menegasikan keberpihakan Ajidarma pada nilai-nilai kemanusiaan serta bersimpati terhadapnya dan sekaligus antisimpati terhadap ideologi militerisme sebab ideologi militerisme dapat berdampak negatif terhadap kemanusiaan subjek seperti pada tokoh-tokoh Alfredo, Cornelio, Alfonso, Januario dan Esterlina. Dampak tersebut bukan hanya terjadi pada luka fisik tokoh-tokoh itu melainkan juga luka emosional yang dirasakan oleh tokoh

200

Januario, akibatnya Januario teralienasi; kesepian tanpa memiliki sahabat-sahabat seperti Alfredo, Cornelio dan Alfredo yang telah meninggal.

―Tapi, banyak peristiwa yang terjadi setelah itu. Kini, 18 tahun kemudian, Januario sudah lama melepaskan impiannya sebagai pemain sepak bola termahal di dunia. Dalam usaia 33, terlalu banyak peristiwa sudah dialaminya, yang membuatnya tidak mungkin lagi mementingkan impian-impiannya sendiri.‖

Alfredo sudah lama tewas. Umurnya masih 17 ketika serdadu asing itu membrodongnya dari belakang. Setahun kemudian, Cornelio binasa kena pecahan bom ketika pesawat-pesawat tempur menggasak permukiman para pengungsi dan gerilyawan di dalam hutan. Tinggallah Alfonso bersamanya, bergerak dalam organisasi klandestin di dalam kota. Namun, Alfonso sudah pergi dalam usia 30 tahun, ia mati tertembak ketika ikut berdemonstrasi di depan kuburan dan mengacung-ngacungkan spanduk yang menyatakan isi hati mereka.

Januario menjadi sangat kesepian tanpa sahabat-sahabatnya, karena di luar ketiga sahabatnya itu, ia tak pernah terlalu yakin siapa kawan dan siapa lawan‖ (Ajidarma, 2016: 63).

Kesepian Januario dan keterasingannya karena kehilangan cenderung dirasakan sebagai pengalaman yang sangat diprivatisasi hingga membawa Januario bernostalgia; membayangkan kembali komunitas-komunitas pelindung yang akan mengembalikan Januario dan etnisnya ke keadaan sebelumnya yang lengkap, pada suatu keadaan yang dibayangkan oleh Januario sebagai

―Malam-malam pesta dansa, dan ―Malam-malam-―Malam-malam estilo, dan ―Malam-malam-―Malam-malam equardenti,

tempat gelak dan tawa bisa terdengar begitu bebas, begitu lepas, tanpa perasaan

takut melakukan kesalahan‖ (Ajidarma, 2016: 61).

Nostalgia Januario selanjutnya menghadirkan mimpi-mimpi kebebasan seorang individu subjek yang merdeka yang masih memiliki mimpi-mimpi personal sebagai pemain sepak bola Eropa yang di dalam mimpi itu terdapat bayangan akan keluarga etnis yang lengkap, ibu, ayah dan sahabat-sahabatnya.

201

Namun akibat dampak kekerasan militerisme mimpi yang dibayangkan oleh Januario itu tercerabut dari cita-cita yang diidealkan sehingga kesadaran akan ideologi etnonasionalisme Januario semakin meluas mencapai ke kesadaran negara-bangsa yaitu sebagai titik tolak dari keinginan Januario untuk merdeka. Akibatnya, Januario tidak lagi mementingkan mimpi-mimpi personal melainkan terus bergerak pada kesadaran kolektif untuk mementingkan impian-impian kolektif dari kesatuan etnis yang ingin menebus keliyanan di masa lalu sebagai subjek yang termarginalisasi ke subjek yang otonom.

―Tapi, banyak peristiwa yang terjadi setelah itu. Kini, 18 tahun kemudian. Januario sudah lama melepaskan impiannya sebagai pemain sepak bola termahal di dunia. Dalam usia 33, terlalu banyak peristiwa sudah dialaminya, yang membuatnya tidak mungkin lagi mementingkan impian-impiannya sendiri‖ (Ajidarma, 201: 63).

Keinginan Januario yang melampui mimpi personalitasnya itu secara progresif dibuktikan oleh bergabungnya Januario ke organisasi klandestin bersama dengan sahabat-sahabat pergerakan seperti Alfredo, Cornelio, Alfonso (lihat hlm. 63 pada cerpen ―Listrik‖), artinya kesadaran etonasionalisme Januario sudah mulai memproduksi ruang nasional, membentuk kesadaran massa, mendapatkan pengikut, mengorganisasi komunitas dan bahkan untuk mendapatkan pengakuan internasional dari negara-negara internasional untuk mendukung gerakan kemerdekaan dari suatu etnis yang termarginalisasi, hal itu terlihat dari permintaan suaka ke Amerika, Australia, dan Belanda (lihat hlm. 60). Pola kesadaran yag meluas tersebut melibatkan perubahan dari isolasi (pola etnis dasar) menjadi gerakan aktivisme (melalui organisasi klandestin) yang

202

berkecenderungan untuk mengakomodasi komunitas etnis ke kerangka kerja yang lebih luas; ke upaya-upaya mobilisasi etnis dari budaya ke politik, dari marginalisasi ke liberalisasi, dan dari integrasi ke desentegrasi. Implikasi penting atas perubahan dari suatu kelompok etnis menjadi suatu bangsa ialah bahwa tuntutan akan otonomisasi dan wacana pemerintahan sendiri kelompok klandestin Januario akan muncul, sering tetapi tidak selalu, dalam bentuk negara berdaulat. Cita-cita berdaulat merupakan salah satu komponen 'kebangsaan' (Smith, 1976: 2). Namun pada cerpen ―Listrik‖, kesadaran etnonasionalisme itu tidak mampu menjadi gagasan yang sampai ke tatanan otonomi pemerintahan melainkan hanya sampai pada batas-batas kecenderungannya untuk membayangkan satu lanskap moral dengan narasi marginalisasi tokoh-tokoh penganut ideologi etnonasionalisme. Oleh sebab itu Ajidarma sebenarnya melalui konfrontasi ideologi pada cerpen ―Listrik‖ tidak berupaya untuk melakukan supremasi wacana kemerdekaan atau desintegrasi suatu etnis kebangsaan melainkan secara literer lebih tendensus untuk mempersoalkan nilai-nilai kemanusiaan yang terdegradasi akibat dari kekerasan militerisme, secara partikular hal itu terlihat dari pembayangan Ajidarma terhadap semesta tokoh-tokoh yang diintrogasi, disiksa, dan dibunuh namun di lain sisi tidak memberikan porsi besar terhadap perjuangan ideologi etnonasionalisme untuk melakukan perjuangan kemerdekaan dan hal itu dipertegas dengan penutup narasi cerpen yang berbunyi:

―The first thing they do to a prisoner is to beat him and give him blows to the stomach and the chest, he is blindfolded and electric shocks are given; they hit him with iron rods on the back; they step on his feet with their boots; they give electric shocks; they burn his body with cigarettes including his genitals ....‖ (Ajidarma, 2016: 66).

203

Jadi, etnonasionalisme Ajidarma sebenarnya merupakan konsep ruang nasional yang tidak stabil pada tokoh Januario, etnonasionalisme itu tidak sampai bergerak pada perjuangan yang lebih keras, melainkan pasif dan teralienasi, tokoh alienatif tidak untuk menyemaikan gagasan pemisahan dari penyatuan suatu negeri yang terkoloni (misalnya desintegrasi Timor Timur dari Indonesia) melainkan ialah representasi pembebasan Ajidarma terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan sebagai bentuk tanda simpati Ajidarma terhadap korban kekerasan (bukan kemerdekaan).

8) Militerisme, Nasionalisme, dan Humanisme pada Cerpen “Pelajaran

Garis besar

Dokumen terkait