• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunanisme versus Liberalisme pada Cerpen “Semangkin (d/h Semakin)”

Ideologi pembangunanisme diwakili oleh tokoh para pejabat pemerintahan seperti Camat dan Menteri Muda Urusan Akronim dan Istilah-istilah Baku (menteri imajinatif Ajidarma) semetara ideologi liberalisme diwakili oleh tokoh Sukab, Ji dan Santinet. Namun secara dominan ideologi liberalisme ini ditunjukkan oleh Sukab sementara Ji semacam menjadi tokoh tambahan yang

146

berafeliasi dengan Sukab, dan Santinet secara paradoksal tidak sepenuhnya setia pada ideologi liberalisme melainkan ada batas singgung yang menjelaskan keberpihakan Santinet pada ideologi pembangunanisme. Kemunculan tokoh-tokoh individu seperti tokoh-tokoh Sukab, Santinet, dan Ji. Tokoh-tokoh-tokoh ini diprotagoniskan untuk membawa nilai-nilai ideal sebagai negosiator yang menghubungkan ideologi liberalisme dengan ideologi pembangunanisme. Keterhubungan ideologi secara partikular menempatkan tokoh-tokoh Ajidarma eksis untuk bernegosiasi atau bahkan untuk melawan bentuk-bentuk ideologi dominan yang disisipkan pada diskursus penggunaan kata semangkin.

Ajidarma menyajikan suatu permainan tanda (interplay) pada kata

semangkin; permainan tanda merupakan permainan antara teks dengan pembaca,

teks dipahami sebagai proses pemberian kode (encoding) dan pembaca diminta untuk memecahkan kode itu (decoding). Permainan tanda merupakan upaya fenomena pengintegrasian kesadaran historis dengan realitas historis melalui permainan yang dimasukkan ke dalam hubungan antara tanda dan yang ditandai. Tanda tersebut berlaku sebagai fondasi makna karena makna diturunkan dari cara tanda terkait dengan objek atau fenomena historis dalam dunia realitas. Akibatnya, kata semangkin merupakan ruang permainan imajinatif melalui representasi dan organisasi tanda. Tandanya ialah representasi keberadaan; dunia kehidupan historis menjadi simbol bahasa yang dikategorikan dan diorganisasi melalui apa yang disebut oleh Salam (2003: 25) sebagai politik cerita. Caranya, posisi tanda dan penandaan telah diartikulasikan pada objek imajinasi estetik.

147

Narasi dalam kehidupan realitas politik di masa Orde Baru ditampilkan, dinegosiasi, bahkan juga dilawan. Akibatnya, dapat memungkinkan apa yang dikonseptualisasikan oleh Sutton-Smith (2001: 138) sebagai "Penguraian batas antara kenyataan dan kepercayaan‖, artinya permainan tanda secara imajinatif dilakukan dalam ruang terbatas yang dibangun melalui negosiasi terus-menerus antara realitas seharusnya dengan realitas estetik yang memungkinkan Ajidarma melakukan rekreasi (penciptaan kembali) narasi politik secara inovatif.

―Sukab sudah lupa, sejak kapan ia mulai mengucapkan kata semakin menjadi semangkin. Rasa-rasanya, sebagai manusia Indonesia yang baik, kita tidak punya kesulitan mengucapkan kata semakin. Bahkan kata yang satu itu, sebenarnya juga tidak pernah menjadi masalah. Kata semakin, seperti juga semua kata dalam bahasa Indonesia yang lain, diucapkannya tetap sebagai semakin, bukan semangkin. Sukab tak habis pikir, sejak kapan bunyi ―ng‖ itu menyelundup ke pergerakan lidahnya. Berkali-kali ia berusaha mengucapkan kata semakin, tapi yang terdengar selalu

semangkin.‖

―Aku tidak akan mengekor, latah, dan sekadar cari selamat. Aku harus mencoba yakin, bahwa kata semangkin sungguh tidak layak diucapkan seorang pejabat di muka umum. Aku harus mengucapkannya

semaaa...ngng! Aduh!‖ (Ajidarma, 2007a: 103, 109).

Tokoh Sukab sadar bahwa dirinya telah terhegemoni oleh sindrom

semangkin yang umumnya terjadi pada pejabat negara, bahkan dengan pasti ia

tidak bisa mengetahui awal mula sindrom semangkin itu memengaruhi alam bawah sadarnya, akibatnya ia pun melakukan pelafalan yang sama terhadap kata

semakin menjadi semangkin layaknya yang dilakukan oleh para elite pejabat.

Namun menyadari hal itu sebagai suatu pelafalan yang tidak benar, oleh sebab itu tokoh Sukab ingin membebaskan tanda semangkin dari status quo-nya. Hal inilah yang menjadi penekanan liberalisme Sukab yang berdasarkan pendapat

148

Gane (2014: 2) sebagai bentuk berpikir definsif politik, salah satunya berpusat pada perlindungan kebebasan individu melawan berbagai jenis ancaman atau paksaan, oleh sebab itu Sukab berkata ―Aku tidak akan mengekor, latah, dan sekedar cari selamat. Aku harus mencoba yakin, bahwa kata semangkin sungguh tidak layak diucapkan seorang pejabat di muka umum‖.

Walaupun pada dasarnya Sukab ialah bagian daripada tokoh-tokoh masyarakat politik (elite pejabat) namun Sukab tidak memiliki homogenisasi ideologi pembangunanisme dengan aparatur negara masyarakat politik lainnya. Justru Sukab memilih untuk menentang gaya berbahasa tokoh-tokoh masyarakat politik.Sikap Sukab untuk melakukan penentangan mengharuskan tokoh Sukab beraliansi dengan Ji. Aliansi Sukab tampaknya bersinggungan dengan stratifikasi kelas sosial antara Sukab sebagai pejabat elite negara dengan Ji sebagai intelektual organik (akademisi). Afeliasi antara Sukab dengan tokoh Ji selanjutnya menciptakan afeliasi politik antara kelas elite pejabat negara dengan kelas akademisi yang salah satu tujuannya untuk menyembuhkan sindrom semangkin.

Tokoh Ji memberikan dua alternatif pilihan kepada Sukab untuk memperbaiki kesalahan berbahasa Sukab yaitu menerima atau menolak (terhegemoni atau kontra hegemoni), hal ini mengingatkan pada modifikasi teoretis Stuart Hall terhadap teori hegemoni Gramsci yang pernah dikutip oleh Ajidarma dalam buku Panji Tengkorak; Kebudyaan dalam Perbincangan dan

Obrolan Urban: Tiada Ojek di Paris ―Terdapat tiga hipotesis dalam menghadapi

wacana dominan yaitu menerima, bernegosiasi, atau melawan‖ (Ajidarma, 2011:

149

tokoh Sukab memilih untuk melawan. Namun perlawanan itu ternyata tidak mampu memperbaiki sindrom semangkin, sehingga sikap opsionalitasnya ialah memungkinkan Sukab untuk melakukan negosiasi karena ternyata perlawanan terhadap sindrom semangkin secara resmi dilarang oleh negara.

―Bersama surat ini diumumkan, bahwa kata SEMAKIN secara resmi telah diganti dengan kata SEMANGKIN. Para pejabat diwajibkan memakai kata SEMANGKIN ini dalam acara-acara resmi, dan kata SEMAKIN dinyatakan terlarang. Peraturan mulai hari ini. Harap dilaksanakan sebaik-baiknya‖ (Ajidarma, 2007a: 112).

Upaya Sukab melawan sindrom semangkin ternyata tidak dapat terrealisasi karena Menteri Muda urusan Akronim dan istilah-istilah Baku (menteri imajinatif Ajidarma) mengumumkan dan menandatangani kebijakan baru tentang pelarangan penggunaan kata semakin di ruang-ruang publik. Kata semangkin telah beroperasi sebagai permainan makna yang bertransformasi menjadi semacam lelucon di dalam teks ―Semangkin (d/h Semakin)‖, jika merujuk pada pendapat Errington (2001: 1-8) maka hal ini tidak lain ialah ejekan Ajidarma terhadap gaya bahasa pemerintahan Suharto di era Orde Baru.

Hanya saja ejekan itu berlangsung dalam kategori permainan tanda; bahwa sebuah ekspresi atau pemikiran awalnya dikembangkan secara general merujuk pada fenomena sindrom semangkin. Kata semangkin kemudian secara partikular dipetakan ke domain lain atau isyarat interpretasi yang lebih lanjut. Contoh dari hubungan pengembangan ini ialah gagasan evaluatif tokoh Santinet tentang ―Pembangunan yang serba semakin. Boleh semakin dahsyat, semakin yahud, atau

150

semakin asoy. Pokoknya pembangunan yang semakin (Ajidarma, 2007a:

108-109).

Pengembangan domain semangkin ke domain pembangunan nasional mengandaikan kepaduan gagasan dari berbagai macam tokoh-tokoh yang terpisah, tokoh-tokoh tersebut dikompresi menjadi satu entitas yang kemudian dipahami secara metaforis sebagai satu agen gagasan tunggal. Gilirannya, pengembangan itu mengarahkan pembaca untuk melihat keseluruhan identitas (pejabat pemerintah) sebagai ‗rujukan identitas‘ yang secara langsung tersirat pada dialog-dialog tokoh. Seperti halnya yang terdapat pada dialog-dialog antara Sukab dengan seorang kawan.

―... Zaman sekarang ini segala sesuatu harus selaras, harmonis, dan tidak mengganggu stabilitas. Pokoknya jangan aneh-aneh!‖

―Ya, aneh! Asal tahu saja! Aneh!‖

Setelah kawannya pergi, Sukab masih saja tidak mengerti (Ajidarma, 2007a: 110-111).

Jadi, kata semangkin, tidak hanya berfungsi sebagai penanda bagi kondisi objektif ciri khas ragam bahasa Indonesia pejabat di era pemerintahan Suharto (lihat Jupriono, 2000) melainkan juga berfungsi sebagai penanda hegemoni kultural pemerintahannya yang cenderung preventif dan otoriter serta berpretensi mengontrol masyarakat dengan undang-undang, kontrol media, dan kekerasan untuk melegitimasi ideologi pembangunanisme negara. Oleh karena itu, penanda-penanda tersebut merupakan proses dinamis, rekursif dan saling merekonstruktualisasi antara teks dan target domain.

151

Deskripsi tentang pejabat pemerintan Orde Baru cenderung dikonstruksi dan dihubungankan secara dinamis (dua arah) antara teks dan target domain, melaluinya kompleksitas kontekstual dari satu domain dapat dibuat tersedia untuk yang lain dalam bentuk proses penekanan pada aslinya yaitu pada kata semangkin. Oleh karena itu, dalam setiap dimensi dapat memungkinkan pembaca untuk membayangkan domain target (identitas dan atau ideologi pejabat pemerintahan Orde Baru) tidak hanya dalam domain teks tetapi juga dalam realitas historisnya sebagai bentuk pengadilan publik terhadapnya.

Meskipun demikian pengadilan publik tidak diikuti oleh perlawanan Sukab secara totalitas karena pada akhirnya perlawanan Sukab menjadi dekaden, Sukab berkecenderungan menjadi tokoh pasif ketika merespon aturan resmi negara tentang pelarangan menggunakan kata semakin, justru Sukab meminta Santinet untuk mewakilinya berpidato di depan publik dan Santinet secara paradoksal tidak lagi mewakili nilai-nilai liberalisme melainkan cenderung berpihak pada pembangunanisme. Artinya perubahan karakter Santinet kemudian membawa pada suatu pengertian lain untuk menegasikan sikap perlawanan Sukab dan melaluinya kemudian suatu sikap perlawanan dipandang secara skeptis, dengan demikian sebenarnya ada kecenderungan Ajidarma untuk mendeheroisasi status perlawanan pada status yang tidak memungkinkan untuk dilakukan ketika ideologi dominan telah begitu menguasai (hal ini pun terlihat dari deheroisme tokoh Rambo pada cerpen ―Becak Terakhir di Dunia‖).

―Jangan terlalu idealis, jangan ngoyo. Bekerjalah dengan baik, jangan coba menggugat kemapanan. Kita tidak hidup di zaman yang membutuhkan

152

pahlawan, wahai Sukab suamiku, yang kita butuhkan sekarang adalah pedagang! Business man! Business!” (Ajidarma, 2007a: 113).

Meskipun tokoh-tokoh Ajidarma melalui ideologi liberalismenya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap pembangunanisme namun secara literer upaya Sukab untuk melakukan perubahan sebenarnya merupakan kritik Ajidarma terhadap kekuasaan politik preventif, totaliter, pembangunananisme, dan adigium stabilitas di masa pemerintahan Orde Baru, sebagaimana pernyataan Ajidarma (2016a: 131) kuasa adalah suatu bentuk tindakan atau hubungan antarkhalayak, yang pada setiap persentuhannya bernegosiasi, sehingga karena itu tiada akan pernah tetap dan stabil. Eh, kok, Orde Baru membangun berhala baru yang bernama ―stabilitas.‖ Oleh sebab itu melalui ideologi liberalisme tokoh Sukab tampaknya Ajidarma tidak ingin melawan ideologi pembangunanisme melainkan mengkritik konsep stabilitas dan pembangunanisme Orde Baru.

Garis besar

Dokumen terkait